NIM : 200313106
Kelas : Manajemen 4A
Tugas Analisis Kebijakan Moneter dan Finansial di Indonesia
Pada Juli 1997 indonesia mengalami krisis ekonomi moneter, BI sebagai bank sentral
harus membantu kestabilan perekonomian di Indonesia. Belum lagi nilai rupiah yang makin
merosot tajam dari Rp 2.665 (Agustus 1997) menjadi Rp15.000 (Juli 1998). Sebelumnya
Indonesia pernah mengalami keberhasilan perekonomian di zaman awal era kepemimpinanya
Soeharto (tahun 1970 s/d 1990) beliau mampu memilih para pembantu yang handal,
mendengarkan pandangan para tehnokrat dan intelektual serta pengambilan keputusan yang
selalu tepat. Beliau memegang kendali Negara dengan baik dan memberi bimbingan kepada
para pembantunya. Sayangnya sejak tahun 1990 an beliau mulai di pengaruhi “kelompok dekat
kekuasaan” untuk memperoleh perlakuan istimewa di berbagai bidang. Faktor non ekonomi
mulai mempengaruhi secara signifikan pada ekonomi. Para pembantunya tidak lagi mampu
berbuat dengan baik. Sebagian, terutama yang di angkat berkat “kelompok dekat kekuasaan”
justru ikut larut dalam budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Belum lagi hutang luar negeri
Indonesia yang meningkat tajam. Banyak masyarakat dan mahasiswa yang mengelar demo
besar besaran untuk menuntut agar presiden Soeharto turun (1998), hal tersebut mengakibatkan
inflasi yang amat parah dari semula Rp2.400 menjadi Rp15.000.
Beberapa bulan terakhir di tahun 1997 kesulitan di alami oleh sektor perbankan makin
menjadi jadi, makin banyak bank bank yang mengalami tekanan keuangan. Dan banyak
masyarakat yang mulai kwatir dengan kesehatan system perbankan, akhirnya banyak
masyarakat yang menarik depositonya, untuk menjaga agar masyarakat tidak menarik
depositonya maka bank bank menaikkan tingkat suku bunganya dengan tujuan untuk
mempertahankan nasabah dan deposan, tetapi langkah tersebut tidak membuahkan hasil. Nilai
rupiah jatuh dan tingkat suku bunga dalam negeri meningkat secara cepat (untuk menjaga para
deposan) hal tersebut membuat para perusahan perusahan tidak mampu membayar hutang
hutangnya kembali. Masalah system perbankan tidak lagi menjadi masalah bank bank secara
individual. Melainkan, masalahnya merupakan masalah system perbankan secara keseluruhan
yang tidak lagi berfungsi dengan baik. Akhirnya pemerintah membentuk BPPN (badan
penyehatan perbankan nasional) dengan tujuan antara lain :
Pada 2003 pemerintah memberhentikan kerja sama dengan IMF, tetapi IMF tetap
memberikan peranannya untuk tetap memberikan penilaian dan saran mengenai kebijakan
ekonomi berdasarkan Article IV. Pemerintah sudah tidak lagi menerima bantuan dana dari
IMF beserta fasilitas penjadwalan kembali hutang dari Paris Club. Dalam rangka mengakhiri
program ekonomi dengan IMF tersebut, pemerintah menyusun paket kebijakan ekonomi pasca
IMF. Paket kebijakan ekonomi pasca IMF ini dimaksudkan untuk segera :
Bilamana stabilitas ekonomi, keamanan dan ketertiban serta penyehatan sector keuangan telah
tercapai maka Indonesia dapat membangun kembali. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
mampu membuka peluang seluas luasnya untuk perekonomian masyarakat.
Pemerintah juga sempat menunda pembangunan infrastruktur, karna dana RAPBN di
alihkan untuk stabilitas ekonomi. Pemerintah juga melakukan banyak langkah antara lain :
meningkatkan ekspor, perbaikan kondisi transaksi/arus modal, memelihara kecukupan
cadangan devisa, kebijakan konsolidasi fiskal dll. Langkah yang di ambil pemerintah guna
menstabilkan ekonomi dapat terbukti. Inflasi turun dari 58% (1998) menjadi 5,1% (2003). Nilai
kurs rupiah menguat dari $1=Rp10.000 (1998) menjadi $1= kurang lebih Rp8.500 (2003).
Cadangan devisa membaik dari 3 kali impor tahun 1998 meningkat menjadi 6 kali impor tahun
2001.
1998 57,64
1999 20,49
2000 3,72
2001 11,5
2002 10
2003 5,1
1999 7.855
2000 8.421
2001 10.260
2002 9.311
2003 8.500
1998 -13,13
1999 0,79
2000 4,9
2001 3,32
2002 3,7
2003 3,8
2004 4,5
Perkembangan pada periode ini mulai membaik, karena banyaknya faktor faktor yang
mendukung, seperti : perkembangan ekonomi internasioanal yang cukup baik, perkembangan
social politik dalam negeri, terutama pada era kepeimpinan Megawati yang cukup kondusif,
serta situasi moneter yan cukup stabil. Kebijakan moneter yang di tempuh pada era reformasi
adalah kebijakan yang ketat untuk menyerap likuiditas agar tidak menahan tekanan terhadap
inflasi dan nilai tukar rupiah. Terkait dengan kondisi perekonomian pasca krisis yang di tandai
oleh tingginya harga, rendahnya nilai tukar terhadap rupiah, dan rendahnya daya saing, maka
kebijakan moneter jangka pendeklah yang di pilih untuk mengurangi tekanan tekanan yang di
maksud. Pengetatan likuiditas, stabilitas nilai tukar dan pemeliharaan kecukupan cadangan
devisa dan stabilitas system keuangan merupakan strategi utama untuk mencapainya.
Kebijakan utang luar negeri pada periode ini lebih di arahkan untuk memperbaiki
kinerja transaksi berjalan, neraca pembayaran dan keuangan Negara, serta bagaimana menekan
Debt service ratio agar berada di tingkat yang lebih aman oleh bank Dunia.
Pada 2013 Rapat Dewan Gubernur diadakan pada 12 nov 2013, memutuskan untuk
menaikan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,50% dengan suku bunga lending facility dan suku
bunga deposit fasilitiy masing masing naik menjadi 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut di
tempuh karena mempertimbangkan masih besarnya defisit transaksi berjalan di tengah resiko
ketidakpstian global yang masih tinggi. Dengan demikian, keputusan ini di ambil untuk
memastikan bahwa deficit transaksi berjalan menurun ke tingkat yang lebih sehat dan inflasi
tetap terkendali menuju kesasaran 4,5% sehingga pada tahun 2014 perekonomian akan
berkesinambungan.
Pada tahun 2016 perkembangan perkonomian Indonesia mulai positif hal ini
ditunjukkan dengan di sertainya stabilitas makroekonomi dan system keuangan yang terjaga
dengan baik.
Pada 2017 Rapat Dewan Gubernur BI pada 20 dan 22 sept 2017 memutuskan untuk
menurunkan BI7 day RR sebesar 25 bps dari 4,50 menjadi 4,25, dengan suku bunga deposit
facility turun 25 bps menjadi 3,50% dengan lending facility turun 25 bps menjadi 5,00%.
Penurunan suku bunga acuan ini cukup konsisten dengan realisasi dan perkiraan inflasi 2017
yang rendah serta inflasi 2018 dan 2019 yang akan berada dibawah titik tengah kisaran sasaran
yang ditetapkan dan deficit transaksi berjalan terkendali di batas yang aman. Perekonomian
Indonesia pada tahun 2017 mengarah ke arah yang positif, hal tersebut dibuktikan dengan :
rupiah bergerak stabil dan cenderung terdepresiasi, system keuangan tetap stabil tetapi fungsi
intermediasi perbankan masih
Hasil review menunjukkan bahwa penerapan ITF di Indonesia selama hamper lima
tahun terahir sudah mencatat beberapa keberhasilan, yaitu dengan penerapan ITF yang sudah
semakin tertata dan disertai dengan peningkatan kualitas, dalam artian sesuai dengan best
practices, pemikiran teoritis, dan kondisi empiris di Indonesia. Secara umum, dibandingkan
dengan kondisi sebelum penerapan ITF, beberapa perkembangan positif telah dicatat dalam hal
penetapan dan pengumuman sasaran inflasi, penataan kerangka kerja kelembagaan dan
operasional, koordinasi kebijakan, dan kualitas analisis dan riset kebijakan. Penilaian positif
tersebut dapat dikaitkan dengan aspek-aspek dalam proses kegiatan pada umumnya (business
proses seperti biasa). Di luar itu, secara khusus, dalam periode penerapan TF tercatat pula
beberapa perbalkan aspek fundamental yang bersifat subtantif, yang membedakan manfaat
keberadaan (TF dengan kerangka kerja kebijakan yang lain, yaitu adanya :
• Selain itu, pengamatan tentang kemajuan dan sisi kerangka kerja kelembagaan
tersebut juga sejalan dengan hasil analisis FSAP-IMF (2009) menyatakan bahwa
transparansi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bl dikategorikan cukup tinggi
(masonably high). Penilaian ini didasarkan kepada empat kriteria yaitu pertama tujuan
kebijakan telah dinyatakan dengan jelas pada UU BI kedua bahwa UU SI juga telah
menjamin independensi Bank Sentral ketiga kerangka inflation targeting yang
berkomitmen untuk meningkatkan komunikasi dengan publik dan yang keempat
tentang adanya ketentuan dan peraturan yang menjamin integritas BI.
(ii) Kejelasan sinyal kebijakan
Sejalan dengan penyempurnaan yang dilakukan secara bertahap hingga saat
ini, baik pada penetapan suku bunga sasaran operasional maupun instrument pasar uang
lainnya, tatanan kerangka operasional kebijakan moneter saat ini relatif sudah berkembang
dengan lebih baik sesuai dengan pemikiran teoritis maupun best practices, sehingga sinyal
kebijakan moneter mampu dibaca secara lebih baik oleh pasar. Hal ini berbeda dengan
kondisi sebelum penerapan ITF dimana signal kebijakan Bank Indonesia yang masih
menggunakan uang primer secara umum tidak dapat ditangkap oleh pasar secara tepat,
sehingga dalam kondisi tertentu cenderung tidak mengubah atau bahkan memperburuk
ekspektasi inflasi.
Salah satu contoh adalah pemberian sinyal kebijakan moneter ketat melalui
BI Rate sejak Juli 2005, menjelang diumumkannya kenaikan harga BBM pada bulan Oktober
2005, yang direspon pelaku ekonomi secara positif. Hal ini tercermin pada meredanya
ekspektasi depresiasi dan menurunnya ekspektasi inflasi pasca kenaikan harga BBM.
Kejadian tersebut menunjukkan bahwa penyampaian sinyal kebijakan yang jelas dan dikemas
dengan strategi komunikasi tepat telah berhasil menumbuhkan pemahaman yang positif
mengenal langkah kebijakan Bank Indonesia, dan sekaligus mempengaruhi ekspektasi
masyarakat akan prospek ekonomi dan arah kebijakan ke depan.
(iii) Peningkatan kredibilitas kebijakan
Sejalan dengan penerapan ITF, kredibilitas kebijakan moneter, lambat
namun pasti, mengalami peningkatan. Beberapa indikator mendukung kesimpulan tersebut :
5. Data Dan Kebijakan Terkini Terkait Dengan Kebijakan Moneter Dan Perbankan Di
Indonesia
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Mei 2022 memutuskan
untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku
bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar
4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas
nilai tukar, serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah tingginya tekanan
eksternal terkait dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina serta percepatan normalisasi
kebijakan moneter di berbagai negara maju dan berkembang. Sejalan dengan hal tersebut,
Bank Indonesia menempuh penguatan bauran kebijakan sebagai berikut:
1. Memperkuat kebijakan nilai tukar Rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan
dengan mekanisme pasar dan fundamental ekonomi;
2. Mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum
(GWM) Rupiah secara bertahap, sebagai berikut (Lampiran 1);
a. Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUK (Bank Umum Konvensional) yang
pada saat ini sebesar 5,0% naik menjadi 6,0% mulai 1 Juni 2022, 7,5% mulai 1 Juli
2022 dan 9,0% mulai 1 September 2022.
b. Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUS (Bank Umum Syariah) dan UUS
(Unit Usaha Syariah) yang pada saat ini sebesar 4,0%, naik menjadi 4,5% mulai 1
Juni 2022, 6,0% mulai 1 Juli 2022, dan 7,5% mulai 1 September 2022.
c. Pemberian remunerasi sebesar 1,5% terhadap pemenuhan kewajiban GWM setelah
memperhitungkan insentif bagi bank-bank dalam penyaluran kredit/pembiayaan
kepada sektor prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target RPIM.
d. Kenaikan GWM tersebut tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam
penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian
SBN untuk pembiayaan APBN.
4. Melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman
pada suku bunga kredit sektor prioritas (Lampiran 3);
5. Melanjutkan dukungan pengembangan UMKM melalui penyelenggaraan Karya Kreatif
Indonesia (KKI), dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi, termasuk Gerakan Nasional
Bangga Buatan Indonesia (GBBI) dan Gerakan Bangga Berwisata Indonesia (GBWI);
6. Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung pemulihan ekonomi dan
akselerasi digitalisasi yang inklusif melalui:
a. Melanjutkan masa berlaku kebijakan batas minimal pembayaran dan nilai denda
keterlambatan pembayaran Kartu Kredit dari semula 30 Juni 2022 menjadi 31
Desember 2022 guna mendukung perkembangan transaksi Kartu Kredit dengan tetap
menjaga risiko kredit.
b. Memperpanjang masa berlaku Merchant Discount Rate (MDR) QRIS
untuk merchant kategori Usaha Mikro (UMI) sebesar 0% dari semula 30 Juni 2022
menjadi 31 Desember 2022 guna melanjutkan upaya perluasan ekosistem digital dan
mendorong peningkatan transaksi khususnya UMKM.
7. Memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerja sama dengan bank sentral
dan otoritas negara mitra lainnya, fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan
perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait, serta bersama
Kementerian Keuangan menyukseskan 6 (enam) agenda prioritas jalur keuangan Presidensi
Indonesia pada G20 tahun 2022.
Bank Indonesia senantiasa mencermati arah perkembangan inflasi dan menempuh langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan terkendalinya inflasi sesuai sasaran yang
ditetapkan 3,0 ±1% pada tahun 2022 dan 2023. Untuk itu, koordinasi dengan Pemerintah
(Pusat dan Daerah) melalui Tim Pengendali Inflasi (TPIP dan TPID) terus diperkuat. Untuk
menjaga stabilitas makroekonomi dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal terus ditingkatkan, termasuk komitmen Bank Indonesia dalam
pembelian SBN sebesar Rp224 triliun untuk pembiayaan kesehatan dan kemanusiaan dalam
APBN 2022. Demikian pula, koordinasi di bawah Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) serta koordinasi bilateral antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) terus diperkuat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Perbaikan ekonomi dunia berlanjut namun berisiko lebih rendah dari prakiraan
sebelumnya, disertai dengan kenaikan inflasi serta percepatan normalisasi kebijakan
moneter di berbagai negara. Peningkatan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina,
implementasi kebijakan zero Covid-19 di Tiongkok, dan percepatan normalisasi kebijakan
moneter di berbagai negara berdampak pada pelemahan pertumbuhan ekonomi global.
Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang,
Tiongkok, dan India berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Volume perdagangan
dunia berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sejalan dengan risiko tertahannya
perbaikan perekonomian global dan masih berlangsungnya gangguan rantai pasokan global.
Harga komoditas global masih meningkat, termasuk komoditas energi, pangan, dan logam,
sehingga memberikan tekanan pada inflasi global. Peningkatan inflasi global tersebut
mendorong percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju, termasuk AS, dan
negara berkembang, yang berdampak pada peningkatan ketidakpastian pasar keuangan
global. Hal tersebut mendorong terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di
berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Nilai tukar Rupiah terdepresiasi sejalan dengan mata uang regional lainnya, seiring
dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Nilai tukar Rupiah pada 23
Mei 2022 terdepresiasi 1,20% dibandingkan dengan akhir April 2022. Depresiasi tersebut
disebabkan oleh aliran modal asing keluar sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar
keuangan global di tengah terjaganya pasokan valas domestik dan persepsi positif terhadap
prospek perekonomian Indonesia. Dengan perkembangan ini, nilai tukar Rupiah sampai
dengan 23 Mei 2022 terdepresiasi sekitar 2,87% dibandingkan dengan level akhir 2021,
relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang
lainnya, seperti India 4,11%, Malaysia 5,10%, dan Korea Selatan 5,97%. Ke depan, stabilitas
nilai tukar Rupiah diprakirakan tetap terjaga didukung oleh kondisi fundamental ekonomi
Indonesia yang tetap baik, terutama oleh lebih rendahnya defisit transaksi berjalan
dan supply valas dari korporasi yang terus berlanjut. Bank Indonesia akan terus memperkuat
kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan
fundamental ekonomi.
Suku bunga perbankan terus mengalami penurunan sejalan dengan tren menurunnya
risiko kredit. Di pasar uang, suku bunga IndONIA pada 27 April 2022 sebesar 2,81%, tidak
jauh berbeda dibandingkan dengan level April 2021 yang sebesar 2,79%. Di pasar dana, suku
bunga deposito 1 bulan perbankan turun sebesar 80 bps sejak April 2021 menjadi 2,86% pada
April 2022. Di pasar kredit, suku bunga kredit baru lebih rendah 43 bps pada periode yang
sama, sejalan dengan penurunan SBDK dan perbaikan persepsi risiko perbankan di tengah
berlanjutnya pemulihan aktivitas ekonomi. Perbankan melanjutkan dukungan pembiayaan ke
sektor prioritas, dengan pemberian suku bunga kredit yang relatif lebih rendah dibandingkan
kredit sektor nonprioritas. Bank Indonesia memandang peran perbankan dalam penyaluran
kredit/pembiayaan termasuk melalui penurunan suku bunga kredit dapat ditingkatkan guna
semakin mendorong pemulihan ekonomi nasional.