Anda di halaman 1dari 13

Nama : Dytia Dwiyanti

NIM : 200313106
Kelas : Manajemen 4A
Tugas Analisis Kebijakan Moneter dan Finansial di Indonesia

1. Review Neraca Moneter dan Finansial


Kerentanan sektor eksternal perekonomian Indonesia pada triwulan I 2022 yang
tercermin pada beberapa indikator sustainabilitas ekstemal menunjukkan kondisi relatif
terjaga. Rasio transaksi berjalan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan 2022
tetap terkendali dan masih mencatat surplus meskipun lebih rendah dari periode sebelumnya
seiring dengan penurunan surplus transaksi berjalan. Rasio akumulasi ekspor impor barang
dan jasa terhadap PDB (derajat keterbukaan sektor eksternal perekonomian domestik) relatif
sama dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, rasio ekspor neto barang dan jasa
terhadap PDB (kontribusi sektor eksternal terhadap perekonomian domestik) pada triwulan 1
2022 sedikit lebih rendah. dibandingkan triwulan sebelumnya namun masih lebih tinggi
dibandingkan periode sama tahun 2021.
Di sisi lain, rasio Utang Luar Negeri (ULN) juga relatif terjaga. Rasio posisi total
ULN terhadap PDB pada triwulan 1 2022 menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan
sebelumnya, meski rasio ULN jangka pendeknya sedikit meningkat. Membaiknya rasio total
ULN terhadap PDB terjadi seiring dengan penurunan total ULN. Beberapa indikator terkait
ULN lainnya mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya,
namun masih relatif terjaga dan lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya, seiring perbaikan ekonomi domestik yang terus berlanjut.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2022 diperkirakan tetap baik, sehingga
mendukung ketahanan sektor ekstemal. Hal ini sejalan dengan pemulihan perekonomian
global yang terus berlanjut, meskipun lebih rendah dari prakiraan, dan diwarnai dengan
ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Sementara itu, perbaikan ekonomi
domestik diprakirakan tetap berlangsung, seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat.
Defisit transaksi berjalan tahun 2022 diprakirakan 0,5% -1,3% dari PDB, menurun
dibandingkan proyeksi defisit transaksi berjalan sebelumnya sebesar 1,1% -1,9% dari PDB.
Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial diprakirakan tetap surplus, terutama
dalam bentuk penanaman modal asing. sejalan dengan iklim investasi dalam negeri yang
tetap terjaga.

2. Review Dampak Kebijakan Moneter Dengan Kondisi Perekonomian Terbuka Seperti


Indonesia
Menurut Bank Indonesia pemulihan ekonomi global dan local diperkirakan akan terus
berlanjut meski lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, disertai ketidakpastian pasar
keuangan global yang masih tinggi. Dengan perkembangan sekarang, Bank Indonesia
merevisi prakiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2022 menjadi 3,5 % dari sebelumnya
4,4%. Dan pada 16-17 Maret 2022 Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI
7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar
2,75% dan suku bunga Lending Facility sebesar 4.25%. Atas adanya kebijakan ini Bank
Indonesai bertujuan untuk mengarah kepada pro stabilitas demi pemulihan ekonomi nasional.
Lalu disebutkan lebih detail bahwa keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga
stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi, serta upasa untuk tetap mendorong
pertumbuhan ekonomi ditengah tekanan eksternal yang meningkat terkait dengan ketegangan
geopolitik Rusia-Ukraina dan percepatan normalisasi kebijakan moneter dinegara maju.
Menurut data yang ada di Bank Indonesia pun dikatakan bahwa BI terus memperkuatb
sinergi kebijakan dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Inflasi serta meningkatkan
kredit/pembiayaan kepada dunia usaha pada sector-sektor prioritas untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan.
Dalam sector ekspor Indonesia, indeks harga komoditas pada tahun 2022 adalah 22,2
%. Dan dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diperkirakan tetap baik sehingga
mendukung ketahanan eksternal ditengah ketidapkastian keuangan global yang disebutkan
diatas tadi. Sesuai dengan tujuan kebijakan moneter yang diusungkan Bank Sentral, inflasi
pada triwulan 1 terkendali dan mendukung stabilitas perekonomian.

3. Evolusi Kebijakan Bank Sentra Terutama Kaitannya Dengan Perbankan Sebelum


Dan Sesudah Reformasi

Pada Juli 1997 indonesia mengalami krisis ekonomi moneter, BI sebagai bank sentral
harus membantu kestabilan perekonomian di Indonesia. Belum lagi nilai rupiah yang makin
merosot tajam dari Rp 2.665 (Agustus 1997) menjadi Rp15.000 (Juli 1998). Sebelumnya
Indonesia pernah mengalami keberhasilan perekonomian di zaman awal era kepemimpinanya
Soeharto (tahun 1970 s/d 1990) beliau mampu memilih para pembantu yang handal,
mendengarkan pandangan para tehnokrat dan intelektual serta pengambilan keputusan yang
selalu tepat. Beliau memegang kendali Negara dengan baik dan memberi bimbingan kepada
para pembantunya. Sayangnya sejak tahun 1990 an beliau mulai di pengaruhi “kelompok dekat
kekuasaan” untuk memperoleh perlakuan istimewa di berbagai bidang. Faktor non ekonomi
mulai mempengaruhi secara signifikan pada ekonomi. Para pembantunya tidak lagi mampu
berbuat dengan baik. Sebagian, terutama yang di angkat berkat “kelompok dekat kekuasaan”
justru ikut larut dalam budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Belum lagi hutang luar negeri
Indonesia yang meningkat tajam. Banyak masyarakat dan mahasiswa yang mengelar demo
besar besaran untuk menuntut agar presiden Soeharto turun (1998), hal tersebut mengakibatkan
inflasi yang amat parah dari semula Rp2.400 menjadi Rp15.000.

Beberapa bulan terakhir di tahun 1997 kesulitan di alami oleh sektor perbankan makin
menjadi jadi, makin banyak bank bank yang mengalami tekanan keuangan. Dan banyak
masyarakat yang mulai kwatir dengan kesehatan system perbankan, akhirnya banyak
masyarakat yang menarik depositonya, untuk menjaga agar masyarakat tidak menarik
depositonya maka bank bank menaikkan tingkat suku bunganya dengan tujuan untuk
mempertahankan nasabah dan deposan, tetapi langkah tersebut tidak membuahkan hasil. Nilai
rupiah jatuh dan tingkat suku bunga dalam negeri meningkat secara cepat (untuk menjaga para
deposan) hal tersebut membuat para perusahan perusahan tidak mampu membayar hutang
hutangnya kembali. Masalah system perbankan tidak lagi menjadi masalah bank bank secara
individual. Melainkan, masalahnya merupakan masalah system perbankan secara keseluruhan
yang tidak lagi berfungsi dengan baik. Akhirnya pemerintah membentuk BPPN (badan
penyehatan perbankan nasional) dengan tujuan antara lain :

• Memperbaiki system perbankan agar menjadi sehat kembali.


• Memberikan bantuan dari dana pemerintah (APBN) kepada bank bank yang lemah.
• Menghitung suntikan modal pemerintah yang perlu diberikan kepada bank bank
agar menjadi bank yang sehat.
• Mengelola asset dari bank bank dibawah pengawasan BPPN.
• Menghitung ulang kewajiban yang harus di bayar kembali para pemilik bank atas
BLBI (bantuan likuiditas bank Indonesia) yang mereka terima.

Kemudian, untuk menghentikan larinya dana deposito dan memulihkan kepercayaan


masyarakat terhadap system perbankan, pemerintah melakukan jaminan yang mulanya berlaku
terbatas menjadi menyeluruh baik untuk para deposan maupun kreditur kreditur dari bank bank,
walaupun di sadari akan menimbulkan jebolan moral atau moral hazard (beban yang
ditanggung oleh pihak yang tidak bersalah). Pemerintah juga menjalin kerja sama dengan IMF
untuk membantu mengatasi masalah krisis perekonomian yang terjadi di Indonesia. Walaupun
pengaruh yang di berikan oleh IMF tidak terlalu signifikan.

Akhirnya gubernur BI mengirim surat kepada bapak Presiden yang memberitahukan


bahwa kondisi perbankan nasional terus mengalami saldo debit, banyak masyarakat yang
menarik depositonya. Untuk mengatasi hal tersebut Gubernur BI membuat antisipasi dengan
menganti saldo debit bank dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus. Akhirnya usulan
tersebutpun di setujui oleh bapak presiden. Pemerintah terus berusaha menstabilkan
perekonomian Indonesia.

Pada 2003 pemerintah memberhentikan kerja sama dengan IMF, tetapi IMF tetap
memberikan peranannya untuk tetap memberikan penilaian dan saran mengenai kebijakan
ekonomi berdasarkan Article IV. Pemerintah sudah tidak lagi menerima bantuan dana dari
IMF beserta fasilitas penjadwalan kembali hutang dari Paris Club. Dalam rangka mengakhiri
program ekonomi dengan IMF tersebut, pemerintah menyusun paket kebijakan ekonomi pasca
IMF. Paket kebijakan ekonomi pasca IMF ini dimaksudkan untuk segera :

• Mencapai stabilitas ekonomi, keamanan dan ketertiban.


• Menyehatkan sector keuangan.

Bilamana stabilitas ekonomi, keamanan dan ketertiban serta penyehatan sector keuangan telah
tercapai maka Indonesia dapat membangun kembali. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
mampu membuka peluang seluas luasnya untuk perekonomian masyarakat.
Pemerintah juga sempat menunda pembangunan infrastruktur, karna dana RAPBN di
alihkan untuk stabilitas ekonomi. Pemerintah juga melakukan banyak langkah antara lain :
meningkatkan ekspor, perbaikan kondisi transaksi/arus modal, memelihara kecukupan
cadangan devisa, kebijakan konsolidasi fiskal dll. Langkah yang di ambil pemerintah guna
menstabilkan ekonomi dapat terbukti. Inflasi turun dari 58% (1998) menjadi 5,1% (2003). Nilai
kurs rupiah menguat dari $1=Rp10.000 (1998) menjadi $1= kurang lebih Rp8.500 (2003).
Cadangan devisa membaik dari 3 kali impor tahun 1998 meningkat menjadi 6 kali impor tahun
2001.

INFLASI 1998 S/D 2003

Tahun Inflasi, Harga Konsumen

1998 57,64

1999 20,49

2000 3,72

2001 11,5

2002 10

2003 5,1

Sumber : World Bank, LPEM

NILAI TUKAR RUPIAH

Tahun Nilai tukar (Rp per $, rata rata periode

1998 10.013 s/d 13.100

1999 7.855

2000 8.421

2001 10.260

2002 9.311
2003 8.500

Sumber : World Bank, IFS

PERTUMBUHAN PDB 1998 s/d 2004

Tahun Pertumbuhan (%)

1998 -13,13

1999 0,79

2000 4,9

2001 3,32

2002 3,7

2003 3,8

2004 4,5

Sumber : World Bank, LPEM

Kebijakan moneter Indonesia Tahun 2004 s/d sekarang

Perkembangan pada periode ini mulai membaik, karena banyaknya faktor faktor yang
mendukung, seperti : perkembangan ekonomi internasioanal yang cukup baik, perkembangan
social politik dalam negeri, terutama pada era kepeimpinan Megawati yang cukup kondusif,
serta situasi moneter yan cukup stabil. Kebijakan moneter yang di tempuh pada era reformasi
adalah kebijakan yang ketat untuk menyerap likuiditas agar tidak menahan tekanan terhadap
inflasi dan nilai tukar rupiah. Terkait dengan kondisi perekonomian pasca krisis yang di tandai
oleh tingginya harga, rendahnya nilai tukar terhadap rupiah, dan rendahnya daya saing, maka
kebijakan moneter jangka pendeklah yang di pilih untuk mengurangi tekanan tekanan yang di
maksud. Pengetatan likuiditas, stabilitas nilai tukar dan pemeliharaan kecukupan cadangan
devisa dan stabilitas system keuangan merupakan strategi utama untuk mencapainya.

Kebijakan utang luar negeri pada periode ini lebih di arahkan untuk memperbaiki
kinerja transaksi berjalan, neraca pembayaran dan keuangan Negara, serta bagaimana menekan
Debt service ratio agar berada di tingkat yang lebih aman oleh bank Dunia.
Pada 2013 Rapat Dewan Gubernur diadakan pada 12 nov 2013, memutuskan untuk
menaikan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,50% dengan suku bunga lending facility dan suku
bunga deposit fasilitiy masing masing naik menjadi 7,50% dan 5,75%. Kebijakan tersebut di
tempuh karena mempertimbangkan masih besarnya defisit transaksi berjalan di tengah resiko
ketidakpstian global yang masih tinggi. Dengan demikian, keputusan ini di ambil untuk
memastikan bahwa deficit transaksi berjalan menurun ke tingkat yang lebih sehat dan inflasi
tetap terkendali menuju kesasaran 4,5% sehingga pada tahun 2014 perekonomian akan
berkesinambungan.

Pada 2015 peningkatan ekonomi terjadi disebabkan oleh meningkatnya peran


pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi pemerintah maupun investasi bangunan. Stabilitas
system keuangan masih solid, ditopang oleh ketahanan system perbankan dan relative
terjaganya kinerja pasar keuangan.

Pada tahun 2016 perkembangan perkonomian Indonesia mulai positif hal ini
ditunjukkan dengan di sertainya stabilitas makroekonomi dan system keuangan yang terjaga
dengan baik.

Pada 2017 Rapat Dewan Gubernur BI pada 20 dan 22 sept 2017 memutuskan untuk
menurunkan BI7 day RR sebesar 25 bps dari 4,50 menjadi 4,25, dengan suku bunga deposit
facility turun 25 bps menjadi 3,50% dengan lending facility turun 25 bps menjadi 5,00%.
Penurunan suku bunga acuan ini cukup konsisten dengan realisasi dan perkiraan inflasi 2017
yang rendah serta inflasi 2018 dan 2019 yang akan berada dibawah titik tengah kisaran sasaran
yang ditetapkan dan deficit transaksi berjalan terkendali di batas yang aman. Perekonomian
Indonesia pada tahun 2017 mengarah ke arah yang positif, hal tersebut dibuktikan dengan :
rupiah bergerak stabil dan cenderung terdepresiasi, system keuangan tetap stabil tetapi fungsi
intermediasi perbankan masih

4. Peranan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Di Indonesia Dalam Mengendalikan


Inflasi Dengan ITF

Hasil review menunjukkan bahwa penerapan ITF di Indonesia selama hamper lima
tahun terahir sudah mencatat beberapa keberhasilan, yaitu dengan penerapan ITF yang sudah
semakin tertata dan disertai dengan peningkatan kualitas, dalam artian sesuai dengan best
practices, pemikiran teoritis, dan kondisi empiris di Indonesia. Secara umum, dibandingkan
dengan kondisi sebelum penerapan ITF, beberapa perkembangan positif telah dicatat dalam hal
penetapan dan pengumuman sasaran inflasi, penataan kerangka kerja kelembagaan dan
operasional, koordinasi kebijakan, dan kualitas analisis dan riset kebijakan. Penilaian positif
tersebut dapat dikaitkan dengan aspek-aspek dalam proses kegiatan pada umumnya (business
proses seperti biasa). Di luar itu, secara khusus, dalam periode penerapan TF tercatat pula
beberapa perbalkan aspek fundamental yang bersifat subtantif, yang membedakan manfaat
keberadaan (TF dengan kerangka kerja kebijakan yang lain, yaitu adanya :

(1) pematangan eksistensi kelembagaan,


(ii) kejelasan sinyal kebijakan, dan
(iii) peningkatan kredibilitas kebijakan.

(i) Pematangan eksistensi kelembagaan.


Sejalan dengan penataan dan penguatan kerangka kerja kelembagaan ITF,
seperti independensi, akuntabilitas, dan transparansi, Bank Indonesia telah berubah dari
sebuah organisasi yang awalnya lebih berorientasi ke dalam menjadi organisasi yang lebih
berorientasi ke luar. Dalam kaitan ini, muncul kesadaran akan diperlukannya suatu upaya
yang menumbuhkan sikap simbiosis mutualisme antara Bank Indonesia dan publik, dimana
keterbukaan dan komunikasi diharapkan menjadi pilar utama dalam pembangunan
kredibilitas kebijakan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Fakta tersebut didukung oleh
beberapa pengamatan.
• Pertama, hasil survei kinerja Bank Indonesia secara umum menyebutkan bahwa
kepuasan responden terhadap komunikasi kebijakan moneter sudah baik, dimana
sebagian besar responden (57%) mengatakan puas terhadap proses komunikasi
kebijakan moneter. Dengan perkembangan positif tersebut diharapkan bahwa respons
kebijakan moneter Bank indonesia dapat dimaknai secara lebih positif oleh publik

• Selain itu, pengamatan tentang kemajuan dan sisi kerangka kerja kelembagaan
tersebut juga sejalan dengan hasil analisis FSAP-IMF (2009) menyatakan bahwa
transparansi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bl dikategorikan cukup tinggi
(masonably high). Penilaian ini didasarkan kepada empat kriteria yaitu pertama tujuan
kebijakan telah dinyatakan dengan jelas pada UU BI kedua bahwa UU SI juga telah
menjamin independensi Bank Sentral ketiga kerangka inflation targeting yang
berkomitmen untuk meningkatkan komunikasi dengan publik dan yang keempat
tentang adanya ketentuan dan peraturan yang menjamin integritas BI.
(ii) Kejelasan sinyal kebijakan
Sejalan dengan penyempurnaan yang dilakukan secara bertahap hingga saat
ini, baik pada penetapan suku bunga sasaran operasional maupun instrument pasar uang
lainnya, tatanan kerangka operasional kebijakan moneter saat ini relatif sudah berkembang
dengan lebih baik sesuai dengan pemikiran teoritis maupun best practices, sehingga sinyal
kebijakan moneter mampu dibaca secara lebih baik oleh pasar. Hal ini berbeda dengan
kondisi sebelum penerapan ITF dimana signal kebijakan Bank Indonesia yang masih
menggunakan uang primer secara umum tidak dapat ditangkap oleh pasar secara tepat,
sehingga dalam kondisi tertentu cenderung tidak mengubah atau bahkan memperburuk
ekspektasi inflasi.
Salah satu contoh adalah pemberian sinyal kebijakan moneter ketat melalui
BI Rate sejak Juli 2005, menjelang diumumkannya kenaikan harga BBM pada bulan Oktober
2005, yang direspon pelaku ekonomi secara positif. Hal ini tercermin pada meredanya
ekspektasi depresiasi dan menurunnya ekspektasi inflasi pasca kenaikan harga BBM.
Kejadian tersebut menunjukkan bahwa penyampaian sinyal kebijakan yang jelas dan dikemas
dengan strategi komunikasi tepat telah berhasil menumbuhkan pemahaman yang positif
mengenal langkah kebijakan Bank Indonesia, dan sekaligus mempengaruhi ekspektasi
masyarakat akan prospek ekonomi dan arah kebijakan ke depan.
(iii) Peningkatan kredibilitas kebijakan
Sejalan dengan penerapan ITF, kredibilitas kebijakan moneter, lambat
namun pasti, mengalami peningkatan. Beberapa indikator mendukung kesimpulan tersebut :

• Pertama, pengamatan baik melalui survey maupun pengujian empiris menunjukkan


sedang atau telah terjadinya pergeseran perilakul pembentukan ekspektasi inflasi
publik yang semula cenderung backward looking menjadi cenderung forward looking;
dan hal ini berpengaruh positif pada penurunan derajat persistensi inflasi. Kondisi
tersebut didukung oleh hasil pengujian empiris yang menunjukkan bahwa selama
penerapan ITF derajat kredibilitas kebijakan moneter telah meningkat dua kali lipat,
walaupun masih belum sepenuhnya kredibel (imperfect credibility).
• Kedua, sejalan dengan pemupukan kredibilitas yang telah diupayakan, pengumuman
stance kebijakan Bank Indonesia yang dilakukan secara reguler melalui penetapan
suku bunga kebijakan (BI Rate) menjadi salah satu indikator ekonomi sangat penting
yang diacu oleh para pelaku di pasar uang dan kalangan dunia usaha secara luas.
Selain itu, terlepas dari adanya perbedaan persepsi dalam penghitungan forecast
inflasi dan indikator makro lainnya oleh Bank Indonesia dan pemerintah, publik
umumnya dapat memahami mengapa Bank Indonesia mempunyai perbedaan
penghitungan dengan pemerintah.

Di luar catatan keberhasilan ITF tersebut, terdapat beberapa catatan


penyempurnaan yang mendasar bagi kinerja ITF ke depan, khususnya terkait perubahan
perilaku dalam sistem keuangan di satu sisi, serta sampai sejauhmana peran ITF dalam
mendukung proses pemulihan ekonomi domestik dalam situasi krisis keuangan global dewasa
ini, yang antara lain disertai dengan fenomena ekses likuiditas dan structural rigidity. Yang
juga penting adalah bagaimana manfaat keberadaan ITF selanjutnya dapat direfleksikan ke
dalam pembangunan ekonomi dalam perspektif regional. Permasalahan-permasalahan
tersebut pada akhirnya telah menjadikan dimensi pengelolaan kebijakan moneter di Indonesia
menjadi semakin kompleks.

5. Data Dan Kebijakan Terkini Terkait Dengan Kebijakan Moneter Dan Perbankan Di
Indonesia
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Mei 2022 memutuskan
untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku
bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar
4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas
nilai tukar, serta tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah tingginya tekanan
eksternal terkait dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina serta percepatan normalisasi
kebijakan moneter di berbagai negara maju dan berkembang. Sejalan dengan hal tersebut,
Bank Indonesia menempuh penguatan bauran kebijakan sebagai berikut:

1. Memperkuat kebijakan nilai tukar Rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan
dengan mekanisme pasar dan fundamental ekonomi;
2. Mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum
(GWM) Rupiah secara bertahap, sebagai berikut (Lampiran 1);

a. Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUK (Bank Umum Konvensional) yang
pada saat ini sebesar 5,0% naik menjadi 6,0% mulai 1 Juni 2022, 7,5% mulai 1 Juli
2022 dan 9,0% mulai 1 September 2022.
b. Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUS (Bank Umum Syariah) dan UUS
(Unit Usaha Syariah) yang pada saat ini sebesar 4,0%, naik menjadi 4,5% mulai 1
Juni 2022, 6,0% mulai 1 Juli 2022, dan 7,5% mulai 1 September 2022.
c. Pemberian remunerasi sebesar 1,5% terhadap pemenuhan kewajiban GWM setelah
memperhitungkan insentif bagi bank-bank dalam penyaluran kredit/pembiayaan
kepada sektor prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target RPIM.
d. Kenaikan GWM tersebut tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam
penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian
SBN untuk pembiayaan APBN.

3. Meningkatkan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor


prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target RPIM mulai berlaku 1 September 2022
sebagai berikut (Lampiran 2):

a. Pelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah rata-rata menjadi maksimal


sebesar 2%, yaitu melalui insentif atas pemberian kredit/pembiayaan kepada sektor
prioritas paling besar 1,5% dari sebelumnya paling besar 0,5%, dan insentif
pencapaian RPIM tetap paling besar 0,5%;
b. Perluasan cakupan subsektor prioritas dari 38 subsektor prioritas menjadi 46
subsektor prioritas yang dibagi dalam 3 kelompok yaitu resillience (kelompok yang
berdaya tahan), growth driver (kelompok pendorong pertumbuhan), dan slow
starter (kelompok penopang pemulihan);
c. Pemberian insentif tersebut ditujukan untuk semakin meningkatkan peran perbankan
dalam pembiayaan inklusif dan pemulihan ekonomi nasional.

4. Melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman
pada suku bunga kredit sektor prioritas (Lampiran 3);
5. Melanjutkan dukungan pengembangan UMKM melalui penyelenggaraan Karya Kreatif
Indonesia (KKI), dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi, termasuk Gerakan Nasional
Bangga Buatan Indonesia (GBBI) dan Gerakan Bangga Berwisata Indonesia (GBWI);
6. Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung pemulihan ekonomi dan
akselerasi digitalisasi yang inklusif melalui:

a. Melanjutkan masa berlaku kebijakan batas minimal pembayaran dan nilai denda
keterlambatan pembayaran Kartu Kredit dari semula 30 Juni 2022 menjadi 31
Desember 2022 guna mendukung perkembangan transaksi Kartu Kredit dengan tetap
menjaga risiko kredit.
b. Memperpanjang masa berlaku Merchant Discount Rate (MDR) QRIS
untuk merchant kategori Usaha Mikro (UMI) sebesar 0% dari semula 30 Juni 2022
menjadi 31 Desember 2022 guna melanjutkan upaya perluasan ekosistem digital dan
mendorong peningkatan transaksi khususnya UMKM.

7. Memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerja sama dengan bank sentral
dan otoritas negara mitra lainnya, fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan
perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait, serta bersama
Kementerian Keuangan menyukseskan 6 (enam) agenda prioritas jalur keuangan Presidensi
Indonesia pada G20 tahun 2022.

Bank Indonesia senantiasa mencermati arah perkembangan inflasi dan menempuh langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan terkendalinya inflasi sesuai sasaran yang
ditetapkan 3,0 ±1% pada tahun 2022 dan 2023. Untuk itu, koordinasi dengan Pemerintah
(Pusat dan Daerah) melalui Tim Pengendali Inflasi (TPIP dan TPID) terus diperkuat. Untuk
menjaga stabilitas makroekonomi dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal terus ditingkatkan, termasuk komitmen Bank Indonesia dalam
pembelian SBN sebesar Rp224 triliun untuk pembiayaan kesehatan dan kemanusiaan dalam
APBN 2022. Demikian pula, koordinasi di bawah Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) serta koordinasi bilateral antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) terus diperkuat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Perbaikan ekonomi dunia berlanjut namun berisiko lebih rendah dari prakiraan
sebelumnya, disertai dengan kenaikan inflasi serta percepatan normalisasi kebijakan
moneter di berbagai negara. Peningkatan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina,
implementasi kebijakan zero Covid-19 di Tiongkok, dan percepatan normalisasi kebijakan
moneter di berbagai negara berdampak pada pelemahan pertumbuhan ekonomi global.
Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang,
Tiongkok, dan India berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Volume perdagangan
dunia berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sejalan dengan risiko tertahannya
perbaikan perekonomian global dan masih berlangsungnya gangguan rantai pasokan global.
Harga komoditas global masih meningkat, termasuk komoditas energi, pangan, dan logam,
sehingga memberikan tekanan pada inflasi global. Peningkatan inflasi global tersebut
mendorong percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju, termasuk AS, dan
negara berkembang, yang berdampak pada peningkatan ketidakpastian pasar keuangan
global. Hal tersebut mendorong terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di
berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.

Perbaikan ekonomi domestik terus berlanjut ditopang oleh menguatnya permintaan


domestik dan tetap kuatnya ekspor. Pertumbuhan ekonomi triwulan I 2022 tetap kuat,
yakni 5,01% (yoy), melanjutkan momentum pemulihan pada triwulan sebelumnya sebesar
5,02% (yoy). Perkembangan ini terutama didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga,
investasi bangunan, dan tetap terjaganya kinerja ekspor seiring dengan peningkatan mobilitas
masyarakat dan permintaan mitra dagang utama yang masih kuat. Pertumbuhan ekonomi juga
didukung oleh kinerja positif mayoritas lapangan usaha seperti Industri Pengolahan,
Perdagangan Besar dan Eceran, serta Transportasi dan Pergudangan. Secara spasial,
pertumbuhan ekonomi yang positif terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dengan pertumbuhan
tertinggi tercatat di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), diikuti Jawa, Sumatera,
Bali-Nusa Tenggara (Balinusra), dan Kalimantan. Pada triwulan II 2022, berbagai indikator
dini menunjukkan aktivitas perekonomian yang terus membaik, seperti tercermin pada
pertumbuhan positif penjualan eceran, ekspansi Purchasing Managers' Index (PMI)
Manufaktur, serta realisasi ekspor dan impor yang tetap tinggi, yang didukung oleh
meningkatnya mobilitas dan pembiayaan dari perbankan. Dengan perkembangan tersebut,
pertumbuhan ekonomi 2022 diprakirakan tetap berada dalam kisaran proyeksi Bank
Indonesia pada 4,5-5,3%.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap terjaga, sehingga mendukung ketahanan


sektor eksternal. Kinerja NPI pada triwulan I 2022 yang tetap terjaga didukung oleh surplus
transaksi berjalan yang berlanjut serta defisit transaksi modal dan finansial yang membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya. Surplus transaksi berjalan pada triwulan I 2022 mencapai
0,2 miliar dolar AS (0,07% terhadap PDB) yang ditopang oleh surplus neraca perdagangan
nonmigas yang tetap kuat seiring dengan harga ekspor komoditas global yang masih tinggi.
Transaksi modal dan finansial mencatat defisit lebih kecil, sebesar 1,7 miliar dolar AS,
seiring dengan optimisme investor terhadap prospek pemulihan ekonomi domestik dan iklim
investasi yang terjaga. Pada April 2022, neraca perdagangan kembali mencatat surplus, yakni
7,6 miliar dolar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus bulan sebelumnya sebesar 4,5
miliar dolar AS. Sementara itu, aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik
tertahan seiring ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi, tercermin dari investasi
portofolio yang mencatat net outflows pada triwulan II 2022 sebesar 1,2 miliar dolar AS
(hingga 20 Mei 2022). Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2022 tercatat
sebesar 135,7 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan
internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap
rendah dalam kisaran 0,5% - 1,3% dari PDB, sehingga menopang ketahanan sektor eksternal
Indonesia.

Nilai tukar Rupiah terdepresiasi sejalan dengan mata uang regional lainnya, seiring
dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Nilai tukar Rupiah pada 23
Mei 2022 terdepresiasi 1,20% dibandingkan dengan akhir April 2022. Depresiasi tersebut
disebabkan oleh aliran modal asing keluar sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar
keuangan global di tengah terjaganya pasokan valas domestik dan persepsi positif terhadap
prospek perekonomian Indonesia. Dengan perkembangan ini, nilai tukar Rupiah sampai
dengan 23 Mei 2022 terdepresiasi sekitar 2,87% dibandingkan dengan level akhir 2021,
relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang
lainnya, seperti India 4,11%, Malaysia 5,10%, dan Korea Selatan 5,97%. Ke depan, stabilitas
nilai tukar Rupiah diprakirakan tetap terjaga didukung oleh kondisi fundamental ekonomi
Indonesia yang tetap baik, terutama oleh lebih rendahnya defisit transaksi berjalan
dan supply valas dari korporasi yang terus berlanjut. Bank Indonesia akan terus memperkuat
kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan
fundamental ekonomi.

Inflasi terkendali dan mendukung stabilitas perekonomian. Indeks Harga Konsumen


(IHK) pada April 2022 tercatat inflasi sebesar 0,95% (mtm). Secara tahunan, inflasi IHK
April 2022 tercatat 3,47% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya
yang sebesar 2,64% (yoy), seiring dengan peningkatan harga komoditas global, mobilitas
masyarakat, dan pola musiman Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Inflasi inti tetap
terjaga di tengah permintaan domestik yang meningkat, stabilitas nilai tukar yang terjaga, dan
konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi. Sementara itu,
inflasi kelompok volatile food meningkat terutama dipengaruhi oleh kenaikan inflasi minyak
goreng seiring penyesuaian Harga Eceran Tertinggi (HET). Inflasi kelompok administered
prices dipengaruhi oleh inflasi angkutan udara, bensin dan bahan bakar rumah tangga. Ke
depan, tekanan inflasi diprakirakan masih berlanjut sejalan dengan meningkatnya harga
komoditas global. Bank Indonesia terus mewaspadai dampaknya terhadap peningkatan
ekspektasi inflasi dan menempuh langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
terkendalinya stabilitas inflasi ke depan. Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan
TPID) guna menjaga inflasi IHK dalam kisaran sasarannya yaitu 3,0%±1%.

Normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM)


Rupiah secara bertahap berlangsung tanpa mengganggu kondisi likuiditas
perbankan. Penyesuaian secara bertahap Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah tahap I dan
pemberian insentif GWM sejak 1 Maret 2022 tidak mengurangi kemampuan perbankan
dalam penyaluran kredit/ pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian
SBN untuk pembiayaan APBN. Pada April 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak
Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 29,38% dan tetap mendukung kemampuan
perbankan dalam penyaluran kredit yang tumbuh sebesar 9,10% (yoy). Likuiditas yang
terjaga didukung Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh sebesar 10,11% (yoy). Sementara
itu, dalam rangka koordinasi fiskal-moneter sebagaimana tertuang dalam Keputusan Bersama
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia yang berlaku hingga 31 Desember 2022,
Bank Indonesia melanjutkan pembelian SBN di pasar perdana untuk pendanaan APBN 2022
dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp30,17 triliun (hingga 23 Mei
2022) melalui mekanisme lelang utama, greenshoe option, dan private placement. Pada April
2022, likuiditas perekonomian juga tetap longgar, tercermin pada uang beredar dalam arti
sempit (M1) dan luas (M2) yang tumbuh masing-masing sebesar 20,76% (yoy) dan 13,60%
(yoy).

Suku bunga perbankan terus mengalami penurunan sejalan dengan tren menurunnya
risiko kredit. Di pasar uang, suku bunga IndONIA pada 27 April 2022 sebesar 2,81%, tidak
jauh berbeda dibandingkan dengan level April 2021 yang sebesar 2,79%. Di pasar dana, suku
bunga deposito 1 bulan perbankan turun sebesar 80 bps sejak April 2021 menjadi 2,86% pada
April 2022. Di pasar kredit, suku bunga kredit baru lebih rendah 43 bps pada periode yang
sama, sejalan dengan penurunan SBDK dan perbaikan persepsi risiko perbankan di tengah
berlanjutnya pemulihan aktivitas ekonomi. Perbankan melanjutkan dukungan pembiayaan ke
sektor prioritas, dengan pemberian suku bunga kredit yang relatif lebih rendah dibandingkan
kredit sektor nonprioritas. Bank Indonesia memandang peran perbankan dalam penyaluran
kredit/pembiayaan termasuk melalui penurunan suku bunga kredit dapat ditingkatkan guna
semakin mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Ketahanan sistem keuangan tetap terjaga dan intermediasi perbankan melanjutkan


perbaikan secara bertahap. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio / CAR)
perbankan Maret 2022 tetap tinggi sebesar 24,79%, dan rasio kredit bermasalah (Non
Performing Loan / NPL) tetap terjaga, yakni 2,99% (bruto) dan 0,84% (neto). Intermediasi
perbankan pada April 2022 melanjutkan perbaikan dibandingkan bulan sebelumnya dengan
kredit tumbuh sebesar 9,10% (yoy). Pertumbuhan kredit terjadi di seluruh kelompok bank,
serta sebagian besar segmen kredit, dan sektor ekonomi, seiring berlanjutnya pemulihan
aktivitas korporasi dan rumah tangga. Dari sisi penawaran, standar penyaluran kredit terus
melonggar terutama di sektor Perdagangan, Industri, dan Pertanian, seiring menurunnya
persepsi risiko kredit. Dari sisi permintaan, pemulihan kinerja korporasi terus berlanjut,
tercermin dari perbaikan penjualan, kemampuan membayar, dan belanja modal. Pertumbuhan
kredit UMKM juga meningkat sebesar 16,75% (yoy) pada April 2022. Dalam rangka
mempercepat pemulihan UMKM pascapandemi Bank Indonesia bersinergi dengan
Pemerintah menyelenggarakan Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2022 pada 26-29 Mei 2022.

Bank Indonesia terus memperkuat digitalisasi sistem pembayaran untuk mendorong


inklusi ekonomi dalam rangka pemulihan ekonomi. Transaksi ekonomi dan keuangan
digital berkembang pesat seiring meningkatnya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam
berbelanja daring, perluasan dan kemudahan sistem pembayaran digital, serta
akselerasi digital banking. Nilai transaksi uang elektronik (UE) pada April 2022 tumbuh
50,3% (yoy) mencapai Rp34,3 triliun dan nilai transaksi digital banking meningkat 71,4%
(yoy) menjadi Rp5.338,4 triliun. Sementara itu, nilai transaksi pembayaran menggunakan
kartu ATM, kartu debet, dan kartu kredit juga mengalami pertumbuhan 12,5% (yoy) menjadi
Rp764,5 triliun. Untuk mendukung Program Championship Tim Percepatan dan Perluasan
Digitalisasi Daerah (TP2DD), Bank Indonesia senantiasa bersinergi dan memperkuat
koordinasi dengan Pemda melalui Satgas P2DD dan TP2DD. Jumlah Uang Kartal Yang
Diedarkan (UYD) pada April 2022 meningkat 23,2% (yoy) mencapai Rp1.039,1 triliun. Bank
Indonesia terus memastikan ketersediaan uang Rupiah dengan kualitas yang terjaga di
seluruh wilayah NKRI, antara lain dengan melanjutkan kerja sama kelembagaan dalam
pengedaran uang Rupiah ke daerah 3T (Terluar, Terdepan, Terpencil), dan memastikan
kelancaran proses arus balik uang kartal (inflow) pasca periode Idulfitri 1443H.

Bank Indonesia melanjutkan akselerasi implementasi BI-FAST melalui penambahan


peserta, mendorong perluasan kanal pembayaran khususnya mobile banking, serta
memberikan alternatif penyediaan infrastruktur sesuai dengan kapasitas peserta. Sejak
tanggal 23 Mei 2022, jumlah peserta BI-FAST telah bertambah 7 (tujuh) bank dan pada
minggu ketiga Juni 2022 akan bertambah 1 (satu) bank, yang seluruhnya masuk sebagai
peserta gelombang ketiga (Lampiran 4). Dengan bertambahnya peserta BI-FAST gelombang
ketiga, total peserta BI-FAST mencapai 52 dan telah mewakili 82% dari pangsa sistem
pembayaran ritel nasional. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi
kebijakan dan implementasi BI-FAST dengan pelaku industri, untuk mengakselerasi
pemulihan ekonomi dan mendorong pertumbuhan, serta inklusi ekonomi dan keuangan.

Anda mungkin juga menyukai