Anda di halaman 1dari 9

Nama : Asmaraman Kastara Bayanaka

Kelas : XI MIPA 1

A. Latar Belakang

Dalam sejarah perekonomian, Indonesia telah mengalami inflasi yang

sangat tinggi, terutama pada tahun 1960-1990’an (tingkat inflasi semuanya di

atas 100%). Inflasi yang paling tinggi terjadi di tahun 1966 yaitu sebesar

136% disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang dibiayai

dalam bentuk pencetakan uang. Namun, inflasi pada tahun 1998-1999

merupakan salah satu inflasi yang tinggi di Indonesia yaitu sebesar 58% dan

20% disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Pada tahun

1998 adalah laju perekonomian terburuk di Indonesia yang saat itu di bawah

pemerintahan Soeharto dengan inflasi sebesar 77,63% yang termasuk inflasi

tinggi 30%-100% (Manggi dan Saraswati, 2013).

Inflasi ibarat dilema yang mengintai perekonomian setiap negara, dimana

pergerakannya sulit untuk diterka dan dapat berdampak luas. Inflasi tidak

akan menjadi masalah yang terlalu berarti jika pemerintah dapat melakukan

strategi untuk menjaga tingkat inflasi. Inflasi bagaikan pedang bermata dua

dimana satu sisi bisa memberikan keuntungan dilain sisi dapat merugikan.

Inflasi harus dijaga kelenturannya, inflasi yang terlalu tinggi bisa berpengaruh

buruk terhadap pertumbuhan ekonomi namun sebaliknya jika terlalu rendah

bisa menyebabkan kelesuan ekonomi. Tingkat inflasi di Indonesia sangat

sensitif dan mudah sekali naik, dengan beragam faktor yang


2

mempengaruhinya mengakibatkan semakin sulitnya pengendalian inflasi,

sehingga dalam pengendaliannya pemerintah harus mengetahui faktor-faktor

pembentuk inflasi.

Salah satu permasalahan yang sering terjadi pada negara yang sedang

berkembang seperti Indonesia adalah memelihara kestabilan dan

pertumbuhan ekonominya. Kestabilan ekonomi tersebut menyangkut

kestabilan tingkat harga, tingkat pendapatan nasional, dan pertumbuhan

kesempatan kerja. Adapun serangkaian kebijakan dapat dilakukan oleh

pemerintah dalam usaha stabilitasi ekonomi. Misalnya kebijakan moneter dan

kebijakan fiskal, yang bertujuan untuk mencapai kestabilan tingkat harga atau

laju inflasi. Kestabilan harga dalam satu perekonomian sangat dipengaruhi

oleh variable-variable makro dalam perekonomian tersebut. Dan oleh karena

itu biasanya laju inflasi sering digunakan sebagai indikator kestabilan

ekonomi (Watulingas, dkk 2016).

Kebijakan moneter yang harus dilakukan di negara berkembang pada

umumnya lebih berat dan sulit jika dibandingkan dengan negara-negara maju.

Faktor pertama yang menjadi penyebabnya bahwa tugas untuk menciptakan

penawaran uang yang cukup sehingga pertambahannya dapat selalu selaras

dengan jalannya pembangunan yang memerlukan disiplin yang kuat di

kalangan otoritas moneter dan pemerintah.

Kekurangan modal dan terbatasnya pendapatan pemerintah seringkali

menimbulkan dorongan yang kuat kepada pemerintah untuk meminjam

secara berlebihan kepada Bank Sentral. Kalau ini dilakukan, maka laju

pertambahan jumlah uang beredar akan menjadi lebih cepat, akibatnya terjadi
3

inflasi.

Jika suatu negara ingin mempertahankan laju inflasi yang rendah,

tentunya pemerintah tersebut harus menekan kenaikan harga. Usaha untuk

menekan harga ini dapat dilakukan dengan menekan laju kenaikan jumlah

uang beredar misalnya dengan pembatasan pemberian kredit atau dengan

menaikkan suku bunga pinjaman (tight money policy). Tetapi dampak yang

ditimbulkan adalah akan terjadi kelesuan investasi, dan meningkatnya

pengangguran yang pada akhirnya akan menurunkan Pendapatan Nasional.

Dengan fluktuasi tingkat suku bunga yang terjadi akan mempunyai implikasi

yang penting terhadap sektor riil maupun sektor moneter dalam

perekonomian.

Tingkat bunga yang tinggi akan menjadi masalah yang menyulitkan bagi

investasi di sektor riil. Tapi tingkat bunga yang tinggi akan merangsang lebih

banyak tabungan masyarakat. Untuk itulah tingkat fluktuasi bunga harus

senantiasa terkontrol agar tetap mendorong kegiatan investasi dan produksi

serta tidak mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung dan tidak

mengakibatkan pelarian modal ke luar negeri (Mahendra, 2016).


4

Gambar 1.1 Perkembangan Inflasi di Indonesia Tahun 2000-2017

Sumber :www.bi.go.id
Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter tahun 1997 mulai

membaik, hal ini dapat dilihat dari tingkat inflasi tertinggi di Indonesia yang

terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 77,63% turun menjadi 2,01 % pada

tahun 1999.

Laju inflasi pada tahun 2001-2002 kembali naik dikisaran dua digit yaitu

sebesar 12,55% dan 10,03% hal ini disebabkan adanya kebijakan pemerintah

yaitu adanya peningkatan harga bahan pangan atau bahan pokok yang

ditetapkan pemerintah (admin-intered price) seperti kenaikan harga BBM,

tarif listrik dan telepon, tarif Angkutan. Pada tahun 2005 inflasi kembali naik

di level 17,11% karena dipicu kenaikan harga minyak mentah dunia sehingga

pemerintah menaikkan harga BBM. Kemudian pemerintah menerapkan

kebijakan moneter yang lebih dikenal dengan istilah Inflation Targeting

Framework (ITF) untuk menjaga stabilitas inflasi, dengan kebijakan tersebut

maka harga BBM mengalami peningkatan dan mengakibatkan daya beli atau

permintaan masyarakat menurun diikuti menurunnya tingkat inflasi tahun

2006 dan 2007 yaitu sebesar 6,6% dan 6.69%. Pada tahun 2008 inflasi

kembali naik sebesar 11,06% dikarenakan meningkatnya harga minyak dunia

dan memaksa pemerintah meningkatkan harga BBM, kemudian BI


5

menaikkan suku bunga acuan. Pasca penerapan Inflation Targeting

Framework (ITF) pada tahun 2013 inflasi kembali naik sebesar 8,38% nilai

tukar riil mengalami fluktuasi hal ini dikarenakan sistem nilai tukar yang

dipakai adalah nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate). Kemudian tahun

2015 sampai dengan 2017 inflasi mulai membaik dengan mengalami

penurunan dikisaran 3%.

Pendapat teoritis tentang penyebab inflasi yang dibahas di Indonesia,

terlihat bahwa variabel makro memiliki pengaruh besar terhadap tingkat

inflasi. Jumlah uang beredar juga memiliki peran cukup penting dalam

analisis inflasi. Ketika perekonomian yang sedang menghadapi kekacauan,

pemerintah terpaksa menambah pengeluaran yang jauh lebih besar dari pajak

yang dipungutnya (Sukirno, 2010). Salah satu caranya adalah dengan

meminjam dari bank sentral atau mewajibkan bank sentral mencetak lebih

banyak uang (seigniorage). Ketika mencetak uang untuk mendanai

pengeluaran, pemerintah meningkatkan jumlah uang beredar dan

menyebabkan inflasi. Bank Indonesia (BI) sebagai penentu kebijakan moneter

langsung merespon laju inflasi yang sangat tinggi dengan menaikkan suku

bunga.

Faktor inflasi di Indonesia juga disebabkan oleh faktor luar negeri

mengingat bahwa Indonesia adalah suatu negara dengan perekonomian

terbuka. Gejolak perekonomian yang terjadi di luar negeri akan berpengaruh

terhadap perekonomian di dalam negeri. untuk menjaga perekonomian yang

membaik maka tingkat inflasi yang tinggi harus dihindari.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat dilihat bahwa inflasi merupakan

permasalahan ekonomi yang selalu menjadi tantangan besar bagi Indonesia.


6

Dalam prespektif ekonomi, inflasi cenderung mengakibatkan terjadinya

gejolak ekonomi. Karena permasalahan inflasi bukan permasalahan yang

ringan dan menyangkut banyak aspek. Kebijakan moneter dan fiskal

mempunyai peran penting dalam pengendalian inflasi. Untuk itu perlu di

analisis variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi inflasi dan seberapa

besar variabel tersebut berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka didapatkan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh antara BI Rate, Kurs, Jumlah Uang Beredar,

Pengeluaran Pemerintah, Penerimaan Pajak terhadap Inflasi di Indonesia?

2. Berapa besar pengaruh BI Rate, Kurs, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran

Pemerintah, Penerimaan Pajak terhadap Inflasi di Indonesia dalam periode

1999-2018?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh BI Rate, Kurs, Jumlah Uang Beredar,

Pengeluaran Pemerintah, Penerimaan Pajak terhadap Inflasi di

Indonesia.

2. Menganalisis seberapa besar pengaruh BI Rate, Kurs, Jumlah Uang

Beredar, Pengeluaran Pemerintah, Penerimaan Pajak terhadap Inflasi di

Indonesia dalam periode 1999-2018.


7

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian tersebut, peneliatian

yang dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi Penulis, untuk meningkatkan wawasan, kemampuan analisa dan

pengetahuan khususnya tentang Inflasi dan faktor penyebab inflasi di

Indonesia serta mengimplementasikan ilmu yang sudah di dapat

dibangku perkuliahan.

b. Bagi Pembaca, sebagai rujukan atau bahan acuan dan perbandingan

bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian terkait

variabel yang sama.

2. Manfaat Praktisi

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi pemerintah

dalam mengambil kebijakan terkait denga masalah inflasi di Indonesia.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian Dan Sumber Data Penelitian


Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian eksplanatori

(Explanatory research). Penelitian eksplanatori bertujuan untuk menguji

suatu teori guna memperkuat atau bahkan menolak suatu teori atau

hipotesa hasil penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data

kuantitatif yaitu data yang diukur dalam suatu skala numerik (angka).
8

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber

laporan tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Kementrian

Keuangan. Data yang diteliti meliputi BI Rate, Nilai Tukar(IDR/USD),

Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah, Penerimaan Pajak.

2. Alat dan Model Analisis

Penelitian ini akan mengamati pengaruh BI Rate, Nilai Tukar

(KURS), Jumlah Uang Beredar (JUB), Pengeluaran Pemerintah (G),

Penerimaan Pajak (Tx) terhadap Inflasi (INF) di Indonesia menggunakan

alat analisis regresi linier berganda dengan model OLS (Ordinary Least

Square)

Adapun model ekonometrika yang digunakan merupakan modifikasi

dari Harjunata,dkk (2016) dan Judy,dkk (2016), formulasi model

estimator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

= +

+ + + +

di mana:
= Inflasi (%)

= BI Rate (%)

= Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD)

= Jumlah Uang Beredar ( )

= Pengeluaran Pemerintah

= Penerimaan Pajak

= Konstanta

, , , , = Koefisien regresi variabel independen


9

Log = Operasional Logaritma Natural

= Unsur kesalahan (error term)

= Tahun

Anda mungkin juga menyukai