Anda di halaman 1dari 8

Nama : Anggun Puspitasari

Stambuk : 1910323003

PERUBAHAN-PERUBAHAN MENDASAR PEREKONOMIAN


INDONESIA

Setelah mengalami krisis parah pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami
perubahan mendasar. Sektor perbankan yang sempat semaput akibat didera krisis tahun 1998
telah mengalami konsolidasi. Pembelajaran krisis 1998 melahirkan perbankan yang lebih
berhati-hati dan sistem pengawasan ekstra ketat. Ada yang harus dibayar untuk itu, yakni
ekspansi kredit perbankan terbata-bata sehingga porsinya terhadap Produk Domestik Bruto
relatif sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang masih terus berlanjut tidak sepenuhnya disebabkan
oleh rencana The Fed menaikkan suku bunga, melainkan juga oleh transaksi di pasar valuta
asing yang relatif sangat tipis, hanya sekitar dua miliar dollar AS sehari, padahal kebutuhan
valuta asing tiga BUMN (Pertamina, PLN, dan Garuda) saja seharinya sudah mencapai ratusan
juta dollar AS.
Beberapa faktor fundamental yang menopang rupiah sebetulnya justru menunjukkan
perbaikan. Kemerosotan harga minyak di pasar dunia menyebabkan impor minyak Indonesia
turun sangat tajam selama Januari-Februari 2015 dibandingkan periode yang sama tahun 2014,
yaitu masing-masing sebesar 44,39 persen untuk impor minyak mentah dan 44,86 persen untuk
impor bahan bakar minyak (BBM). Sedemikian besar pengaruh penurunan harga minyak ini
terlihat dari transaksi perdagangan minyak Februari 2015 yang mulai surplus kembali setelah
lebih dari 10 tahun (sejak 2003) selalu mengalami defisit. Perbaikan transaksi perdagangan
minyak membuat transaksi perdagangan total dalam dua bulan pertama tahun 2015 juga
mencatatkan suplus setelah selama 2012-2014 mengalami defisit.
Surplus perdagangan memberikan sumbangsih terhadap perbaikan defisit akun lancar
(current account). Demikian pula dengan jumlah cadangan devisa internasional yang
menyangka kekukuhan nilai tukar rupiah yang sekaligus jangkar sistem pembayaran
internasional Indonesia yang jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 2006 jumlah sudah
mencapai US$ 42,6 miliar, dan ini lebih tinggi dibanding dengan rekor cadangan devisa di
masa Orde Baru. Persentase utang pemerintah dalam dan luar negri terhadap GDP yang terus
berkurang, sehingga untuk pertama kalinya dalam empat dasawarsa masalah utang (khususnya
utang luar negeri) tidak lagi terlalu menghantui perekonomian Indonesia. Inflasi juga relatif
terkendali (meskipun dilapangan kebutuhan umum terus meroket akibat tingginya energi dan
berbagai komoditas premier, termasuk bahan pangan). Dengan demikian, klaim pemerintah
bahwa selama ini perekonomian Indonesia khususnya selama 3-4 tahun telah mengalami
kemajuan juga sahih, karena memang sesuai data pertumbuhan ekonomi yang senantiasa
memperlihatkan kenaikan positif.
Masalahnya ternyata tidak semua indikator ekonomi menunjukan hal yang
menggembirakan dan sebagian malah harus diwaspadai, jika dikaji lebih cermat lagi maka akan
terlihat penurunan tingkat investasi, berikutnya adalah tidak kunjung teratasinya masalah
pengangguran yang angkanya terus menerus tinggi, disertai oleh meningkatnya jumlah
penduduk miskin yang lebih tinggi dari masa sebelum krisis. Hal-hal seperti ini seharusnya
tidak terjadi jika memang pertumbuhan ekonomi terus berlangsung. Dari analisis terhadap
data-data pendukung, maka segera terkuak bahwa ternyata masalah pengangguran dan
kemiskinan terus mencekam sekalipun ekonomi terus tumbuh, sehingga kualitas pertumbuhan
ekonomi itu sendiripun perlu ditelaah. Secara teoritis, pertumbuhan ekonomi yang timpang
sama buruk dan berbahayanya dengan kelesuan ekonomi berjangka panjang.
Inilah empat masalah baru yang mencuat di Indonesia pasca krisis yang satu sama lain
berkaitan dengan secara aktual maupun potensial telah dan akan membebani perekonomian
Indonesia sehingga harus segera dipahami maknanya, dan dicarikan solusinya:
1. Penurunan tingkat investasi riil/langsung;
Tingkat pertumbuhan investasi tahunan Indonesia telah mengalami penurunan
yang luar biasa tajam di tahun 2006, yakni hanya 2,9% sementara ditahun 2005 masih
mencapai 10,87%, sementara pada periode sebelum krisis (1993-1996) bahkan sampai
12,2% per tahun. Namun kita masih memerlukan data tambahan untuk menelaah sejauh
mana penurunan investasi riil itu. Dari data yang sudah ada menunjukan bahwa ternyata
tingkat pertumbuhan investasi riil Indonesia memang cenderung terus menurun, baik
dalam besaran pertumbuhannya sendiri maupun sebagai persentase sebagai GDP, dan
pertumbuhan investasi riil yang ada (periode 2003-2004) masih terlalu kecil untuk
dapat mengompensasi penurunan pada periode-periode sebelumnya. Penurunan
investasi riil sangat serius karena jika investasi turun, maka kegiatan- kegiatan produksi
secara nasional pun akan ikut turun. Jika kegiatan produksi turun maka dengan
sendirinya output pun akan menurun, dan jika output nasional terus menerus turun maka
pada gilirannya laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan juga akan menurun, baik
dalam angka persentase pertumbuhannya sendiri dan ini yang lebih penting, dalam
kualitasnya. Pasalnya, hal kedua yang fatal itu (yakni penurunan kualitas laju
pertumbuhan ekonomi) sesungguhnya sudah terjadi di Indonesia, dan lebih celaka lagi
tidak banyak diantara kita yang mengetahui keberadannya atau menyadari resiko-
resikonya yang berjangkauan luas, sehingga hal yang membahayakan kekukuhan
perekonomian nasional itu selama ini dibiarkan saja tanpaada upaya koreksi.
Dapat diketahui bahwa tinggnya pengangguran d Indonesia disebabkan oleh
terbatasnya investasi produktif, yang jumlah maupun presentasenya terhadap GDP
terus susut. Kita juga sudah mengetahui bahwa hal ini ternyata bukan disebabkan oleh
kelangkaan dana semata, melainkan karena alokasi dana itu yang tidak sebagaimana
seharusnya. Terlalu banyak dana yang dibiarkan “menganggur” dan diparkir di
investasi portofolio yang meskipun mendatangkan pendapatan (bunga) bagi
pemiliknya, namun tidak menyumbangkan apa-apa bagi peningkatan produksi dan
penciptaan lapangan kerja. Hal lain yang turut memperburuk situasi adalah kian
dipentingkannya investasi portofolio itu sendiri, karena oleh pemerintah sendiri, dana-
dana yang berputar dalam investasi finansial tersebut kian untuk menutup defisit neraca
anggaran pemerintah.
2. Perubahan saldo dan komposisi neraca transaksi berjalan;
Selanjutnya, saldo neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia
sebelum dan sesudah krisis terdapat fakta yang mencolok, pertama adalah sebelum
krisis semua negara yang mengalaminya mencatat defisit neraca transaksi berjalan
(current account). Sebaliknya, setelah krisis semua negara mencatat surplus. Ini
dikarenakan pada periode pasca krisis, begitu memungkinkan, setiap negara kini
berusaha keras mencetak surplus neraca transaksi berjalan. Berkat langkah ini, maka
jumlah cadangan internasional semua negara, termasuk Indonesia, juga mengalami
kenaikan. Tiap negara kini juga memperbesar cadangan inernasional, karena seusai
krisis, gunanya bukan hanya untuk menjamin nilai tukar mata uang nasional. Inilah
perubahan atau transformasi kedua dalam perekonomian Indonesia pasca krisis, yang
juga mengandung konsekuensi dan menimbukan dampak yang sangat luas.
Perubahan itu ternyata diikuti oleh perubahan pada perhitungan dan metode
penanggulangan defisit pada tiga neraca utama yang menjadi penjabaran dari neraca
pembayaran, yakni neraca anggaran, neraca transaksi berjalan dan neraca modal, guna
menyesuaikan dengan pola baru pemanfaatan saldo neraca transaksi berjalan. Sebelum
krisis, adagium yang berlaku adalah tinjauan dari sisi pengeluaran, output nasional
sama dengan konsumsi ditambah investasi, ditambah belanja pemerintah dan selisih
antara ekspor dan impor. Sedangkan dari sisi penerimaan, output nasional sama dengan
konsumsi plus tabungan nasional plus pajak. Jika kedua persamaan dipadukan maka:
Y = C + I + G + (X-M)

Y=C+S+T
(I-S) + (G-T) = (M-X)

Persamaan terakhir itulah yang menunjukan adanya tiga sumber defisit yang
harus senantiasa diwaspadai yakni: (I–S) = selisih tabungan dan investasi (defisit neraca
modal) (G–T ) = defisit anggaran pemerintah ( M – X )= defisit perdagangan
internasional. Jika salah satu bahkan ketiga defisit itu terjadi, maka defisit harus segera
ditutup dengan berbagai cara (utang, pemotongan anggaran belanja secara besar-
besaran, penerbitan obligasi, penjualan asset negara, dan sebagainya) agar tidak
melumpuhkan kehidupan ekonomi. Sebelum krisis, ada dua cara yang lazim dilakukan
oleh pemerintah untuk menutup defisit tersebut, yakni pertama menarik pinjaman luar
negri, baik dari pemerintah, lembaga internasional atau swasta. Cara kedua adalah
menggalakkan investasi, baik investasi langsung, maupun investasi tidak langsung atau
investasi portofolio/finansial, sehingga arus masuk dana atau modal internasional bisa
mengalir dan menutup sebagai defisit. Setelah krisis persamaan yang sering digunakan
adalah yang lebih memperhitungkan sisi pendapatan yang rumusnya sebagai berikut:
Y = C + I + G + (X-M)
Y=C+S+T
I+G+X–M=S+T
(G–T)=(I–S)+(M–X)

Artinya, defisit pada salah satu neraca akan diusahakan sepenuhnya akan
ditutup dengan menggunakan surplus dari neraca yang lain. Dari ketiga neraca, yang
diandalkan untuk menutup defisit adalah neraca transaksi berjalan yang dengan
sendirinya lantas diprioritaskan untuk mencetak surplus. Neraca transaksi berjalan
mencatat surplus tentunya merupakan suatu hal positif. Memang demikian asalkan
sumbernya adalah selisih output atau surplus yang bertolak dari investasi tetap. Tetapi
dalam kenyataannya, sumber surplus neraca transaksi berjalan adalah arus masuk
investasi portofolio dari mancanegara yang kebanyakan berjangka pendek. Akan sangat
berbahaya jika surplus neraca transaksi berjalan yang digunakan untuk menutup defisit
APBN bersumber dari dana investasi portofolio pihak asing yang biasanya mudah
menguap atau terbang ke tempat lain tanpa memerlukan alasan kuat. Desas- desus saja
sudah cukup untuk “menerbangkan” dana semacam itu, dan karena itu pula dana seperti
ini lazim disebut hot money, karena meang mudah “menguap”. Jika suatu ketika APBN
mengalami defisit besar, lalu dana-dana asing yang parker mendadak saja terbang ke
tempat lain, maka negara akan mengalami kesulitan likuiditas dan kredibilitas yang
membahayakan.
Neraca transaksi berjalan di Indonesia terus menunjukkan surplus yang kian
besar selama periode 2006-2008. Komponen error omission yang mengakomodasi
transaksi keuangan yang bisa masuk ke neraca modal maupun neraca transaksi berjalan
membesar. Di satu sisi hal ini bisa diartikan keseluruhan proses pencatatan yang belum
baik atas setiap transaksi neraca pembayaran dimana neraca modal dan neraca transaksi
berjalan merupakan bagiannya namun di sisi lain hal ini juga mengisyaratkan bahwa
Apakah suatu transaksi bisa masuk neraca modal atau neraca transaksi berjalan tidak
terlalu dipersoalkan lagi bahkan ada indikasi kesengajaan untuk mengategorikan
berbagai transaksi sebagai entries neraca transaksi berjalan, selanjutnya porsi PMA atau
investasi langsung terus turun dan komponen yang nilainya terus meningkat adalah
investasi portofolio. Nilai investasi ini terus menunjukkan peningkatan sekalipun
investasi langsung berkurang sejumlah besar dana masuk ke bursa saham. Transaksi di
bursa saham Indonesia memang cenderung terus meningkat dan termasuk yang paling
dinamis dikawasan Asia. Perkembangan penjualan berbagai macam surat berharga di
Indonesia dalam tiga kategori utama yang terus meningkat pesat dari tahun ke tahun.
Pada bulan April 2006 nilai totalnya sudah lebih dari US$ 10 miliar. Arus masuk modal
jangka pendek inilah yang menjadi sumber surplus transaksi berjalan dan dari itu pula
diperoleh sebagian besar dana cadangan internasional Indonesia yang jumlahnya juga
terus melonjak. Pada Agustus 2007 telah tercipta rekor baru di cadangan cadangan
devisa Indonesia susut hampir US$ 9 miliar selama semester kedua 2008.
3. Penurunan daya saing nasional;
Dalam survei rutin yang diadakan oleh International Institute for Management
Development, dari tahun ke tahun Indonesia secara terus-menerus berada di urutan
bawah, dan lebih memprihatinkan lagi, kian lama kedudukannya terus semakin
merosot. Pada tahun 2007 Indonesia sudah menyentuh titik dasar dengan menempati
urutan ke 54 dari 55 negara yang disurvei. Hanya surut lagi Indonesia sudah akan
menduduki peringkat Negara yang perekonomiannya paling tidak berdaya saing.
sekarang pun Indonesia sudah menempati urutan terbawah di lingkungan Asia Pasifik
maupun Asia Tenggara. Di lingkungan ASEAN, Filipina adalah negara yang
peringkatnya paling "dekat", namun masih menyisakan 9 peringkat lebih tinggi. dalam
posisi seperti ini Bagaimana mungkin sebagian pejabat dan politisi kita masih bisa
mengatakan kalau Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik?
Penilaian para pengusaha Jepang (investor utama indonesia) tentang urutan
prospek investasi di sejumlah negara dalam waktu 3 tahun ke depan. Hasil survei yang
dimuat dalam tabel ini dilakukan sejak tahun 1997 hingga 2006. Tampak jelas pula di
sini bahwa urutan Indonesia terus menerus turun, dan juga Tinggal selangkah lagi untuk
menempati urutan terbawah. Kemerosotan komparatif antar waktu yang dialami
Indonesia adalah yang terburuk. Pada tahun 1997, tepat ketika krisis dimulai Indonesia
masih menempati peringkat ketiga di mata para pengusaha Jepang, hanya di bawah
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dunia seperti AS dan RRC. Pada masa ini Indonesia
masih lebih tinggi daya tarik perekonomiannya dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN. Namun pada periode pasca krisis, kedudukan Indonesia terus melorot, dan
sejak tahun 2003 Indonesia sudah Tertinggal dari Vietnam, dan mulai tahun 2005
Indonesia sudah ditinggalkan oleh semua negara ASEAN. Sejumlah negara juga
mengalami penurunan daya saing, namun tidak drastis dan berlangsung terus-menerus
seperti yang dialami Indonesia. itu pendapat para pengusaha Jepang yang selama ini
sudah banyak berinvestasi di Indonesia. Lantas Bagaimana Para investor dari negara-
negara atau kawasan yang selama ini belum pernah atau belum banyak berinvestasi di
negara kita?
Penilaian berbagai lembaga internasional tentang kualitas perekonomian
Indonesia sebagai tujuan investasi internasional ternyata juga tidak menggembirakan.
Berdasarkan kualifikasi yang ditetapkan oleh badan PBB urusan perdagangan dan
pembangunan atau UNCTAD, Indonesia sebagai tujuan investasi lagi-lagi masuk
dalam kelompok terbawah, yakni kelompok negara yang kinerja nya maupun potensi
investasinya sama-sama rendah.
Peringkat daya saing ekonomi Indonesia pada masa sebelum krisis masih lebih
baik dibandingkan pada periode pasca krisis. Akibatnya kita harus menerima kenyataan
Indonesia yang tidak menarik sebagai tujuan investasi domestik maupun internasional.
Bukan hanya investasi baru yang menghindar, namun juga investasi lama atau yang
sudah ada. Sudah banyak perusahaan internasional seperti Sonic Corporation, Adidas
dan GE, yang melakukan relokasi industri. Mereka memindahkan pabrik dan fasilitas
produksi lainnya ke negara lain. Pada akhirnya Indonesia hanya dijadikan pasar oleh
berbagai perusahaan dari mancanegara. Investasi sebatas dilakukan untuk menyiapkan
jaringan pemasaran, dan tidak banyak bermanfaat menambah produksi maupun
menciptakan lapangan kerja secara signifikan. Masalah pelik berikutnya terletak pada
perubahan mendasar keempat yang telah melanda perekonomian Indonesia, yakni Kian
timpangnya pertumbuhan ekonomi Indonesia itu sendiri sehingga cenderung
menciptakan suatu perekonomian yang tidak memihak, Bahkan sebaliknya justru turut
menindas, kepentingan mayoritas penduduk yang masih miskin, yang pendidikan serta
keterampilannya relatif rendah. Transformasi keempat ini jika tidak diwaspadai akan
menjadi sumber terbesar kerawanan politik dan sosial. Semua pemimpin atau mereka
yang mengaku dirinya pemimpin dari yang di lapangan hingga ke pucuk pimpinan
negara, memahami masalah ini dan dalam kapasitas masing-masing segera
mengusahakan berbagai langkah untuk mengatasinya. Harus diusahakan agar
pertumbuhan ekonomi dapat kembali berjalan seimbang antara sektor barang dan sektor
jasa.
4. Penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan tidak seimbang disini adalah
pertumbuhan ekonomi Indonesia terlalu bertumpu pada perkembangan sektor jasa-jasa
yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa, sedangkan sektor
barang yang erat kaitan nya dengan produksi dan Perdagangan dalam pengertian
konvensional mengalami pertumbuhan yang sangat terbatas bahkan cenderung
melemah. Kedua sektor ini pada periode sebelum krisis masih relatif dekat dan
berkembang beriringan. Ketika krisis berlangsung yang paling Terpukul dan terpuruk
adalah sektor-sektor non tradable, sementara sektor tradable meskipun juga terpuruk
namun relatif lebih mampu bertahan. Selanjutnya pada periode pasca krisis khususnya
sejak tahun 2003 tampak betapa sektor non tradable melaju kencang. Faktor ini menjadi
motor utama pertumbuhan ekonomi dan kian lama Kian meninggalkan sektor tradable.
Kesenjangan pertumbuhan antara kedua sektor Inilah yang dikatakan sebagai
pertumbuhan ekonomi yang timpang dan tidak seimbang.
Sektor tradable tumbuh sangat lemah selama periode 2005 sampai 2007 dan
malahan turun selama Kuartal pertama dan kedua tahun 2008. Sektor pertanian, sektor
yang paling banyak menyerap Tenaga Kerja dan paling diandalkan sebagai sumber
nafkah sebagian besar rakyat miskin khususnya di pedesaan selama periode 2005
sampai 2007 hanya mencatat pertumbuhan 0,5% pertahun. Pada Kuartal pertama 2008
tercatat lonjakan pertumbuhan sektor pertanian menjadi 6%, namun pada Kuartal kedua
melorot lagi menjadi 4,6%. Selanjutnya sektor kedua yang terbanyak menyerap tenaga
kerja yakni manufaktur selama periode 2005-2006 relatif stagnan hanya tumbuh 0,1%
pertahun memasuki tahun 2008 sektor ini malah mengalami perlambatan pertumbuhan.
Pertumbuhan yang terlalu bertumpu pada sektor non tradable itu buruk
khususnya bagi Indonesia karena pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor
jasa adalah kas negara maju yang sudah memiliki sarana dan prasarana ekonomi relatif
baik dan lengkap, berbagai sektor ekonomi sudah berkembang cukup mapan bahkan
sudah mencapai status kematangan, tingkat kesejahteraan rata-rata penduduknya juga
sudah cukup tinggi serta tingkat pendidikan maupun akses rata-rata penduduk terhadap
sumber-sumber daya ekonomi relatif merata. Artinya, setiap orang yang mau bekerja
keras akan Mudah memperoleh dana kredit dan kalau ia Sigap Memanfaatkan peluang
bisnis yang ada maka ia bisa kaya terlepas dari apakah ia anak pejabat atau pengusaha
kaya atau tidak. Setiap orang bisa mengakses Informasi Bisnis karena pendidikan dan
wawasan rata-rata penduduk setara. Dalam kondisi seperti ini kalau perekonomiannya
tumbuh dari sektor non tradable maka itu adalah sesuatu yang wajar.
Sebaliknya kalau hal itu terjadi di sebuah negara berkembang yang tingkat
kesejahteraan dan pendidikan rata-rata penduduknya masih rendah serta akses ke
informasi dan sumber daya ekonomi sangat timpang maka pertumbuhan ekonomi yang
terlalu bertumpu pada sektor non tradable sangat beresiko karena secara umum sektor
non tradable itu pada umumnya padat modal dan padat teknologi. Terhimpun hanya
pada pusat-pusat kemajuan atau ekonomi yang biasanya berupa kota-kota besar serta
sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Hanya segelintir orang tertentu yang dapat
berperan di sektor ini yakni mereka yang punya akses besar pada sumber daya manusia
dan modal. Sedangkan Mayoritas penduduk selebihnya hanya akan menjadi konsumen
semata atau sekedar penonton. Contohnya adalah sub sektor jasa keuangan bursa saham
alias pasar modal. Sedikit saja jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini yakni para
analis keuangan, pialang saham dan para Account Eksekutif.

Anda mungkin juga menyukai