Anda di halaman 1dari 14

KAPITALISME BIANG RESESI EKONOMI

Oleh : Atika Fathulrahmi, S.E

Sebelum pandemi Covid-19 menyerang, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)

pada tanggal 25 September tahun 2019 lalu, mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa ekonomi dunia

akan menuju gerbang kehancuran dengan resesi global pada tahun 2020. Sejalan dengan para menteri

keuangan dunia dan gubernur bank sentral yang berkumpul pun mengatakan bahwa ekonomi global sangat

membutuhkan perawatan. Bahkan International Monetary Fund (IMF) juga telah menurunkan perkiraan

pertumbuhan ekonomi globalnya dengan prediksi 3,4% untuk tahun 2020 dimana sebelumnya 3,6%. Prediksi

mereka didasari dengan menyalanya lampu peringatan yang ditandai dengan adanya tensi perang dagang

Amerika dan China yang semakin memanas, pergerakan mata uang dunia, utang korporasi, No Deal Brexit,

dan Inverted yield atau kurva terbalik.

Kini mimpi buruk itu pun terjadi, bahkan tak terduga per September 2020 lebih dari 14 negara mengalami

resesi dengan Produk Domestik Brutonya (PDB) turun drastis hingga minus. Resesi secara umum terjadi

ketika suatu negara mengalami penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh sektor

ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, umumnya lebih dari tiga bulan. (Biro Riset Ekonomi

Nasional, Amerika Serikat (NBER)). Adapun indikator-indikator yang menjadi tolok ukur suatu negara

mengalami resesi ekonomi yaitu;

Pertama, dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme pertumbuhan ekonomi secara rill diukur melalui GDP/PDB

(Produk Domestik Bruto) dengan rumus perputaran konsumsi+nilai investasi +belanja pemerintah + ( ekspor-

impor). Artinya, apabila nilai dari PDB suatu negara positif (naik) maka kondisi ekonomi negara tersebut

dikatakan baik, berlaku sebaliknya dan jika nilai PDB tersebut menurun selama dua kuartal atau enam bulan

berturut-turut, maka dipastikan resesi sudah terjadi. Kedua, ketika ongkos produksi dan harga komoditas

menjadi mahal (Inflasi) sehingga masyarakat tidak mampu untuk membelinya dan penurunan harga barang

atau jasa secara drastis (deflasi), sehingga mampu memengaruhi tingkat pendapatan dan laba para pengusaha

karena harga jual yang menurun lalu berimbas kepada upah pekerja yang murah atau bahkan sampai kepada

PHK masal.
Ketiga, tidak adanya keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Jumlah produksi tinggi, namun tidak

diikuti oleh konsumsi yang tinggi, maka akan ada penumpukan stok barang produksi, dan sebaliknya jika

konsumsi lebih banyak daripada persediaan barang (produksi), maka kebutuhan masyarkat tidak terpenuhi.

Keempat, jika nilai transaksi pembelian barang dari luar negeri ke dalam negeri (impor) lebih tinggi dari pada

nilai transaksi penjualan barang ke luar negeri (ekspor), memang ketika konsumsi pada suatu negara lebih

tinggi daripada persediaan barang, salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan konsumen adalah dengan cara

impor barang, namun jika aktivitas impor yang melebihi aktivitas ekspor, maka akan berpengaruh kepada

neraca perdagangan menjadi defisit(negatif).

Kelima, Tingkat pengangguran tinggi. Apabila negara tidak mampu menciptakan atau menyediakan lapangan

kerja bagi pekerja lokal, maka tingkat pengangguran akan semakin tinggi. Negara yang tingkat

penganggurannya tinggi, bisa diindikasikan akan mengalami resesi dalam waktu dekat. Karena, tenaga kerja

merupakan salah satu faktor utama dalam proses produksi dan produksi merupakan salah satu penggerak roda

perekonomian. Keenam, ketika dunia usaha atau negara mengambil utang terlalu banyak, mereka bisa

terjebak ke gagal bayar utang. Terjadinya gagal bayar ini lah yang akan membuat kebangkrutan dan

membalikkan perekonomian.

DAMPAK RESESI

Perekonomian yang lesu karena resesi akan memberikan efek domino terhadap kegiatan ekonomi lainnya,

misalnya ketika daya beli melemah, investasi turun, atau harga bahan baku produksi menjadi mahal akibat

resesi, maka dunia usaha akan mengalami penurunan laba atau tidak mendapat laba (BEP), bahkan bangkrut.

Secara otomatis perusahaan akan mengurangi jumlah karyawan atau sejumlah lapangan pekerjaan akan hilang

yang membuat angka PHK naik signifikan dan tingkat pengangguran sangat tinggi.

Produksi atas barang dan jasa juga ikut merosot sehingga nantinya akan menimbulkan inflasi atau deflasi dan

dapat menurunkan PDB nasional. Lalu, kerugian dibanyak sektor akan membuat suatu negara untuk

menyuntikkan sejumlah dana agar perekonomian seperti sediakala, salah satunya dengan mengambil utang,

baik itu utang dalam negeri maupun luar negeri , sehingga membuat utang suatu negara menjadi menumpuk,

dan rakyat yang harus membayarnya melalui mekanisme pajak.


FAKTA EKONOMI INDONESIA

Dengan perubahan teknologi menjadi Revolusi 4.0 atau 5.0 dan khususnya adanya pandemi global yang

menyerang, menjadi pemicu indikator-indikator resesi tersebut terjadi dan sudah dapat dipastikan khususnya

Indonesia telah mengalami resesi. Pada bulan Agustus 2020 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat

kegiatan ekspor pada bulan tersebut anjlok 8,36 persen. Harga komoditas pun semakin melonjak tinggi. Bank

Indonesia (BI) melaporkan hasil survei Indeks Harga Konsumen (IHK) pekan keempat Oktober 2020 bahwa

adanya kenaikan harga di komoditas pangan (month to month) seperti bawang merah, minyak goreng dan

daging ayam ras yang menyebabkan adanya potensi kenaikan inflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan.

Tagihan biaya listrik pun kian meningkat disebabkan karena aktifitas masyarakat selama pandemi lebih

banyak di rumah, harga BBM yang tidak kunjung turun meskipun harga minyak dunia turun dan pemungutan

pajak kian meningkat. Sementara, upaya pembatasan sosial untuk sektor usaha yang berkaitan dengan

mobilitas masyarakat sehari-hari seperti, sektor pariwisata, sektor transaportasi, manufaktur, pangan dan

sektor lainnya membuat perusahaan melakukan pemotongan gaji atau pengurangan karyawan demi

keberlangsungan perusahaan-perusahaannya atau karena mereka tidak sanggup lagi untuk menggaji para

karyawannya.

Berdasarkan data di Kementerian Ketenagakerjaan, total pekerja kena PHK maupun dirumahkan sebanyak

3,5 juta orang akibat pandemi, jika ditambah dengan 6,8 juta tingkat pengangguran terbuka maka jumlahnya

mencapai 10,3 juta, di Indonesia saja terdapat enam perusahaan besar yang merumahkan para karyawannya

karena pandemi sehingga angka kemisikinan pun naik signifikan, Kemenkeu mencatat bahwa angka

kemiskinan naik sekitar 3,02 juta hingga 5,71 juta orang. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu penyebab

menurunnya kemampuan masyarakat untuk melakukan konsumsi atau daya beli.

Pertumbuhan ekonomi pun menjadi tersungkur, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mengatakan

pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I (Q1) 2020 hanya mencapai 2,97 persen jauh dari target kuartal I

yang diharapkan mencapai kisaran 4,5 - 4,6 persen, Kuartal II (Q2) 2020 -5,32% dan kuartal III (Q3) diprediksi

hanya -2,9% - -1,0%. Alhasil, pemerintah melakukan banyak cara untuk menyelesaikan pandemi COVID-19
ini, mulai dari memberikan subsidi untuk penanganan kesehatan, subsidi gaji bagi para pekerja yang masih

eksis sampai merombak postur dan alokasi APBN 2020 secara signifikan melalui Perpres No. 54/2020, atas

nama penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan dari dampak Covid-19, akibatnya

defisit anggaran melonjak drastis dari Rp 307 triliun (1,76 persen dari PDB) menjadi Rp 853 triliun (5,07

persen dari PDB), dengan pembiayaan utang menembus Rp 1.000 triliun. Bahkan BI mencatat utang luar

negeri pada akhir Juli sudah mencapai US$409,7 miliar atau setara Rp 6.003 triliun mengacu kurs JISDOR

pada akhir periode yang sama Rp 14.603 per dolar AS.

Ironinya, beban seberat itu harus ditanggung oleh masyarakat Indonesia sendiri dengan digenjotnya

penerimaan pajak dalam RAPBN 2021 senilai Rp1.268,5 triliun, naik 5,8% dari target tahun 2020 ( Partner

Tax Research and Training Services DDTC). Jadi, sebenarnya resesi di Indonesia bukan kali ini saja terjadi,

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa pada 1960an ekonomi Indonesia mengalami

kontraksi sepanjang tahun 1962-1963. Resesi tersebut diikuti hyperinflation atau inflasi yang tak terkendali

Kemudian, Indonesia kembali mengalami resesi pada tahun 1998 sejalan dengan kontraksi ekonomi pada

kuartal I -1998 hingga kuartal I - 1999 yang disebabkan oleh krisis keuangan di Thailand yang kemudian

berdampak pada pelemahan rupiah dan mengakibatkan kenaikan utang luar negeri Indonesia.

RESESI MELANDA KARENA FAKTOR SISTEMATIK

Dalam sistem ekonomi yang menganut sekuleris-kapitalis, resesi dianggap sebagai bagian tak terhindarkan

dari siklus bisnis dalam ekonomi suatu negara (NBER). Resesi sudah sering terjadi di dunia, misalnya Great

Depreciation pada tahun 1929 dan resesi besar tahun 2008. Sejarah penerapan sistem ekonomi kapitalis

selama 100 tahun terakhir menunjukan betapa sulitnya menjaga kestabilan ekonomi. Sejak tahun 1857-2009

resesi tersebut sudah sering berulang. Ekonom Minsky berpendapat bahwa dalam situasi ketika tidak ada

guncangan eksternal, ketidakstabilan yang terjadi merupakan karakteristik fundamental dari sistem keuangan

ekonomi kapitalis.

Sebab diantaranya, sistem ekonomi ini dialirkan oleh mata uang kertas (fiat money). Pasca perjanjian Bretton

Woods tahun 1944, delegasi 44 negara bersepakat untuk melepaska patokan mata uang dunia terhadap logam

emas (gold standard) dan beralih mematok mata uang mereka dengan dollar AS.
Sehingga sejak pertemuan itu Dollar dijadikan sebagai mata uang kuat dunia (hard currency). Padahal fiat

money tidak memenuhi unsur sebagai mata uang ideal yang mampu menjaga kestabilannya. Mata uang fiat

money sangat tergantung dari kondisi ekonomi negara yang menerbitkannya, AS misalnya memiliki mata

uang yang relatif stabil dan kuat bila dibandingkan dengan mata uang lokal seperti rupiah. Mata uang rupiah

sudah terdepresiasi terhadap dollar AS lebih dari empat kali lipatnya akhir-akhir ini. Artinya, mata uang rupiah

tidak stabil dibandingkan dengan dollar AS.

Namun, bagaimana pun kuatnya perekonomian negara yang mengeluarkannya, tetap saja membawa

ketidakstabilan, karena tidak adanya penopang terhadap mata uang yang diterbitkannya. Dimana penerbitan

mata uang kertas itu tidak setara nilainya dengan barang dan jasa yang ditopangnya (nilai nominal uang tidak

sama dengan nilai instrinstik). Misal, selembar uang kertas yang kita pegang nominalnya Rp 100.000,-, nilai

sebenernya (instrinstiknya) tida lebih dari selembar HVS yang dicetak bolak balik seharga paling mahal Rp

10.000,- .

Dampaknya jika kita sekarang membeli seliter minyak goreng dengan harga Rp 8.000, maka 20 tahun yang

akan datang harganya tidak akan sama, akan melambung tinggi. Karena nilai uangnya semakin lama menurun

tetapi nilai barangnya tetap. Sehingga mata uang berbasis fiat money seringkali mengalami depresiasi dan

mengakibatkan inflasi yang berujung kepada resesi. Lebih dari itu, fenomena ini sudah memunculkan

ketidakadilan, ada pihak yang dirugikan, karena otoritas moneter yang menerbitkan mata uang sudah

mendapatkan keuntungan yang amat besar dari selisih nilai nominal dengan nilai instrinstiknya (seigniorage).

Walaupun mata uang kertas dianggap lebih fleksibel karena mudah untuk dibawa-bawa atau bahkan sekarang

sudah berbentuk digital (digital money) tetap tidak bisa acceptable oleh masyarkat atau negara lain, karena

fake (non rill), tidak ditopang oleh suatu komoditas yang stabil nilainya, dan memerlukan lindung nilai

(hedging) oleh otoritas tertentu dalam melakukan perdagangan internasional.


Kemudian, ketidakstabilan sistem ekonomi ini pun diperparah dengan adanya pasar non rill, dimana pasar

yang tidak memperjual belikan barang dan jasa, tetapi memperjual belikan modal, transaksi yang terjadi

seperti bunga pinjaman dan juga efek (saham, obligasi, reksadana, future dan derivatifnya lainnya). Sehingga,

fiat money tidak hanya harus mengatasi persoalan cacat bawaan yang dideritanya, tetapi juga harus menopang

perputaran sektor non rill yang sangat memberatkan.

Misal, apabila kita meminjam uang ke bank dengan nilai Rp 10.000.000 dengan bunga 10% berarti ketika

jatuh tempo harus dikembalikan sebesar Rp 110.000.000. Maka kelebihan uang sebesar Rp 10.000.000 yang

merupakan bunga pinjaman(transaksi non rill) harus diterbitkan uang baru senilai Rp 10.000.000 oleh Bank

Sentral, belum lagi ditambah dengan jumlah transaksi non rill dalam efek. Bank Dunia mencatat untuk tahun

2018 nilai transaksi perdagangan saham dunia mencapai $ 97,824 T. Sementara, besarnya transaksi pada

sektor rill yang digambarkan melalui GDP/PDB jumlahnya pada tahun 2018 hanya $85,804 T.

Jadi, transaski perdagangan maupun keuangan di dalam sistem eknomi kapitalisme yang tidak berpijak kepada

sektor rill, membuat pertumbuhan perekonomian / kesehatan ekonominya yang terkesan pesat atau tinggi

setiap tahunnya, yang di gambarkan dari besarnya jumlah PDB/GDP per tahun tersebut hanyalah fake, tidak

bisa memperlihatkan keadaan ekonomi negara yang sebenarnya, justru realitanya disparitas antara para

kapitalis dan rakyat miskin terus melebar.

Lebih dari itu, gelembung sektor non rill ini sewaktu-waktu bisa meletus ( bubble economic) dan terjadi resesi,

dimana mata uang mereka (non rill) tidak mampu lagi menopang produk barang jasa rill mereka. Sehingga

mengakibatkan Inflasi yang dahsyat, depresiasi dollar, defisit anggaran, perdagangan yang mangkrak, dan

hutang yang semakin menggunung, yang akan berimbas kepada PHK besar-besaran, naiknya angka

pengangguran, kriminalitas, dan kemiskinan.


SYARIAT ISLAM MENGATUR EKONOMI

Resesi yang terus-menerus diproduksi oleh Sistem Ekonomi Kapitalisme seharusnya membuat kita berpikir

ulang untuk terus digunakan dalam mengatur masyarakat. Jika kita melirik kepada ideologi lain, maka hanya

tinggal dua pilihan, yakni apakah kita akan memakai sistem ekonomi sosialisme ataukah memakai ekonomi

Islam, walaupun sistem ekonomi sosialisme lahir atas dasar ketidakadilan Sistem Ekonomi Kapitalisme,

namun tetap saja tidak mampu memberikan solusi bagi perekonomian justru memperberat keadaan dengan

menghapuskan kepemilikan individu terhadap aset-aset produksi dimana itu adalah fitrah manusia untuk

memilikinya. Terbukti dengan runtuhnya sistem ekonomi sosialisme pada tahun 1991 di Uni Soviet, bertahan

tidak lebih dari 100 tahun, bukan karena diserang oleh eksternal atau teroris namun luluh lantah ditangan

rakyatnya sendiri. Setelah rakyatnya berpuluh-puluh tahun hidup dalam penindasan.

Maka, tidak ada pilihan lain bagi kita saat ini selain menggunakan Sistem Ekonomi Islam. Namun, anggapan

bagi kaum liberal segala sesuatu yang berasal dari Tuhan (wahyu) dianggap tidak ilmiah, tidak rasional,

subjektif dan utopis. Mereka menutup mata bahwa sistem ekonomi ini pernah diterapkan oleh peradaban Islam

selama 1300 tahun dan terbukti berhasil.

Di dalam kehidupan ekonomi Islam, selama berabad-abad masyarakat Islam telah mengoperasikan standar

mata uang atau standar kurs (harga atau nilai satu mata uang dalam mata uang lain) dalam dua jenis logam,

emas dan perak sebagai alat tukar segala barang dan jasa, sebagai mata uang perdagangan, dan back up tetap

bagi mata uang. Baik dalam bentuk koin maupun simpanan di tengah komunitasnya.

Sejak masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan, mata uang Islam telah dicetak dan diterbitkan.

1 dinar emas nilainya setara dengan 4,25 gr emas dan 1 dirham perak setara dengan 2,975 gr perak. Baik emas

maupun perak sangat ideal untuk dijadikan sebagai alat tukar karena memiliki nilai instrinstik yang

acceptable, tidak dapat didominasi (monopoli), ada suplai regular dan kedua jenis logam tersebut akan selalu

bertambah untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak pernah kekurangan.
Peningkatan tahunan suplai emas sebesar 2% per tahun. PT. Antam mencatat untuk produksi emas di

Indonesia pada tahun 2018 menargetkan untuk memproduksi emas sebanyak 25 ton dan meningkat pada tahun

2019 sebesar 32 ton (CNBC). Uang itu sendiri sebenarnya bukanlah kekayaan, melainkan satuan yang

digunakan untuk mengukur kekayaan, baik individu ataupun bisnis. Mengumpulkan kekayaan, melalui

penciptaan barang dan jasa yang produktif kemudian dijual dan menghasilkan laba.

Sementara dalam pasar finansial ekonomi kapitalisme, uang dijadikan sebagai suatu kekayaan atau komiditi

yang diperjual belikan, sehingga uang dipasaran semakin banyak jumlahnya dan mengakibatkan nilai uang

semakin menurun untuk membeli barang yang tetap, sehingga sangat rentan terjadi inflasi. Karena salah satu

penyebab inflasi itu sendiri adalah mudahnnya pencetakan uang. Bank Indonesia mencatat tingkat inflasi yang

begitu berfluktuasi setiap tahunnya, tahun 2014-2019 sebesar (3-8,36% per tahun).

Sistem Islam tidak memungkinkan melakukan pencetakan sesuka hati sebagimana yang terjadi pada sistem

fiat money, karena kurs 100% harus didukung oleh simpanan emas dan perak. Sehingga, dapat mencegah

adanya fluktuasi dalam harga kurs yang berpengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi negara atau individu

dan tidak akan pernah ada peningkatan jumlah uang yang digunakan untuk membeli sejumlah barang yang

tetap.

Jadi, dalam Sistem Ekonomi Islam tidak mengenal Inflasi sebagaimana yang terjadi pada Sistem Ekonomi

Kapitalisme. Kalaupun terjadinya devaluasi (menurunnya nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang

luar negeri) maupun inflasi, kemungkinan nilanya kecil dan mudah diatasi, karena bisa terjadi apabila adanya

peningkatan jumlah suplai emas yang tidak normal, dimana hal itu peluangnya juga kecil terjadi. Jika terjadi

kasus seperti itu, negara yang berkewajiban mendistribusikan dan menstabilkan keadaan dengan menambah

suplai jumlah barang.


Kemudian, dalam Sistem Ekonomi Islam juga melarang transaksi non rill seperti riba apapun jenisnya,

spekulatif, mengandung dlarar (kerusakan), Al-Ghasy (mengandung penipuan, pengkhianatan, rekayasa dan

manipulasi), transaski perdagangan maupun keuangan yang belum memenuhi syarat-syarat kejelasan

kepemilikan seperti perdagangan efek. Sebab, semua itu adalah induk bencana dan sumber penyakit. Sudah

sangat jelas bisnis perbankan hari ini semuanya tegak di atas spekulasi keuangan yang dibangun dengan utang

yang dikaitkan dengan riba. Padahal keberadaan bunga dan pasar keuangan secara langsung adalah faktor-

faktor yang menghalangi perputaran harta.

Artinya, Sistem Ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi, yaitu sektor riil dan sektor keuangan non

rill. aktivitasnya didominasi oleh praktik yang terjadi pada ekonomi riil saja. Semua aturan ekonomi Islam

memastikan agar harta kekayaan tetap berputar. Masyarakat pun didorong untuk menanamkan modalnya di

sektor riil, tiap individu yang memiliki lebih banyak uang akan diinvestasikan pada sektor ekonomi riil.

Kekayaan atau pendapatan dihasilkan melalui penciptaan asset yang produktif semacam pertanian, barang

produksi, jasa dan sebagainya yang bisa dijual untuk menuai laba. Pendapatan pun bisa ditingkatkan dengan

meningkatakan produksi barang dan jasa yang lebih banyak lagi sesuai dengan target penjualan. Hal itu akan

memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain. Jelas berbeda di dalam ekonomi

kapitalisme yang memenuhi pasar finansial dengan uang yang malah berdampak kepada inflasi ataupun

deflasi barang dan jasa.

Sistem Ekonomi Islam pun berbeda dari kapitalisme dari sisi memandang problem ekonomi itu sebagai

masalah kelangkaan relatif (peningkatan produksi dan membiarkan masyarakat bersaing memperolehnya

sesuai kemampuan daya beli). Sistem Ekonomi Islam justru memandang problem ekonomi adalah keadilan

pendistribusian hasil produksi kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi setiap

individu, baik sandang, pangan maupun papan (primer), bilamana keluarga besar tidak bisa memenuhi

kebutuhan tersebut, maka negara yang akan turun tangan untuk memastikan pemenuhan tersebut dan

memberikan kemungkinan kepada rakyat untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier secara adil

dan proporsional.
Pertumbuhan dalam Sistem Ekonomi Islam tidak terfokus kepada ukuran peningkatan PDB / GDP per tahun

yang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sebagaimana di dalam sistem ekonomi kapitalis,

melainkan pada ukuran yang lebih holistik dan mendalam yakni tentang bagaimana transaksi di tengah

masyarakat meningkat dalam hal kuantitas, kualitas, dan ekuitas.

Pertumbuhan kuantitatif PDB yang menjadi tujuan berbagai negara zaman sekarang, menjadi irasional, karena

tingkat kesejahteraan di dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme diukur dengan cara mengakumulasikan jumlah

pendapatan penduduk yang dibagi dengan jumlah penduduk dan distandardkan dengan garis kesejahteraan

tertentu, jelas hal ini tidak mencerminkan realitas ekonomi, karena faktanya tidak semua orang bisa merasakan

hidup sejahtera.

Lain halnya di dalam Sistem Ekonomi Islam, kesejahteraan tercermin pada setiap lapisan masyarakat bukan

segelintir orang. Sejarah mencatat di zaman Khalifah Umar Bin Abdul Aziz hanya dengan berkuasa sekitar

tiga tahun, sudah tidak ada lagi rakyat / satu pun orang yang berhak menerima zakat, karena saking

sejahteranya.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi di dalam Sistem Ekonomi Islam adalah rill, karena berfokus pada

transaksi perdagangan, keuangan, instrument-instrumen, pasar dan ukuran-ukuran ekonomi yang rill.

Sehingga, meletakkan transaksi antara dua belah pihak yang saling menguntungkan, memeproleh manfaat

yang rill dengan memberikan kompensasi yang juga bersifat rill, karena menghasilkan transparansi yang

tinggi, jelas, tegas dan adil.


Sistem ekonomi seperti inilah yang didambakan oleh setiap umat manusia, namun penerapan Sistem Ekonomi

Islam tidak akan berjalan efektif tanpa didukung oleh penerapan sistem politik Islam dan diikat dengan sektor-

sektor lainnya yang berada dalam satu naungan sistem Islam (khilafah).

َ ‫ﻚ اْﻟِﻜَﺘﺎ‬
‫ب ِﺗْﺒَﯿﺎًﻧﺎ ﻟُِﻜﱢﻞ َﺷْﻲٍء َوھًُﺪى َوَرْﺣَﻤًﺔ َوﺑُْﺸَﺮٰى ﻟِْﻠُﻤْﺴﻠِِﻤﯿَﻦ‬ َ ‫َوَﻧﱠﺰْﻟَﻨﺎ َﻋﻠَْﯿ‬

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta

rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl:89)

Kita harus belajar dengan sejarah depresi hebat pada tahun 1929 yang justru melahirkan tatanan sistem

ekonomi baru keynesian dimana mereka mampu menambal boroknya Sistem Ekonomi Kapitalisme hingga

masih eksis sampai hari ini. Kita jangan sampai terjebak dalam gelembung berpikir sekuleris yang gagal

menemukan jalan keluar terhadap setiap persoalan yang ada. Jika kita beriman kepada Allah dan rasul-Nya,

beriman dengan tuntunan dan sistem hidup yang Allah turunkan kepada kita, maka kita akan bisa mengatasi

setiap persoalan secara praktis dan strategis karena Allah dan Rasul-Nya telah membimbing kita dengan

syariat Islam
INDEX

BEP (Break Even Point): Titik dimana pendapatan sama dengan modal yang dikeluarkan, tidak terjadi
kerugian atau keuntungan

Defisit :Keadaan rugi.

Deflasi :Suatu keadaan dalam periode waktu tertentu, yang menunjukan penurunan harga
barang atau jasa secara umum.

Depresi Ekonomi :Penurunan aktivitas ekonomi yang parah dan berkepanjangan. Dalam ilmu
ekonomi, depresi ekonomi umumnya didefinisikan sebagai resesi ekstrim yang
berlangsung.

Ekspor :Transaksi jual beli di mana barang dikirim dari dalam negeri ke luar negeri
harga atau nilai satu mata uang dalam mata uang lain.

Hyperinflation :Inflasi yang tidak terkendali.

Hedging : Lindung nilai.

Impor :Transaksi yang dilakukan dengan membeli (memasukkan) barang dari luar negeri ke
dalam negeri.

Inflasi :Meningkatnya harga secara signifikan yang disebabkan karena banyak faktor.

JISDOR :Kurs referensi mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang disusun
berdasarkan kurs transaksi valuta asing terhadap rupiah antarbank di pasar domestik,
melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di Bank Indonesia
secara real time.

Krisis Ekonomi :Keadaan di mana perekonomian di suatu negara mengalami penurunan secara drastis.

Kurs :Harga atau nilai satu mata uang dalam mata uang lain.

Nilai Intrinstik :Nilai sebenarnya.

PDB :Produk Domestik Bruto.

Resesi :Periode penurunan ekonomi sementara di mana perdagangan dan aktivitas industri
berkurang, umumnya ditandai dengan penurunan PDB dalam dua kuartal berturut-turut.

Seiniorage :Selisih nilai nominal dengan nilai instrinstiknya.

Surplus :Keadaan untung.


DAFTAR REFERENSI

An-Nabhani, Taqiyuddin. 2012. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: HTI Press.

https://data.worldbank.org/indicator/cm.mkt.trad.gd.zs

https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?locations=1W

https://mediaumat.news/luar-biasanya-khalifah-umar-bin-abdul-aziz-hanya-3-tahun-berkuasa-rakyatnya-

sejahtera/

https://unctad.org/en/pages/PressRelease.aspx?OriginalVersionID=500

https://unctad.org/en/pages/PublicationWebflyer.aspx?publicationid=2569

https://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/data/Default.aspx

https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2019-10-21/imf-growth-forecasts-world-economy-is-

stumbling-toward-disaster

https://www.cnbcindonesia.com/market/20180912125706-17-32725/antam-naikkan-target-produksi-emas-

jadi-25-ton-di-2018 https://www.cnbcindonesia.com/market/20190821164036-17-93706/harga-emas-tinggi-

antam-genjot-produksi-emas-hingga-36-ton

https://www.cnbcindonesia.com/market/20190828090721-17-95251/yield-obligasi-as-terbalik-lagi-sinyal-

resesi-makin-kencang https://www.nst.com.my/by-elections Saifullah, A 2009. Uang Kertas Versus Dinar

dan Dirham Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

https://caritahu.kontan.co.id/news/arti-resesi-dampak-penyebab-dan-pertumbuhan-minus-ekonomi-

ri?page=3

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5155917/pandemi-corona-angka-pengangguran-tembus-

10-juta

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5184561/kok-bisa-sih-indonesia-resesi-ini-penyebabnya

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5227789/corona-jahat-ini-daftar-perusahaan-ritel-yang-

gulung-tikar

https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f606632d455e/pinjaman-pemerintah-kerek-utang-luar-negeri-ri-

tembus-rp-6000-triliun

https://koinworks.com/blog/indikator-resesi-ekonomi/
https://lifestyle.kontan.co.id/news/apa-itu-resesi-penjelasan-faktor-penyebab-dan-dampak-dari-

resesi?page=all

https://money.kompas.com/read/2020/10/06/050800026/dampak-pandemi-covid-19-pemerintah-akui-daya-

beli-masyarakat-melemah

https://money.kompas.com/read/2020/10/06/050800026/dampak-pandemi-covid-19-pemerintah-akui-daya-

beli-masyarakat-melemah

https://nasional.kontan.co.id/news/akibat-pandemi-covid-19-pengangguran-dan-kemiskinan-diprediksi-

mengalami-lonjakan

https://nasional.kontan.co.id/news/indonesia-di-ambang-resesi-ekonomi-2020-apa-itu-resesi?page=2

https://news.ddtc.co.id/ekonomi-baru-mulai-pulih-target-penerimaan-pajak-2021-realistis-23687

https://republika.co.id/berita/qada6v423/wajah-apbn-pascacovid19

https://tirto.id/ekonomi-kuartal-i-2020-tersungkur-indonesia-terancam-resesi-fpp5

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/08/152300365/airy-tutup-ini-daftar-6-perusahaan-yang-phk-

karyawan-karena-corona?page=all

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4359541/teranyar-daftar-lengkap-negara-yang-masuk-jurang-resesi-

di-2020

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4375411/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-kuartal-iii-mulai-membaik

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4390499/harga-pangan-naik-inflasi-oktober-2020-diprediksi-008-

persen

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4390499/harga-pangan-naik-inflasi-oktober-2020-diprediksi-008-

persen

https://www.republika.id/posts/6882/apbn-pasca-covid-19

Saifullah, A. 2009. Membedah Krisis Keuangan Global. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Trade And Development Report. 2019. Financing A Global Green New Deal. New York: United Nations

Publications

Triono, Dwi Condro. 2017. Falsafah Ekonomi Islam. Yogyakarta: Irtikaz.

Anda mungkin juga menyukai