Anda di halaman 1dari 21

COVER

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I LATAR BELAKANG....................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................3
BAB II ISI..................................................................................................................................4
2.1 Produk Domestik Bruto Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.........................................4
2.2 Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.....................7
2.3 Pengangguran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi......................................................10
2.4 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan Negara Lain.....................12
2.5 Kebijakan Terkait Pertumbuhan Ekonomi................................................................13
BAB III SIMPULAN...............................................................................................................15
3.1 Kesimpulan................................................................................................................15
3.2 Saran..........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16
LAMPIRAN.............................................................................................................................17
BAB I
LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang


Ekonomi makro merupakan studi yang mempelajari tentang bagaimana
perekonomian secara agregat/keseluruhan. Dalam kaitannya, berbagai teori, metode,
ataupun model digunakan untuk menganalisa hal tersebut. Termasuk di dalam ekonomi
makro, yaitu mengatur tentang pertumbuhan ekonomi.
Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai peningkatan
kemampuan jumlah produksi dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-
barang dan jasa dalam satu periode ke periode selanjutnya. Pertumbuhan ekonomi dapat
diindikasi dan diukur dari tingkat inflasi, baik secara riil maupun nominal. Selain itu,
pertumbuhan ekonomi juga dapat diukur dengan tingkat pengangguran dan kapasitas
produk domestik bruto (PDB) dalam lingkup pendapatan nasional.
Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke
waktu menjadi indikator yang penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan suatu
negara (Todaro, 2005). Merujuk hal tersebut, tentu diperlukan berbagai kebijakan
pemerintah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang dapat berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana PDB terhadap pertumbuhan ekonomi?
2. Bagaimana IHK dan inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi?
3. Bagaimana pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi?
4. Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia dibanding negara lainnya?
5. Bagaimana kebijakan terkait upaya pertumbuhan ekonomi?
BAB II
ISI

2.1 Produk Domestik Bruto Terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product merupakan tampilan data
ekonomi makro utama sebagai ukuran dasar (basic measure) atas penggunaan produk
berupa barang dan jasa yang dihasilkan melalui proses produksi. PDB menurut
pengeluaran tampil saling melengkapi dengan PDB menurut lapangan usaha. PDB
pengeluaran menggambarkan ukuran aktivitas konsumsi, investasi dan eksternal yang
berlangsung di dalam batas teritori suatu wilayah ekonomi. Berbagai variabel yang dapat
ditemui dalam PDB menurut pengeluaran di antaranya adalah permintaan konsumsi
akhir, pembentukan modal tetap atau investasi fisik, ekspor dan impor. Berbagai jenis
barang dan jasa akhir tersebut ditujukan untuk memenuhi permintaan akhir berbagai
pelaku atau sektor ekonomi domestik maupun luar negeri.
PDB menurut pengeluaran dapat menjelaskan tingkat konsumsi akhir masyarakat
dalam suatu wilayah. Konsumsi akhir tersebut, secara spesifik yaitu penggunaan produk
dalam bentuk barang atau jasa yang tujuannya untuk dikonsumsi habis (atau tidak untuk
diproses lebih lanjut), yang direalisasikan dalam bentuk pengeluaran konsumsi akhir
rumah tangga, pengeluaran konsumsi akhir Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah
Tangga (LNPRT), pengeluaran konsumsi akhir pemerintah, Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB), serta ekspor barang dan jasa.
Dalam memenuhi konsumsi akhir tersebut, tentu tidak terlepas dari pemenuhan
kebutuhan barang dan jasa yang berasal dari luar negeri. Berbagai barang dan jasa yang
menjadi konsumsi akhir masyarakat di dalamnya terkandung produk impor, sehingga
untuk mengukur besaran nilai tambah domestik (PDB), komponen impor barang dan jasa
harus dikeluarkan atau dikurangkan dari hasil penghitungan konsumsi atau permintaan
akhir. Tingginya permintaan yang tidak selalu diimbangi oleh penyediaan domestik,
menjadi peluang masuknya produk impor.
Hasil perhitungan PDB Indonesia terus mengalami perubahan dari setiap
tahunnya, baik dari setiap komponennya, maupun secara agregat. Untuk mengetahui hal
tersebut, disajikan grafik/time series data perkembangan PDB tahun 2019 hingga 2021
triwulan I.
Dari Grafik 1, dapat terlihat bahwa PDB total 2019 terindikasi cukup baik pada
tingkat Rp 10.949.038 miliar. Sedangkan pada tahun 2020, PDB Indonesia mengalami
penurunan menjadi Rp 10.722.443 miliar. Dan pada triwulan I tahun 2021 berada pada
tingkat Rp 2.683.112.
Jika dirinci terhadap komponen-komponennya, maka akan terlihat bahwa PDB
Indonesia pada tahun 2020 mengalami penurunan sejak triwulan I. Penurunan nilai PDB
adh konstan 2010 berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti yang
tergambar pada Grafik 2. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2016-2019
cenderung stabil, yaitu sebesar 5,03 persen (2016); 5,07 persen (2017); 5,17 persen
(2018) dan 5,02 persen (2019), sedangkan pada tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar
2,07 persen akibat Covid-19.
Krisis Kesehatan yang menimpa global pada triwulan I tahun 2020 tersebut
berdampak terhadap kinerja perekonomian negeri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
berada pada titik -2,07. Hampir seluruh sektor terdampak dan tumbuh secara melambat.
Hampir seluruh komponen pengeluaran dalam PDB 2020 tumbuh lebih lambat
dibandingkan tahun sebelumnya, kecuali untuk komponen ekspor. Komponen sumber
pertumbuhan tertekan sangat ekstrem.
Pertumbuhan pada sektor konsumsi rumah tangga pada triwulan I mengalami
pertumbuhan sebesar 2,8 persen (YoY) yang jauh lebih lambat jika dibandingkan dengan
periode yang sama pada tahun 2019. Konsumsi pakaian dan transportasi terkontraksi
masing-masing 3,3 dan 1,8 persen (YoY). Penjualan eceran terkontraksi terutama pada
penjualan sandang serta bahan bakar. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi kesehatan
dan pendidikan (7,9) persen. serta perumahan dan peralatan rumah tangga (4,5 persen,
YoY) tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan I tahun 2019. Pertumbuhan konsumsi
kesehatan tidak terlepas dari pandemi yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan
kesehatan secara tajam.
Selain itu, dalam sektor PMTB mengalami pertumbuhan pada triwulan I tahun
2020 sebesar 1,7 persen (YoY). Hal tersebut dikarenakan melambatnya pertumbuhan
barang modal bangunan sebesar 2,8 persen (YoY). Dan melambatnya PMTB tersebut
juga disebabkan oleh terkontraksinya kinerja investasi mesin dan perlengkapanpada titik
-3,9 persen, produk kekayaan intelektual (-5,9 persen) dan CBR (-0,0 persen). Kinerja
investasi mesin dan kendaraan dipengaruhi oleh turunnya barang modal mesin baik
domestik maupun impor. Barang modal jenis CBR terkontraksi karena turunnya nilai
penambahan tanaman perkebunan yang belum berproduksi. Sementara kontraksi produk
kekayaan intelektual disebabkan turunnya kegiatan eksplorasi mineral baik migas
maupun nonmigas. Di sisi lain, barang modal jenis kendaraan masih tumbuh sebesar 2,7
persen (YoY), lebih tinggi dari triwulan I tahun 2019 yang terkontraksi 7,4 persen
(YoY).
Pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh 3,7 persen (YoY) didorong oleh
realisasi belanja bantuan sosial. Peningkatan terutama untuk rehabilitasi sosial, jaminan
sosial, dan belanja bantuan untuk penanggulangan kemiskinan. Sementara itu, LNPRT
terkontraksi 4,9 persen (YoY) seiring berkurangnya agenda politik.
Ekspor barang dan jasa tumbuh 0,2 persen (YoY) lebih baik dari periode
sebelumnya yang terkontraksi 1,6 persen (YoY). Ekspor migas terkontraksi 15,4 persen
(YoY) sejalan dengan turunnya harga komoditas serta volume ekspor yang berkurang.
Ekspor nonmigas tumbuh cukup tinggi yakni sebesar 4,7 persen (YoY), didorong oleh
peningkatan ekspor perhiasan/permata, mesin/peralatan listrik, serta besi dan baja.
Ekspor jasa terkontraksi hingga 18,3 persen (YoY) seiring dengan turunnya jumlah
wisatawan mancanegara.
Impor terkontraksi 2,2 persen (YoY) terutama disebabkan oleh penurunan impor
nonmigas. Sementara itu, impor migas meningkat 15,9 persen seiring dengan
peningkatan volume. Impor jasa juga terkontraksi 9,6 persen (YoY) seiring pelarangan
umroh sejak Februari dan penutupan akses masuk di beberapa negara.
Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa secara parsial, konsumsi memiliki
pengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Terdapatnya pengaruh yang signifikan dan positif antara konsumsi terhadap
pertumbuhan ekonomi mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia
ditentukan oleh konsumsi. Apabila konsumsi mengalami peningkatan maka pertumbuhan
ekonomi juga akan mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan
konsumsi berarti telah terjadi peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa.
Terjadinya peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa akan memaksa
perekonomian untuk meningkatkan produksi barang dan jasa. Peningkatan produksi
barang dan jasa akan menyebabkan peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dan
sebaliknya, apabila konsumsi mengalami penurunan maka pertumbuhan ekonomi juga
akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan konsumsi
berarti telah terjadinya penurunan permintaan terhadap barang dan jasa. Penurunan ini
akan mengakibatkan perekonomian menurunkan produksi barang dan jasa. Penurunan
produksi barang dan jasa akan menyebabkan penurunan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan teori Keynes dalam Mankiw (2006) juga menjelaskan konsumsi
saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposibel saat ini.
Selanjutnya, spengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan dan positif
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Terjadinya peningkatan pengeluaran
pemerintah misalnya untuk penyediaan atau perbaikan infrastruktur maka proses
produksi barang dan jasa akan semakin lancar. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
peningkatan produksi barang dan jasa. Peningkatan produksi barang dan jasa ini akan
menyebabkan peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi. Begitu sebaliknya, apabila
pengeluaran pemerintah mengalami penurunan sehingga masalah infrastruktur tidak
dapat diatasi akan mengakibatkan proses produksi barang dan jasa menjadi terhalang.
Hal ini akan berdampak terhadap penurunan produksi barang dan jasa. Penurunan
produksi barang dan jasa akan menyebabkan penurunan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan teori Mankiw (2006) dan Fisher (2008) yang berarti pengeluaran
pemerintah merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi.
Begitu juga dengan net ekspor, net ekspor pun memiliki pengaruh yang signifikan
dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Apabila ekspor mengalami
peningkatan maka produksi barang dan jasa juga akan mengalami peningkatan karena
net ekspor yang meningkat mengindikasikan permintaan terhadap barang dan jasa di luar
negeri lebih besar dari pada permintaan barang luar negeri di dalam negeri. Oleh karena
itu, perekonomian akan meningkatkan jumlah produksi barang jasa. Peningkatan
produksi barang dan jasa ini akan menyebabkan peningkatan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya, apabila net ekspor mengalami penurunan dikarenakan terjadinya
penurunan permintaan terhadap barang dan jasa di luar negeri sehingga impor lebih besar
dari pada ekspor dan hal ini akan mengakibatkan penurunan produksi barang dan jasa.
Penurunan produksi barang dan jasa ini menyebabkan penurunan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hal ini sejalan dengan Mankiw (2006) yang menyatakan bahwa ekspor netto
sangat berpengaruh bagi perekonomian di Indonesia. Dimana net ekspor dapat menjadi
pendorong bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2.2 Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Indeks Harga Konsumen atau Consumer Price Indeks merupakan indeks yang
menghitung rata-rata perubahan harga dari suatu kelompok barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga dalam kurun waktu tertentu.  Perubahan IHK dari
waktu  ke waktu menggambarkan tingkat kenaikan harga (inflasi) atau tingkat penurunan
harga (deflasi) dari barang dan jasa.
Inflasi adalah suatu proses dimana terjadi peningkatan harga-harga secara umum
dan terus-menerus (continue). Tidak dikatakan inflasi apabila kenaikan harga barang
hanya terjadi pada satu atau dua barang. Dikatakan inflasi apabila kenaikan harga barang
terjadi secara agregat/keseluruhan.
BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang
lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Tujuan dari Disagregasi inflasi tersebut
adalah untuk menghasilkan indikator inflasi yang lebih menunjukan pengaruh dari faktor
yang bersifat fundamental. Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dapat
dikelompokan menjadi inflasi inti dan inflasi non-inti.
Adapun inflasi inti dapat didefinisikan sebagai komponen inflasi yang cenderung
persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental. Faktor-
faktor tersebut antara lain interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai
tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang) dan ekspektasi inflasi dari
pedagang dan konsumen. Sedangkan inflasi non-inti adalah komponen inflasi yang
cenderung memiliki volatilitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh selain faktor
fundamental. Adapun komponen dari inflasi non-inti adalah Inflasi Komponen
Bergejolak (volatile food) dan Inflasi Komponen Harga yang diatur
Pemerintah (administered prices).
Inflasi komponen bergejolak dapat didefinisikan sebagai inflasi yang secara
dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti
panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik
maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional. Sedangkan inflasi
komponen harga diatur pemerintah dapat didefinisikan sebagai inflasi yang secara
dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti
harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan Grafik 3, dapat diketahui bahwa tingkat inflasi pada tahun 2019
dapat terjaga dengan cukup baik pada tingkat 2,72 persen. Dan disusul tahun 2020
sebesar 1,68 persen, kemudian pada tahun 2021 untuk bulan Januari hingga April
terindikasi pada titik 0,58 persen.
Inflasi nasional yang tergambar pada Grafik 3 memperlihatkan bahwa tingkat
inflasi mengalami penurunan di tahun 2020. Inflasi 2020 merupakan inflasi terendah
yang pernah dicatat oleh Badan Pusat Statistika. Hal ini diduga dapat terjadi akibat
pandemi Covid-19.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan komponen inflasi inti selalu berada
dibawah kisaran 3 persen (YoY) triwulan I tahun 2020. Inflasi inti mengalami
peningkatan tipis pada akhir triwulan I tahun 2020 dipengaruhi oleh meningkatnya
permintaan masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan Rumah Tangga (RT) selama
pandemi COVID-19. Komponen inflasi inti yang cenderung stagnan mencerminkan
perlambatan daya beli masyarakat. Selanjutnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
mengalami penurunan sepanjang triwulan I tahun 2020. Selama Januari hingga Maret
2020 IKK pada masing-masing bulan secara berturut-turut sebesar 121,70; 117,70; dan
113,80 memberikan sinyal pelemahan daya beli masyarakat
Secara tahunan, inflasi komponen volatile foods selama triwulan I tahun 2020
melonjak mencapai kisaran 6 persen. Pada Januari-Maret 2020 secara berturut-turut
sebesar 4,13 persen; 6,48 persen; dan 6,48 persen. Tekanan inflasi komponen volatile
foods dipengaruhi peningkatan permintaan beberapa komoditas yang tidak diiringi
dengan kecukupan produksi. Hal ini disebabkan oleh beberapa komoditas pangan seperti
bawang merah dan beras mengalami pergeseran masa panen akibat gangguan cuaca pada
awal tahun 2020.
Komponen inflasi harga diatur Pemerintah terus mengalami penurunan yang
disebabkan meredanya tekanan yang berasal dari peningkatan bea cukai rokok,
berlanjutnya kebijakan penurunan harga tiket angkutan udara dan penurunan minyak
dunia yang berdampak pada penurunan harga bensin jenis pertamax. Penurunan inflasi
harga diatur pemerintah juga sejalan dengan penerapan kebijakan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) yang berdampak pada penurunan kegiatan sektor transportasi.
Dapat dilihat dari Grafik 4.
Apabila inflasi mengalami penurunan mengindikasikan bahwa harga-harga dapat
dikendalikan dengan baik atau terciptanya kestabilan harga. Kondisi ini akan berdampak
terhadap penurunan suku bunga sehingga akan meningkatkan pengembalian investasi.
Oleh karena itu, penurunan inflasi akan meningkatkan investasi. Hal ini sesuai dengan
teori ekspansi permintaan agregat kasus klasik (Dornbusch:2008) yang menyatakan
bahwa terdapat pengaruh yang negatif antara inflasi dengan investasi yang artinya
kenaikan inflasi akan menurunkan investasi. Sedangkan pada teori ekspansi permintaan
agregat kasus klasik, menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara inflasi
dengan investasi yang mengartikan kenaikan inflasi akan mendorong aggregate demand.
Dimana salah satu komponennya adalah investasi.
Sementara itu, secara teoritis tingkat pertumbuhan ekonomi berkorelasi positif
dengan investasi seperti yang dinyatakan antara lain oleh Keynes dalam Jhingan
(2003,133-134) dan Mankiw (2006:93), Harrod Domar dalam Arsyad (2010:82-86),
Solow-Swan dalam Arsyad (2010 :88-89), Kuznet dalam Arsyad (2010:277), Todaro
(2000:136), dan Schumpeter dalam Sukirno (2008:122). Keynes menyarankan agar
pemerintah meningkatkan pengeluaran karena memandang pemerintah sebagai agen
independen yang mampu menstimulasi perekonomian melalui kerja publik. Pada masa
resesi, kenaikan pengeluaran pemerintah (G) akan mendorong konsumsi (C) dan
investasi (I), dan karenanya menaikkan pendapatan nasional (Y).
Studi yang dilakukan oleh Sitompul (2007); Rustiono (2008); Luntungan (2008);
dan Sodik (2005) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah terutama didorong
oleh investasi yang berpengaruh secara signifikan. Hal ini berarti bahwa investasi yang
tinggi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan selanjutnya meningkatkan
penyerapan tenaga kerja. Tingkat pengangguran bisa direduksi, pendapatan masyarakat
meningkat dan kesejahteraan masyarakatpun meningkat. Investasi juga memungkinkan
terjadinya transfer teknologi dan pengetahuan (knowledge) dari negara maju ke negara
berkembang.
Selain itu, dengan kondisi investasi yang sama dengan tingkat depresiasi, akan
mendorong terjadinya steady state atau kondisi mapan. Penambahan tingkat investasi
akan mendorong penambahan modal, dimana tingkat modal yang lebih tinggi akan
mempengaruhi output dan depresiasi. Jika tingkat modal berada di bawah Kaidah
Emas/Golden Rule, maka kenaikan persediaan modal akan meningkatkan output lebih
banyak disbanding depresiasi, sehingga konsumsi juga akan meningkat. Pada kondisi
inilah disebut dengan Kaidah Emas, dimana terjadi kondisi mapan yang juga
memaksimalkan tingkat konsumsi.

2.3 Pengangguran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Pengangguran merupakan permasalahan ekonomi makro yang mempengaruhi
manusia secara langsung dan menjadi masalah yang paling berat. Pengangguran yaitu
istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang
dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan yang layak. Pengangguran di Indonesia terbagi atas beberapa jenis yang salah
satu menurut cirinya, yaitu pengangguran terbuka.
Pengangguran terbuka merupakan pengangguran yang terjadi karena
pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja,
sehingga akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak
dapat memperoleh pekerjaan.
Berdasarkan Grafik 5, dapat diketahui bahwa jumlah pengangguran di Indonesia
mengalami peningkatan. Pada periode Februari 2019, tercatat pengangguran sejumlah
6.898.796 orang dan meningkat menjadi 7.104.424 pada Agustus 2019. Sedangkan pada
periode Februari 2020 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode yang
sama di tahun sebelumnya, yaitu pada tingkat 6.925.486. Di periode selanjutnya, yaitu
Agustus 2020, jumlah pengangguran mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Jika dibandingkan dengan periode Agustus tahun 2019, maka terjadi peningkatan sebesar
kurang lebih dua juta orang.
Peningkatan pengangguran yang signifikan mengindikasikan meningkatnya
kemiskinan dan melemahnya pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan penyerapan
tenaga kerja. Hal tersebut dipicu oleh minimnya lowongan pekerjaan akibat pandemi
Covid-19 yang melemahkan sendi perekonomian negeri. Tingginya angka pengangguran
berdampak buruk bagi perekonomian, seperti rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat, rendahnya produktivitas dan pendapatan masyarakat. Apabila hal-hal
tersebut dibiarkan maka pengangguran dapat menjadi masalah sosial, seperti timbulnya
kemiskinan, tingginya angka kejahatan,dan masalah sosial lainnya
Berdasarkan Grafik 6, Rasio Gini secara nasional mengalami sedikit peningkatan
selama periode September 2019 hingga September 2020. Terjadi peningkatan rasio gini
untuk perkotaan + pedesaan sebesar 0,004 dari periode September 2019 menuju Maret
2020, dan peningkatan yang sama pula untuk periode Maret 2020 ke September 2020.
Hal ini dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan pemerataan ekonomi.
Pemerataan ekonomi menjadi hal yang penting untuk dilakukan pemerintah.
Sebab dengan pemerataan ekonomi, secara sederhana dapat mengindikasikan adanya
pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada pembangunan ekonomi.
Tercapainya pertumbuhan yang diikuti dengan pembangunan ekonomi dapat
diperoleh dengan jumlah populasi yang disertai dengan peningkatan kualitas populasi
tersebut. Jumlah populasi yang signifikan merupakan bonus atau keuntungan bagi suatu
negara, dimana hal tersebut juga harus selaras dengan peningkatan kualitas
pembangunan manusianya.
Peningkatan kualitas populasi dapat dicapai dengan pemerataan pendidikan yang
dibarengi dengan akses kemajuan teknologi. Pemberian akses pendidikan yang baik akan
menuntun pada peningkatan inovasi dan kreasi dalam terciptanya lapangan kerja baru.
Selain itu, menurut model Solow, pertumbuhan yang berkelanjutan dalam pendapatan
per pekerja harus berasal dari kemajuan teknologi. Di era saat ini, sudah seharusnya
masyarakat aktif membuka lapangan kerja. Melihat data BPS mengenai pengangguran
terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, jumlah pengangguran didominasi
oleh tingkat Pendidikan SLTA Umum/SMU baik pada tahun 2019 maupun 2020. Hal ini
membuktikan bahwa minimnya kualitas populasi yang dapat dilihat dari taraf pendidikan
akan mendorong peningkatan pengangguran.

2.4 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan Negara Lain


Setiap negara memiliki laju pertumbuhannya masing-masing. Negara maju dan
negara berkembang tentu akan berbeda pula laju pertumbuhan ekonominya. Sejalan
dengan hal tersebut, dapat dilihat dari Grafik 7 tentang perbandingan pertumbuhan
ekonomi kelima negara di Asean.
Berdasarkan Grafik 7, dapat dianalisa bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia
menempati posisi ketiga diantara kelima negara lain. Vietnam menjadi negara dengan
pertumbuhan ekonomi tertinggi sebesar 6,9 persen. Disusul Filipina (5,9), Indonesia (5),
Malaysia (4,5), dan terakhir yaitu Singapura dengan tingkat 1,1 persen.
Dari data tahun 2019 tersebut, dapat dikaitkan dengan Teori Pertumbuhan
Ekonomi Solow. Negara-negara berkembang, seperti Vietnam, Filipina, Indonesia, dan
Malaysia cenderung akan memiliki pertumbuhan yang tinggi jika dibanding dengan
Singapura sebagai negara maju.
Menurut Solow, hal ini terjadi karena semakin banyak jumlah modal, maka
output yang dihasilkan akan semakin sedikit akibat depresiasinya yang semakin besar
pula. Di negara berkembang, umumnya jumlah modal yang dimiliki sedikit, sehingga
pertumbuhan ekonominya akan lebih besar. Berlainan dengan negara maju dimana
jumlah modal yang dimiliki cenderung besar, sehingga pertumbuhannya akan lebih
sedikit. Negara maju telah mencapai kondisi mapan atau steady state, yaitu titik dimana
nilai depresiasinya sama dengan nilai investasinya.
Namun kondisi tersebut tidak berlaku pada tahun 2020 dengan kondisi dimana
hampir seluruh negara di dunia mengalami guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-
19. Krisis ekonomi tersebut mengakibatkan laju pertumbuhan keempat negara berada
pada titik minus. Filipina berada pada urutan pertama laju pertumbuhan ekonomi minus,
yaitu -9,5 persen. Kemudian diikuti Malaysia sebesar -5,6 persen, Singapura -5,4 persen,
dan Indonesia sebesar -2,07 persen. Sementara Vietnam tetap menjaga pertumbuhan
ekonominya di titik 2,91 persen. Kondisi perekonomian Indonesia tahun 2020
merupakan titik yang cukup baik jika dibandingkan dengan negara lainnya yang
mencapai -9,5 persen. Dalam artian Indonesia masih bisa mempertahankan kondisi
perekonomiannya agar tidak terperosok terlalu dalam.
Menghadapi kuartal pertama di tahun 2021, kelima negara berhasil melakukan
recovery kondisi perekonomiannya. Namun Indonesia menjadi urutan kelima di tahun
ini. Menandakan bahwa recovery ekononomi Indonesia masih rendah dibanding
keempat negara lain, khususnya Filipina yang bangkit dengan laju pertumbuhan di titik
6.9 persen.

2.5 Kebijakan Terkait Pertumbuhan Ekonomi


Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow, terdapat berbagai langkah yang
dapat dilakukan suatu negara dalam mendorong pertumbuhan ekonominya. Kebijakan
tersebut, yaitu evaluasi tingkat tabungan, mengubah tingkat tabungan, mengalokasikan
investasi perekonomian, membangun institusi yang tepat, dan mendorong kemajuan
teknologi.
Dalam mengevaluasi tingkat tabungan, dapat digunakan Golden Rule untuk
menentukan apakah tingkat tabungan dan stok modal terlalu tinggi, terlalu rendah, atau
sudah tepat. Jika (MPK − δ) > (n + g ), perekonomian di bawah Golden Rule steady state
dan harus meningkatkan saving (tabungan). Namun jika (MPK − δ) < (n + g ),
perekonomian di atas Golden Rule steady state dan harus menurunkan saving (tabungan).
Selanjutnya dalam mengubah tingkat tabungan atau meningkatkannya,
pemerintah dapat murunkan defisit anggarannya (atau tingkatkan surplus anggaran). Dan
dapat meningkatkan insentif bagi tabungan swasta dengan cara mengurangi pajak capital
gains, pajak pendapatan korporasi, pajak estate, karena pajak tersebut menghambat
tabungan. Selain itu dapat mengganti pajak pendapatan federal dengan pajak konsumsi.
Serta memperluas insentif pajak bagi IRAs (individual retirement accounts) dan rekening
tabungan pensiun lainnya.
Dalam model Solow, terdapat satu bentuk modal. Sedangkan dalam dunia nyata,
terdapat banyak jenis, yang bisa dibagi menjadi 3 kategori, yaitu diantaranya stok modal
swasta (private capital stock), infrastruktur public, dan SDM (human capital) dalam
bentuk pengetahuan dan skills yang diperoleh pekerja melalui pendidikan. Untuk
mengalokasikan berbagai jenis modal tersebut dapat dilakukan dengan dua perspektif,
yaitu dengan menyamakan perlakuan pajak semua jenis modal di semua industri,
kemudian membiarkan pasar mengalokasikan investasi ke jenis produk dengan marjinal
tertinggi. Dan perspektif selanjutnya yaitu dengan kebijakan industri (industrial policy),
dimana pemerintah harus aktif mendorong investasi dalam modal jenis tertentu atau
dalam industri tertentu, karena investasi tersebut memiliki ekternalitas positif yang tidak
dipertimbangkan investor.
Cara lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan membangun institusi yang tepat.
Penciptaan institusi yang tepat penting untuk memastikan sumber daya dialokasikan
untuk penggunaan terbaik. Contohnya seperti institusi legal, untuk melindungi hak
kekayaan (property rights); pasar modal, untuk membantu arus modal keuangan ke
proyek-proyek investasi terbaik; dan pemerintah yang bebas korupsi untuk
mempromosikan kompetisi, kontrak-kontrak mengikat.
Selain cara-cara di atas, pemerintah juga perlu mendorong kemajuan teknologi.
Hal tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk penetapan hak paten untuk mendorong
inovasi dengan memberikan monopoli temporer kepada inventor produk-produk baru;
memberikan insentif pajak untuk R&D; melakukan hibah untuk pendanaan riset dasar di
universitas; dan kebijakan industri seperti mendorong industri-industri spesifik yang
menjadi kunci bagi kemajuan teknologi yang cepat.
Dalam praktiknya, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai kebijakan
terkait upaya pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan tersebut berupa
BAB III
SIMPULAN

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Grafik 1 PDB Triwulan 2019 - 202

Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV


2,818,721.50

2,769,787.50
2,735,403.10

2,720,478.50

2,708,997.10
2,703,149.00

2,683,112.00
2,625,125.70

2,589,818.10

2019 2020 2021

Sumber: Badan Pusat Statistik

Grafik 2 PDB ADHK (triliun rupiah) dan Pertumbuhan Ekonomi (persen)


2019 - 2020
7,000,000 6

5.03 5.07 5.17 5.02 5


6,000,000
Pertumbuhan Ekonomi (persen)

4
PDB ADHK (triliun rupiah)

5,000,000
3
4,000,000 2

3,000,000 1

0
2,000,000
-1
1,000,000
-2.07 -2

- -3
2016 2017 2018 2019 2020

Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LPNRT Konsumsi Pemerintah


PMTB Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa
Perubahan Inventori Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik 3 IHK dan Inflasi 2019 - 2021
160 3
2.72
140
2.5
120
2
100 1.68

80 1.5

60
1
40 0.58
0.5
20

0 0
2019 2020 2021

IHK Jan-Apr IHK Mei-Ags IHK Sept-Des Laju Inflasi


Sumber: Badan Pusat Statistik

Grafik 4 Inflasi 2020

Inflasi 2020 (%)


8

7 6.68
6.48

5 Komponen Inti
4.13 Komponen Harga Bergejolak
Komponen Harga Diatur
4 Pemerintah
2.88 2.76 2.87
3

1 0.64 0.54
0.16
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik 5 Tingkat Pengangguran (orang) 2019 - 2020

Tingkat Pengangguran Terbuka (orang)


12,000,000

10,000,000 9,767,754

8,000,000
6,898,796 7,104,424 6,925,486

6,000,000

4,000,000

2,000,000

-
Feb 2019 Ags 2019 Feb 2020 Ags 2020

Tingkat Pengangguran Terbuka


Sumber: Badan Pusat Statistik

Grafik 6 Rasio Gini (persen) 2019 - 2020

Rasio Gini
0.450
0.390 0.391 0.393 0.399
0.380
0.400 0.380 0.381 0.385

0.350
0.320 0.315 0.317 0.319
0.300

0.250

0.200

0.150

0.100

0.050

0.000
Maret 2019 September 2019 Maret 2020 September 2020

Perkotaan Pedesaan Perkotaan + Pedesaan


Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik 7 Pertumbuhan Ekonomi Asean (persen) 2019 - 2021

Pertumbuhan ekonomi asean 2019-2021


8
6.9

6.9
6.5

6.5
5.9

5.2
6
4.5
5

4.3
2.91
4

Indonesia
1.1

2
Vietnam
0 Filipina
2019 2020 2021
Malaysia
-2
Singapura
-2.07

-4

-6 -5.4
-5.6

-8

-10
-9.5

-12
Sumber: Badan Pusat Statistik
Daftar Pustaka

Buku Eko Makro

Todaro, Michael P. and Smith, Stephen C (2003). Economic Development. UK: Pearson Education
Limited

https://ekonomimanajemen.com/pengertian-pertumbuhan-ekonomi/

https://www.bps.go.id/indicator/169/1956/2/-seri-2010-pdb-triwulanan-atas-dasar-harga-konstan-
menurut-pengeluaran.html

ANALISIS PERTUMBUHAN EKO, INVES, KONSUM.pdf

Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Pengeluaran, 2016-2020.pdf

ND_269_Penyampaian_Laporan_Perkembangan_Ekonomi_Indonesia_dan_Dunia_untuk_Triwulan_I
_Tahun_2020.pdf

https://nasional.kontan.co.id/news/inflasi-tahun-2020-terendah-sejak-bps-merilis-data-inflasi

Anda mungkin juga menyukai