Anda di halaman 1dari 8

Dari sisi konsumsi 2020

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2020 menunjukkan berlanjutnya proses perbaikan perekonomian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun mengalami kontraksi, pertumbuhan ekonomi pada triwulan
IV 2020 sebesar -2,19% (yoy) membaik dari pertumbuhan triwulan III 2020 sebesar-3,49% (yoy). Tren perbaikan
pada triwulan IV 2020 tersebut terjadi di hampir seluruh komponen permintaan dan lapangan usaha. Dengan
perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 2,07% pada tahun 2020. Ke depan,
pertumbuhan ekonomi domestik yang membaik hingga akhir 2020, diprakirakan meningkat secara bertahap pada
2021. Bank Indonesia mengarahkan bauran kebijakan akomodatif serta memperkuat sinergi dengan Pemerintah dan
otoritas terkait untuk terus mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Perbaikan ekonomi domestik triwulan IV 2020 ditopang realisasi stimulus dan kontribusi positif sektor eksternal.
Konsumsi Pemerintah tumbuh positif pada 2020 sebesar 1,94% dipengaruhi oleh realisasi stimulus Pemerintah,
terutama berupa bantuan sosial, belanja barang dan jasa lainnya, serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga membaik pada triwulan IV 2020, yakni tumbuh -3,61% (yoy) dari -4,05% (yoy)
pada triwulan sebelumnya, seiring dengan perbaikan mobilitas masyarakat. Secara keseluruhan tahun, konsumsi
rumah tangga terkontraksi sebesar 2.63%. Pertumbuhan investasi juga membaik pada triwulan IV 2020, dari -6,48%
(yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi -6,15% (yoy), sehingga secara keseluruhan tahun mengalami kontraksi
sebesar 4,95%. Sementara itu, net ekspor tercatat positif ditopang perbaikan kinerja ekspor sejalan dengan perbaikan
kinerja perekonomian di beberapa negara tujuan ekspor di tengah masih terbatasnya kinerja impor.
Di sisi lapangan usaha (LU), sebagian besar lapangan usaha mengalami perbaikan pada triwulan IV 2020. LU yang
terkait dengan kesehatan dan aktivitas work from home dan school from home tercatat tetap tumbuh positif dan
melanjutkan perbaikan, seperti LU Informasi dan Komunikasi dan LU Jasa Kesehatan. LU Pertanian dan LU
Pendidikan juga mencatatkan pertumbuhan positif. Sementara itu, LU Industri Pengolahan dan LU Perdagangan yang
berkontribusi cukup besar pada perekonomian terus melanjutkan perbaikan, meski masih terkontraksi.

Dari sisi pengeluaran 2020

Badan Pusat Statistik ( BPS) melaporkan, produk domestik bruto (PDB) RI pada
kuartal III-2020 secara year on year/yoy. Perekonomian Indonesia berdasarkan
besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan III-2020
mencapai Rp3.894,7 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.720,6
triliun.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Ekonomi Indonesia triwulan III-2020 terhadap triwulan sebelumnya meningkat
sebesar 5,05 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi pada
Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan sebesar 24,28 persen. Dari sisi
pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi
Pemerintah (PK-P) yang tumbuh sebesar 16,93 persen. 
Ekonomi Indonesia triwulan III-2020 terhadap triwulan III-2019 mengalami kontraksi
pertumbuhan sebesar 3,49 persen (y-on-y). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha
Transportasi dan Pergudangan mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar
16,70 persen. Darisisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami
kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 10,82 persen. 
Ekonomi Indonesia sampai dengan triwulan III-2020 mengalami kontraksi
pertumbuhan sebesar 2,03 persen (c-to-c). Dari sisi produksi, kontraksi
pertumbuhan terdalam terjadi pada Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan
sebesar 15,61 persen. Sementara dari sisi pengeluaran hampir semua komponen
terkontraksi, Komponen Ekspor Barang dan Jasa menjadi komponen dengan
kontraksi terdalam sebesar 7,52 persen. 
Semua kalangan mengamini bahwa kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam kondisi
yang baik. Hal tersebut disebabkan oleh wabah COVID-19 yang memaksa pemerintah untuk
mengambil kebijakan dengan membatasi mobilitas dan aktivitas masyarakat di ruang-ruang
publik, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam konteks ekonomi makro, kita
dapat menghitung kondisi perekonomian nasional salah satunya dengan pendekatan
pengeluaran dengan mencari hubungan antara permintaan konsumsi rumah tangga (C),
permintaan sektor bisnis untuk investasi (I), pengeluaran konsumsi pemerintah untuk barang dan
jasa (G), serta sektor luar negeri berupa ekspor dan impor (X-M), yang kemudian membentuk
Aggregate Demand yang menjadi salah satu cara untuk mengukur Pendapatan Nasional (Y).
Dengan kata lain, dalam membaca kondisi perekonomian nasional kita dapat melihat sektor
tersebut satu per satu dengan indikator-indikatornya masing-masing. Secara umum, saat ini kita
melihat dari data yang dirilis oleh masing-masing Kementerian/Lembaga Negara bahwa
Konsumsi Rumah Tangga kita turun dan Belanja Pemerintah belum optimal. Di sisi lain, Neraca
Perdagangan kita mengalami surplus dan Pengeluaran Investasi kita meningkat. Konsumsi
Rumah Tangga dan Pilihan Terbatas Pemerintah Kebijakan PSBB, secara langsung maupun
tidak langsung, berdampak pada turunnya tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga (C)
pada Triwulan I 2020 di angka 2,84%, hanya separo jika dibandingkan dengan angka
pertumbuhan pada tahun 2019 yang mencapai 4,96% (year on year). Pemberlakuan PSBB
mendorong masyarakat lebih berhati-hati dalam mengatur keuangan, salah satunya dengan
mengubah pola konsumsi ke arah barang-barang kebutuhan pokok, yang meliputi makanan dan
minuman serta produk kesehatan. Pola konsumsi masyarakat tersebut dapat dikonfirmasi
dengan data dari Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa indeks penjualan ritel mengalami
penurunan di semua sektor, dengan penurunan penjualan ritel sampai April 2020 (year on year)
hingga 11,8 persen, dengan kota-kota besar seperti Jakarta turun 38,1 persen, Medan turun
16,0 persen, dan Surabaya turun 10,0 persen. Disebabkan turunnya angka konsumsi ritel
tersebut, kegiatan produksi dan manufacturing di seluruh sektor perekonomian pun ikut anjlok
dan bahkan beberapa di antaranya berhenti, hal tersebut dapat ditunjukkan oleh tingkat
pertumbuhan nilai Produk Domestik Burto (PDB) produksi pada periode Triwulan I 2020 yang
hanya berada di angka 2,97% (year on year). Dalam kondisi normal tanpa pandemi, di saat
situasi perekonomian tengah lesu, pemerintah memiliki pilihan kebijakan untuk dapat
mempengaruhi dan mengungkit perekonomian nasional. Salah satu contohnya adalah
menggeser hari libur yang lebih dekat ke weekend sehingga tercipta rangkaian libur panjang,
dengan demikian konsumsi rumah tangga akan meningkat sebab digunakan untuk berwisata
maupun biaya-biaya lainnya. Namun, situasi pandemi COVID-19 sebagaimana kita ketahui
bersama memaksa pemerintah menerbitkan kebijakan PSBB dalam rangka mengurangi
penyebaran virus dengan risiko mempersempit ruang pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh
pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah telah mengambil pilihan kebijakan alternatif untuk
mempengaruhi konsumsi rumah tangga dengan cara pemberian insentif pajak, pembebasan
tarif, dan penyesuaian aturan kepada produsen dengan harapan harga-harga barang dan jasa
masih dapat dijangkau daya beli masyarakat. Sehingga pelambatan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga dapat ditekan dan dipertahankan di level risiko terendah dalam pemulihan pasca
pandemi COVID-19. Jebakan Angka Pertumbuhan Investasi Tingkat pertumbuhan PDB yang
rendah dapat dibaca oleh para investor sebagai salah satu indikator ketidakpastian situasi
perekonomian, baik di pasar modal maupun pasar uang, sehingga menimbulkan volatilitas yang
tinggi di sektor keuangan. Hal tersebut merupakan isyarat negatif terhadap aliran pengeluaran
untuk investasi (I) nasional. Fenomena anomali tersebut dapat menimbulkan tanda tanya apabila
kita melihat ke dalam Berita Resmi Statistik Agustus 2020 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), bahwa indikator Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai salah satu pembentuk
PDB pengeluaran justru mengalami penurunan sebesar -8,61% (year on year). PMTB secara
sederhana dapat disebut sebagai indikator pengeluaran dalam pembelian barang-barang modal
seperti bangunan, mesin, peralatan, dan kendaraan niaga. Sehingga jika nilai pertumbuhan
PMTB mengalami penurunan, maka hal tersebut seharusnya direfleksikan oleh nilai Realisasi
Investasi yang ikut turun. Salah satu data pembanding lain yang dapat digunakan untuk menguji
data Realisasi Investasi adalah data penyaluran Kredit Modal Kerja Perbankan yang dirilis oleh
Bank Indonesia. Pada Semester I 2020, posisi Kredit Modal Kerja dari Bank Persero, Bank
Pemerintah Daerah, Bank Swasta  Nasional, Bank Asing dan Campuran, dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) mengalami penurunan sebesar -0,98% (year on year), dengan pertumbuhan
positif Kredit Modal Kerja yang hanya berada di Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pemerintah
Daerah di sektor Perdagangan dan Jasa Pelayanan Pasca-Penjualan Kendaraan Bermotor.
Barangkali, penjelasan atas fenomena tersebut bisa ditemukan dalam definisi Realisasi Investasi
oleh BKPM yang akan lebih tepat disebut sebagai Realisasi Perizinan Investasi, mengingat
tugas dan fungsi BKPM sebagai pintu utama dan satu-satunya perizinan investasi di Indonesia.
Sehingga, walaupun nilai Realisasi Investasi tersebut belum dicerminkan oleh PMTB dan Kredit
Modal Kerja Perbankan, namun dapat diasumsikan sebagai sebuah sinyal baik dari para investor
dalam memandang prospek masa depan perekonomian Indonesia. Belanja Pemerintah dalam
Problem Pertumbuhan Ekonomi Realisasi belanja pemerintah secara umum telah mencapai Rp.
1.068,9 T (39%) per bulan Juni 2020 dari total anggaran sebesar Rp. 2.739,2 T sesuai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden
Nomor 72 Tahun 2020. Belanja tersebut nilainya lebih tinggi 3,3% dibandingkan dengan periode
yang sama di tahun 2019. Realisasi belanja pemerintah tersebut terbagi menjadi Belanja
Pemerintah Pusat sebesar Rp. 668,5 T dan Transfer ke Daerah & Dana Desa sebesar Rp. 400,4
T. Di antara realisasi Belanja Pemerintah Pusat tersebut, variabel Belanja Kementerian/Lembaga
dalam pengadaan Barang dan Jasa mempengaruhi tingkat konsumsi pemerintah yang turun
sebesar -6,9% (year on year). Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, Belanja
Kementerian/Lembaga per bulan Juni 2020 telah terserap sebesar Rp. 350,4 T atau 41,9% dari
total anggaran. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa penyerapan Belanja
Kementerian/Lembaga tersebut didominasi oleh belanja Bantuan Sosial sebesar Rp. 99,4 triliun.
Peningkatan realisasi Bantuan Sosial tersebut dipengaruhi oleh kebijakan penyaluran kepada
masyarakat yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial dalam rangka penanganan dampak
pandemi dalam bentuk : (a) program Kartu Sembako; dan (b) bantuan paket sembako
Jabodetabek dan bantuan sosial tunai non-Jabodetabek yang disalurkan sebagai Jaring
Pengaman Sosial COVID-19. Selain itu, belanja Bantuan Sosial tersebut dipengaruhi kenaikan
PBI JKN 2020 karena adanya kebijakan penyesuaian iuran PBI JKN yang semula Rp. 23.000
menjadi Rp. 42.000, serta kebijakan pencairan di muka bantuan iuran PBI JKN untuk
meningkatakan likuiditas BPJS Kesehatan dalam rangka percepatan pembayaran klaim fasilitas
kesehatan. Sedangkan, Belanja Kementerian/Lembaga dalam bentuk Belanja Modal dan
Belanja Barang per Juni 2020 justru menunjukkan tren pertumbuhan yang kurang menjanjikan
dalam konteks pengaruh belanja pemerintah terhadap pendapatan nasional berdasarkan
pengeluaran. Belanja Modal dan Belanja Barang yang telah terserap dalam periode tersebut
baru sebesar Rp. 37,7 triliun (27,4%) dan Rp. 99,2 triliun (36,5%). Khusus untuk Belanja Barang,
capaian serapan tersebut lebih rendah 16,8% dibandingan periode yang sama di tahun 2019.
Presiden sebagai Kepala Pemerintah merespons situasi perekonomian di Semester I 2020
tersebut dengan menyelenggarakan 4 (empat) kali Rapat Terbatas (Ratas) berkaitan dengan
realisasi belanja pemerintah. Diawali dengan Ratas pada tanggal 7 dan 13 Juli 2020, Presiden
memberikan arahan kepada beberapa Kementerian/Lembaga yang memiliki anggaran Belanja
Modal dan Belanja Barang terbesar agar segera melaksanakan penyerapan anggaran untuk
peningkatan konsumsi pemerintah yang pada Semester I 2020 berkontribusi sebesar 7,58%
dalam komponen penyusun PDB berdasar pengeluaran. Secara khusus, Presiden memberikan
arahan kembali pada Ratas tanggal 23 Juli 2020 kepada beberapa Kementerian/Lembaga agar
mengutamakan produk rakyat, mempertimbangkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri dalam
produk-produk manufaktur, dan mengawasi lebih dalam transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa. Bagi
Kementerian/Lembaga yang mengadakan barang dan jasa impor seperti Kementerian
Pertahanan, Presiden memberikan instruksi agar dapat melakukan pembayaran mundur melalui
leasing dan mendahulukan produk dari Badan Usaha Milik Negara seperti PAL, DI, dan Pindad.
Presiden juga memberikan arahan lebih lanjut kepada para Gubernur pada kesempatan Ratas
pada tanggal 15 Juli 2020 agar mempercepat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Di samping memberikan arahan kepada Gubernur, Presiden memberikan arahan lebih
lanjut kepada jajaran Kementerian/Lembaga berkaitan dengan terobosan percepatan teknis
pengadaan barang dan jasa dan percepatan penyaluran Dana Alokasi Khusus kepada
pemerintah daerah. Dalam konteks pilihan terbatas untuk menghadapi kondisi perekonomian
pasca Semester I 2020, Presiden telah mendorong semaksimal mungkin peran belanja
pemerintah dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian, baik dalam bentuk Belanja
Kementerian/Lembaga maupun Belanja Non Kementerian/Lembaga dalam bentuk Belanja
Modal dan Belanja Barang.

Sumber: https://setkab.go.id/membaca-kembali-perekonomian-indonesia-semester-i-2020-
pilihan-kebijakan-pemerintah-dalam-peningkatan-pdb-nasional/

Dari sisi ekspor netto 2020

DATA SENSUS

Indonesia | English

Bagian Bawah Formulir

Ekonomi Indonesia 2020 Turun sebesar 2,07 Persen (c-to-c)

UNDUH BRS INI

Jadwal Rilis : 2021-02-05


Ukuran File : 1.01 MB
Hit : 215026

Download Bahan Tayang

Download Infografis

Abstraksi

Perekonomian Indonesia 2020 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar
harga berlaku mencapai Rp15.434,2 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp56,9 Juta atau
US$3.911,7.

Ekonomi Indonesia tahun 2020 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07 persen (c-to-c)
dibandingkan tahun 2019. Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan terdalam terjadi pada Lapangan
Usaha Transportasi dan Pergudangan sebesar 15,04 persen. Sementara itu, dari sisi pengeluaran
hampir semua komponen terkontraksi, Komponen Ekspor Barang dan Jasa menjadi komponen
dengan kontraksi terdalam sebesar 7,70 persen. Sementara, Impor Barang dan Jasa yang merupakan
faktor pengurang terkontraksi sebesar 14,71 persen.
Ekonomi Indonesia triwulan IV-2020 terhadap triwulan IV-2019 mengalami kontraksi pertumbuhan
sebesar 2,19 persen (y-on-y). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan
mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 13,42 persen. Dari sisi pengeluaran, Komponen
Ekspor Barang dan Jasa mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam sebesar 7,21 persen.
Sementara, Impor Barang dan Jasa yang merupakan faktor pengurang terkontraksi sebesar 13,52
persen.

Ekonomi Indonesia triwulan IV-2020 terhadap triwulan sebelumnya mengalami kontraksi


pertumbuhan sebesar 0,42 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, kontraksi pertumbuhan terdalam
terjadi pada Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 20,15 persen. Dari sisi
pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-
P) yang tumbuh sebesar 27,15 persen.

Struktur ekonomi Indonesia secara spasial pada 2020 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau
Jawa sebesar 58,75 persen, dengan kinerja ekonomi yang mengalami kontraksi pertumbuhan
sebesar 2,51 persen.

Sisi pengeluaran 2019

Perlambatan ekonomi juga dialami Indonesia. Perekonomian Indonesia tumbuh 4,97 persen

(YoY) pada triwulan IV tahun 2019, lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi

triwulan sebelumnya sebesar 5,02 persen (YoY). Pertumbuhan pada triwulan ini masih

didorong oleh sektor jasa yang tumbuh tinggi, meskipun kontribusinya pada PDB masih relatif

kecil. Pertumbuhan paling tinggi berturut-turut adalah sektor jasa lainnya, jasa perusahaan,

dan informasi komunikasi. Dari sisi pengeluaran, perlambatan terjadi pada semua komponen,

dengan ekspor dan impor kembali mengalami kontraksi. Secara kewilayahan, sebagian besar

wilayah di Indonesia tumbuh positif, kecuali Maluku dan Papua, yang meskipun masih

terkontraksi, tetapi sudah lebih baik dibandingkan periode sebelumnya.

Sampai dengan akhir Desember 2019, realisasi pendapatan negara mencapai 90,4 persen

terhadap target APBN 2019 dengan capaian penerimaan pajak mencapai 86,5 persen. Rasio

pajak Indonesia menunjukkan tren yang cenderung turun. Tanpa mobilisasi pendapatan dan

perbaikan kualitas belanja, defisit ke depan berpotensi melebar terutama

mempertimbangkan penerapan omnibus law perpajakan padda tahun 2021 yang berdampak

pada penurunan pendapatan dalam jangka pendek. Sementara itu, kondisi Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNBP) turun dibandingkan triwulan IV tahun 2018 yang disebabkan oleh

turunnya harga minyak mentah dan lifting minyak bumi.

Realisasi belanja negara hingga akhir Desember 2019 mencapai 93,9 persen dari alokasi APBN.

Belanja pemerintah pusat mencapai 91,7 persen dari target APBN. Kinerja tersebut sejalan
dengan pencapaian sasaran output strategis. Realisasi APBN secara keseluruhan mengalami

defisit sebesar Rp353 triliun atau setara -2,2 persen terhadap PDB.

Dari sisi investasi 2019

Pertumbuhan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB)


diproyeksikan bakal tumbuh 5% pada 2019 dan diproyeksikan bakal terus
tumbuh pada 2020 dan 2021 dengan proyeksi pertumbuhan masing-
masing sebesar 5,5% dan 6%.

Perlu dicatat bahwa angka pertumbuhan investasi yang diproyeksikan


oleh World Bank masih lebih rendah dibandingkan dengan capaian
pertumbuhan investasi pada 2018 yang mencapai 6,7%.

Di tengah perang dagang yang bergejolak, ekspor diproyeksikan


mengalami pertumbuhan negatif dengan capaian sebesar -1% pada 2019
dan diproyeksikan akan kembali tumbuh pada 2020 dan 2021 dengan
pertumbuhan sebesar 1,5%dan 2,8%.

Akibat pertumbuhan investasi yang diproyeksikan lebih rendah


dibandingkan dengan tahu sebelumnya, impor Indonesia juga
diproyeksikan mengalami pertumbuhan negatif sebesar -3,5% pada 2019.
Meski demikian, impor Indonesia diproyeksikan tetap kembali tumbuh
pada 2020 dan 2021 dengan proyeksi pertumbuhan impor mencapai 2%
dan 3,7%.

Dari sisi konsumsi 2019

Konsumsi domestik diperkirakan masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi


Indonesia sepanjang kuartal pertama tahun 2019. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David
Sumual memperkirakan, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 yang akan dirilis Senin (6/5),
berada pada level 5,2% year on year  (yoy).

"Pertumbuhan kuartal pertama lebih ditopang konsumsi domestik yang baik, daya beli
masyarakat yang stabil, dan angka inflasi yang juga rendah," ujar David, Jumat (3/5).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi bulanan pada Maret 2019 sebesar 0,11% atau
secara tahunan 2,48%. Dengan demikian, inflasi Januari-Maret 2019 tercatat 0,35%. David
menilai, angka inflasi masih akan terjaga dalam target Bank Indonesia (BI) sepanjang tahun
ini yaitu 3,5% plus minus 1% secara tahunan. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2019,
kata David, ditopang kegiatan konsumsi yang relatif baik lantaran kondisi harga cukup stabil.
Aktivitas kampanye dan persiapan pemilihan umum sepanjang periode tersebut juga turut
berkontribusi, mulai dari aktivitas logistik, konsumsi makanan dan minuman, hingga
aktivitas terkait transportasi.
Dari sisi ekspor netto 2019

ekspor netto merupakan salah satu komponen pertumbuhan ekonomi selain konsumsi,
investasi, dan pengeluaran pemerintah.

Pelemahan pertumbuhan ekonomi global inilah yang dikhawatirkan investor. Sebab,


pertumbuhan ekonomi yang mandek bisa membuat imbal hasil investasi mereka di masa
depan juga tak pasti. a modal mereka dari negara berkembang seperti Indonesia ke negara
dengan kondisi ekonomi yang lebih stabil (safe haven) seperti AS.

Tak heran, permintaan dolar AS meningkat, rupiah terjerembab dalam sepekan terakhir.
Selain itu, pasar saham juga ikut bergejolak. Selasa (15/4), investor asing tercatat
melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp998,81 miliar.

"Selain itu, perlu diingat bahwa perang dagang ini bisa saja menyebar ke negara-negara
lain. Yang terdekat setelah China adalah barang impor dari Eropa. Jadi inti utamanya adalah
trump memang istilahnya bersikap 'egois' karena dia memperjuangkan perekonomian
negaranya sendiri," jelas Dini.

Ia mengatakan, perang dagang masih akan menjadi pengaruh utama pergerakan rupiah
hingga akhir pekan ini. Namun, kondisi ini bisa berubah asal ada data ekonomi dalam negeri
positif. Data ini, tentu untuk meyakinkan investor bahwa menanam modal di Indonesia masih
menguntungkan.

Baca artikel CNN Indonesia "Rupiah dan Ekonomi RI Bisa 'Tumbang' Gara-gara Perang
Dagang" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190515114517-
532-395047/rupiah-dan-ekonomi-ri-bisa-tumbang-gara-gara-perang-dagang.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/


Dari sisi pendapatan nasional 2019-2020

Ekonomi Indonesia pada triwulan III 2020 terhadap triwulan sebelumnya meningkat 5,05
persen (q-to-q). Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi pada lapangan usaha transportasi
dan pergudangan yang mencapai 24,28 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan
tertinggi dicapai oleh komponen pengeluaran konsumsi pemerintah (PK-P) yang tumbuh
16,93 persen.

BPS menyatakan ekonomi Indonesia triwulan III 2020 terhadap triwulan III 2019 mengalami
kontraksi 3,49 persen (year on year/YoY). Dari sisi produksi, lapangan usaha transportasi
dan pergudangan mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam 16,7 persen. Darisisi
pengeluaran, komponen ekspor barang dan jasa mengalami kontraksi pertumbuhan
terdalam yakni 10,82 persen.
Kontraksi YoY ini merupakan yang kedua kali setelah pada kuartal II 2020, ekonomi
Indonesia minus hingga 5,32 persen. Artinya ekonomi Indonesia telah masuk ke jurang
resesi pada triwulan III tahun ini, atau merupakan pertama kali sejak 1999.

Dari sisi pendapatan nasional 2019

Dari sisi produksi, pelemahan pertumbuhan pada triwulan IV-2019 terutama terjadi di sektor
manufuktur yang porsinya hampir 20 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini
turun signifkan dari 4,14 persen secara tahunan pada III-2019 menjadi 3,66 persen pada
triwulan IV-2019.

Sejumlah sektor lain memberi sedikit kompensasi dengan pertumbuhan yang cukup tinggi
meskipun karena porsinya di bawah sektor manufaktur, penurunan tipis pertumbuhan
ekonomi tetap terjadi. Sektor pertanian, misalnya, tumbuh 4,26 persen secara tahunan pada
triwulan IV-2019, meningkat dari 3,12 persen. Penyediaan akomodasi (hotel) dan makanan
(restoran) meningkat tajam dari 5,41 persen menjadi 6,41 persen pada triwulan IV-2019.
Transportasi dan pergudangan melonjak dari 6,66 persen ke 7,55 persen. Kendati demikian,
hal itu masih belum cukup mengangkat pertumbuhan PDB menjauhi pertumbuhan steady
state 5,0 persen. Sebab, sektor perdagangan yang porsinya sekitar 13 persen dari PDB juga
praktis stagnan, bahkan melambat tipis dari 4,43 persen ke 4,24 persen.

Anda mungkin juga menyukai