Anda di halaman 1dari 6

PERKEMBANGAN EKONOMI DI NEGARA CINA

I. PENDAHULUAN
Keberadaan semua elemen dalam perekonomian suatu negara saling berkaitan dan
saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan sebagaimana kita ketahui bahwa
perekonomian dunia merupakan satu kesatuan, artinya perekonomian suatu negara
merupakan bagian dari negara yang lainnya. Hal ini menjadi kenyataan yang kita hadapi
saat ini, yaitu majunya suatu negara akan menjadi pemicu berkembangnya negara yang
lain. Begitu juga sebaliknya bila suatu negara mengalami kesulitan ekonomi, maka akan
berdampak pada sulitnya ekonomi negara lainnya. Kita dapat melihat contoh nyata bahwa
perekonomian saling berkaitan itu seperti kririsis Eropa yang terjadi sekarang apabila
terus menerus maka akan dapat berdampak luas ke negara-negara lain bahkan ke seluruh
dunia. Menyebarnya krisis negara-negara Eropa ini dapat melalui jalur kredit yang
diberikan Bank Eropa ke negara-negara Asia. Pada krisis Eropa saat ini, kita lihat pada
negara Yunani, negara ini memiliki permasalahan yang begitu kompleks yang berawal
dari krisis utang anggaran (fiskal) yang terus meluas, dan puncaknya sekarang, Yunani
harus menghadapi pilihan sulit. Pertama, ia berhadapan dengan pilihan ancaman keluar
dari mata uang bersama Eropa (Euro). Kedua, Yunani harus mengurangi pengeluarannya
dengan berhemat (austerity) supaya utangnya berkurang. Ketiga, negara ini harus
meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat. Pada hal,
pertumbuhan ekonomi memerlukan anggaran pemerintah (fiskal) yang besar sebagai
upaya menciptakan proyek pembangunan perekonomian.
Terlepas dari krisis itu, ada hal lain yang membanggakan dalam kaitan dengan
kemajuan perekonomian suatu kawasan. Hal yang membanggakankan itu adalah negara
Cina/RRC. RRC merupakan negara dengan sistem politik komunis sejak berdiri pada 1
Oktober 1949.Di bawah sistem politik satu partai, Cina menjalankan sistem ekonomi
sosialis yang tersentralisasi.Kegagalan sistem ekonomi sosialis di masa Mao Zedong
yang mengakibatkan kelaparan massal dan stagnasi ekonomi, membuat pemerintah Cina
berupaya memperbaiki ekonomi Cina dengan mengubah orientasi ekonominya.Sejak
reformasi ekonomi tahun 1978 di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, orientasi
ekonomi Cina berubah ke arah kapitalisme.Hal ini dilakukan melalui implementasi
kebijakan modernisasi dalam empat sektor utama Cina, antara lain pertanian, industri,
ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahanan. Sistem ekonomi Cina yang menjadi
cenderung terbuka terhadap interaksi dengan pihak asing, sekalipun secara teoritis
bertolakbelakang dengan sistem politik komunisme, ternyata mampu berdampak pada
peningkatan ekonomi makro dan mikro dalam negeri. Di samping kebijakan Empat
Modernisasi, Cina juga membentuk sebuah kerangka hukum yang mengakomodir
keterlibatan pengusaha swasta di Cina untuk berpartisipasi dalam ekonomi internasional
melalui Konsep Tiga Perwakilan. Dengan adanya landasan hukum yang legal, maka
partisipasi badan usaha swasta di Cina menjadi lebih terbuka dan bebas.Hal ini
berimplikasi pada semakin berkembangnya peran pengusaha asal Cina dalam dinamika
ekonomi internasional. Dengan berdasarkan kepada dua landasan konseptual tersebut,
pemerintah melakukan sebuahpembangunan ekonomi yang berkarakteristik Cina.
II. PEMBAHASAN
Ketegangan perdagangan dengan AS memperlambat laju pertumbuhan ekonomi
Tiongkok. Setelah tumbuh stabil sebesar 6,4% yoy pada TW1-19, perekonomian
Tiongkok mengalami perlambatan menjadi hanya 6,2% yoy dan di bawah prediksi
(6,3%). Pelemahan ekonomi dipengaruhi oleh penurunan kinerja konsumsi dan net
ekspor, akibat pelemahan permintaan domestik dan eskalasi konflik perdagangan dengan
AS. Sementara, kontribusi investasi membaik didorong investasi BUMN. Ditinjau dari
sektoral, kinerja sektor sekunder melemah di tengah perbaikan sektor tersier dan primer.
Konsumsi masyarakat tertekan oleh beban utang rumah tangga (RT) yang tinggi dan
prospek ketenagakerjaan yang masih buruk. Konflik perdagangan yang berlarutlarut
dengan AS menyebabkan perusahaan menunda rekrutmen, sehingga meningkatkan angka
pengangguran. Dampak negatif konflik perdagangan makin dirasakan oleh perusahaan
swasta, tercermin dari tingkat investasi yang terus menurun, produksi yang melambat,
dan margin keuntungan yang menipis. Kinerja perdagangan juga kembali memburuk
akibat ketidakpastian konflik perdagangan yang menyebabkan disrupsi supply chain dan
menekan permintaan ekspor.
Tingkat inflasi headline kembali meningkat akibat kendala suplai makanan
(kelangkaan daging babi akibat wabah flu dan sayuran akibat cuaca buruk). People’s
Bank of China (PBC) menempuh kebijakan moneter akomodatif secara terbatas untuk
mencegah pelemahan ekonomi lebih dalam dan tetap mempertahankan suku bunga 7
Days Reverse Repo Rate. Kebijakan tersebut diiringi dengan kebijakan fiskal yang
ekspansif melalui pembangunan infrastruktur oleh pemerintah daerah. Aktivitas ekonomi
Tiongkok berpotensi melambat lebih dalam, seiring ketidakpastian penyelesaian konflik
perdagangan dengan AS. IMF memprakirakan ekonomi Tiongkok tumbuh sebesar 6,2%
yoy (2019) dan 6,0% (2020), melambat tajam dari 6,6% pada 2018. Sedangkan
pemerintah menetapkan target PDB sebesar 6,0%-6,5%. Sejumlah risiko membayangi
perekonomian Tiongkok baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari dalam negeri,
terdapat risiko pengetatan real estate financing untuk menghindari property bubble, risiko
default perusahaan dan stimulus kebijakan yang kurang memadai. Sementara risiko
utama dari eksternal adalah ketegangan hubungan perdagangan dengan AS, diikuti oleh
risiko hambatan bisnis pada industri teknologi, serta risiko geopolitik.
Pada triwulan kedua 2019, ekonomi Tiongkok tumbuh melambat menjadi 6,2%
yoy (dari 6,4% yoy pada TW1-19), terendah dalam 27 tahun. Pertumbuhan PDB tersebut
sedikit di bawah ekspektasi (6,3%), meski masih dalam target pemerintah untuk 2019
(6%-6,5%). Berdasarkan kontribusinya, pelemahan ekonomi disebabkan penurunan
kinerja konsumsi dan net ekspor –akibat permintaan domestik yang masih lemah dan
eskalasi konflik perdagangan dengan AS. Kontribusi konsumsi (pemerintah dan rumah
tangga) TW2-19 turun menjadi 3,7% (dari 4,2% pada TW1-19). Kontribusi net ekspor
juga turun menjadi 1,3% (dari 1,5% pada TW1-19). Namun sebaliknya kontribusi
investasi (GCF) naik menjadi 1,2% pada TW2-19 (dari 0,8% pada TW1-19). Secara
sektoral, perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada TW2-19 disebabkan
penurunan kinerja sektor sekunder, sementara sektor tersier relatif stabil. Aktivitas sektor
sekunder (manufaktur dan konstruksi) melambat ke 5,6% yoy pada TW2-19 (dari 6,1%
pada TW1- 19), terdampak eskalasi konflik perdagangan AS-Tiongkok yang
menyebabkan penurunan ekspor. Sektor tersier (jasa) kembali menjadi penopang
ekonomi –tumbuh stabil di level yang tinggi sebesar 7% yoy– ditopang oleh industri jasa
dan e-commerce. Hal ini sejalan dengan rencana jangka panjang pemerintah untuk
bertransformasi dari manufacturingdriven economy menjadi services-led economy.
Sementara sektor primer (pertanian) tumbuh 3,3% yoy, terakselerasi dari 2,7% pada
TW1- 19. Meskipun sektor ini hanya memiliki share 6,1% PDB pada TW2-19 dan dalam
tren yang menurun dalam beberapa tahun terakhir, agrikultur Tiongkok memproduksi
pangan bagi sekitar 20% penduduk dunia (di tengah keterbatasan lahan subur yang
tersedia, dengan share hanya 10% dari tanah subur di dunia).
Kinerja konsumsi terindikasi masih lemah. Penjualan ritel (indikator utama
konsumsi barang) secara umum masih rendah, meski naik tipis 8,4% yoy ytd (bergerak
tipis dari 8,3%). Namun pergerakan tersebut disebabkan oleh lonjakan penjualan
kendaraan pada Juni 2019 yang bersifat temporer. Mayoritas dealer kendaraan
memberikan diskon hingga 50% untuk menghabiskan inventori kendaraan yang tidak
memenuhi ketentuan standar emisi baru. Pelemahan konsumsi turut disebabkan oleh
beban utang rumah tangga (RT) yang tinggi dan prospek ketenagakerjaan yang masih
buruk. Utang RT terus meningkat dan mencapai USD7,2 triliun pada TW1-19 (naik
delapan kali lipat sejak krisis 2007), atau setara dengan 54% PDB (92% disposable
income). Peningkatan drastis disebabkan utang RT dijadikan stimulus untuk menahan
perlambatan ekonomi. Kapasitas pembayaran utang RT makin mengkhawatirkan, debt
service to income ratio melesat hingga 10,9%. Meskipun belum menjadi risiko sistemik,
level utang RT telah mendekati batas aman, sehingga konsumsi (yang dibiayai utang)
tidak dapat diandalkan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Konsumsi juga
terhambat oleh pasar tenaga kerja yang masih lemah. Tingkat pengangguran di kawasan
urban masih tinggi (5,1% pada Juni 2019). Prospek tenaga kerja terindikasi memburuk
pada sektor manufaktur, akibat perlambatan produksi (karena demand global melemah
dan tren proteksionisme), serta ketidakpastian bisnis yang menahan rekrutmen (pengaruh
ketegangan perdagangan dengan AS).
Konsumsi Tiongkok tengah memasuki fase perlambatan struktural jangka panjang
imbas dari struktur demografi penduduk menua. Dibandingkan dengan Jepang pada
1973- 1993, Tiongkok menghadapi aging problems yang lebih parah, karena laju penuaan
Tiongkok lebih cepat dan pendapatan per kapita calon lansia Tiongkok jauh di bawah
Jepang. Tiongkok terancam mengalami stagnasi ekonomi berkepanjangan seperti Jepang
(”Japan Syndrome”). Perkembangan tersebut mengindikasikan bahwa konsumsi
Tiongkok (dengan indikator penjualan ritel) sedang memasuki fase perlambatan jangka
panjang dan sulit untuk tumbuh double digit seperti beberapa tahun lalu. Di tengah
perlambatan konsumsi, kinerja investasi TW2-19 membaik ditopang oleh stimulus
pemerintah kepada BUMN. Rerata investasi aset tetap (Fixed Asset Investment/FAI)
pemerintah naik 6,9% yoy ytd pada Juni (dari 6,7% pada Maret). Pemerintah berusaha
menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi dengan memfokuskan stimulus fiskal pada
sektor infrastruktur dan konstruksi. Keputusan untuk meningkatkan kuota penerbitan
Local Government Special Bond oleh pemerintah daerah pada 2019, mulai
tertransmisikan pada peningkatan investasi oleh BUMN. Pemerintah juga mengubah
regulasi penggunaan dana hasil penerbitan bonds. Jika sebelumnya dana tersebut hanya
dapat digunakan sebagai pinjaman dalam proyek infrastruktur, kini dapat dinilai sebagai
penyertaan saham (maksimal 25%).
Kinerja ekonomi Tiongkok diperkirakan makin melambat pada H2- 19 akibat
eskalasi konflik perdagangan dengan AS. IMF dalam WEO Juli 2019 merevisi ke bawah
proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 6,2% pada 2019 (dari 6,3%) dan 6,0%
pada 2020 (dari 6,1%) –keduanya di bawah pencapaian 6,6% pada 2018. Sedangkan
pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2019 pada kisaran 6,0%–6,5% (dari
target 6,5% pada 2018), dan target inflasi di bawah 3,0%. Dukungan stimulus fiskal dan
beragam instrumen moneter akan digunakan untuk mencapai target tersebut. Ekonomi
akan terdorong perbaikan investasi pemerintah di tengah konsumsi yang masih
melambat. Konsumsi belum menunjukkan tanda pemulihan, disertai sentimen konsumen
yang agak pesimis akibat konflik perdagangan berkepanjangan. Investasi diharapkan
terdorong oleh realisasi proyek pembangunan pemerintah, dengan trade-off peningkatan
kerentanan utang Pemda. Investasi swasta diperkirakan masih tertekan hingga terdapat
titik terang dari negosiasi perdagangan dengan AS. Sementara negosiasi berlangsung
lambat dan eskalasi terus terjadi, perusahaan Tiongkok bertahap memindahkan basis
produksi ke luar Tiongkok. Kinerja ekspor akan makin menurun, pasca-aksi frontloading,
sebagai antisipasi kenaikan tarif bertahap terhadap USD300 miliar ekspor ke AS (tarif
mulai naik).
III. PENUTUP
Ketegangan perdagangan dengan AS mempengaruhi keterlambatan laju
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Tiongkok. Hal tersebut dibuktikan dengan
Tingkat inflasi headline kembali meningkat akibat kendala suplai makanan (kelangkaan
daging babi akibat wabah flu dan sayuran akibat cuaca buruk). Dari hal tersebut maka
tiongkok melakukan strategi-strateginya dengan adanya (1) Modernisasi di sektor industri
yang bisa mendorong berkembangnya industri mikro dengan pemberdayaan masyarakat
bagi usaha kecil-menengah dan industri makro melalui pembentukan Zona-zona
Ekonomi Khusus. (2) Modernisasi sektor industri membuka peluang kerjasama investasi,
kesepakatan transfer teknologi serta peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan
pelatihan keterampilan ahli, sebagai upaya pemupukan modal bagi perkembangan
industri dalam negeri. (3) Modernisasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
menciptakan zona teknologi tinggi dan pabrik manufaktur canggih yang dikembangkan
melalui mekanisme transfer teknologi dari perusahaan-perusahaan asing. Dampaknya
adalah peningkatan produksi komoditas manufaktur yang diekspor dan diperdagangkan
di seluruh dunia melalui kerjasama Free Trade Area di tingkat regional dan internasional.
Kerjasama regional dan multilateral digiatkan sebagai wujud integrasi ekonomi dalam
negeri terhadap sistem perekonomian internasional.
IV. DAFTAR PUSTAKA
https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/Documents/
5.Bab_2_Perkembangan_Ekonomi_Beberapa_Negara_dan_Kawasan.3.19.pdf
https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/FORUMEKONOMI/article/view/10023/1363
https://www.neliti.com/id/publications/155681/perkembangan-ekonomi-makro-negara-
maju-dan-berkembang-di-asia-dan-eropa-indonesi
https://media.neliti.com/media/publications/155681-ID-perkembangan-ekonomi-makro-
negara-maju-d.pdf
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6290005/ciri-utama-negara-berkembang-dan-
negara-maju#:~:text=Adapun%20negara%20yang%20termasuk
%20dalam,Nugini%2C%20dan%20masih%20banyak%20lagi.

Anda mungkin juga menyukai