Anda di halaman 1dari 97

BI Waspadai Risiko Stagflasi Hantam Global, Bagaimana Ekonomi RI?

\ Bank Indonesia memangkas proyeksi pertumbuhan global pada tahun ini dari 3,4% menjadi 3%.
Bank Sentral juga mewaspadai risiko stagflasi atau kondisi stagnansi ekonomi bersamaan dengan
inflasi tinggi yang kemungkinan akan dihadapi banyak negara, termasuk Amerika Serikat.  "Bacaan
kami, berlanjutnya eskalasi geopolitik, kenaikan suku bunga The Fed dan negara lainnya, serta
kebijakan zero covid-19 di Cina menimbulkan risiko pertumbuhan ekonomi global turun menjadi
3%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers daring, Kamis (23/6). Perry juga
memperingatkan risiko stagflasi yang mungkin akan dihadapi oleh banyak negara, termasuk
Amerika Serikat. Meski demikian, Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan
bisa lebih tinggi dari tahun ini dan tumbuh 3,3%. Menurut Perry, risiko stagflasi didorong oleh tiga
faktor. Pertama, perang Rusia di Ukraina dan berlanjutnya sanksi oleh barat terhadap Rusia telah
mengganggu pasokan energi dan pangan global. Gangguan ini yang kemudian menyebabkan
tingginya harga-harga komoditas, baik energi maupun pangan.  Advertisement "Harga minyak
misalnya, kami perkirakan pada tahun ini bisa rata-rata US$ 103 per barel, demikian juga harga
pangan ini meningkat tinggi," kata Perry. BACA JUGA BI Tahan Suku Bunga Acuan 3,5%, Tak
Gubris Langkah Agresif The Fed Kedua, pengetatan moneter di AS dan sejumlah negara maju. The
Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 150 bps dalam tiga pertemuan sebelumnya,
disusul beberapa bank sentral negara maju lainnya sebagai respons atas tekanan  inflasi.  Tekanan
inflasi juga terjadi di beberapa negara berkembang yang kemudian memaksa bank sentralnya
mengerek bunga, seperti di Brasil, Malaysia dan India. Kenaikan bunga diperlukan untuk menekan
inflasi yang tinggi karena negara-negara tersebut tidak memiliki ruang fiskal yang cukup untuk
meningkatkan subsidi dan kompensasi energi. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia yang
memutuskan untuk menaikkan subsidi energi untuk menjaga daya beli masyarakat.   "Kenaikan
suku bunga tentu akan menurunkan permintaan dan kemudian pertumbuhan ekonomi," kata Perry.
Ketiga, kebijakan zero Covid-19 di Cina juga menimbulkan risiko perlambatan ekonomi terbesar
kedua dunia itu. Seperti diketahui, kenaikan kasus Corona memaksa pemerintah negeri tirai bambu
melakukan penguncian secara ketat di sejumlah wilayah dan sebelumnya sempat berlangsung
selama berbulan-bulan di Shanghai. BACA JUGA Gubernur BI Pastikan Tak Buru-Buru Menaikkan
Suku Bunga Acuan Sebagai upaya mencegah risiko stagflasi tersebut, Perry menyebut koordinasi
yang erat antara fiskal dan moneter sangat penting. Ia mengapresiasi langkah pemerintah
menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi sehingga inflasi domestik juga masih
terkendali. Adapun BI memperkirakan inflasi tahun ini mencapai 4,2% atau di atas target 4%. "Inflasi
ini masih kita golongkan terkendali bila dibandingkan negara negara lain yang inflasinya sangat
tinggi," kata Perry.  Sekalipun proyeksi perekonomian global dikoreksi ke bawah, BI tidak merubah
perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari prediksi sebelumnya 4,5%-5,3%.
Perekonomian masih akan bergeliat ditopang peningkatan konsumsi dan kinerja ekspor yang masih
akan moncer.
Waspadai Stagflasi, Menkeu: Pemerintah Perlu
Antisipasi Risiko Global
Jakarta, 20/05/2022 Kemenkeu – Saat ini kasus Covid-19 global dan Indonesia terus mengalami
penurunan. Namun di sisi lain, risiko global mengalami peningkatan, diantaranya dengan adanya
eskalasi geopolitik yang terjadi antara Rusia-Ukraina, serta kenaikan harga bahan pangan dan
energi. Hal tersebut dapat menimbulkan efek signifikan terhadap pertumbuhan global,
perdagangan, dan inflasi. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan
pemerintah harus mengantisipasi dan mewaspadai spillover dari kondisi tersebut.

“Perang di Rusia-Ukraina juga telah menyebabkan disrupsi sisi produksi atau supply shock yang
sangat besar sehingga mendorong kenaikan ekstrem harga-harga komoditas global,” ujar
Menkeu dalam Rapat Paripurna yang diadakan di DPR, Jumat (20/05).

Menkeu menilai pergeseran risiko, tantangan inflasi global, dan pengetatan moneter
menimbulkan situasi pilihan kebijakan atau policy trade-off yang sangat sulit yang dihadapi oleh
semua negara di dunia. Menghadapi hal tersebut, pemerintah dihadapkan kepada dua alternatif
kebijakan.

Pertama, segera mengembalikan stabilitas harga atau mengendalikan inflasi. Pilihan ini
dilakukan dengan pengetatan moneter dan fiskal yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Pilihan kedua adalah tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi yang telah
terpukul sangat dalam akibat pandemi.

“Pilihan kebijakan yang sangat sulit ini apabila tidak dikelola, maka risiko global akan
menciptakan kondisi global yang disebut stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi dan terjadi
diikuti atau dibarengi dengan resesi seperti yang pernah terjadi pada periode awal 1980-an dan
1990-an,” kata Menkeu.

Menkeu mengungkapkan kondisi stagflasi akan memberikan imbas negatif ke seluruh dunia,
terutama terhadap negara-negara berkembang dan emerging market.

“Perubahan risiko global ini harus menjadi fokus perhatian dan harus kita kelola secara tepat
langkah dan tepat waktu, hati-hati namun efektif,” ujar Menkeu.

Dalam mengantisipasi eskalasi risiko global, terutama dalam menghadapi krisis pangan, energi,
dan keuangan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk Global Crisis
Response Group (GCRG) yang mengidentifikasi tiga potensi krisis tersebut.

“Krisis seperti ini, sama seperti krisis pandemi Covid-19, tidak mungkin diselesaikan secara
individual oleh satu negara mana pun, betapapun super-power posisi mereka. Kerjasama global
menjadi keharusan,” ungkap Menkeu.
Dalam forum G20, eskalasi krisis ekonomi global telah menjadi salah satu fokus perhatian.
Presidensi Indonesia dalam G20 telah mendorong adanya solusi nyata secara kolektif untuk
mengatasi berbagai potensi krisis tersebut.

“Bila dibandingkan negara-negara G20, tekanan inflasi di Indonesia tidak setinggi di negara-
negara tersebut karena dapat diredam oleh APBN yang menjadi shock absorber untuk menjamin
daya beli masyarakat,” ungkap Menkeu. (feb/dep/hpy)

Resesi Dunia Ngeri, Orang Bakal Sampai Susah


Dapat Makan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia dalam Global Economic Prospects edisi
Juni 2022 memperingatkan resesi ekonomi bersamaan dengan inflasi yang tinggi
atau disebut stagflasi akibat pandemi Covid-19 yang belum usai, ditambah
adanya konflik Rusia dan Ukraina.

Bank Dunia bahkan menyebut, situasi sekarang memiliki banyak kemiripan


dengan dekade 1970-an dimana gangguan sisi pasokan yang terus-menerus
didahului oleh kebijakan moneter yang akomodatif di negara-negara maju.

Di satu sisi dampak geopolitik Rusia vs Ukraina ini membawa keberkahan


tersendiri bagi Indonesia sebagai negara yang berlimpah dengan komoditas
unggulan seperti crude palm oil (CPO), batubara, dan sebagainya.

Tampaknya Indonesia mempunyai peluang yang lebih baik dalam menghadapi


resesi. Namun tentu harus diiringi dengan bauran kebijakan yang memadai.

Baca:
 Dolar AS Tembus Rp 15.000, Simak Pernyataan Lengkap BI!
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul
Manap Pulungan memandang resesi global telah terjadi sejak awal tahun ini,
karena saat itu ekonomi global mengalami penurunan pertumbuhan yang diikuti
dengan peningkatan inflasi atau stagflasi.

"Stagflasi akan sangat berbahaya karena dari sisi permintaan akan menggerus
daya beli masyarakat, sementara dari sisi penawaran tenaga kerja akan berisiko
pada pemutusan hubungan kerja (PHK)," jelas Abdul kepada CNBC Indonesia,
Selasa (5/7/2022).

Ketika inflasi meningkat, berarti biaya input produksi bagi perusahaan akan
meningkat. Pada satu sisi dia tidak bisa langsung menaikan harga barang
pokoknya, karena daya beli sedang rendah.

Selanjutnya, gejolak ekonomi global ini akan mempengaruhi melemahnya nilai


tukar rupiah atau depresiasi. Ketika depresiasi terjadi, semua agenda ekonomi
akan terpengaruh.

"Pengaruh terhadap orang2 kaya atau pengusaha itu terlihat dari lonjakan
produksi biaya perusahaan mereka," jelas Abdul.

"Bagi kita rakyat jelata ini kenanya lewat harga barang2 pokok yang kita beli, kan
sebagian besar bahan makanan kita diimpor, misalnya kedelai," ujarnya lagi.

Baca:
 Bukan Resesi, Dunia Bakal Hadapi Long Recession!
Menurut Abdul krisis ekonomi yang akan terjadi, dampaknya akan lebih para dari
krisis 1998 dan 2008.

"Kalau krisis 1998 hanya terjadi di kawasan Asia. Sementara di luar Asia itu dia
ekonominya rebound karena waktu itu ada kenaikan harga komoditas. Sama
juga dengan 2008, yang terkena paling signifikan itu AS, tapi yang terkena kan
hanya sektor keuangan, sementara sektor riil bisa bergerak," jelas Abdul.

Nah, yang terjadi sekarang, situasi itu terbalik, di saat pandemi melanda semua
sektor ekonomi mengalami penurunan. Ditambah lagi adanya gejolak geopolitik
Rusia-Ukraina, yang diikuti melonjaknya harga komoditas dan inflasi.

"Akumulasi itu lah yang menyimpulkan situasi sekarang yang tidak baik-baik
saja. Akan lebih buruk dibandingkan krisis 98 dan 2008," ujarnya.

Oleh karena itu, Abdul menyarankan agar otoritas terus meningkatkan ekonomi
di dalam negeri. Harga-harga komoditas yang diatur pemerintah, agar ditahan
dulu kenaikannya. Implikasinya memang akan menggerogoti fiskal.

Namun jika harga-harga komoditas dibiarkan tertransmisi kepada konsumen


atau masyarakat, ekonomi Indonesia akan sulit tumbuhnya dan masyarakat akan
semakin menderita.
"Karena ini baru pandemi, belum ada lahan pekerjaan baru. Kalau tiba-tiba harga
semua naik, itu akan menyebabkan masalah baru di ekonomi kita, khususnya
lonjakan pengangguran dan angka kemiskinan," jelas Abdul.

Bank Dunia Prediksi Indonesia Aman


dari Ancaman Resesi Ekonomi Global,
Kok Bisa?
JAKARTA, FIN.CO.ID - Resesi ekonomi global di depan mata. Bank
Dunia pesimistis negara-negara di dunia bisa menghindari ancaman
kemunduran roda ekonomi.

Bank Dunia memprediksi Indonesia akan aman dari ancaman resesi


global tersebut. 
.

(BACA JUGA:Bank Dunia Nilai Ekonomi Indonesia Termasuk Paling


Resilien di Tengah Risiko Global)

Salah satu pemicu resesi ekonomi global adalah perang Rusia vs


Ukraina, dan lockdown COVID-19 di China.

Vivo T1 pro seharga 2.249.000 IDR. Diskon hingga 70% untuk flagman Vivo!
Ahli jantung berusia 109 tahun: "Saya dan istri saya rutin membersihkan pembuluh darah.

Perhatian! Sebuah kamera dipasang dalam kuburan dengan mayat!

Setelah 6 hari, pembuluh darah akan kembali normal seperti pada usia 18!
Vivo T1 pro seharga 2.249.000 IDR. Diskon hingga 70% untuk flagman Vivo!

Siswi Jenius Jakarta Temukan Obat Bakar Lemak 17 Kg Sehari

Inflasi di berbagai negara diprediksi akan melonjak tajam. Hal ini tidak
akan bisa dihindari. 

"Perang di Ukraina, lockdown di China, gangguan rantai pasokan, dan


risiko stagflasi akan sangat memukul pertumbuhan. Bagi banyak
negara, resesi ini akan sangat sulit dihindari," ujar Presiden Bank
Dunia David R. Malpass pada Rabu (8/6/2022).

Indonesia disebut cukup aman dari ancaman resesi ekonomi. 

(BACA JUGA:Perekonomian Terus Membaik, APBN Catatkan Kinerja


Optimal)
...
Bank Dunia tidak mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada tahun ini. Yaitu tetap di level 5,1 persen.

"Tekanan inflasi yang begitu tinggi di banyak negara tak sejalan


dengan pertumbuhan ekonomi berdasarkan Laporan Global Economic
Prospect June 2022 (GEP)," terang David Malpass.

Bank Dunia, lanjutnya, melihat penurunan pertumbuhan ekonomi


terjadi secara meluas yang tercermin dari pemangkasan di kelompok
negara maju maupun berkembang.

Menurutnya, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini untuk Zona


Eropa sebagai episentrum konflik geopolitik mengalami revisi ke
bawah. Yakni  dari 4,2 persen turun menjadi 2,5 persen.

(BACA JUGA:Inkubasi Koperasi Efektif Menggerakan Ekonomi


Pondok Pesantren)

"Perkiraann pertumbuhan Rusia diprediksi akan berkontraksi 8,9

persen. Sementara Ukraina kontraksi 45,1 persen," tuturnya.

Ekonomi Asia Dihadapkan pada Ancaman Stagflasi, Amankah


Posisi Indonesia?
Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi negara-negara di Asia dihadapkan pada ancaman stagflasi
dikarenakan harga komoditas yang meningkat tinggi akibat perang Rusia Ukraina, serta risiko
perlambatan pertumbuhan ekonomi China. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan
pertumbuhan ekonomi kawasan Asia akan lebih rendah, sementara laju inflasi akan meningkat
tinggi. Pertumbuhan ekonomi kawasan Asia diperkirakan tumbuh 4,9 persen pada tahun ini, 0,5
persen lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Baca Juga : IMF Jelaskan Faktor Penghambat
Pertumbuhan Ekonomi Global IMF juga menurunkan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi
Asean sebesar 0,2 persen menjadi 5,1 persen pada tahun ini. Analis Makroekonomi Bank
Danamon Irman Faiz berpendapat perekonomian Indonesia saat ini dapat dikatakan masih
aman dari ancaman stagflasi. Dia mengatakan, stagflasi terjadi jika laju inflasi meningkat,
sementara pertumbuhan ekonomi melambat. Stagflasi ekonomi juga merupakan risiko jika
pemulihan permintaan di suatu negara terganggu. Baca Juga : IMF dan World Bank Sepakat
Perang Rusia-Ukraina Akan Ganjal Pemulihan Ekonomi Globak Menurutnya, permintaan di
dalam negeri saat ini masih membaik dan diproyeksikan akan terus mengalami perbaikan ke
depannya. “Baseline kami indonesia belum akan stagflasi, karena pertumbuhan ekonomi tahun
ini masih akan membaik ke 5,1 persen,” katanya kepada Bisnis, Selasa (26/4/2022). Sementara
itu, Faiz memperkirakan tingkat inflasi Indonesia akan mencapai level 4,0 persen pada akhir
2022, tanpa memperhitungkan kenaikan harga BBM. Kenaikan inflasi, kata dia, terjadi seiring
dengan permintaan di dalam negeri yang membaik, juga didorong oleh transmisi dari kenaikan
biaya produksi yang sudah ditanggung oleh produsen sejak akhir 2021.

Perang Rusia dan Ukraina mendisrupsi jaringan pasokan, memicu


inflasi. Dunia di ambang stagflasi?

OLEH AGUNG P VAZZA
Setelah sekitar dua tahun rontok dihantam pandemi, pertumbuhan ekonomi global
seharusnya memasuki masa-masa pemulihan tahun ini. Sebagian negara-negara raksasa
ekonomi, seperti Amerika Sserikat (AS), Eropa, serta Cina bahkan diprediksi kembali ke
level sebelum pandemi, pada akhit tahun ini. Sebagian negara-negara berkembang
memang masih cukup tertinggal, namun progres pemulihan tetap berlangsung dan
perlahan menuju normal. 

Beberapa tantangan seperti inflasi memang sudah diperkirakan bakal muncul, namun
seperti juga diprediksi banyak kalangan, kenaikannya secara bertahap bakal berkurang
seiring dengan semakin seimbangnya permintaan dan penawaran pada 2022.

Selain itu, tantangan dan risiko geopolitik juga diperkirakan membayangi, namun
dibarengi pula dengan harapan mereda. Sayangnya, harapan tersebut tak terjadi. Tiga
bulan memasuki tahun 2022, kondisi perekonomian global justru kembali menghadapi
risiko perlambatan yang cukup tajam.

Serangan Rusia ke Ukraina tidak hanya menjatuhkan korban jiwa, tapi juga sejumlah
dampak ekonomi seperti stagflasi, pertumbuhan ekonomi lambat dan inflasi tinggi yang
memunculkan risiko resesi.
Harga-harga komoditas meninggi karena pasokan energi terhambat akibat perang,
sehingga kebutuhan rumah tangga maupun korporasi menjadi semakin mahal. Kondisi
tersebut tentu saja menjadikan prospek peretumbuhan ekonomi global semakin tidak
menentu.

Lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan menyebutnya


sebagai 'ketidakpastian yang luar biasa' dengan konsekuensi ekonomi yang sangat serius.
Harga energi dan komoditi, termasuk komoditi pangan, terus meninggi. Ini menguatkan
tekanan inflasi dari disrupsi jaringan pasokan. Dampaknya diperkirakan IMF bakal
mendunia.

Jika konflik dan perang berlanjut, dampak kehancuran ekonominya bakal lebih parah.
Sanksi terhadap Rusia karena menginvasi Ukraina, pun sangat mungkin memberikan
dampak substansial terhadap perekonomian di banyak negara.

Keadaan tersebut tentu saja menuntut otoritas moneter di banyak negara lebih berhati-hati
memantau dampak kenaikan harga-harga internasional terhadap inflasi domestik, guna
melakukan kalibrasi respons yang lebih sesuai.

Di sisi fiskal, IMF melihat kebijakan tetap perlu berfokus pada kelompok-kelompok
rumah tangga rentan yang terdampak meningginya biaya hidup. Krisis kali ini hampir
pasti membutuhkan trade-off kebijakan yang cukup rumit di tengah lanskap
perekonomian yang baru pulih dari krisis pandemi.

Pandangan senada dilontarkan Presiden Bank Dunia David Malpass. "Invasi Rusia ke
Ukraina terjadi pada saat yang buruk karena bersamaan dengan kenaikan inflasi yang
sudah terjadi," ungkap Malpass dalam sebuah wawancara dengan BBC.
Kekhawatiran terbesar Malpass memang banyaknya korban jiwa, namun dampak perang
sesungguhnya meluas melebihi batas-batas negara Ukraina. Kenaikan harga energi dan
pangan berpotensi lebih memperberat penduduk miskin di banyak negara, terutama
negara-negara miskin.

Pengungsi dari Ukraina mengantre di Stadion Nasional di Warsawa, Polandia, Senin (21/3/2022).
Mereka mendaftar untuk mendapatkan kartu identitas guna mencari pekerjaan setelah terdampak
serangan Rusia. - (AP/Czarek Sokolowski)
SHARE  

Stagflasi
Perang, inflasi, dan perlambatan ekonomi jelas menjadi perhatian serius bank sentral di
seluruh dunia. Situasinya menjadi semakin rumit karena The Federal Reserve (The Fed),
bank sentral AS, sudah pula menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin untuk
menghambat laju inlfasi AS yang sampai Januari lalu, seperti dilansir Badan Statistik AS,
mencapai 7,5 persen, level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Kenaikan suku bunga The Fed saja, tanpa perang, sudah cukp merepotkan. Ditambah
perang, The Fed pun menegaskan terbuka peluang kenaikan (suku bunga) lebih tinggi,
tergantung pada dampak perang Rusia dan Ukraina serta perkembangan isu lain. "Inflasi
sudah terlalu tinggi, dan kami akan mengontrolnya," tegas Chairman Jerome Powell saat
berbicara di hadapan Kongres AS, beberapa pekan lalu.

The Fed juga menegaskan terus memantau dampak perang Rusia-Ukraina terhadap
perekonomian, termasuk juga perkembangan penjatuhan sanksi, atau berlanjutnya
perang. Semua itu dinilainya masih sangat tidak pasti.

Apapun kenaikan suku bunga The Fed jelas menunjukkan bagaimana inflasi mulai
menjadi masalah. Langkah The Fed tersebut kemungkinan besar diikuti pula dengan
langkah serupa dari Bank Sentra Eropa (ECB), yang sudah mengumumkan bakal
mengakselerasi jalan keluar dari stimulus moneter.

Di kawasan lain, di Asia, perekonomian negara-negara yang bergantung pada impor


minyak dan sebagian komoditas dari Rusia dan Ukraina, menjadi cukup rentan. Kenaikan
harga-harga setelah invasi Rusia menambah tinggi lagi inflasi yang sudah terjadi sejak
pandemi.

Terkait kenaikan harga energi, Bloomberg mencatat negara-negara importir minyak di


Asia akan sangat rentan dengan dampak kenaikan harga minyak akibat perang. Lebih dari
40 persen ekspor energi berasal dari kawasan ini. Selain harga minyak, inflasi pangan
juga saat ini juga sudah menghantui konsumen global, terutama negara-negara di Afrika
dan Asia pengimpor gandum dari Ukraina.
Secara keseuluruhan, invasi Rusia ke Ukraina dipastikan mempengaruhi seluruh sendi
dan pertumbuhan ekonomi global, sekaligus mendongkrak inflasi. Dampaknya sangat
mungkin menghantam fundamental perekonomian global dalam jangka panjang.

Selain faktor kemanusiaan dan arus pengungsi, perang jelas meroketkan harga makanan
dan energi, menggerus nilai pendapatan. Pada saat bersamaan juga mendisrupsi
perdagangan, jaringan pasokan global.
Dampak Ekonomi di Asia Akibat Kenaikan Harga Minyak - (Pusat Data Republika)

Selain itu, keyakinan dunia bisnis berpeluang pula tergerus dan memicu ketidakpastian di
kalangan investor sendiri sehingga memicu pula kekhawatiran merosotnya harga aset di
tengan kondisi finansial ketat. Risiko arus modal keluar pun mencuat di negara-negara
berkembang. Dalam situasi dan kondisi di atas, IMF memperkirakan pertumbuhan
ekonomi global berada di kisaran 4,4 persen, dan terkait itu pertumbuhan regional pun
diperkirakan melambat.

Pertanyaan berikutnya, benarkah dunia diambang stagflasi? Sebagian kalangan


berpandangan perekonomian global memang akan dihantam stagflasi. Sebagian bahkan
melihat kondisi stagflasi tersebut sedang dan sudah terjadi.
Begitupun, agaknya tak banyak yang mengkhawatirkan stagflasi di kawasan Asia Pasifik.
Di kawasan ini, setelah dihantam pandemi, kegiatan industri mulai pulih. Morgan
Stanley, bank investasi global, melihat kombinasi pertumbuhan dan inflasi di kawasan
lebih baik dibanding Amerika dan Eropa.

"Siklus bisnis, dinamika produktivitas, dan stabilitas makro di kawasan cukup untuk
meredam risiko-risiko stagflasi," begitu catatan Morgan Stanley seperti dilansir South
China Morning Post.
Dalam jangka panjang, perang atau invasi Rusia terhadap Ukraina, secara fundamental
membuka peluang terjadi pergeseran tatanan perekonomian dan geopolitik global.
Pergeseran ini mungkin saja memicu pemangku kebijakan mempertimbangkan ulang
perdagangan, rekonfigurasi jaringan pasokan, fragmentasi jaringan pembayaran, dan
konfigurasi mata uang cadangan devisa. 

Risiko Stagflasi Global Dinilai Tidak Berpengaruh Besar bagi Indonesia


Di tengah ancaman kondisi stagflasi global, Indonesia dinilai dapat bertahan dan tidak akan
menerima risiko efek yang terlalu besar. Sebab jika dilihat dua indikator utama terjadinya stagflasi,
yaitu tingginya inflasi dan mandeknya pertumbuhan ekonomi, kondisi Indonesia belum
mengkhawatirkan.   Stagflasi adalah suatu kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan melemahnya
pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya angka pengangguran, dan umumnya terjadi inflasi.
“Memang ada kenaikan inflasi, tapi sejauh ini masih terkendali. Begitu juga dengan pertumbuhan
ekonomi. Meskipun melambat, tapi trennya menunjukkan perbaikan yang konsisten,” ucap Tenaga
Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Edy Priyono, dalam keterangan tertulis, Rabu (1/6). Edy pun
mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
tercatat melesat 5,01 persen (year to year) pada triwulan I/2022. Pertumbuhan ini sejalan dengan
kuatnya konsumsi dan investasi di Tanah Air. Advertisement BACA JUGA Dihantui Risiko Stagflasi,
Ini Ramalan Menkeu dan BI soal Ekonomi 2022 Edy juga mencatat ada peningkatan pada
penciptaan lapangan pekerjaan. Di mana tingkat pengangguran terbuka menurun, dari 6,22 persen
pada Februari 2021, menjadi 5,83 persen pada Februari tahun ini. “Angka pengangguran memang
belum kembali ke posisi sebelum pandemi yakni 5,28 persen. Tapi tahun ini sudah ada penurunan
dibandingkan sebelumnya. Ini menunjukkan adanya pemulihan produksi yang konsisten," jelasnya.
00:12 / 01:00 Sementara untuk menahan laju inflasi dalam negeri yang meningkat, Bank Indonesia
(BI) memutuskan tetap menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 3,5%
pada Mei 2022. Sebab inflasi tahunan Indonesia sebelumnya dilaporkan mencapai 3,47% (yoy) per
April 2022. Meski begitu, inflasi Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan negara anggota
G20. Berikut datanya:  Meski demikian, lanjut Edy, pemerintah tetap mewaspadai dampak
ketidakpastian global yang bisa menyebabkan terjadinya stagflasi. Untuk itu, pemerintah terus
mendorong pertumbuhan ekonomi dengan melakukan akselerasi dan perluasan vaksinasi, serta
pembukaan sektor-sektor ekonomi yang bisa menstimulus tumbuhnya perekonomian. BACA JUGA
Mencegah Ekonomi RI Tersambar Stagflasi Seperti Cina dan AS Selain itu, pemerintah juga
konsisten menjaga daya beli masyarakat dengan menyalurkan berbagai skema bantuan sosial. “Jika
langkah-langkah itu tidak dilakukan bisa menyebabkan tingginya peningkatan inflasi, penurunan
daya beli masyarakat, pelemahan ekonomi, dan memberi tekanan fiskal,” terang Edy. Sebelumnya,
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani pada menyampaikan, stagflasi menjadi ancaman besar bagi
semua negara termasuk Indonesia. Menkeu menjelaskan, tingkat inflasi di Amerika Serikat yang
mencapai 8,4 persen menjadi ancaman pemulihan ekonomi negara tersebut, dan turut
mempengaruhi dunia. Bank Sentral Amerika Serikat – The Fed akan melakukan percepatan
pengetatan moneter.

Bank Dunia Memperingatkan Stagflasi Ancam Ekonomi Global


Bank Dunia pada Selasa (07/06) memangkas perkiraan pertumbuhan
ekonomi global untuk tahun 2022 lebih dari satu poin persentase. Organisasi
tersebut menyuarakan keprihatinan seputar risiko "stagflasi", campuran
antara inflasi yang tinggi dan pertumbuhan yang lamban.

"Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," kata Presiden Bank Dunia
David Malpass.

Apa prediksi Bank Dunia?

Bank Dunia memangkas pertumbuhan menjadi 2,9% tahun ini. Sebelumnya


pada Januari, lembaga itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi global
berada di angka 4,1% untuk 2022.

Badan tersebut juga memperkirakan pertumbuhan hanya 3% untuk tahun


2023 dan 2024.

Lebih lanjut, Bank Dunia memproyeksi harga minyak akan melonjak 42%
tahun ini, sementara harga komoditas non-energi diprediksi akan naik
sebesar 18%.

Bank Dunia membandingkan kenaikan harga saat ini dengan guncangan


minyak tahun 1970-an.
Bank Dunia membandingkan ancaman stagflasi saat ini dengan krisis energi tahun 1970-an Foto: DANIEL
SLIM/AFP/Getty Images

Dalam laporan Prospek Ekonomi Global, Bank Dunia menyebut perang di


Ukraina telah memperbesar perlambatan ekonomi global, yang sekarang
memasuki "periode pertumbuhan yang lemah dan inflasi yang berlarut-larut." 
Bagaimana Perang Putin Mempengaruhi Ekonomi Dunia
Efek perang Rusia terhadap Ukraina dirasakan di seluruh dunia. Harga
makanan dan bahan bakar meningkat di mana-mana. Di beberapa
negara kerusuhan pecah akibat naiknya harga barang kebutuhan utama.

Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHuapicture alliance

Belanja Semakin Mahal di Jerman


Konsumen di Jerman merasakan kenaikan biaya hidup. Konsekuensi dari
perang di Ukraina dan sanksi terhadap Rusia mulai terasa. Pada bulan Maret,
tingkat inflasi Jerman mencapai level tertinggi sejak 1981. Pemerintah Jerman
ingin segera mengembargo batubara Rusia, tetapi masih memperdebatkan
pelarangan impor gas dan minyak dari Rusia.

Foto: Moritz Frankenberg/dpa/picture alliance


Antrian Mengisi Bahan Bakar di Kenya
Antrian panjang mobil di SPBU Nairobi. Di Kenya, warga juga merasakan
dampak perang di Ukraina. Bahan bakar kian mahal, dan pasokannya
terbatas, belum lagi krisis pangan. Duta Besar Kenya untuk PBB Martin
Kimani dalam sidang Dewan Keamanan menyatakan keprihatinannya, dan
membandingkan situasi di Ukraina timur dengan perubahan yang terjadi di
Afrika setelah berakhirnya era kolonial.

Foto: SIMON MAINA/AFP via Getty Images

Siapa Amankan Suplai Gandum ke Turki?


Rusia adalah produsen gandum terbesar di dunia. Karena larangan ekspor
dari Rusia, harga roti sekarang naik di banyak tempat, termasuk di Turki.
Sanksi internasional telah mengganggu rantai pasokan. Ukraina juga
merupakan salah satu dari lima pengekspor gandum terbesar di dunia, tetapi
perang dengan Rusia membuat mereka tidak dapat mengirimkan barang dari
pelabuhannya di Laut Hitam.

Foto: Burak Kara/Getty Images

Harga Gandum Melonjak di Irak


Seorang pekerja tengah menumpuk karung-karung tepung tergu di pasar
Jamila, pasar grosir terpopuler di Baghdad. Harga gandum telah meroket di
Irak sejak Rusia menginvasi Ukraina, karena kedua negara tersebut
menyumbang setidaknya 30% dari perdagangan gandum dunia. Irak tetap
netral sejauh ini, tetapi poster-poster pro-Putin sekarang telah dilarang di
negara itu.

Foto: Ameer Al Mohammedaw/dpa/picture alliance

Unjuk Rasa di Peru


Para demonstran bentrok dengan polisi di ibukota Peru, Lima. Mereka
memprotes kenaikan harga pangan, satu di antara rangkaian kenaikan harga.
Krisis semakin diperburuk dengan adanya perang di Ukraina. Presiden Peru,
Pedro Castillo memberlakukan jam malam dan keadaan darurat untuk
sementara. Tapi jika peraturan tersebut dicabut, protes akan terus berlanjut.

Foto: ERNESTO BENAVIDES/AFP via Getty Images

Keadaan Darurat di Sri Lanka


Di Sri Lanka, warga turun ke jalan untuk mengekspresikan kemarahan
mereka. Beberapa hari lalu, ada yang mencoba menyerbu kediaman pribadi
Presiden Gotabaya Rajapaksa. Memuncaknya protes terhadap kenaikan
biaya hidup, kekurangan bahan bakar, dan pemadaman listrik, mendorong
presiden mengumumkan keadaan darurat nasional, sekaligus meminta
bantuan pengadaan sumber daya dari India dan Cina.

Foto: Pradeep Dambarage/Zumapress/picture alliance

Warga Skotlandia Sudah Muak!


Warga di Skotlandia juga memprotes kenaikan harga makanan dan energi. Di
seluruh Inggris, serikat pekerja telah mengorganisir demonstrasi untuk
memprotes kenaikan biaya hidup. Brexit telah mengakibatkan kenaikan harga
di banyak area kehidupan, dan perang di Ukraina makin memperburuk
keadaan.

Foto: Jeff J Mitchell/Getty Images

Harga Ikan Goreng di Inggris Melonjak


Warga Inggris punya alasan untuk khawatir terkait hidangan nasional tercinta
mereka "fish and chips". Sekitar 380 juta porsi goreng ikan dan kentang
dikonsumsi di Inggris setiap tahun. Tetapi sanksi keras saat ini, berarti harga
ikan putih dari Rusia, minyak goreng dan energi, semuanya melonjak naik.
Pada Februari 2022, tingkat inflasi Inggris mencapai 6,2%.

Foto: ADRIAN DENNIS/AFP via Getty Images

Peluang Ekonomi bagi Nigeria?


Seorang pedagang di Ibafo, Nigeria, tengah mengemas tepung untuk dijual
kembali. Nigeria telah lama ingin mengurangi ketergantungannya pada
makanan impor, dan membuat ekonominya lebih tangguh lagi. Orang terkaya
di Nigeria Aliko Dangot, baru-baru ini membuka pabrik pupuk terbesar di
negara itu, dan berharap memiliki banyak pembeli. Apakah itu sebuah
peluang? (kp/as)

Foto: PIUS UTOMI EKPEI/AFP via Getty Images

9 foto
9 foto
Badan tersebut juga memperingatkan prospek masih bisa menjadi lebih buruk
lagi. "Pertumbuhan yang lemah kemungkinan akan bertahan sepanjang
dekade karena investasi yang lemah di sebagian besar dunia," kata Malpass.

"Dengan inflasi yang sekarang berjalan pada level tertinggi selama beberapa
dekade di banyak negara dan pasokan diperkirakan tumbuh lambat, ada
risiko inflasi akan tetap lebih tinggi lebih lama."

Apa penyebab stagflasi?

Malpass mengatakan bahwa pertumbuhan global dipengaruhi oleh perang di


Ukraina, pembatasan kegiatan masyarakat akibat COVID-19 di Cina, dan
gangguan rantai pasokan.

Invasi Rusia ke Ukraina sangat mengganggu perdagangan global  energi dan


gandum, memukul ekonomi global yang telah pulih dari pandemi virus corona.

Harga komoditas telah melonjak, mengancam keterjangkauan di negara-


negara berkembang. "Ada risiko parah kekurangan gizi dan kelaparan yang
semakin dalam dan bahkan kelaparan," kata Malpass.

rs/ha (AP, AFP, Reuters)

Waspada Stagflasi di Asia Efek Perang Rusia-


Ukraina!
Jakarta, CNBC Indonesia- Morgan Stanley menilai Lonjakan sejumlah harga
komoditas di tengah sentimen ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina jika
berlangsung lama dan berkelanjutan akan mendorong risiko penurunan ekonomi
kawasan Asia 25-50 bps.

Menilik proyeksi Risiko stagflasi kawasan Asia ini, Researcher CNBC Indonesia,
Hidayat Setiaji menyebutkan bahwa kondisi ini terjadi imbas harga energi dan
bahan baku ikut terkerek naik sehingga inflasi melonjak dan memaksa Bank
sentral menaikkan suku bunga dan menjadikan pertumbuhan ekonomi
melambat.
Seperti apa analisis risiko stagflasi? Selengkapnya simak dialog Bramudya
Prabowo dengan Researcher CNBC Indonesia, Hidayat Setiaji dalam Profit
CNBC Indonesia (Rabu, 02/03/2022)

Morgan Stanley Optimistis RI Bisa Lawan


Stagflasi
Jakarta, CNBC Indonesia - Kawasan ASEAN diperkirakan memiliki posisi yang
lebih baik dalam menghadapi kondisi iklim ekonomi yang semakin menantang
setelah ekonomi global mengalami pemulihan cepat pasca pandemi. Hal ini
dikemukakan oleh Morgan Stanley (MS) dalam risetnya terkait ekonomi ASEAN
dan disusun oleh Deyi Tan, Louise Loo, dan Jin Choi.

Kondisi ekonomi yang memantang tersebut datang dalam bentuk potensi


stagflasi, di mana pertumbuhan ekonomi terbatas dengan tingkat inflasi yang
cukup tinggi.

Morgan Stanley melihat ekspansi ekonomi mulai bergeser ke arah yang kurang
nyaman dengan ASEAN terlihat lebih baik pada posisinya dibandingkan Asia
Utara.

Tiga perdebatan utama akan potensi stagfalsi yang terjadi adalah terkait
ketegangan geopolitik, khususnya yang masih berlangsung di Eropa Timur,
kebijakan nol covid yang ditempuh China, dan pandangan umum Fed yang kian
hawkish.

Baca:
Inflasi RI Diramal Tembus 6%, 'Wajar BI Menaikan Suku Bunga'
Dampak dari kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan baru yakni seberapa
rendah pertumbuhan ini bisa berjalan? Seberapa tinggi inflasi yang terjadi? Serta
seberapa ketat kebijakan akan diimplementasi?

Meski demikian, MS tidak mengharapkan akhir dari siklus ekspansi akan segera
terjadi - melainkan ekspansi tinggi yang dirasakan pasca pandemi telah bergeser
ke arah yang kurang diinginkan karena pertumbuhan yang lebih lambat, inflasi
yang lebih tinggi, dan normalisasi kebijakan yang lebih cepat dari sebelumnya.
Bank investasi global tersebut mencatat bahwa risiko perlambatan ekonomi
semakin terlihat jelas di tahun 2023 mendatang.

Menghadapi situasi pelik tersebut, MS menyebut bahwa ekonomi dengan yang


dilengkapi dengan lindung nilai akan stagflasi dan penyangga permintaan
domestik memiliki posisi yang lebih baik. Ekonomi ASEAN disebut MS masuk
dalam kategori tersebut dengan Indonesia, Malaysia, dan Filipina berada pada
posisi yang lebih baik.

Terkait pertumbuhan tahun ini, MS melihat negara-negara seperti Korea, Taiwan


dan Singapura cenderung melambat dengan kawasan ASEAN masih tumbuh
tetapi dengan tingkat laju yang lebih rendah.

Baca:
Jangan Kaget! Begini Kondisi Ekonomi Indonesia Terkini
Ekspor akan moderat karena kawasan ini lebih rentan terhadap perlambatan
ekonomi di China dan gangguan rantai pada pemasokan. Lalu, naiknya harga
komoditas menimbulkan arus silang, yang mana menguntungkan eksportir
komoditas dengan merugikan importir.

Terkait inflasi MS memperkirakan Indeks Harga Konsumen (CPI) akan mencapai


puncaknya di level 3%-6% pada kuartal dua dan tiga tahun ini di sebagian besar
perekonomian. Namun, MS mengharapkan inflasi di kawasan tersebut dapat
turun tanpa mematikan permintaan domestik.

Terakhir tentang seberapa berpengaruh pengetatan kebijakan moneter, MS


menilai bahwa normalisasi kebijakan, tidak terlalu mengganggu dan bukan hal
yang ditakuti oleh pasar, meskipun Fed telah mengambil posisi hawkish. Hal ini
lantaran stabilitas makro domestik di kawasan ini juga tidak terlalu panas, seperti
yang terjadi di AS

INTERNASIONAL /

IMF Peringatkan Risiko Stagflasi di Kawasan Asia

Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan


kawasan Asia sedang menghadapi risiko stagflasi. Alasannya, perang Ukraina, lonjakan
biaya komoditas dan perlambatan di China telah menciptakan ketidakpastian yang
signifikan.
Anne-Marie Gulde-Wolf, penjabat direktur IMF Asia dan Pasifik Departemen,
mengatakan ekonomi kawasan akan terpengaruh oleh krisis melalui harga komoditas
yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih lambat di mitra dagang Eropa, seiring
perdagangan Asia dan eksposur keuangan ke Rusia dan Ukraina terbatas.

Selain itu, dia mencatat inflasi di Asia juga mulai meningkat pada saat perlambatan
ekonomi China menambah tekanan pada pertumbuhan regional.

"Oleh karena itu, kawasan Asia menghadapi prospek stagflasi, dengan pertumbuhan
lebih rendah dari yang diperkirakan sebelumnya, dan inflasi lebih tinggi," katanya dalam
konferensi pers online, dikutip dari Reuters, Selasa (26/4).

Hambatan untuk pertumbuhan datang pada saat ruang kebijakan untuk merespons
terbatas, Gulde-Wolf menambahkan pembuat kebijakan Asia akan menghadapi trade-
off yang sulit dalam menanggapi perlambatan pertumbuhan dan kenaikan inflasi.

Baca Juga: Pasar Khawatir Penguncian Shanghai Meluas ke Beijing, Yield Obligasi


Zona Euro Turun

"Pengetatan moneter akan dibutuhkan di sebagian besar negara, dengan kecepatan


pengetatan tergantung pada perkembangan inflasi domestik dan tekanan eksternal,"
katanya.

Lebih lanjut, Gulde-Wolf bilang kenaikan suku bunga stabil yang diharapkan Federal
Reserve AS juga menghadirkan tantangan bagi para pembuat kebijakan Asia mengingat
utang dalam mata uang dolar yang besar di kawasan itu.

Dalam perkiraan terbaru yang dikeluarkan bulan ini, IMF mengatakan mereka
memperkirakan ekonomi Asia tumbuh 4,9% tahun ini, turun 0,5 poin persentase dari
proyeksi sebelumnya yang dibuat pada Januari.

Sementara itu, inflasi di Asia sekarang diperkirakan mencapai 3,4% pada 2022, 1 poin
persentase lebih tinggi dari perkiraan pada Januari.

“Eskalasi lebih lanjut dalam perang di Ukraina, gelombang Covid-19 baru, lintasan
kenaikan suku bunga Fed yang lebih cepat dari perkiraan dan penguncian yang
berkepanjangan atau lebih luas di China adalah beberapa risiko terhadap prospek
pertumbuhan Asia,” pungkasnya.

Apa Itu Stagflasi? Definisi, Penyebab, Dampaknya


Terhadap Ekonomi Apa itu stagflasi?
Bisnis.com, JAKARTA – Dunia kini tengah dilanda fenomena melambatnya pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pengangguran yang relatif tinggi atau stagflasi. Bank Dunia (World Bank)
bahkan meminta negara-negara mewaspadai kondisi stagflasi yang bakal melanda.  Gubernur
Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa risiko stagflasi meningkat di banyak
negara, di mana pertumbuhan ekonomi melambat, sementara tingkat inflasi naik tinggi. Dia
memaparkan kondisi ini disebabkan oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina,
disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan kebijakan zero Covid-19 di China,
sehingga menahan perbaikan gangguan rantai pasokan. Namun, apa sebenarnya kondisi
stagflasi? Dilansir dari Investopedia pada Kamis (23/6/2022), definisi stagflasi sebagai periode
inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan produk domestik bruto (PDB). Singkatnya,
stagflasi digambarkan sebagai sebuah kondisi ekonomi yang melambat dan biasanya disertai
dengan kenaikan harga-harga pokok (inflasi). Stagflasi pertama kali diketahui terjadi pada tahun
1970 ketika banyak negara maju mengalami inflasi sekaligus dirundung tingkat pengangguran
yang tinggi. Pada masa itu, stagflasi terjadi sebagai dampak dari krisis gejolak minyak saat
Amerika mengalami resesi. Baca Juga : Yakin Indonesia Terhindar Stagflasi? Ini Proyeksi
Terbaru Gubernur BI Yang terburuk dari Stagflasi adalah, kondisi ini dapat menyebabkan
munculnya indeks kesengsaraan. Lantas apa kiranya penyebab Stagflasi? Penyebab Stagflasi
Umumya, stagflasi terjadi ketika jumlah uang yang beredar mengalami peningkatan sementara
pasokan kebutuhan cenderung terbatas. Dalam beberapa teori, Stagflasi disinyalir eksis sebagai
dampak dari tatanan kebijakan ekonomi yang buruk. Regulasi pasar, barang, dan tenaga kerja
yang buruk disebut-sebut sebagai kemungkinan penyebab hadirnya inflasi. Salah satu contoh
penetapan kebijakan ekonomi yang buruk pernah terjadi pada masa pemerintahan Richard
Nixon, Presiden Amerika Serikat ke-37 yang pada saat itu membekukan upah dan harga selama
90 hari untuk mencegah kenaikan harga. Namun, kebijakannya tersebut justru menyebabkan
resesi hebat di tahun 1970. Baca Juga : Bank Dunia: Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun
Bebas, Waspada Stagflasi! Seberapa Buruk Dampak Stagflasi Dapat dikatakan, dunia dalam
kungkungan stagflasi dinilai sangat membahayakan. Karena stagflasi adalah sebuah
kontradiksi dari gagasan ekonomi yang sehat. Stagflasi menekan pertumbuhan ekonomi
dengan sangat hebat yang akan berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Umumnya,
meningkatnya taraf pengangguran di sebuah negara akan berdampak pada penurunan daya beli
konsumen. Jika hal tersebut terus terjadi secara tak terkendali, selain dapat berdampak pada
hadirnya inflasi, stagflasi juga bisa memantik merosotnya nilai tukar uang sebuah negara. Itulah
sebabnya mengapa fenomena ini dianggap sangat buruk. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Menentukan posisi di tengah ancaman stagflasi

Ketegangan geopolitik semakin membayangi outlook pertumbuhan global. Sarah


Lu, Senior Portfolio Manager, Multi-Asset Solutions Team, Asia, mengamati
dampak potensial dari kondisi ini terhadap pasar serta membagikan pandangan
terkininya mengenai alokasi aset di tengah inflasi yang lebih tinggi dan
pertumbuhan yang  rendah.

Invasi Rusia ke Ukraina adalah salah satu black swan event nyata yang terjadi saat ini,
dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia tentu saja akan memengaruhi
perekonomian global. Sebagaimana yang dicatat oleh Global Chief Economist and
Head of Macroeconomic strategy kami, Frances Donald, bahwa ada tiga aspek yang
harus kita pertimbangkan saat menilai dampak makroekonomi dari konflik geopolitik
yang tengah terjadi saat ini:

1. Kemungkinan untuk kembali kepada kondisi Goldilocks pada akhir tahun menjadi
kurang solid karena munculnya guncangan stagflasi lain.
2. Diperkirarkan akan adanya komentar yang lebih dovish dari Bank of Canada, Bank of
England, dan yang terpenting European Central Bank.
3. Tema desinkronisasi global akan menjadi lebih penting di sepanjang 2022. Eropa
adalah yang paling terdampak terhadap kegagalan pertumbuhan karena harga-harga
energi yang tinggi.

Apa yang berubah dan bagaimana penilaian kami


terhadap kondisi saat ini

Setelah dijatuhkannya serangkaian sanksi terhadap Rusia, interest rate futures


langsung memperlihatkan adanya prospek kenaikan suku bunga yang lebih rendah
oleh The Fed di bulan Maret dari yang telah diperkirakan sebelumnya, di mana
kenaikan sebesar 25 basis poin menjadi pendapat konsensus 1. Disebabkan hal
tersebut, beberapa obligasi pemerintah Eropa telah mengalami rebound.

Di awal-awal tahun ini, sebelum konflik militer terjadi, kami memiliki pandangan yang
cukup positif terhadap Eropa untuk tahun 2022 dikarenakan banyaknya pendorong
pertumbuhan yang dimilikinya. Memang data PMI terbaru untuk Eropa terlihat baik.
Meski begitu, sehubungan dengan pemberian serangkaian sanksi 2 tersebut ,
pandangan kami terhadap pasar Eropa menjadi sedikit kurang positif.

Pada saat dibuatnya tulisan ini, situasi Rusia-Ukraina masih cair. Beradasarkan hal
tersebut, berikut ini adalah prediksi kami saat ini:

1. Kami meyakini bahwa pada saat ini kejadian-kejadian geopolitik serta outlook stagflasi
tidak akan membawa kita pada resesi ekonomi global. Meski begitu, memburuknya
konflik yang terjadi dengan cepat serta dijatuhkannya sanksi yang lebih berat terhadap
Rusia mungkin akan melemahkan perekonomian global secara signifikan (tergantung
pada skala serta durasi dari konflik tersebut).

2. Eropa sebagai partner dagang utama Rusia akan terdampak paling besar, dan aliran
modal kemungkinan besar akan kembali ke AS.
3. Perkiraan kenaikan suku bunga yang lebih rendah.
4. Inflasi yang disebabkan oleh komoditas mendorong perlu adanya lindung nilai terhadap
inflasi.

Dampak potensial terhadap kelas-kelas aset yang lebih


luas

Dolar AS terus memperoleh dukungan

Kemungkinan akan terus berlanjutnya guncangan stagflasi, yang diperparah oleh


peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi, membuat kami melakukan penyesuaian
terhadap posisi alokasi aset kami. Dalam hal ini, kami meyakini bahwa volatilitas yang
terus menerus serta lebih seringnya investor melakukan risk aversion akan terjadi pada
paruh pertama 2022. Sementara itu, laju pertumbuhan3 AS masih di atas tren pada
saat ini, di tengah perkiraan akan mulai maraknya kembali permintaan terhadap shale
energy, sehingga kami berpendapat bahwa dolar AS akan terus memperoleh
dukungan, yang pada gilirannya akan menarik aliran modal kepada aset-aset di AS.

Pasar saham: geografis dan sektoral


Di pasar negara maju, pasar saham AS lebih diminati daripada pasar saham Eropa.
Dibandingkan dengan kawasan lain, kami meyakini bahwa AS akan terdampak lebih
sedikit oleh pemberian sanksi terhadap Rusia. Industri energi dan pertahanan di AS
diperkirakan akan mengalami peningkatan permintaan atas barang substitusi. Sebagai
contoh, karena pelarangan ekspor minyak Rusia, AS akan memainkan peranan yang
lebih penting karena ia dapat menyediakan shale energy sebagai pengganti migas
Rusia yang mengalami embargo.

Mengingat momentum pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah, ditambah dengan


ketidakpastian geopolitis yang tengah berlangsung, kami memperkirakan akan
meningkatnya volatilitas di pasar saham. Meski begitu, pasar dengan eksposur yang
signifikan terhadap energi dan material (sebagai lindung nilai terhadap inflasi) serta
terhadap kebutuhan pokok konsumen (sebagai tindakan defensif) kemungkinan akan
lebih tidak terdampak berkat harga-harga komoditas yang tinggi.

Untuk pasar negara berkembang, kami bersikap relatif lebih positif terhadap pasar
saham Asia (di negara-negara eksportir komoditas seperti Indonesia, Thailand, dan
Filipina, lihat grafik 1).

Grafik 1: MSCI market exposure to materials, energy dan staples


Sumber: MSCI, Manulife Invesment Management, per 28 Februari 2022.

Pilihan aset obligasi yang berpotensi tumbuh

Prospek mengenai kenaikan suku bunga yang agresif kini telah berkurang, dan The
Fed diperkirakan hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (pasar
memperkirakan kenaikan sebesar 50 basis poin). Selain itu menurut kami obligasi
tampak lebih menguntungkan, dan kami telah merevisi alokasi keseluruhan kami
menjadi lebih underweight.

Dengan asumsi bahwa peristiwa geopolitik dan stagflasi yang tengah terjadi tidak
menyebabkan resesi yang parah, kami meyakini bahwa pasar high-yield AS berpotensi
memberikan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan aset-aset berisiko seperti
saham, karena pasar high-yield AS terkompensasi dengan lebih baik oleh nilai kupon
yang lebih tinggi di tengah naiknya inflasi. Selain itu, high-yield AS memiliki potensi
gagal bayar (default) yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan lain, karena
obligasi-obligasi ini memiliki eksposur yang relatif lebih besar terhadap sektor mingas.
Walau tanda-tanda financial deleveraging yang disebabkan oleh penarikan likuiditas
oleh The Fed tetap masih perlu diwaspadai.

Sementara itu, obligasi bunga mengambang (yang diuntungkan oleh kenaikan suku
bunga), obligasi pemerintah Tiongkok berdenominasi renmimbi (yang memiliki nilai
tukar yang stabil serta kupon yang lebih tinggi dibanding obligasi pemerintah lain), serta
preferred securities (produk mirip fixed income dengan nilai kupon yang lebih tinggi)
juga diperkirakan akan lebih resilien dibandingkan aset-aset berisiko.

Kelas-kelas aset penghasil income lainnya, seperti REITs, juga akan suportif, karena
selisih imbal hasilnya (imbal hasil REITs dikurangi imbal hasil obligasi pemerintah) akan
menyempit dengan lebih lambat bila dibandingkan dengan sebelumnya.

Komoditas

Kami melihat komoditas dari dua perspektif; sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan
sebagai sarana diversifikasi. Kami memperkirakan bahwa harga-harga komoditas,
seperti minyak dan produk-produk agrikultur, akan tetap tinggi karena adanya disrupsi
terhadap pasokan serta dipengaruhi peristiwa geopolitik. Komoditas yang memiliki sifat
lindung nilai terhadap inflasi, seperti logam mulia (emas dan perak), minyak, dan
produk-produk agrikultur berpotensi memiliki kinerja yang lebih baik.

Kesimpulan

Saat tulisan ini disusun, outlook makro serta peristiwa-peristiwa geopolitik masih dalam
kondisi yang sangat cair. Kemungkinan akan pertumbuhan yang lebih lambat serta
inflasi yang lebih tinggi semakin meningkat, dan kami meyakini bahwa investor harus
melakukan manajemen dan diversifikasi aktif untuk menata ulang portofolio mereka
dalam lanskap investasi yang terus berubah ini.

1  Fed Funds Futures menunjukkan adanya 96,9% kemungkinan kenaikan sebesar 25 basis poin pada rapat The Fed di bulan
Maret. Setelah diumumkannya pemberian sanksi oleh Uni Eropa, harga obligasi pemerintah 10-tahun Jerman naik dari 97,776 pada
25 Februari 2022 menjadi 100,799 pada 1 Maret 2022. Sementara imbal hasil obligasi 10-tahun turun dari 0,2261% menjadi -
0,0799% di periode yang sama. 7 Maret 2022, Bloomberg.
2 Composite Purchasing Managers' Index dari Eurozone IHS Markit naik ke 55.5 di February 2022, tertinggi dalam lima bulan
terakhir. Bloomberg, 7 Maret 2022. Pada 8 Maret 2022 AS melakukan pelarangan terhadap ekspor minyak Rusia. Uni Eropa
mengumumkan serangkaian sanksi terhadap Rusia. Termasuk di dalamnya pelarangan atas semua transaksi dengan Central Bank
of Russia, yang membatasi kemampuannya mengakses cadangan devisa. Juga, tujuh bank Rusia dikeluarkan dari sistem
pembayaran internasional SWIFT serta perusahaan-perusahaan yang berbasis di Eropa dilarang untuk mengekspor teknologi
kepada pabrik pembuatan senjata, perusahaan farmasi, unit komunikasi militer serta galangan kapal milik Rusia. Yang terakhir,
perusahaan-perusahaan yang berbasis di Eropa dilarang untuk melakukan bisnis dengan BUMN Rusia yang mengkhususkan diri
pada produksi militer. Financial Times, 4 Maret 2022.
3 Ekonomi AS tumbuh sebesar 5,7% YoY pada tahun 2021, pertumbuhan yang lebih tinggi dari tren sebesar 2%-3%. Bloomberg, 7
Maret 2022.

Ada Ancaman Stagflasi Global, BKF : Efek Rambatannya Ke


Indonesia Masih Terbatas

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan


Fiskal (BKF) Abdurohman mengatakan bahwa stagflasi merupakan fenomena di mana
pertumbuhan ekonomi yang lemah namun diikuti dengan laju inflasi yang tinggi.

“Ini sebenarnya baru gejala, dan terjadi pada perekonomian global,” ujar Abdurrahman
kepada Kontan.co.id, Minggu (12/6).

Ditanya apakah akan merembet ke Indonesia, menurutnya perlu melihat kondisi


ekonomi pada saat ini. Abdurrahman menjabarkan, sampai saat ini ekonomi Indonesia
terus menunjukkan penguatan. Terbukti pada Kuartal I 2022, ekonomi Indonesia
tumbuh 5,01 secara year on year  (yoy) meskipun terjadi gelombang omicron.

Sementara itu, dengan permintaan yang sangat kuat selama Ramadhan dan Idul Fitri,
kinerja ekspor juga kuat, dimana laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada
Kuartal II-2022 akan diperkirakan lebih tinggi jika dibandingkan pada Kuartal I-2022.

Baca Juga: Ekonomi Mulai Pulih, Penyaluran Kredit Konsumsi Naik 6,4% hingga April
2022

Abdurrahman melanjutkan, efek melonjaknya konsumsi masyarakat dengan relaksasi


aturan pembatasan sosial dan perjalanan serta terus meningkatnya investasi juga akan
mendorong kinerja pertumbuhan ekonomi pada semester II-2022.

“Oleh karena itu, laju pertumbuhan ekonomi overall  2022 akan berada di atas 5%.
Perkiraan terbaru Bank Dunia dan IMF untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia, masing-
masing 5,1% dan 5,4%,” jelasnya.

Di sisi lain, Abdurrahman mengatakan, laju inflasi nasional secara yoy juga dalam tren
yang meningkat pada bulan April dan Mei, terutama karena ada efek Ramadhan dan Idul
Fitri, serta kenaikan harga komoditas global.
Adapun laju inflasi Indonesia secara yoy pada Mei 2022 adalah 3,6%. Angka ini masih
termasuk moderat jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti AS yang
mencapai 8,6%, Turki 74% serta Argentina 50%.

“Kenapa inflasi Indonesia masih relatif rendah? Hal ini karena efek kenaikan harga
global hampir semuanya di absorb oleh Pemerintah melalui APBN,” tuturnya.

Baca Juga: Bank Dunia Sebut Pengetatan Kebijakan Moneter Bisa Hambat Modal
Asing ke Asia Pasifik

Konsekuensinya, Ia mengatakan bahwa pemerintah harus menanggung tambahan


belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp 392 triliun untuk
subsidi dan kompensasi ke Pertamina dan PLN.

“Negara-negara lain yang sudah tidak ada mekanisme subsidi energi, kenaikan harga
energi global semuanya di passed-through  ke harga energi domestiknya,” kata
Abdurrahman.

Terkait stagflasi global, Abdurrahman mengatakan bahwa dalam jangka pendek,


staglasi global baru menunjukkan gejala serta efek rambatannya ke Indonesia masih
terbatas.

Namun menurutnya, jika konflik geopolitik berkepanjangan dan menyebabkan


melemahnya perdagangan dan pertumbuhan global, maka pada akhirnya akan
berpotensi mempengaruhi ekonomi domestik, meskipun tetap relatif terbatas,
mengingat Indonesia merupakan produsen sebagian besar komoditas dan permintaan
domestik yang relatif besar.

Gambaran Bank Dunia Soal Stagflasi: Seperti


Badai Besar
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena ekonomi belakangan ini ditandai dengan
merosotnya pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan inflasi tinggi atau
dikenal sebagai stagflasi.

Kepala Ekonom Bank Dunia Indonesia dan Timor Leste Habib Rab kembali
membawa ingatan ke era 1970-an, di mana inflasi global saat itu mencapai
puncak tertinggi menyentuh 14,4% sehingga disebut sebagai era hiperinflasi.
Pendorong utamanya, kenaikan harga minyak dunia.

ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT

Peningkatan risiko stagflasi membuat resesi ekonomi akan sulit dihindari. Risiko
stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu
stabilitas ekonomi negara berpenghasilan rendah dan menengah.

"Terakhir kali dunia mengalami stagflasi pada awal 1970-an. Stagflasi saat itu
menciptakan badai yang besar bagi pembuat kebijakan," jelas Rab dalam
sebuah webinar, Rabu (22/6/2022).

"Kebijakan ekonomi harus dibuat akomodatif, sementara inflasi yang tinggi


membutuhkan kebijakan ekonomi yang lebih ketat, dan kebijakan yang lebih
ketat di tengah beban utang yang tinggi oleh banyak negara menimbulkan
risiko," ujarnya lagi.

Baca:
Bangkrut, Sri Lanka Undang 3 Negara Bahas Misi Penyelamatan
Oleh karena itu, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini
hanya tumbuh 2,9% tahun ini, menurun signifikan dibandingkan realisasi
pertumbuhan ekonomi global 2021 yang mampu mencapai 5,7%.

"Kinerja ekonomi global di tahun depan juga diperkirakan akan bergerak lebih flat
atau tidak ada rebound," jelas Rab lagi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga dalam banyak kesempatan terus


menghimbau kepada seluruh pihak, untuk mewaspadai stagflasi yang
mengancam dunia. Pasalnya itu menyebabkan bahaya bagi perekonomian di
dalam negeri.

"Dunia dalam tantangan stagflasi itu kombinasi yang berbahaya bagi


perekonomian di mana saja," ungkapnya dalam Pengarahan Kepada Penjabat
Gubernur dan Penjabat Bupati/Penjabat Walikota di kantor Kementerian Dalam
Negeri, Kamis (16/6/2022).

Stagflasi adalah kondisi di mana ekonomi menurun, sementara inflasi justru


melonjak tinggi.
Baca:
BI Sinyalkan Tak Kerek Suku Bunga, Rupiah Melemah Lagi!
Kali ini, stagflasi dipicu oleh pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih
disambung oleh perang Rusia dan Ukraina. Agresi Rusia mengakibatkan harga
pangan dan energi melonjak. Inflasi global menjadi tidak bisa dihindari di tengah
perlambatan pertumbuhan ekonomi banyak negara.

Sederet negara kini hadapi krisis pangan dan energi dan mengakibatkan
lonjakan inflasi.

Amerika Serikat (AS) adalah salah satu negara yang alami lonjakan inflasi dan
menempuh pengetatan moneter secara agresif. Dalam sejarahnya ketika suku
bunga AS naik cepat, maka ada krisis keuangan di belahan negara lain.

Jurus BI Cegah Stagflasi Terjadi di RI


Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) memiliki jurus ampuh untuk mencegah stagflasi
terjadi di Indonesia. Stagflasi adalah kondisi di mana inflasi melonjak namun pertumbuhan ekonomi
tertahan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebutkan langkah utama adalah menekan harga agar
tidak terjadi lonjakan inflasi lebih tinggi. Kebijakan ini ditempuh bersama dengan Kementerian
Keuangan dari sisi kebijakan fiskal.

"Mengenai mencegah stagflasi di Indonesia yaitu bagaimana kami dengan pemerintah dapat
bersama menjaga stabilitas harga untuk mengendalikan inflasi tapi tetap mendorong pertumbuhan
ekonomi. Di sinilah koordinasi fiskal dan moneter menjadi penting," ujarnya dalam konferensi pers,
Kamis (23/6).

Lihat Juga :
BI Tahan Suku Bunga di Level 3,5 Persen di Juni 2022
Menurutnya, dari sisi kebijakan fiskal langkah konkret yang sudah diambil adalah menaikkan
anggaran belanja subsidi terutama untuk energi. Penambahan belanja subsidi energi ini pun sudah
disetujui oleh DPR RI.

Dengan penambahan belanja ini, maka pemerintah tidak harus menaikkan harga bahan bakar
minyak (bbm) hingga listrik yang selama ini disubsidi. Alhasil, lonjakan mengerikan inflasi dari sisi
harga yang diatur pemerintah (administered price) bisa dicegah.
PlayUnmute
Loaded: 0.16%
Fullscreen

"Dengan kenaikan (anggaran) subsidi untuk premium, diesel, listrik golongan bawah, kami
perkirakan inflasi akan naik tapi masih terkendali," kata dia.

Lihat Juga :
Tambahan Gaji Camat di DKI Jakarta Hampir Rp40 Juta per Bulan
Sementara itu, ancaman kenaikan inflasi dari sisi kenaikan harga pangan akan dilakukan melalui
kebijakan moneter. Bank Indonesia melalui tim pengendali inflasi pusat maupun daerah yang akan
lebih diperkuat koordinasinya terutama untuk memastikan dari sisi supply produksi pangan terjaga
aman.

"Kami sampaikan bahwa BI terus mencermati risiko tekanan inflasi ke depan, ekspektasi inflasi dan
dampak ke inflasi inti dan akan menempuh normalisasi kebijakan moneter lanjutan sesuai data dan
kondisi berkembang," jelas Perry.

BI memperkirakan inflasi hingga akhir tahun akan naik menjadi 4,2 persen. Namun kondisi inflasi ini
dinilai masih cukup terkendali dibandingkan negara lain yang inflasinya tetap tinggi meski sudah
dinaikkan anggaran belanja subsidinya.

Ekonomi Dunia Dapat Menghindari Pemutaran Ulang


Tahun 1970-an, Meskipun Dengan Beberapa Luka
Bank Sentral mempelajari pelajaran inflasi tahun 1970-
an dan akan memperlambatnya
Lonjakan harga komoditas mendorong pembicaraan
paralel
Perekonomian dunia memiliki peluang yang layak
untuk lolos dari stagflasi gaya tahun 1970-an yang
dijalankan kembali secara penuh -- dan sejauh itulah
kabar baiknya.

Lonjakan bersejarah dalam harga komoditas setelah


invasi Rusia ke Ukraina, di atas inflasi pandemi yang
sudah tinggi, telah membuat investor dan ekonom
mencari kesejajaran dengan guncangan energi empat
dekade lalu dan perlambatan berkepanjangan yang
mengikutinya.
Mereka benar untuk khawatir, kata Maurice Obstfeld,
mantan kepala ekonom di Dana Moneter Internasional.
“Semakin berlarut-larut periode guncangan yang
berkelanjutan ini,” katanya, semakin besar
kemungkinan ekonomi menderita “sesuatu seperti
pengalaman tahun 1970-an.”
Di antara negara-negara maju, risikonya mungkin
paling besar di kawasan euro. Bank Sentral Eropa
secara tak terduga mengatakan pada hari Kamis bahwa
mereka akan mempercepat penghentian stimulus
moneter dengan inflasi yang sudah berjalan hampir tiga
kali lipat dari targetnya.
"Ini adalah risiko terbesar, bahwa kita mungkin
mengulangi pengalaman tahun 70-an," Otmar Issing,
kepala ekonom pertama ECB, mengatakan kepada
Bloomberg Television. "Dan ini adalah kombinasi
terburuk untuk bank sentral."

Secara keseluruhan, pengulangan sejarah mungkin


masih bisa dihindari, kata sebagian besar ekonom.
Tetapi alasan mereka untuk berpikir demikian tidak
sepenuhnya menggembirakan bagi perusahaan dan
pekerja.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dan bahkan
mungkin resesi mungkin merupakan harga yang harus
dibayar untuk menaklukkan inflasi, dengan negara-
negara berkembang sangat rentan.

“Kita harus lebih khawatir tentang perlambatan


signifikan pertumbuhan ekonomi global” daripada
inflasi yang tidak terkendali, kata Kazuo Momma,
yang pernah menjadi kepala kebijakan moneter di
Bank of Japan.

Itu sebagian karena bank sentral seperti Federal


Reserve AS telah belajar dari inflasi yang
berkepanjangan pada tahun 1970-an – cukup untuk
mencegah turunnya “jalur gelap” itu lagi, menurut
Mark Zandi, kepala ekonom di Moody's Analytics.

“Mereka lebih suka mendorong kita ke dalam resesi


lebih cepat daripada masuk ke skenario stagflasi dan
resesi yang jauh lebih buruk nanti,” kata Zandi.
Alasan utama lain para ekonom tidak mengantisipasi
kebangkitan tahun 1970-an adalah karena para pekerja
tidak akan dapat menawar gaji mereka seperti yang
mereka lakukan saat itu.
Di AS dan Inggris, serikat pekerja telah menyusut
secara dramatis. Bahkan di Jerman, di mana mereka
memainkan peran yang lebih besar, ada kehati-hatian
saat ini untuk mendorong kenaikan upah yang besar.
Itu berarti pengulangan dari apa yang disebut spiral
harga-upah, yang merupakan kunci episode inflasi
tahun 1970-an, kecil kemungkinannya. Ini juga
menempatkan rumah tangga pada risiko tekanan besar,
karena pendapatan gagal mengikuti harga yang lebih
tinggi di supermarket atau pompa bensin.

Masih ada alasan untuk membolak-balik buku sejarah.


Tahun 1970-an menampilkan lonjakan energi kembar
terkait dengan embargo minyak OPEC tahun 1973 dan
revolusi Iran enam tahun kemudian.

Bagaimana Perang di Ukraina Mengancam Pemulihan


Ekonomi Dunia

Minggu-minggu sejak Presiden Rusia Vladimir Putin


memerintahkan pasukan ke Ukraina telah melihat biaya
minyak mentah didorong melewati $ 130 per barel - di
samping rentang harga yang jauh lebih luas. Rusia
adalah produsen utama komoditas dari gandum dan
pupuk hingga nikel, dan sanksi yang dipimpin AS telah
mengguncang pasar tersebut.

Baik di tahun 1970-an dan hari ini, guncangan


menghantam ekonomi yang sudah memiliki masalah
inflasi. Misalnya, data yang dirilis Kamis menunjukkan
indeks harga konsumen AS melonjak 7,9% pada
Februari, terbesar dalam 40 tahun. Bloomberg
Economics melihat puncak sekitar 9% pada bulan
Maret atau April
Ada juga beberapa sumber inflasi. Pada 1970-an ada
penyimpangan dari standar emas, yang mengarah ke
devaluasi dolar, dan hangover stimulus 1960-an.
Bahkan ikan teri Peru, bahan utama dalam pakan
ternak, memainkan peran ketika penurunan tahun 1972
dalam tangkapan yang disebabkan oleh pola cuaca El
Nino menyebabkan harga pakan dan daging sapi yang
lebih tinggi.

Pada tahun lalu, warisan Covid-19 dari jalur pasokan


yang rusak, pengeluaran pemerintah yang besar, dan
kebijakan moneter yang mudah memicu harga. Eropa
sudah menghadapi krisis energi bahkan sebelum invasi
Rusia.

Salah satu perbedaannya adalah bahwa ekonomi maju


jauh lebih hemat energi dibandingkan saat itu
“Konsumsi minyak sebagai bagian dari PDB jauh lebih
rendah dan efisiensi energi telah meningkat,” kata Paul
Donovan, kepala ekonom global di UBS Wealth
Management.

Dan itu bukan hanya energi: “Kami juga jauh lebih


sedikit komoditas-intensif. Hanya 20% dari harga
sepotong roti adalah gandum.”

Namun, beberapa dari angka-angka itu mungkin


berubah dalam krisis saat ini.

Harga Melonjak
Inggris, Jerman dan Italia menderita beberapa biaya
bensin tertinggi di Eropa.
Di Eropa, yang mendapat bagian terbesar minyak dan
gasnya dari Rusia, “beban biaya energi” pada ekonomi
kemungkinan akan menjadi yang tertinggi sejak tahun
1970-an, menurut Alex Brazier, mantan pejabat Bank
of England yang sekarang menjadi manajer direktur
Institut Investasi BlackRock.

Gelombang terbaru kenaikan harga yang didorong oleh


komoditas berarti tindakan penyeimbangan yang lebih
sulit lagi bagi para gubernur bank sentral, yang harus
menangani risiko inflasi yang berkelanjutan dan
perlambatan atau pembalikan pertumbuhan.

Di AS, setidaknya, investor masih mengharapkan


kenaikan suku bunga Fed enam perempat poin tahun
ini, mulai minggu depan. Ekonom di Citigroup Inc.
memprediksi di beberapa titik bank sentral akan
memberikan kenaikan setengah poin.

Mengandalkan The Fed untuk mengendalikan harga


dapat menyebabkan kerusakan ekonomi yang tidak
perlu, kata Isabella Weber, seorang ekonom di
University of Massachusetts Amherst. Dia mengatakan
setidaknya harus ada pembicaraan serius tentang
kontrol pemerintah terhadap harga barang-barang
penting.
Saran itu mendapat tanggapan pedas dari para ekonom
ortodoks ketika Weber pertama kali melakukannya
pada bulan Desember, sebagian karena ingatan akan
kontrol harga tahun 1970-an di AS. Tetapi dia
mengatakan kasusnya bahkan lebih kuat sekarang,
karena harga makanan dan energi melonjak.

Ada tanda-tanda bahwa para pembuat keputusan


utama, di pemerintahan dan di luarnya, ingin sekali
tidak mengulangi kesalahan tahun 1970-an dengan
membiarkan harga dan upah naik.

Di AS, Presiden Joe Biden telah memperingatkan


perusahaan agar tidak mencongkel. Ketika dia
mengumumkan larangan impor minyak Rusia pada hari
Selasa, Biden mengatakan pemerintahannya akan
meneliti industri bensin untuk setiap tanda-tanda
“kenaikan harga yang berlebihan atau keuntungan
tambahan.”
Di sisi upah, di beberapa negara – seperti AS dan
Inggris – kekuatan negosiasi telah sangat menurun
sejak tahun 1970-an sehingga tenaga kerja memiliki
sedikit pengaruh untuk ditawar. Jerman, di mana
serikat pekerja tetap relatif lebih kuat, menawarkan
contoh nyata dari beberapa pelajaran yang dipetik.
Setelah guncangan minyak tahun 1973, serikat pekerja
merespons inflasi yang mendekati 8% dengan
mendorong kenaikan gaji dua digit. Itu membantu
mengarahkan ekonomi ke kemerosotan terburuk sejak
Perang Dunia II – dan secara efektif mengakhiri
pekerjaan penuh.

Sekarang, serikat pekerja dan pengusaha meminta


bantuan kepada pemerintah. IG Metall, serikat pekerja
terbesar di Jerman, dan asosiasi pengusaha
Gesamtmetall melobi dalam pernyataan 4 Maret untuk
"paket tindakan komprehensif" untuk mengimbangi
inflasi.

Negara-negara lain seperti Prancis dan Spanyol juga


menggunakan kebijakan fiskal untuk meredam
guncangan inflasi, dengan subsidi untuk membantu
rumah tangga dengan tagihan inflasi yang lebih tinggi.
Beberapa ekonom juga mendukung pendekatan serupa
di AS.

Semua ini menambah ekonomi global yang lebih


tangguh daripada di tahun 1970-an, menurut
Christopher Smart, kepala strategi global di Barings.
Dia memperhitungkan setiap periode stagflasi
kemungkinan akan singkat.
Namun, katanya, invasi Rusia ke Ukraina telah
memicu “krisis nyata yang akan berlangsung bertahun-
tahun dan mungkin beberapa dekade.”

PENJELASAN: Mengapa Perang dan Dampak


Minyaknya Menghidupkan Kembali Ketakutan
Stagflasi: QuickTake

Pakta perdagangan hampir 10 tahun dalam pembuatan:


5 hal yang perlu diketahui tentang RCEP
SINGAPURA - Hampir 10 tahun setelah digagas pada
KTT Asean di Bali pada 2011, pakta perdagangan
terbesar dunia - Kemitraan Ekonomi Komprehensif
Regional (RCEP) - akan ditandatangani pada Minggu
(15 November).

Melibatkan 10 anggota Asean, ditambah China,


Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru,
blok RCEP mencakup hampir sepertiga populasi dunia,
dan menyumbang sekitar 30 persen dari produk
domestik brutonya.
Ini akan menghilangkan sebanyak 90 persen dari tarif
impor antara para pihak dalam waktu 20 tahun sejak
mulai berlaku, dan akan meningkatkan akses pasar
untuk barang dan jasa di kawasan tersebut.
Ini juga bertujuan untuk menetapkan seperangkat
aturan perdagangan yang umum dan mencakup area
non-tradisional yang tidak ada dalam beberapa
perjanjian yang ada, seperti e-commerce, kebijakan
persaingan, dan kekayaan intelektual.

Berikut adalah lima hal penting yang perlu


diperhatikan tentang mega trade deal.

1. Faktor Covid-19
Sementara pembicaraan online telah membuat
pembersihan hukum - sebuah proses di mana
pengacara, penerjemah, dan staf meninjau dan
mengedit teks perjanjian - lebih rumit, dampak
ekonomi dari pandemi Covid-19 adalah faktor
pendorong untuk menyelesaikan kesepakatan,
mengingat manfaatnya. pemotongan tarif dan
hambatan perdagangan.
Sebuah pernyataan bersama oleh para menteri, yang
dirilis setelah pembicaraan online pada bulan Agustus,
mengatakan penandatanganan perjanjian akan
meningkatkan kepercayaan bisnis, serta menunjukkan
dukungan kawasan untuk sistem perdagangan
multilateral yang terbuka, inklusif dan berbasis aturan.
"Para menteri juga menggarisbawahi peran penting
yang dapat dimainkan oleh Perjanjian RCEP dalam
upaya pemulihan pascapandemi, serta dalam
berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
regional dan global," kata pernyataan itu.

Perang perdagangan kenaikan tarif Presiden Amerika


Serikat Donald Trump dengan China juga telah
memberikan dorongan ekstra dalam beberapa tahun
terakhir untuk mendorong maju dengan RCEP, yang
sebelumnya hanya berkembang lambat sejak negosiasi
dimulai pada 2012.

2. Siapa yang diuntungkan?


Semua pihak dalam RCEP berdiri untuk mendapatkan
keuntungan.
Asisten profesor studi internasional di Universitas
Renmin China Jason Ji mengatakan Kamboja, Thailand
dan Vietnam dapat melihat peningkatan PDB dan
volume ekspor di bawah pakta tersebut.

Sektor-sektor utama yang dia lihat menguntungkan


termasuk sektor konstruksi Thailand, industri makanan
olahan Singapura dan Malaysia, dan sektor manufaktur
Laos.

Dosen senior Universitas Ilmu Sosial Singapura Pan


Zhengqi mengatakan hasil signifikan dari RCEP adalah
membantu memfasilitasi rantai pasokan yang
kompleks, yang juga akan meningkatkan sektor
elektronik Korea Selatan.
Adapun Vietnam, katanya, hambatan perdagangan
yang lebih rendah dan peningkatan akses pasar akan
menguntungkan sektor telekomunikasi, tekstil dan alas
kaki.

Dr Pan menambahkan bahwa China, sebagai negara


perdagangan terbesar di dunia, akan mendapatkan
keuntungan terbesar dari pakta tersebut. Baik sektor
manufaktur dan jasa akan melihat peningkatan,
mengingat kapasitas ekspor dan impor negara yang
besar, katanya.
Dia menambahkan bahwa pertukaran pengetahuan
teknis berdasarkan perjanjian juga akan membantu
China meningkatkan rantai nilai.

3. Penarikan India
Akan ada 15 bukannya 16 peserta setelah India
mengumumkan pada November tahun lalu bahwa
mereka akan menarik diri dari pembicaraan.

Itu memiliki kekhawatiran besar atas


ketidakseimbangan perdagangan, karena memiliki
defisit perdagangan dengan 11 dari 15 negara yang
terlibat dalam RCEP. Khawatir bahwa kesepakatan itu
dapat mengakibatkan banjirnya produk manufaktur dan
pertanian ke pasarnya, India tidak mau menghapus tarif
pada banyak industri sensitif.

Namun, pintu tetap terbuka bagi India untuk bergabung


kembali, sebuah poin yang dibuat beberapa pemimpin
ASEAN pada pertemuan puncak mereka dengan
Perdana Menteri Narendra Modi Kamis lalu.
Associate professor of practice di Lee Kuan Yew
School of Public Policy James Crabtree mengatakan
keputusan India untuk tidak ikut serta merupakan
kemunduran bagi perjanjian tersebut tetapi merupakan
"kesalahan bersejarah" bagi India sendiri.

"Itu mungkin membuat kesepakatan lebih mudah untuk


diselesaikan, tetapi juga membiarkannya didominasi
oleh China, yang mengecewakan Asia Tenggara
khususnya," katanya.

"Bagi India, ini menandakan perubahan yang lebih


mendasar dari keterbukaan ekonomi, meninggalkan
New Delhi di luar kedua blok ekonomi yang akan
menentukan masa depan Asia: RCEP dan Perjanjian
Komprehensif dan Progresif 11-anggota untuk
Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP)."

Prof Ji dari Universitas Renmin mengatakan penarikan


India tidak dapat diubah, juga ketidakhadirannya tidak
akan berdampak signifikan pada ruang lingkup dan
kualitas perjanjian, karena sebagian besar negosiasi
telah diselesaikan dengan partisipasi India.
"Yang mengatakan, RCEP menjadi mega-FTA yang
lebih kecil karena ketidakhadiran India, sementara atau
sebaliknya."

4. Di mana CPTPP cocok?


Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang awalnya
melibatkan AS dipandang sebagai penyeimbang bagi
RCEP, dan penyertaan RCEP atas India dimaksudkan
untuk menyeimbangkan China. Tetapi tidak ada
skenario yang berjalan seperti yang dibayangkan.

CPTPP, yang berkembang dari TPP setelah Donald


Trump menarik diri dari kesepakatan dalam salah satu
tindakan pertamanya sebagai presiden, diselesaikan
pada 2018 di antara 11 negara, tujuh di antaranya juga
berada di RCEP: Australia, Brunei, Jepang, Malaysia ,
Selandia Baru, Singapura dan Vietnam. Anggota
CPTPP lainnya adalah Kanada, Chili, Meksiko, dan
Peru.

CPTPP melibatkan penghapusan tarif yang lebih besar


dan juga mencakup ketentuan tentang standar
ketenagakerjaan dan lingkungan, tidak seperti RCEP.
Tetapi hanya sedikit yang menahan napas bahwa AS,
yang masih muncul dari pergolakan pemilihan presiden
yang diperebutkan dengan sengit, akan kembali ke
meja dalam waktu dekat.

"RCEP memberi China penangguhan hukuman yang


sangat dibutuhkan dari perang dagang AS-China dan
meningkatnya proteksionisme global," kata Dr Pan dari
SUSS.

Namun, baik CPTPP dan RCEP dipandang sebagai


blok bangunan dari visi perdagangan bebas yang jauh
lebih besar yang mencakup Samudra Pasifik: Area
Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP), yang telah
disinggung oleh anggota Kerjasama Ekonomi Asia-
Pasifik sebagai awal tahun 2004. Malaysia menjadi
tuan rumah KTT para pemimpin APEC tahun ini akhir
pekan ini.

5. Akankah ketegangan Australia-China


mempengaruhi kesepakatan?
Setelah Australia membuat marah mitra dagang
terbesarnya, China, pada bulan April dengan
memimpin seruan untuk menyelidiki asal-usul virus
corona, pemerintah China memerintahkan penghentian
impor produk Australia seperti batu bara, jelai, dan
anggur.

Beberapa orang mengatakan perselisihan perdagangan


yang sedang berlangsung dapat menghalangi kerja
sama di bawah RCEP. Tetapi Dr Pan dari SUSS
mengatakan pakta perdagangan dapat berguna dalam
mengurangi ketegangan antara Australia dan China
dalam satu cara utama: Ini membatasi tindakan kedua
negara dalam kerangka kerja berbasis aturan.

"Dengan demikian, negara-negara yang berpartisipasi -


bahkan kekuatan besar seperti China - mungkin tidak
siap menggunakan perdagangan sebagai pengaruh
strategis," katanya, menunjukkan bahwa perilaku
China dalam RCEP akan membentuk reputasi dan
kredibilitasnya serta mengubah perilaku negara-negara
lain. ke arah itu.
Dengan mendukung dialog yang sering di antara
anggota, pakta perdagangan juga akan mengurangi
asimetri informasi dan mendorong kerja sama,
tambahnya.
Terlepas dari masalah ini, para analis setuju bahwa
kuncinya sekarang adalah menunjukkan bahwa RCEP
berguna.

"RCEP tidak akan menggantikan FTA yang sudah ada


sebelumnya seperti perjanjian Asean-Plus," kata Prof Ji
dari Universitas Renmin, mengacu pada perjanjian
yang telah ditandatangani Asean secara terpisah
dengan ekonomi utama seperti China, Jepang, dan
Korea Selatan.

"Tapi itu meningkatkan mereka dan memfasilitasi


konvergensi yang teratur dan dinegosiasikan dari
perjanjian ini dalam hal aturan perdagangan dan
prosedur bea cukai."

ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan Menyetujui


Pertukaran Mata Uang

Para menteri keuangan ASEAN, China, Jepang dan


Korea Selatan sepakat di Chiang Mai Sabtu mengenai
pertukaran mata uang bilateral untuk memperkuat
kapasitas regional untuk melawan krisis keuangan di
masa depan.
"Untuk memperkuat mekanisme swadaya dan
dukungan kami di Asia Timur melalui kerangka
ASEAN''3, kami menyadari kebutuhan untuk
membentuk pengaturan pembiayaan regional untuk
melengkapi fasilitas internasional yang ada," kata
pernyataan bersama menteri dari pertemuan yang
dikeluarkan. pada konferensi pers.

Pertemuan tersebut dilakukan di sela-sela Pertemuan


Tahunan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia
ke-33.

"Sebagai permulaan, kami sepakat untuk memperkuat


kerangka kerja sama yang ada di antara otoritas
moneter kami melalui 'Inisiatif Chiang Mai,'" kata
pernyataan itu.

Inisiatif ini melibatkan perluasan ASEAN Swap


Arrangement dan jaringan fasilitas perjanjian
pertukaran dan pembelian kembali bilateral antara
negara-negara ASEAN, Cina, Jepang dan Korea
Selatan.
Untuk lebih mempertahankan pemulihan yang lebih
kuat dari perkiraan di kawasan, para menteri sepakat
untuk memperkuat dialog kebijakan dan kegiatan kerja
sama regional mereka di bidang pemantauan arus
modal, mekanisme swadaya dan dukungan, serta
reformasi internasional.

Mereka juga sepakat untuk menggunakan kerangka


ASEAN''3 untuk memfasilitasi pertukaran data dan
informasi arus modal yang konsisten dan tepat waktu.

Sekretariat ASEAN diminta untuk memimpin dan


mengoordinasikan studi tentang mekanisme lain yang
sesuai yang dapat meningkatkan kemampuan
kelompok tersebut untuk memberikan dukungan
keuangan yang memadai dan tepat waktu untuk
memastikan stabilitas keuangan di kawasan Asia
Timur.

Seorang analis mengatakan Chiang Mai Initiative


melambangkan bahwa kerjasama ekonomi dan
keuangan regional telah memasuki tahap baru.
Para menteri juga menyambut baik pemulihan ekonomi
anggota yang lebih kuat dari perkiraan dan sepakat
untuk lebih mempertahankan pertumbuhan ekonomi
dan memperkuat dialog kebijakan dan kegiatan kerja
sama regional, kata pernyataan itu.

Pada pertemuan informal kedua ASEAN''3 yang


diadakan pada bulan Desember 1998 di Hanoi, Wakil
Presiden China Hu Jintao mengusulkan untuk
mengadakan pertemuan deputi keuangan dan bank
sentral ASEAN''3.

Pada pertemuan informal ketiga pemimpin ASEAN''3


yang diadakan di Manila November lalu, Perdana
Menteri China Zhu Rongji menyarankan agar
pertemuan itu dilembagakan untuk membahas
masalah-masalah yang berkaitan dengan kerja sama
ekonomi dan keuangan regional.

Ia juga menyarankan agar pertemuan ketiga menteri


keuangan ASEAN dilaksanakan secara konsekuen.
Usulan tersebut mendapat tanggapan positif dari
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(ASEAN), Jepang dan Korea.

Dengan latar belakang inilah pertemuan 3 menteri


keuangan ASEAN diselenggarakan.

Tahun 2022 Pemulihan Ekonomi Jalan Terus,


Millennials Kontribusi Yuk!
Jakarta, DJIKP- Sejak awal 2021 Pemerintah Indonesia menjalankan program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Buat kamu ketahui, PEN merupakan salah satu
rangkaian kegiatan buat mengurangi dampak COVID-19 terhadap perekonomian.
Selain penanganan krisis kesehatan, pemerintah juga menjalankan program ini sebagai
respons atas penurunan aktivitas masyarakat yang berdampak pada ekonomi.

Lalu apakah PEN bakal dilanjutkan tahun depan mengingat jelang akhir tahun ini kasus
COVID-19 melandai? Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian
Komunikasi dan Informatika RI Usman Kansong mengatakan tahun depan PEN tetap
dilaksanakan. Selain itu, ia menjelaskan Pemulihan Ekonomi Nasional akan menjadi
fokus karena pemerintah sedang menyusun roadmap untuk bergerak dari pandemik
ke endemi.

“Nah saat itulah (2022) pemulihan ekonomi justru kita gencarkan. Dengan harapan
kalau 70 persen masyarakat Indonesia sudah divaksin, maka kan pemulihan kesehatan
relatif okelah,” tutur Usman Kansong saat menjadi pembicara bersama Economist Bank
Mandiri Andry Asmoro pada acara Indonesia Writer Festival 2021 sesi Millennials,
Begini Proses Percepatan Pemulihan Ekonomi  persembahan Kementerian Kominfo
yang dipandu Pemimpin Redaksi Idntimes.com Uni Lubis secara digital, Sabtu
(30/10/2021).
Konsentrasi pemerintah tahun depan lebih ke pemulihan ekonomi

Usman Kansong melanjutkan bahwa konsentrasi pemerintah tahun depan lebih ke


pemulihan ekonomi apabila tidak ada varian baru ataupun gelombang ketiga, dan
keadaan tidak kritis. Karena itu, ia pun mengajak masyarakat untuk menjaga diri
dengan protokol kesehatan mulai dari memakai masker dan lekas divaksinasi.

Masih terkait dengan hal tersebut, Andry Asmoro mengatakan, “Kondisi di lapangan
plus tantangan dan peluang akan kita temui di tahun mendatang. Apalagi kita tahu
bersama tahun 2021 tahun pemulihan ekonomi, tahun 2022 kita berharap
perekonomian akan lebih tinggi.”

UMKM jadi perhatian Pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional

UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Saat pandemik ini, sektor
informal atau UMKM ini menjadi sektor khusus yang menjadi perhatian Pemerintah
dalam Pemulihan Ekonomi Nasional. Dengan harapan, UMKM dapat memperpanjang
napas dan meningkatkan kinerjanya yang berkontribusi pada perekonomian Indonesia.

Terkait hal itu, Andry Asmoro mengatakan Mandiri Institute melakukan survei terhadap
UMKM. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa UMKM yang relatif bisa bertahan
lebih lama itu yang menyentuh digital. Kenapa bisa seperti itu?

“Memang kalau kita lihat dari sisi karakter belanjanya ternyata yang bisa bertahan itu
adalah yang memiliki kemampuan untuk membaca market dan kemudian bisa
mengoneksi market. Nah itu yang biasanya kemudian bisa dibantu oleh digital,” kata
Andry.

Andry pun menjelaskan ekonomi digital berkembang pesat dan menjadi peluang bagi
pemulihan ekonomi. Hal ini jelas Andry dapat dilihat dari e-commerce yang meningkat
ekspektasinya. Ia juga mengatakan kombinasi memanfaatkan pemulihan ekonomi plus
memanfaatkan teknologi digital itulah peluang bisnis ke depan di tengah pemulihan
ekonomi.

“Namun, media digital adalah media, tetap yang paling penting produknya. Karena
persaingan tinggi, yang punya keunikan yang bisa membangun niche market tersendiri
bisa bertahan lama, tinggal dibantu memanfaatkan media untuk
mengakselerasi market,” tutur Andry.

Kontribusi membangun negara, millennials bisa lakukan ini di era baru digital

Masih soal digital, millennials pun bisa ikut berkontribusi membangun negara dalam
menghadapi pandemik di era baru digital ini. Usman Kansong mengatakan hal paling
penting terkait hal itu ialah millennials mengisi ruang digital dengan konten-konten
positif, misalnya tidak membuat dan menyebarkan hoaks, dan mengisi ruang digital
dengan pesan-pesan yang baik dengan optimisme.

“Bahkan generasi millennial ini bisa menggunakan ruang digital ini untuk melakukan
transaksi ekonomi. Kita mulai saja dari situ, sudah sangat membantu pemerintah,
membantu negara Indonesia lebih baik lagi di masa mendatang,” tutur Usman.

Ini salah satu cara millennials ikut serta dalam pemulihan ekonomi nasional

Lalu kontribusi apalagi yang bisa millennials lakukan dalam Pemulihan Ekonomi
Nasional? Gak perlu jauh-jauh, kalau kamu suka mencari dan menuangkan ide atau
bahkan lebih sering menunjukkan aksimu, pas banget nih Kominfo lagi buka kompetisi
menulis bareng IDN Times Community.

Nah, meski pandemik masih melanda, bukan berarti kamu gak berkarya, ya. Kamu bisa
nih ikut menyumbang ide dan aksimu bagaimana membantu pemulihan ekonomi RI.
Selain membantu negara, kamu juga bisa raih jutaan rupiah dengan ikut Kominfo
Writing Competition. Gimana caranya? Cek di sini ya!

Bagaimana millennial bisa berpengaruh dalam percepatan Pemulihan Ekonomi


Nasional?

Andry Asmoro mengatakan, pertama millennials dapat membantu pemerintah dalam


menjaga protokol kesehatan. Kedua, mengoptimalkan setiap peluang bisnis untuk
mendorong ekonomi apalagi dunia pascapandemik. Ketiga, meningkatkan kemampuan
dan tidak pernah berhenti belajar ilmu-ilmu baru. Keempat, mengoneksikan jaringan
untuk lebih besar berdampak bagi PEN.
Senada dengan Andry, Usman Kansong menjelaskan millennials harus berkontribusi
pada usaha pemulihan kesehatan dengan mau divaksinasi dan menjaga protokol
kesehatan. Kedua, akan baik kalau millennials merintis usaha.

“Bisnis ini juga baik untuk masa depan kita, ketika kita mendapatkan bonus demografi.
Ketika bonus demografi ini kan usia produktif makin meningkat. Maka perlu
penyediaan lapangan pekerjaan yang makin luas. Dengan merintis usaha dari
sekarang, jika berhasil nanti akan memberikan kontribusi pada penyediaan lapangan
kerja dalam menyambut bonus demografi,” tutur Usman Kansong. 

Bank Dunia Menilai Ekonomi Indonesia Paling


Resilien di Tengah Risiko Global
Jakarta, 09/06/2022 Kemenkeu – Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan menjadi salah
satu yang paling resilien di tengah berbagai risiko global yang mengalami peningkatan. Dalam
laporan Global Economic Prospect (GEP) Juni 2022, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan
ekonomi Indonesia akan berada di tingkat 5,1 persen untuk tahun 2022 atau hanya turun 0,1 poin
persentase (pp) dari proyeksi sebelumnya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan
resminya, Rabu (8/6) mengatakan proyeksi tersebut masih berada dalam kisaran outlook
Pemerintah yakni 4,8 persen hingga 5,5 persen. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia
mengemukakan bahwa perekonomian Indonesia akan mendapat dorongan dari kenaikan harga
komoditas.

“Perekonomian Indonesia terus menunjukkan resiliensi di tengah gejolak global yang terjadi.
Selain menjadi salah satu dari sedikit negara yang dapat mengembalikan output ke level
prapandemi sejak tahun 2021, kinerja ekonomi domestik di tahun ini juga terus menguat antara
lain didukung situasi pandemi yang terus terkendali,” ujar Febrio.

Lebih lanjut, Febrio menjelaskan Pemerintah berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi dengan
membuat situasi pandemi menjadi kondusif sehingga memberikan kenyamanan masyarakat
dalam melakukan aktivitas ekonominya. Salah satu caranya dengan mendorong vaksinasi yang
kini sudah mencapai 74,2 persen populasi untuk dosis pertama dan 62,1 persen untuk dosis
lengkap.
Selain itu, Febrio mengungkapkan APBN tetap diarahkan untuk menjadi instrumen penting
merespon dinamika ekonomi yang terjadi, termasuk menjadi shock absorber. APBN akan terus
diarahkan untuk memastikan terlindunginya daya beli masyarakat, khususnya kelompok yang
rentan, serta terjaganya pemulihan ekonomi.

“Saat ini, risiko perekonomian global telah bergeser dari krisis pandemi ke potensi krisis energi,
pangan, dan keuangan. Pemerintah Indonesia akan terus menjaga agar kinerja ekonomi domestik
terus menguat meski di tengah berbagai tantangan global,” kata Febrio.

Berbeda dengan kondisi Indonesia, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global akan
melambat signifikan dari 5,7 persen di tahun 2021 menjadi hanya 2,9 persen di tahun 2022
akibat eskalasi berbagai risiko. Beberapa lembaga internasional lain, seperti IMF, juga
menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebanyak 0,8 pp di bulan April lalu.

Risiko global, seperti konflik geopolitik yang disebabkan oleh perang di Ukraina, telah membuat
tekanan inflasi global semakin persisten, terutama didorong oleh lonjakan harga komoditas
energi dan pangan serta disrupsi suplai.

Berbagai negara berupaya untuk mengendalikan inflasi melalui pengetatan kebijakan moneter
yang lebih cepat dan tajam, terlebih di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang
berpotensi menciptakan pengetatan likuiditas global dan mendorong kenaikan biaya pinjaman.
Hal tersebut turut membuat prospek pemulihan ekonomi global ke depan dibayangi oleh
tantangan yang besar.

Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh Bank Dunia berdampak secara luas di berbagai
negara. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2022 untuk Zona Eropa mengalami revisi ke
bawah sebanyak 1,7 pp, dari 4,2 persen menjadi 2,5 persen. Hal ini terjadi karena saat ini Eropa
menjadi episentrum konflik geopolitik.

Pertumbuhan ekonomi Rusia juga diproyeksi akan mengalami kontraksi 8,9 persen atau turun
sangat dalam 11,3 pp dari prediksi sebelumnya. AS dan Tiongkok sebagai dua perekonomian
terbesar dunia juga turut mengalami penurunan proyeksi pertumbuhan untuk tahun 2022 masing-
masing 1,2 pp dan 0,8 pp. Selain itu, di kelompok negara berkembang seperti India, Meksiko,
dan Thailand juga mengalami penurunan proyeksi yang cukup signifikan yakni 1,2 pp, 1,3 pp,
dan 1,0 pp. (ad/dep/hpy)

Dampak Pandemi Covid-19 ; Stimulus di Tengah


Krisis Ekonomi Global
Dampak Pandemi Covid-19 ; Stimulus di Tengah Krisis Ekonomi Global
Penulis:  Dr. Syahriyah Semaun, SE., MM. (Ketua Prodi Akuntansi Syariah)
OPINI — Krisis ekonomi global akibat wabah virus Corona atau pandemi Covid-19,  kegiatan logistik,
pariwisata dan perdagangan merupakan sektor yang memperoleh dampak besar dari wabah virus
Corona. Hal ini diakibatkan larangan sejumlah pemerintah untuk melakukan perjalanan ke luar negeri dan
penutupan beberapa sektor pariwisata akibat dari kurangnya wisatawan mancanegara.

Dampak sektor perdagangan, khususunya ekspor dan impor, bahan baku dan barang modal. Produksi
turun, barang langka dan harga barang terus meningkat sehingga menimbulkan inflasi. Kenaikan harga
barang yang disertai penghasilan yang menurun merupakan kondisi fatal daya beli masyarakat. Sebagian
bahan baku untuk industri di Indonesia sendiri masih dipasok dari China yang mengalami kendala
produksi akibat karantina di sejumlah daerah untuk membendung pandemi Covid- 19.
Ini menjadi sesuatu yang luar biasa tidak terlepas dari peran teknologi komunikasi. Tingkat persebaran
informasi yang cepat menimbulkan kepanikan yang dahsyat di masyarakat. Implikasinya membuat
perilaku masyarakat berubah. Kepanikan tersebut salah satunya mengakibatkan ketimpangan antara
permintaan dan penawaran.

Saat ini ekonomi global mengalami krisis akibat pandemi Covid-19, indeks bursa saham rontok. Nilai
tukar rupiah terhadap dollar USA melemah hal ini diakibatkan banyaknya investor asing meninggalkan
pasar keuangan Indonesia,  pasar saham anjlok, mempengaruhi perekonomian dalam negeri.
Penguatan dollar USA ini terjadi karena kepanikan di pasar global akibat Covid-19 serta bergejolaknya
pasar minyak. Kemungkinan rupiah akan melemah terus terhadap nilai tukar dollar AS.

Wabah Covid-19 ini bukan hanya sekadar penyakit yang  mempengaruhi kesehatan, namun juga dampak
secara ekonomi, karena ketika semakin banyak pekerja yang terinfeksi maka semakin banyak pula biaya
untuk perawatan dan juga biaya produksi yang ditanggung oleh negara.
Resiko terhadap kesehatan semakin tinggi dan secara ekonomi akan mempengaruhi pada tingkat
produktivitas  biaya perawatan yang tinggi akibat banyaknya yang terdampak. Dibutuhkan penanganan
yang serius dan kebijakan yang tegas dan tepat sasaran untuk menyelesaikan krisis ekonomi tersebut.

Seruan untuk pemberlakuan social distancing mempunyai dampak yang tidak sekadar menjauhkan


hubungan fisik manusia namun juga mengganggu perilaku ekonomi masyarakat. Namun, pilihan
untuk social distancing dinilai lebih baik daripada keputusan untuk lockdown dan kebijakan herd
immunity.
Wacana lockdown dapat membuat laju perekonomian semakin berat. Tingkat konsumsi melemah yang
mempengaruhi beberapa indikator penopang ekonomi. Pasokan bahan pangan dan kebutuhan yang
menurun mengakibatkan harga naik. Hal ini akan menimbulkan kelangkaan barang yang akhirnya akan
memicu keresahan sosial.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tetap berjalan di tengah krisis ekonomi akibat wabah covid
-19, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan stimulus yang terangkum ke dalam 3 stimulus yaitu
stimulus fiskal, non fiskal dan sektor ekonomi.
Ketiga stimulus tersebut berkaitan dengan berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dalam bidang usaha,
bisnis, pajak dan sebagainya. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani telah berkoordinasi bersama
sejumlah institusi seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan
serta Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

[Page 2]
Koordinasi tersebut telah melahirkan sejumlah keputusan dan tertuang dalam Keputusan Presiden RI
bapak Jokowi. Untuk mengurangi dampak negatif Covid-19 yang lebih besar, 3 stimulus yang diberikan
berpengaruh terhadap beragam sektor yang ada di masyarakat yaitu :

1. Stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Seperti:


a. Pembebasan sementara pajak penghasilan atau PPh  pasal 21 selama 6 bulan untuk industri
pengolahan. Hal ini dapat mempertahankan daya beli pekerja yang bekerja disektor industri. Peraturan ini
mulai berlaku bulan April hingga September 2020.

b. Penundaan pembayaran penghasilan impor atau PPh pasal 22 selama 6 bulan. Peraturan Ini mulai
berlaku bulan April hingga September 2020.
c. Pengurangan pajak PPh pasal 25 sebesar 60 % selama 6 bulan. Peraturan ini mulai berlaku bulan April
hingga September 2020. Hal ini diharapkan dapat memberikan ruang cash flow bagi industri dengan
penundaan pajak, berlaku mulai bulan April hingga September 2020

d. Pembebasan pajak restoran dan hotel selama 6 bulan. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk 10
destinasi wisata dan 33 kota dan kabupaten. Peraturan ini mulai berlaku bulan April hingga September
2020.
e. Percepatan penyaluran untuk bantuan sosial, subsidi untuk perumahan rakyat serta implementasi kartu
pekerja.

f. Diskon tiket penerbangan hingga 50 % untuk setiap 25 kursi bagi pesawat dan dari dan menuju 10
tempat wisata utama.
g. Asuransi dan santunan bagi para tenaga medis yang menangani pasien-pasien yang terjangkit wabah
virus corona.

h. Relaksasi restitusi untuk pajak pertambahan nilai atau PPN dipercepat selama 6 bulan. Hal ini
diharapkan dapat membantu likuiditas perusahaan dampak dari pandemi Covid-19.
2. Stimulus Non Fiskal yang berkaitan dengan ekspor dan impor.

Stimulus non fiskal dikeluarkan oleh pemerintah dengan harapan dapat membantu kegiatan ekspor dan
impor ditengah wabah virus covid-19.
Seperti:

a. Percepatan proses ekspor dan impor bagi para pelaku usaha yang memiliki reputasi baik.
b. Proses percepatan ekspor impor dengan national logistic system.

c. Penyederhanaan atau pengurangan larangan terbatas untuk kegiatan ekspor sehingga dapat membuat
kegiatan ekspor berjalan lancar dan meningkatkan daya saing ekspor.
d. Penyederhanaan atau pengurangan larangan terbatas impor bagi perusahaan yang berstatus sebagai
produk pangan yang strategis, produsen dan komoditi holtikultura, obat, bahan obat dan makanan.

3. Stimulus Untuk Sektor Keuangan


Sejumlah stimulus telah dikeluarkan untuk membantu sektor ekonomi. Seperti:

a. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan relaksasi atau kelonggaran bagi emiten untuk melakukan
buy-back saham tanpa melalui mekanisme rapat umum pemegang saham.
b.. Relaksasi atau kelonggaran restrukturisasi kredit
c. Relaksasi pembayaran untuk iuran program jaminan sosial pada tenaga kerja yang bekerja disektor
yang terkena dampak Covid-19.

d. Ketentuan BI untuk underlying transaksi bagi para investor asing diperluas, sehingga mampu
memberikan alternatif untuk melindungi nilai kurs rupiah.
e. Penurunan pada suku bunga acuan Indonesia 50 BPS dan giro wajib minimum Rupiah maupun valuta
asing.

Kebijakan stimulus ekonomi dalam fiskal,  memberikan insentif pajak untuk sejumlah bisnis diantaranya
sektor pariwisata, transportasi, penerbangan, perdagangan, industri pengolahan dan perhotelan untuk
mendorong sektor pariwisata.
Pandemi Covid-19 membuat sektor pariwisata terkena imbas. Terlihat dengan penurunan jumlah
kunjungan wisatawan asing atau kedatangan turis mancanegara. Hal ini juga mengakibatkan transaksi
valuta asing (valas) melalui kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank juga menurun. Industri
pelesir memang menjadi bidang usaha yang paling parah mengalami kerugian.

Pada hari Selasa tanggal 24 Maret 2020, Presiden Jokowi telah memberikan dan mengumumkan
Relaksasi atau kelonggaran kredit yang diperuntukkan bagi usaha kecil dan pekerja informal yang sedang
menjalankan angsuran.
Kebijakan itu lebih mudah daripada kebijakan tax amnesty yang pernah pemerintah lakukan kepada warga
negara. Aturan stimulus ini sebelumnya telah dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanggal 9 Maret
2020 melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/Pojk.03/2020 tentang Stimulus
Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countersyclical  dampak Coronavirus Disease.

Dengan terbitnya POJK ini akan pemberian stimulus untuk industri perbankan sudah berlaku sejak
tanggal 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021. Perbankan diharapkan dapat proaktif dalam
mengidentifikasi debitur-debiturnya yang terkena dampak penyebaran Covid-19 dan segera menerapkan
POJK stimulus tersebut.
OJK memberikan stimulus kepada perbankan dan non perbankan untuk melakukan fleksibilitas dalam
perhitungan mengatasi kenaikan Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet, bukan hanya berlaku di
industri perbankan tetapi juga pada industri pembiayaan atau multifinance.

Tidak ada alasan perusahaan pembiayaan dan  perbankan untuk tidak mematuhi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) tersebut karena sektor riil diberi pelonggaran dalam perhitungan kolektibilitas maka
perusahaan pembiayaan maupun perbankan tetap bisa teruskan pinjaman. 
Pihak perbankan dalam melakukan stimulus ekonomi diberi kewenangan restrukturisasi untuk seluruh
kredit atau pembiayaan tanpa melihat pembatasan plafon kredit atau jenis debitur, terutama debitur
pelaku UMKM dan pekerja informal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi kredit bagi
UMKM untuk nilai kredit dibawah Rp.10 milliar dalam  meminimalisasi dampak wabah virus covid-19, 
baik kredit yang diberikan perbankan maupun industri keuangan non bank.

Relaksasi juga diberikan kepada pekerja formal seperti sejumlah pengemudi ojek termasuk ojek online, 
sopir taksi dan nelayan yang  masih memiliki kredit kendaraan atau alat kerja seperti perahu nelayan. 
Akan diberikan penundaan cicilan atau angsuran selama 1 tahun dan penurunan suku bunga.
Dalam restrukturisasi, pengusaha bisa dikategorikan dalam kategori lancar untuk perhitungan
kolektibilitas. Adanya kebijakan stimulus ekonomi dari pemerintah dapat mendorong lembaga keuangan
bank dan non bank agar kompetitif dan efisien melalui peningkatan skala usaha dan transformasi digital.
Diharapkan UMKM dapat bangkit dan tetap eksis bertahan di tengah pandemi Covid-19.
Kondisi ini berbeda dengan krisis ekonomi tahun 1998 dimana sektor UMKM justru menjadi penopang
disaat beberapa sektor perbankan di Indonesia berguguran dilikuidasi. Sementara saat ini, UMKM
menjadi sektor yang terpukul secara langsung dari dampak wabah Covid-19. Hal ini terjadi karena
menurunnya daya beli masyarakat secara signifikan terutama di level terbawah.

Dalam kondisi seperti ini, semua negara akan melakukan relaksasi dalam stimulus ekonomi,  relokasi
anggaran pada sektor kesehatan, pasokan pangan dan daya beli masyarakat. Pembiayaan dialihkan
untuk pengadaan perlengkapan dan alat penanggulangan wabah serta pembiayaan penelitian yang fokus
menemukan anti virus.
Relokasi anggaran juga diberlakukan untuk menjaga ketersediaan bahan pokok kebutuhan pangan
masyarakat yang mengalami peningkatan akibat panic buying atau kepanikan pasar. Juga pemberian
bantuan untuk peningkatan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Stimulus
pendanaan dalam rangka peningkatan produksi dalam negeri sektor pertanian. Pada kondisi saat ini
kebutuhan akan makanan akan gizi dan nutrisi yang baik seperti sayur-sayuran dan buah-buahan
mengalami peningkatan permintaan. Selama ini, Indonesian impor untuk memenuhi permintaan terhadap
komoditi ini.

Relaksasi kredit sebagai stimulus fiskal untuk mendorong pruduksi manufaktur dimana banyak terdapat
lapangan pekerjaan. Ini secara langsung memberikan pendapatan bagi pekerja yang terdampak.
Pengoptimalan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang memperhatikan potensi pemutusan hubungan kerja
(PHK) dalam hal pemberian berupa uang, pelatihan dan akses pekerjaan baru selain perlunya melakukan
relaksasi bagi kebijakan impor bahan baku kebutuhan industri.
Stimulus ekonomi yang perlu dimaksimalkan adalah kebijakan moneter dan makro  prudential melalui
penuruanan tingkat suku bunga dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Pembatasan penyebaran
informasi negatif dan  hoax menjadi langkah yang penting untuk diambil dalam menjaga kepercayaan
publik dan memperkuat ketahanan yang berimplikasi pada stabilitas harga dan ketersediaan kebutuhan
masyarakat.

Mungkin dengan adanya virus wabah corona atau  pandemi Covid-19 ini mendudukkan kita pada posisi
yang tidak prima namun dalam setiap krisis yang mengikuti selalu ada peluang yang mengikutinya. Kita
sedang berada dalam kondisi yang tidak mudah. Tetap berpikir positif dan optimis sebagai upaya
mengatasi musuh terbesar masyarakat yaitu ketakutan dan kepanikan. Mari ikuti aturan pemerintah, jaga
jarak dan di rumah aja.

Antisipasi Krisis Ekonomi Global, Apa yang Harus Dilakukan


Pemerintah?
KOMPAS.com - Dunia berada dalam bayang-bayang krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19
dan invasi Rusia-Ukraina.

Presiden Joko Widodo bahkan menyebut ekonomi 60 negara terancam ambruk akibat krisis
tersebut.

Ini berdasarkan perhitungan organisasi Bank Dunia, dana moneter dunia (IMF), dan PBB.
"Angka-angkanya saya diberi tahu, ngeri kita. Bank dunia menyampaikan, IMF menyampaikan,
UN PBB menyampaikan," kata Jokowi saat memberikan sambutan di Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) Pardai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Sekolah partai, Lenteng Agung,
Selasa (21/6/2022).

"Terakhir baru kemarin, saya mendapatkan informasi, 60 negara akan ambruk ekonominya, 42
dipastikan sudah menuju ke sana," sambungnya.

Baca juga: 60 Negara Disebut Jokowi Akan Ambruk Ekonominya, Bagaimana Nasib
Indonesia?

Lantas, apa yang perlu dilakukan Indonesia untuk mengantisipasi krisis ekonomi?

Upaya jangka pendek yang harus dilakukan pemerintah

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus melakukan beberapa upaya jangka pendek.

Misalnya, melakukan stress test terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lain
terutama berkaitan dengan dampak resesi di AS, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku
bunga yang eksesif.

Selain itu, KSSK harus segera menaikkan suku bunga 50 bps sebagai langkah menghadapi
tekanan inflasi di semester kedua 2022.

Bps atau basis point merupakan unit pengukuran yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
persentase dari suatu instrumen keuangan. 

"KSSK juga harus memperbaiki jaring pengaman sistem keuangan terutama skenario bail in,
menambah negara mitra local currency settlement (LCS), dan memberi insentif lebih besar bagi
pelaku usaha ekspor agar menukar devisa dolar dengan rupiah," kata Bhima kepada
Kompas.com, Rabu (22/6/2022).

"Tingkatkan serapan investor domestik dalam SBN untuk cegah volatilitas akibat keluarnya
investor asing di pasar obligasi," sambungnya.

Baca juga: Bank Dunia Proyeksi Ekonomi Indonesia 2022 Tumbuh 5,1 Persen
Sinergi BI, OJK, dan Kemenkeu

Orang-orang meneriakkan slogan-slogan selama demonstrasi anti-pemerintah yang sedang


berlangsung di luar kantor presiden di Kolombo pada 15 April 2022, menuntut pengunduran diri
Presiden Gotabaya Rajapaksa atas krisis ekonomi yang melumpuhkan negara itu. (AFP/JEWEL
SAMAD)

Bhima menuturkan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) harus berada di depan dan bersinergi untuk mengantisipasi ancaman
krisis ekonomi.

Menurutnya, sinergi ketiga lembaga tersebut penting agar tidak menghambat harmonisasi
kebijakan.

Selain menaikkan suku bunga dan menyesuaikan Giro Wajib Minimum (GWM), BI juga bisa
menigkatkan loan-to-value (LTV) khusus, seperti LTV hijau.

Baca juga: Sederet Dampak Perang Rusia Ukraina bagi Ekonomi Indonesia
Hal ini dilakukan untuk mendorong permintaan properti yang berkelanjutan.

"Jadi ada program-program kreatif untuk dorong sisi permintaan dalam negeri," jelas dia.

Ia menjelaskan, BI dan OJK juga harus berkoordinasi agar bank cepat melakukan transmisi
penurunan suku bunga kredit sebelum era suku bunga rendah berakhir.

Baca juga: 5 Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia, Apa Saja?

Protokol manajemen krisis

Polisi menggunakan water canon dan gas air mata untuk membubarkan mahasiswa yang
memprotes menuntut pengunduran diri Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa atas krisis
ekonomi negara yang melumpuhkan, di dekat gedung parlemen di Kolombo pada 6 Mei 2022.
(AFP PHOTO/ISHARA S KODIKARA)

Sebab, bunga yang masih rendah harus dimanfaatkan untuk memacu penyaluran kredit,
khususnya ke sektor produktif seperti pertanian, industri, manufaktur, dan konstruksi.
Selain itu, Bhima meminta agar pemerintah tidak terburu-buru memangkas atau menghentikan
jaring pengaman sosial saat pandemi.

"Tambah penerima PKH dari 10 juta jadi 15 juta keluarga penerima untuk lindungi 40 persen
pengeluaran terbawah dari gejolak kenaikan harga pangan," ujarnya.

Baca juga: Perang Rusia-Ukraina, Kenaikan Harga Pangan Global, dan Ancaman
Kelaparan Dunia

Sementara itu, OJK harus mempersiapkan protokol manajemen krisis khususnya penguatan
pengawasan konglomerasi perbankan.

Karenanya, OJK perlu melakukan monitoring terhadap perbankan yang memiliki eksposur tinggi
terhadap pasar keuangan global.

"Perhatian terhadap bank yang masih memiliki jumlah restrukturisasi pinjaman yang tinggi.
Apakah bank perlu diberikan relaksasi lanjutan misalnya," tutupnya.

Apakah Globalisasi Harus Disalahkan atas Krisis


Ekonomi?
Posted on April 7, 2022 by admin

Krisis ekonomi global yang dimulai pada tahun 2008 telah melanda seluruh dunia dan
menyia-nyiakan proses globalisasi yang dituding oleh banyak pihak sebagai akar
penyebab krisis tersebut. Setelah Bank Investasi Amerika, Lehmann Brothers
mengajukan Kepailitan pada September 2008, seluruh sistem keuangan global berada
dalam risiko keruntuhan karena sifat ekonomi global yang terintegrasi dan saling
berhubungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ini menandai akhir dari globalisasi.

Banyak ahli menunjuk fakta bahwa krisis yang terjadi di AS telah berdampak pada
semua negara hanya karena proses globalisasi berarti bahwa jika AS bersin, seluruh
dunia akan masuk angin . Oleh karena itu, reaksi terhadap globalisasi tumbuh di banyak
negara di seluruh dunia karena fenomena tersebut secara luas dilihat sebagai kontribusi
terhadap pemiskinan banyak orang dengan mengorbankan beberapa orang.

Namun, tidak adil untuk mengatakan bahwa globalisasi saja yang bertanggung jawab atas
krisis dan masing-masing pemerintah memiliki peran untuk memastikan bahwa ekonomi
mereka diatur dengan baik dan terisolasi dari guncangan global. Garis pemikiran ini
berpandangan bahwa meskipun ekonomi global terintegrasi, campuran kebijakan yang
dirancang untuk menjaga aliran uang panas dan modal tetap terkendali dan memastikan
regulasi yang tepat akan sangat membantu dalam mengisolasi ekonomi dunia dari
ancaman. gempa susulan dari krisis ekonomi global. Lebih jauh, alih-alih reaksi spontan,
pemerintah di seluruh dunia bisa saja melihat krisis datang seperti yang terjadi sejak awal
2007. Oleh karena itu, intinya di sini adalah bahwa alih-alih menyalahkan globalisasi saja,
kesalahan individu juga bisa disalahkan.

Namun, munculnya kecenderungan proteksionis di banyak negara di dunia menunjukkan


fakta bahwa globalisasi telah berkontribusi pada beberapa aspek krisis. Misalnya,
perdagangan derivatif yang dimodelkan pada algoritme risiko dan pengembalian
ditambah dengan keserakahan dan pengambilan risiko yang berlebihan berarti bahwa
negara-negara yang mengizinkan arus keuangan global terpengaruh begitu pasar
derivatif runtuh. Memang, ini jelas merupakan kelemahan dari sistem keuangan global
seperti yang ada saat ini karena hubungan yang erat antara ekonomi dunia berarti bahwa
gangguan di satu bagian dari ekonomi global dengan cepat menyebar ke bagian lain dari
sistem.

Akhirnya, meskipun benar bahwa globalisasi memainkan peran utama dalam


menyebarkan dampak krisis ekonomi global ke seluruh dunia, begitu juga dengan
langkah-langkah yang diambil untuk mencegah percepatan krisis, ekonomi global mundur
dari jurang. . Jika ada pelajaran bagi kita semua dalam pengalaman ini, kita harus
membuka pintu kita untuk angin dari semua negara tetapi kita harus menolak untuk
tersapu oleh mereka. Oleh karena itu, sambil menyambut globalisasi, kita juga harus
melindungi diri dari aspek-aspek yang merusak dari fenomena tersebut.

Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI, Dr. Abdurrahman Mohammad Fachir, menyebutkan politik luar
negeri bebas aktif yang digagas oleh proklamator Mohammad Hatta yang dianut Indonesia sejak merdeka
hingga saat ini masih relevan.

Hal tersebut ditegaskannya saat menyampaikan pidato kunci dalam konvensi Meninjau 70 Tahun Politik Bebas
Aktif Indonesia, Rabu (5/9) di Balai Senat UGM.

Dalam forum tersebut dia menyampaikan kondisi dunia saat ini mengalami banyak perubahan. Indonesia saat
ini tidak lagi ‘mendayung diantara dua karang’, tetapi di antara banyak karang. Kendati demikian, disampaikan
Fachir, politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia tetap relevan dengan situasi saat ini.

“Banyak teori yang tidak jalan, tatanan yang berubah, tetapi politik luar negeri bebas aktif masih relevan,”
katanya.

Fachir mengatakan politik bebas aktif masih relevan dalam upaya memajukan kepentingan nasional. Selain itu,
juga berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia.

“Kita harus bangga politik bebas aktif ini bisa beradaptasi dan bertahan di tengah berbagai perubahan dunia,
menjawab tantangan yang ada, serta menjadi jembatan teoretis akademis dengan realitas di lapangan,”
ucapnya.

Menurutnya, prinsip politik luar negeri bebas aktif ini tidak akan pudar. Namun, akan terus berkontribusi dan
selalu menjadi bagian dari solusi atas persoalan bangsa-bangsa dengan mengedepankan pendekatan win-win
solution.
Pada kesempatan itu, Fachri juga meminta pada para mahasiswa untuk tidak lagi memperdebatkan relevansi
politik bebas aktif. Namun, diharapkan bisa membawa konsep ini pada tahapan selanjutnya yakni
dikembangkan pada tatanan akademis yang nantinya bisa berkontribusi dalam dunia internasional.

“Harapannya UGM bisa selalu konsisten menyalakan semangat Pancasila dan politik bebas aktif pada
mahasiswa dan masyarakat luas” katanya. (Humas UGM/Ika; foto:Firsto)

Meninjau Relevansi Politik Luar Negeri Bebas


Aktif Indonesia : Perayaan ke-70 tahun Politik
Bebas Aktif, Masih Relevan?
Yogyakarta, 5 September 2018—Kementerian Luar Negeri, Institute of International
Studies  Universitas Gadjah Mada (IIS UGM), dan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional
Indonesia (AIHII) menggelar sebuah konvensi bertajuk ‘Meninjau 70 Tahun Politik Bebas Aktif
Indonesia’ pada Rabu (5/9). Konvensi yang diselenggarakan di Balai Senat Rektorat UGM ini
dimaksudkan untuk memperingati 70 tahun politik bebas aktif Indonesia. Dimana tepat pada 2
September, 70 tahun silam Wakil Presiden Indonesia, Drs. Moh.Hatta dalam sidang Komite
Nasional Indonesia Pusat merumuskan kerangka politik luar negeri Indonesia yang dikenal
sebagai ‘Politik Bebas Aktif.’ Dalam kerangka kebijakan ini, Indonesia tidak hanya
mengedepankan netralitas, namun juga memiliki tujuan untuk memperkukuh dan menegakkan
perdamaian dunia.Dalam konvensi ini, turut hadir Dr. A.M. Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri
Republik Indonesia, selaku keynote speaker. Dalam sesinya, Wamenlu A.M. Fachir menjelaskan
beberapa poin penting esensi pidato Bung Hatta. “Pertama, apakah kita harus memilih diantara
dua blok? Lalu, kedua, sebagai sebuah bangsa, kita jangan menjadi objek dalam pertarungan
internasional. Terakhir, kita harus menjadi subjek yang berhak menentukan sikap dan tujuan
kita sendiri,” ujar Wamenlu A.M. Fachir. Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia konsisten
dengan kebijakan politik bebas aktif dan terus melakukan kontribusi. Diantaranya dengan
beragam inisiatif seperti pengadaan Konferensi Asia Afrika (KAA), menjadi salah satu
inisiator Association of South East Asia Nations  (ASEAN), dan lain-lain.
Dalam relevansi politik bebas aktif saat ini, Wamenlu A.M Fachir mengatakan bahwa kebijakan
ini masih amat relevan. “Dalam dunia yang dinamis dan dipenuhi dengan perebutan
kepentingan seperti saat ini, kebijakan politik bebas aktif masih relevan. Hal ini karena politik
bebas aktif bermakna dapat memutuskan nasib sendiri dalam mencapai cita-cita bangsa,
bukan hanya sekedar memilih antara dua blok,” jelas Wamenlu A.M Fachir.

Menyoal arah politik bebas aktif selanjutnya, Wamenlu A.M Fachir berharap agar konsep ini
bisa dibawa pada ranah yang lebih tinggi. “Mari kita bawa konsep ini ke jenjang selanjutnya,
yaitu dalam tataran akademis dengan menjadi school of thought  serta menjadi intellectual
property rights  dari Indonesia,” ungkapnya.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang dimoderatori oleh Dr. Siti Mutiah
Setiawati, dosen pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. Diskusi panel ini
diisi oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, guru besar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM
dan Wildan Sena Utama, S.S., M.A.

Dengan judul materi ‘“Bebas Aktif”: Politik Luar Negeri Normatif’, Prof. Mohtar menjelaskan
mengenai dimensi normatif dari politik luar negeri bebas aktif yang dicanangkan oleh Moh.
Hatta. Dikatakan normatif, karena basis dari kebijakan ini merupakan nilai dan norma, bukan
semata-mata mencari kepentingan politik. Nilai ini merupakan nilai dan norma yang dianut
oleh para pemimpin dan cara pandang mereka tentang dunia. Hal ini dapat direfleksikan dari
kutipan Moh. Hatta terkait peran Indonesia dalam hubungan internasionalnya. Dimana dalam
partisipasinya, Indonesia mendasari keterlibatannya atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. “Selain itu Moh. Hatta juga mengatakan bahwa perhubungan internasional
yang berdasar rasionalisme ekonomi harus diganti dengan dasar perikemanusiaan dan
ekonomi,” papar Prof. Mohtar.

Prof. Mohtar melanjutkan bahwa politik luar negeri bebas aktif versi Moh. Hatta memiliki
dimensi normatif. “Pertama, Moh.Hatta mengembangkan politik luar negeri ‘bertetangga baik’
untuk mencari teman, kedua, mendukung lingkungan regional dan internasional yang baik
melalui organisasi multilateral, dan terakhir tidak semata-mata mencari kepentingan,” jelas
Prof. Mohtar.

Pemateri selanjutnya adalah Wildan Sena Utama, S.S., M.A., dosen pengajar Departemen Ilmu
Sejarah UGM. Menurut Wildan, gagasan politik bebas aktif dibentuk oleh dimensi historis-politik
dan juga dimensi sosio-humanis. Dimana konteks historis-politik dipengaruhi oleh situasi dunia
saat itu yang sedang dalam era kolonialisme dan Perang Dingin. Sedangkan dalam dimensi
sosio-humanis, aspek yang mempengaruhi adalah ide mengenai kemerdekaan, kesetaraan,
dan saling menghargai. “Dari kedua dimensi ini, dapat dilihat bahwa politik bebas aktif
melambangkan asal-usul identitas sekaligus cita-cita ideal tatanan global yang diimpikan oleh
Indonesia di masa depan, yaitu dunia yang merdeka, saling menghargai, dan damai,” papar
Wildan.

Wildan juga menyinggung penerapan kebijakan politik bebas aktif di era Presiden Joko Widodo.
Dimana visi politik bebas aktif Presiden Joko Widodo dimaktubkan dalam Nawacita dan Renstra
Kemenlu 2015-2019 yang di dalamnya mengatur mengenai diplomasi ekonomi, perlindungan
WNI, kedaulatan dan pertahanan nasional, poros maritim, diplomasi maritim, kepemimpinan
ASEAN, serta peningkatan peran internasional.

Konvensi diakhiri dengan sesi tanya jawab dan diskusi dengan peserta. Setelah konvensi,
dilangsungkan lokakarya untuk dosen Ilmu Hubungan Internasional seIndonesia. Lokakarya ini
bertujuan sebagai penyusunan kurikulum pengajaran politik luar negeri Republik Indonesia.
(/fkm)

Dinamika Ekonomi Global dan Pengaruhnya Bagi Indonesia


Situasi dan kondisi pada kuartal pertama di tahun 2022 cukup menantang bagi kinerja pemulihan ekonomi
Indonesia. Dari sisi domestik, masalah kesehatan masih menjadi tantangan terutama ketika Indonesia
dihadapkan pada situasi di mana varian Omicron merajalela di awal tahun. Meski demikian, kesiapan
Indonesia menghadapi Omicron sudah jauh lebih baik dibandingkan saat menghadapi varian Delta. Sementara
itu, dari sisi internasional, tekanan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang semakin meningkat juga menjadi
tantangan bagi kinerja pemulihan ekonomi nasional.

“Gelombang Omicron kemarin dampaknya tidak seberat yang kita perkirakan. Karakteristik gejalanya yang
ringan sehingga tidak menimbulkan overcrowding di fasilitas kesehatan kita. Lalu, dampak ke ekonominya
juga lebih mild apalagi kita lihat mobilitas penduduk mulai meningkat,” terang Plt. Kepala Pusat Kebijakan
Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Abdurohman atau yang kerap disapa Rahman.

Selain masalah kesehatan di sisi domestik, tekanan geopolitik yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina
juga turut menjadi tantangan di sisi global bagi ekonomi nasional.

“Di kuartal ini, dari sisi domestik kita lihat ada pengetatan dalam berbagai kebijakan yang terkait pandemi
seperti kenaikan level PPKM di berbagai daerah terutama yang menjadi pusat perekonomian. Di sisi
internasional, kita lihat ada perubahan geopolitik yang cukup pesat dan signifikan dengan adanya perang antara
Ukraina dan Rusia. Ini tentu saja akan berdampak pada perekonomian nasional,” tutur Yose Rizal Damuri,
ekonom sekaligus Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Hal senada juga dinyatakan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid.
Menurutnya saat ini Indonesia harus mewaspadai dinamika geopolitik global yang terjadi saat ini sehingga
mengakibatkan adanya peningkatan harga pangan dan energi global, serta potensi lonjakan inflasi global yang
akan menekan industri pangan dan energi dan sektor keuangan.

Tekanan geopolitik Rusia – Ukraina


Eskalasi ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina juga menimbulkan risiko tersendiri bagi Indonesia.
Dampaknya tidak hanya berpengaruh di sisi politik, tetapi juga ekonomi.

Menurut Arsjad, untuk Indonesia ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina memberikan pengaruh politik dan
ekonomi yang mengharuskan kita untuk mengkalkulasi ulang strategi kebijakan ekonomi dan dunia usaha
untuk program pemulihan ekonomi di tahun 2022. Para pelaku usaha pun harus mencermati situasi ini untuk
mengantisipasi dampaknya terhadap ekonomi, dunia usaha secara umum, dan bisnis perusahaan, utamanya di
sektor energi, pangan dan perdagangan.

“Rusia merupakan salah satu pemasok energi terbesar di dunia dengan pasokan gas alam mencapai 16 persen
dan minyak 11 persen. Sementara itu, Ukraina merupakan pemasok gandum terbesar bagi Indonesia. Dalam
jangka pendek, kenaikan harga energi dan pangan global ini dapat memicu inflasi,” ujar Arsjad.

Arsjad mengatakan situasi ini juga memberikan implikasi positif di mana kenaikan harga energi dan komoditas
pangan global akan berpotensi meningkatkan pendapatan ekspor bagi Indonesia. Namun, dalam jangka
menengah dan panjang, inflasi global akan menghambat laju pemulihan ekonomi. Kenaikan inflasi dan harga
akan sangat dipengaruhi oleh rentang waktu ketegangan antara Rusia-Ukraina. Jika konflik Rusia dan Ukraina
tidak segera selesai akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, yang baru mulai pulih.

Yose juga menyatakan bahwa tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina dapat menguntungkan bagi Indonesia,
terutama dari sisi perpajakan. Hal ini disebabkan oleh windfall profit  atau keuntungan tiba-tiba dari kenaikan
harga-harga komoditas akibat  situasi tersebut.

“Kalau sektor kelihatannya ada yang positif sebab mendapatkan windfall profit. Namun, kebanyakan memang
mendapatkan dampak yang tidak terlalu baik. Misal, sektor transportasi di mana harga energi juga tentunya
akan meningkat, begitu juga dengan sektor-sektor energinya itu sendiri. Lalu juga mungkin beberapa beberapa
di sektor makanan yang disebabkan karena semakin ketatnya supply yang ada,” jelas Yose.

Akan tetapi, Yose berpendapat bahwa dampak yang akan dirasakan Indonesia sifatnya temporer. Penyesuaian
di tingkat dunia akan terjadi, contohnya ketika harga minyak meningkat kemudian akan ada alternatif suplai
dari Arab Saudi atau Amerika Serikat yang mulai meningkatkan produksinya. Dengan demikian, harga minyak
meski masih tinggi, tetapi sudah jauh di bawah dari titik paling tinggi.
pemerintah dalam meningkatkan daya tarik investasi dan penciptaan iklim usaha yang lebih baik dalam
meningkatkan daya saing Indonesia. Sumber foto Istock.

Tantangan pemulihan ekonomi 2022


Menurut Yose ada tiga tantangan yang membayangi tren pemulihan ekonomi Indonesia di tahun ini. Pertama,
masih rentannya situasi Covid-19.

“Saat ini pandemi sudah mulai memasuki masa endemik, tetapi sifatnya masih riskan dan rentan. Dari sisi
nasional, semakin menurunnya antuasiasme penduduk Indonesia mendapatkan vaksin, padahal vaksin
merupakan hal utama dalam menangani pandemi. Penurunan ini bisa jadi salah satu sumber untuk tetap rentan
dalam situasi pandemi,” terang Yose.

Tantangan kedua adalah beradaptasi dengan krisis saat ini dan menjadikannya sebagai momentum perubahan.

“Dalam dua tahun terakhir, kita melihat transformasi terutama digital (terjadi) sangat pesat dan kita harus
beradaptasi dengan itu. Namun, masih banyak necessary condition  yang masih belum mumpuni jika ingin
melakukan transformasi digital secara optimal seperti infrastruktur, skills dan talents, serta literasi pengguna.
Selain itu, penyesuaian kerangka kebijakan juga diperlukan karena kerangka kebijakan ekonomi digital
berbeda dengan kerangka kebijakan Indonesia yang masih dalam koridor ekonomi konvensional,” jelas Yose.

Menurut Rahman, tren perubahan yang terjadi secara signifikan saat ini turut diakselerasi oleh adanya
pandemi. Begitu pula tren digitalisasi yang meningkat pesat, termasuk di Indonesia. Ia menyatakan bahwa di
kawasan ASEAN, transaksi digital Indonesia termasuk yang paling kuat dan masyarakat juga cepat
beradaptasi. Ia juga tak memungkiri bahwa pemerintah perlu terus mendorong berbagai infrastruktur untuk
mendukung perubahan digital, termasuk investasi di ICT (Information and Communication Technology) yang
menjadi prioritas.

Yose menambahkan, tantangan ketiga adalah akselerasi dan perubahan aspirasi terhadap isu lingkungan hidup
dan perubahan iklim di tingkat global. Kondisi ini juga mendorong Indonesia untuk bisa ikut beradaptasi.

Senada, Rahman juga menyatakan bahwa kesadaran akan lingkungan hidup juga tengah mendapat sorotan.
Untuk itu, pemerintah juga telah memasukkan agenda ini dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok
Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).

“Selain terus mendorong kesadaran masyarakat akan isu lingkungan, pemerintah juga sudah menangkap tren
ini. Draft  KEM PPKF yang sedang kita susun juga sudah mulai memasukkan isu lingkungan. Komitmen
pemerintah juga terlihat dari berbagai kebijakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,” tutur Rahman.

Strategi kebijakan yang perlu diambil pemerintah


Baik Arsjad maupun Yose memberikan perspektifnya mengenai strategi dan langkah kebijakan apa saja yang
sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam meredam dampak dinamika global. Menurut Arsjad, perlu ada
transformasi struktur ekonomi dari yang selama ini didominasi konsumsi rumah tangga yang sebesar 56 persen
dari total PDB.

“Secara bertahap harus dialihkan pada sektor yang lebih produktif, untuk mendorong investasi dan ekspor.
Investasi yang masuk diharapkan dapat membuka banyak lapangan kerja baru yang akan berkontribusi
mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi UU
Cipta Kerja dan UU Perpajakan menjadi salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya tarik investasi
dan penciptaan iklim usaha yang lebih baik dalam meningkatkan daya saing Indonesia,” terangnya.
Ia menambahkan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, terutama pangan dan energi serta kesiapan
transformasi digital dan inovasi untuk masa depan sangat diperlukan dalam jangka pendek untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Yose berpendapat bahwa salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah mengenai keterlibatan Indonesia
dalam perekonomian global. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang cenderung inward looking dan ini
terlihat dari indeks terkait partispasi dalam ekonomi global di mana Indonesia cenderung rendah.

“Rasio FDI terhadap PDB Indonesia itu jarang sekali berada di atas 2 persen sementara negara-negara lain di
kawasan ini, seperti Thailand misalkan itu biasanya di atas 3,5 persen. Apalagi kalau kita bandingkan dengan
Vietnam yang mencapai 6 persen. Ini menunjukkan keterlibatan Indonesia dalam perekonomian global agak
rendah. Ini mungkin disebabkan karena kebijakan Indonesia sendiri yang sifatnya kurang terbuka
dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan”, jelas Yose.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi


Ketika ditanya mengenai perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022, baik Arsjad maupun Yose
menyampaikan kisaran angka yang tidak jauh berbeda. Yose berpendapat dengan asumsi tidak ada lagi
gelombang baru pandemi Covid-19, Indonesia bisa mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi yakni 5 – 5,5
persen di tahun 2022.

“Kita juga bisa melihat bahwa sektor luar negerinya cukup terbantu akibat kenaikan permintaan terhadap
berbagai komoditas Indonesia. Tetapi ini sekali lagi sangat tergantung dari bagaimana kita meng-handle
berbagai isu tertentu, terutama yang terkait dengan kesehatan,” ujarnya.

Mewakili KADIN Indonesia, Arsjad optimis target pertumbuhan 4,7 – 5,5 persen akan tercapai. Terlebih lagi
melihat geliat dunia usaha yang diimbangi oleh konsumsi masyarakat sudah mulai terlihat sejak akhir 2021
hingga Februari 2022.

“Ini ditandai dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang meningkat menjadi 108,24, Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) yang meningkat menjadi 113,1, Indeks Perdagangan Besar berada pada level 108,46, serta
Indeks Penjualan Ritel terus tumbuh hingga mencapai 202,8,” terangnya.

Arsjad menambahkan bahwa KADIN Indonesia terus mengapresiasi langkah pemerintah yang
melonggarkan APBN melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam upaya
meningkatkan supply side dan demand side. Kebijakan tersebut berhasil mengoordinasikan sumber daya
kesehatan dan bantuan sosial dengan menggandeng seluruh elemen masyrakat di seluruh negeri dalam
menghadapi pandemi. Ia juga optimis Indonesia mampu melewati krisis lebih baik jika dibandingkan dengan
ekonomi negara lainnya di dunia.

Situasi dan kondisi pada kuartal pertama di tahun 2022 cukup menantang bagi kinerja pemulihan ekonomi
Indonesia. Dari sisi domestik, masalah kesehatan masih menjadi tantangan terutama ketika Indonesia
dihadapkan pada situasi di mana varian Omicron merajalela di awal tahun. Meski demikian, kesiapan
Indonesia menghadapi Omicron sudah jauh lebih baik dibandingkan saat menghadapi varian Delta. Sementara
itu, dari sisi internasional, tekanan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang semakin meningkat juga menjadi
tantangan bagi kinerja pemulihan ekonomi nasional.

“Gelombang Omicron kemarin dampaknya tidak seberat yang kita perkirakan. Karakteristik gejalanya yang
ringan sehingga tidak menimbulkan overcrowding di fasilitas kesehatan kita. Lalu, dampak ke ekonominya
juga lebih mild apalagi kita lihat mobilitas penduduk mulai meningkat,” terang Plt. Kepala Pusat Kebijakan
Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Abdurohman atau yang kerap disapa Rahman.
Selain masalah kesehatan di sisi domestik, tekanan geopolitik yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina
juga turut menjadi tantangan di sisi global bagi ekonomi nasional.

“Di kuartal ini, dari sisi domestik kita lihat ada pengetatan dalam berbagai kebijakan yang terkait pandemi
seperti kenaikan level PPKM di berbagai daerah terutama yang menjadi pusat perekonomian. Di sisi
internasional, kita lihat ada perubahan geopolitik yang cukup pesat dan signifikan dengan adanya perang antara
Ukraina dan Rusia. Ini tentu saja akan berdampak pada perekonomian nasional,” tutur Yose Rizal Damuri,
ekonom sekaligus Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Hal senada juga dinyatakan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid.
Menurutnya saat ini Indonesia harus mewaspadai dinamika geopolitik global yang terjadi saat ini sehingga
mengakibatkan adanya peningkatan harga pangan dan energi global, serta potensi lonjakan inflasi global yang
akan menekan industri pangan dan energi dan sektor keuangan.

Tekanan geopolitik Rusia – Ukraina


Eskalasi ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina juga menimbulkan risiko tersendiri bagi Indonesia.
Dampaknya tidak hanya berpengaruh di sisi politik, tetapi juga ekonomi.

Menurut Arsjad, untuk Indonesia ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina memberikan pengaruh politik dan
ekonomi yang mengharuskan kita untuk mengkalkulasi ulang strategi kebijakan ekonomi dan dunia usaha
untuk program pemulihan ekonomi di tahun 2022. Para pelaku usaha pun harus mencermati situasi ini untuk
mengantisipasi dampaknya terhadap ekonomi, dunia usaha secara umum, dan bisnis perusahaan, utamanya di
sektor energi, pangan dan perdagangan.

“Rusia merupakan salah satu pemasok energi terbesar di dunia dengan pasokan gas alam mencapai 16 persen
dan minyak 11 persen. Sementara itu, Ukraina merupakan pemasok gandum terbesar bagi Indonesia. Dalam
jangka pendek, kenaikan harga energi dan pangan global ini dapat memicu inflasi,” ujar Arsjad.

Arsjad mengatakan situasi ini juga memberikan implikasi positif di mana kenaikan harga energi dan komoditas
pangan global akan berpotensi meningkatkan pendapatan ekspor bagi Indonesia. Namun, dalam jangka
menengah dan panjang, inflasi global akan menghambat laju pemulihan ekonomi. Kenaikan inflasi dan harga
akan sangat dipengaruhi oleh rentang waktu ketegangan antara Rusia-Ukraina. Jika konflik Rusia dan Ukraina
tidak segera selesai akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, yang baru mulai pulih.

Yose juga menyatakan bahwa tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina dapat menguntungkan bagi Indonesia,
terutama dari sisi perpajakan. Hal ini disebabkan oleh windfall profit  atau keuntungan tiba-tiba dari kenaikan
harga-harga komoditas akibat  situasi tersebut.

“Kalau sektor kelihatannya ada yang positif sebab mendapatkan windfall profit. Namun, kebanyakan memang
mendapatkan dampak yang tidak terlalu baik. Misal, sektor transportasi di mana harga energi juga tentunya
akan meningkat, begitu juga dengan sektor-sektor energinya itu sendiri. Lalu juga mungkin beberapa beberapa
di sektor makanan yang disebabkan karena semakin ketatnya supply yang ada,” jelas Yose.

Akan tetapi, Yose berpendapat bahwa dampak yang akan dirasakan Indonesia sifatnya temporer. Penyesuaian
di tingkat dunia akan terjadi, contohnya ketika harga minyak meningkat kemudian akan ada alternatif suplai
dari Arab Saudi atau Amerika Serikat yang mulai meningkatkan produksinya. Dengan demikian, harga minyak
meski masih tinggi, tetapi sudah jauh di bawah dari titik paling tinggi.
pemerintah dalam meningkatkan daya tarik investasi dan penciptaan iklim usaha yang lebih baik dalam
meningkatkan daya saing Indonesia. Sumber foto Istock.

Tantangan pemulihan ekonomi 2022


Menurut Yose ada tiga tantangan yang membayangi tren pemulihan ekonomi Indonesia di tahun ini. Pertama,
masih rentannya situasi Covid-19.

“Saat ini pandemi sudah mulai memasuki masa endemik, tetapi sifatnya masih riskan dan rentan. Dari sisi
nasional, semakin menurunnya antuasiasme penduduk Indonesia mendapatkan vaksin, padahal vaksin
merupakan hal utama dalam menangani pandemi. Penurunan ini bisa jadi salah satu sumber untuk tetap rentan
dalam situasi pandemi,” terang Yose.

Tantangan kedua adalah beradaptasi dengan krisis saat ini dan menjadikannya sebagai momentum perubahan.

“Dalam dua tahun terakhir, kita melihat transformasi terutama digital (terjadi) sangat pesat dan kita harus
beradaptasi dengan itu. Namun, masih banyak necessary condition  yang masih belum mumpuni jika ingin
melakukan transformasi digital secara optimal seperti infrastruktur, skills dan talents, serta literasi pengguna.
Selain itu, penyesuaian kerangka kebijakan juga diperlukan karena kerangka kebijakan ekonomi digital
berbeda dengan kerangka kebijakan Indonesia yang masih dalam koridor ekonomi konvensional,” jelas Yose.

Menurut Rahman, tren perubahan yang terjadi secara signifikan saat ini turut diakselerasi oleh adanya
pandemi. Begitu pula tren digitalisasi yang meningkat pesat, termasuk di Indonesia. Ia menyatakan bahwa di
kawasan ASEAN, transaksi digital Indonesia termasuk yang paling kuat dan masyarakat juga cepat
beradaptasi. Ia juga tak memungkiri bahwa pemerintah perlu terus mendorong berbagai infrastruktur untuk
mendukung perubahan digital, termasuk investasi di ICT (Information and Communication Technology) yang
menjadi prioritas.

Yose menambahkan, tantangan ketiga adalah akselerasi dan perubahan aspirasi terhadap isu lingkungan hidup
dan perubahan iklim di tingkat global. Kondisi ini juga mendorong Indonesia untuk bisa ikut beradaptasi.

Senada, Rahman juga menyatakan bahwa kesadaran akan lingkungan hidup juga tengah mendapat sorotan.
Untuk itu, pemerintah juga telah memasukkan agenda ini dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok
Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).

“Selain terus mendorong kesadaran masyarakat akan isu lingkungan, pemerintah juga sudah menangkap tren
ini. Draft  KEM PPKF yang sedang kita susun juga sudah mulai memasukkan isu lingkungan. Komitmen
pemerintah juga terlihat dari berbagai kebijakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,” tutur Rahman.

Strategi kebijakan yang perlu diambil pemerintah


Baik Arsjad maupun Yose memberikan perspektifnya mengenai strategi dan langkah kebijakan apa saja yang
sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam meredam dampak dinamika global. Menurut Arsjad, perlu ada
transformasi struktur ekonomi dari yang selama ini didominasi konsumsi rumah tangga yang sebesar 56 persen
dari total PDB.

“Secara bertahap harus dialihkan pada sektor yang lebih produktif, untuk mendorong investasi dan ekspor.
Investasi yang masuk diharapkan dapat membuka banyak lapangan kerja baru yang akan berkontribusi
mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi UU
Cipta Kerja dan UU Perpajakan menjadi salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya tarik investasi
dan penciptaan iklim usaha yang lebih baik dalam meningkatkan daya saing Indonesia,” terangnya.
Ia menambahkan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, terutama pangan dan energi serta kesiapan
transformasi digital dan inovasi untuk masa depan sangat diperlukan dalam jangka pendek untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Yose berpendapat bahwa salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah mengenai keterlibatan Indonesia
dalam perekonomian global. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang cenderung inward looking dan ini
terlihat dari indeks terkait partispasi dalam ekonomi global di mana Indonesia cenderung rendah.

“Rasio FDI terhadap PDB Indonesia itu jarang sekali berada di atas 2 persen sementara negara-negara lain di
kawasan ini, seperti Thailand misalkan itu biasanya di atas 3,5 persen. Apalagi kalau kita bandingkan dengan
Vietnam yang mencapai 6 persen. Ini menunjukkan keterlibatan Indonesia dalam perekonomian global agak
rendah. Ini mungkin disebabkan karena kebijakan Indonesia sendiri yang sifatnya kurang terbuka
dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan”, jelas Yose.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi


Ketika ditanya mengenai perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022, baik Arsjad maupun Yose
menyampaikan kisaran angka yang tidak jauh berbeda. Yose berpendapat dengan asumsi tidak ada lagi
gelombang baru pandemi Covid-19, Indonesia bisa mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi yakni 5 – 5,5
persen di tahun 2022.

“Kita juga bisa melihat bahwa sektor luar negerinya cukup terbantu akibat kenaikan permintaan terhadap
berbagai komoditas Indonesia. Tetapi ini sekali lagi sangat tergantung dari bagaimana kita meng-handle
berbagai isu tertentu, terutama yang terkait dengan kesehatan,” ujarnya.

Mewakili KADIN Indonesia, Arsjad optimis target pertumbuhan 4,7 – 5,5 persen akan tercapai. Terlebih lagi
melihat geliat dunia usaha yang diimbangi oleh konsumsi masyarakat sudah mulai terlihat sejak akhir 2021
hingga Februari 2022.

“Ini ditandai dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang meningkat menjadi 108,24, Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) yang meningkat menjadi 113,1, Indeks Perdagangan Besar berada pada level 108,46, serta
Indeks Penjualan Ritel terus tumbuh hingga mencapai 202,8,” terangnya.

Arsjad menambahkan bahwa KADIN Indonesia terus mengapresiasi langkah pemerintah yang
melonggarkan APBN melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam upaya
meningkatkan supply side dan demand side. Kebijakan tersebut berhasil mengoordinasikan sumber daya
kesehatan dan bantuan sosial dengan menggandeng seluruh elemen masyrakat di seluruh negeri dalam
menghadapi pandemi. Ia juga optimis Indonesia mampu melewati krisis lebih baik jika dibandingkan dengan
ekonomi negara lainnya di dunia.

Politik Luar Negeri Bebas Aktif Jadi Senjata Indonesia Menavigasi


Presidensi G20
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tantangan besar yang dihadapi Indonesia sebagai Presidensi
G20 adalah menavigasi agar dunia dapat pulih dari pandemi dan dampak ekonomi. Namun
dengan adanya konflik antara Rusia dan Ukraina menambah tantangan Indonesia dalam
menavigasi Presidensi G20.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, pandemi Covid-19 memang belum sepenuhnya
pulih. Meski telah terlihat adanya tren penurunan kasus. Namun, disisi lain terjadi kesenjangan
cakupan vaksinasi antara negara maju dengan negara menengah ke bawah.

Sebab, baru satu dari tujuh orang di low income countries yang mendapatkan dosis pertama
vaksin. Padahal di banyak negara maju sudah hampir semua penduduknya mendapatkan booster
yang keempat.

Tahun ini diharapkan banyak pihak menjadi tahun pemulihan. Sayangnya, pemulihan yang
diharapkan menjadi lebih sulit dengan adanya perang di Ukraina. Adanya perang dinilai Retno
akan paling dirasakan oleh penduduk dari negara-negara berkembang dan kurang berkembang.

Baca Juga: G20 Dorong Bank Sentral untuk Membuat Kebijakan Terkalibrasi dan
Terencana Baik

Terkait posisi Indonesia terhadap situasi perang tersebut dan bagaimana menavigasi Presidensi
G20, Retno menyebut, Indonesia beruntung memiliki prinsip politik luar negeri bebas aktif.

"Saya ingin menyampaikan sekali lagi bahwa bebas aktif bukan berarti netral pasif. Prinsip itu
memberikan keleluasaan bagi Indonesia untuk menjalankan politik luar negeri demi kepentingan
nasional tentunya dengan prinsip-prinsip yang sudah kita anut," kata Retno dalam webinar,
Kamis (28/4).

Adapun dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif ini, Indonesia secara konsisten
berupaya berkontribusi dalam menjaga perdamaian dunia sesuai dengan mandat konstitusi dan
memegang prinsip-prinsip piagam PBB serta hukum internasional.

"Kita akan terus memastikan G20 dapat menjalankan tugasnya sebagai katalisator pemulihan
ekonomi dunia baik pemulihan dari pandemi maupun pemulihan dari dampak perang," katanya.

Dalam Presidensi G20 Indonesia, salah satu hal yang menonjol adalah adanya keterbukaan
komunikasi dengan semua pihak. Retno menegaskan di masa sulit seperti ini konsultasi dan
komunikasi terbuka menjadi kunci.

Retno menyampaikan bahwa Indonesia tegas menyatakan perang harus diakhiri. Kemudian
Indonesia menyarankan perlu adanya perundingan damai dan Indonesia siap untuk ikut
berkontribusi.

"Kita akan gunakan semua alat politik luar negeri kita untuk menavigasi keketuaan kita di G20.
Kita berharap G20 dapat deliver dan sekarang perang harus segera diakhiri," imbuhnya.
Jalankan Politik Bebas Aktif, Jokowi Dinilai Mampu Hadapi
Krisis Global
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai akan mampu menghadapi
krisis yang menghadapi dunia saat ini akibat geo politik global. Hal itu tak
lepas dari komitmen Jokowi menjalankan politik bebas aktif sesuai amanat
Undang-Undang Dasar 1945. Ketua Forum Wacana Institut Pertanian Bogor
(IPB) Raja Harahap mengakui bahwa kepemimpinan Jokowi punya
kapabilitas dalam meminimalisir dampak geo politik global saat ini. Baca juga:
Kebijakan Era Jokowi Dinilai Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
“Artinya apa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dijalankan, sehingga
apa yang terjadi di dunia Ukraina dan Rusia tidak menjadi persoalan politik
kita,” ujar Raja di Bogor setelah melaksanakan diskusi dengan tema “Prospek
Kepemimpinan Jokowi di Tengah Gejolak Politik dan Ekonomi Dunia” dalam
keterangannya, Minggu (26/6/2022). Raja menyebut di bidang ekonomi kita
cukup rentan terhadap dampak konflik. Pasalnya, Indonesia menurut dia
menjalankan sistem ekonomi terbuka. “Sistem ekonomi kita ini kan terbuka,
jika sesuatu terjadi di luar itu akan mempengaruhi ke perekonomian kita,”
ucapnya. Tetapi, menurut dia, Jokowi mampu membuat Indonesia melewati
masa-masa sulit baik akibat pandemi maupun konflik dunia. Hal itu lanjut dia
membuat kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi terus
membaik. Raja menyebut Jokowi telah menjaga marwah Indonesia di mata
dunia internasional. Sikap bebas aktif yang diambil Jokowi membawa nama
baik Indonesia terus berkumandang. Baca juga: Jokowi Usulkan 3 Langkah
Ini pada High-level Dialogue on Global Development “Dia menjalankan itu dan
membuat marwah bangsa kita ada sehingga yang sebelumnya orang bilang
tidak bersikap ternyata punya sikap sendiri dan tidak bergantung dengan
sikap politik luar,” pungkasnya.

Krisis Rusia-Ukraina: Kebijakan


Politik Luar Negeri Indonesia yang
Bebas Aktif Sudah Tepat
Departemen Hubungan Internasional FISIP UI dan Center for International Relations Studies LPPSP
FISIP UI menyelenggarakan kegiatan webinar Krisis Rusia-Ukraina: Posisi dan Peran Indonesia &
ASEAN pada Jumat (11/03) live on Zoom.
Presiden Rusia Vladimir Putin pada 24 Februari 2022 memerintahkan operasi militer khusus di
wilayah Ukraina. Putin menegaskan bahwa Rusia akan langsung merespons jika ada pasukan asing
yang berupaya menghalangi aksinya. Hal tersebut merupakan puncak konflik dari tahun 2014. Pada
tahun tersebut Rusia dan Ukraina berkonflik sehingga berujung pada aneksasi Krimea.
Di tengah konflik Rusia versus Ukraina, Indonesia punya kesempatan untuk memainkan perannya
sebagai negara yang menganut prinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya.
Untuk memahami bagaimana peran itu akan dan mesti dimainkan, publik dapat menyimak pandangan 
pejabat di Kementerian Luar Negeri dan pengamat politik internasional.

Direktur Eropa II Kementerian Luar Negeri, Winardi Hanafi mengatakan bahwa Indonesia konsisten
dengan prinsip bebas aktif dalam menyikapi krisis yang terjadi di Ukraina, “bebas aktif bukan berarti
netral aktif, tetapi juga memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun bantuan
terhadap penyelesaian konflik. Sikap Indonesia juga bukan sekadar mengikuti negara lain, melainkan
berkepentingan untuk menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap norma hukum
internasional.”
Winardi menanggapi, “Indonesia akan terus mendorong agar penggunaan kekuatan dapat dihentikan
dan semua pihak dapat menyelesaikan sengketa. Tentang perang Rusia dan Ukraina, Indonesia menilai
langkah terbaik terhadap situasi tersebut adalah dengan deeskalasi sehingga proses perundingan
dapat berjalan lebih efektif dan memungkinkan dibukanya jalur kemanusiaan.”
Terkait posisi Indonesia dalam krisis Ukraina, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia tetap
menjalin hubungan baik dengan Rusia dan Ukraina karena kedua negara adalah sahabat Indonesia,
kata Winardi Hanafi Lucky.

Menurut Guru Besar HI, Prof. Evi Fitriani, Ph.D “kebijakan Indonesia untuk politik luar negeri bebas
aktif sudah sangat tepat, invasi Rusia ke Ukraina menjadi pendorong negara-negara ASEAN untuk
bersatu dan tidak membuat ancaman bagi negara manapun.”
Selain itu Prof. Evi juga mengatakan, dunia perlu membangun sistem keamanan global yang
transparan untuk mencegah invasi negara-negara besar. “Kalau kita ingin membangun sistem
internasional yang aman, adalah sistem internasional yang seharusnya tidak membiarkan orang
seperti Putin mempunyai justifikasi untuk perang.”
Invansi Rusia ke Ukraina tidak dapat dibenarkan. Namun, ada banyak pihak yang bertanggung jawab
atas perang yang telah memakan banyak korban tersebut, tidak hanya Rusia, tetapi juga Barat dan
Ukraina serta para pemimpinnya.  “Rusia, salah satu pihak yang memang paling bertanggung jawab
atas serangan ini. Tapi ternyata banyak pihak-pihak lain yang berkontribusi, termasuk Ukraina dan
para pemimpinnya juga berperan untuk menciptakan konflik ini.”
Evi menjelaskan, “Ukraina, negara-negara anggota NATO dan Amerika Serikat, membiarkan Presiden
Rusia Vladimir Putin mempunyai justifikasi untuk melakukan serangan. Oleh karena itu, dia menilai
perlunya sistem internasional yang bisa mencegah negara-negara besar seperti Rusia dan AS memiliki
justifikasi untuk melancarkan serangan.”
“Oleh karena itu, kita perlu membangun sistem keamanan global atau global architecture yang lebih
transparan sehingga tidak menjadi alasan bagi penghasut perang untuk menjustifikasi apapun
tindakan mereka, baik dari sisi keamanan dirinya ataupun stabilitas global,” katanya.

Krisis Ukraina, Ujian Politik Bebas Aktif Indonesia


TEMPO.CO, Bandung - Krisis Ukraina yang tidak kunjung reda menjadi ujian
bagi kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia. Pasalnya, krisis
yang berakar pada perebutan pengaruh atas Ukraina antara Amerika
Serikat dan Uni Eropa melawan Rusia menunjukkan bahwa Indonesia
harus kembali merumuskan strategi hubungan kemitraan di masa depan.

“Skenario geopolitik saat ini, Amerika Serikat dan Rusia telah menyepakati
perjanjian awal untuk mereformasi konstitusi Ukraina menjadi negara
federal,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Kementerian Luar Negeri Darmansjah Djumala dalam diskusi Forum
Kajian Kebijakan Luar Negeri di Universitas Katholik Parahyangan, Jalan
Ciumbuleuit, Kota Bandung, Rabu, 18 Februari 2015.

Darmansjah menuturkan hal itu menjadi polemik berkepanjangan


mengingat apabila Ukraina menjadi negara federal akan menimbulkan
potensi konflik antara Rusia dengan Uni Eropa karena Rusia akan tetap
melakukan sphere of influence ke negara bagian tersebut.

"Jika ide federalisasi ini resmi digunakan oleh Ukraina, maka secara
sosiologis dan ekonomi beberapa negara bagian akan tergantung pada
Rusia," kata Darmansjah.
Menurut Darmasjah, posisi Indonesia secara politik harus tetap mengarah
pada penyelesaian konflik dengan cara damai dengan senantiasa
menghormati hukum internasional.

"Adapun untuk masalah kebijakan ekonomi, kita harus pintar


memanfaatkan kondisi Rusia yang sedang terkena sanksi ekonomi
dengan cara melakukan kerja sama mengekspor, tetapi tetap menjaga
agar tidak terjebak dalam keberpihakan dan terseret ke tengah pusaran
konflik," ujar Darmansjah.

Pengamat ekonomi dari International Center for Applied Finance and


Economic, Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, menyatakan krisis
Ukraina tidak begitu berpengaruh signifikan terhadap perekonomian
Indonesia. "Ketika Rusia mengalami krisis karena anjloknya harga minyak,
tidak berpengaruh besar terhadap perekonomian dalam negeri kita
karena ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap Rusia masih
tergolong rendah," ujarnya.

Menurut Iman, data statistik menunjukan nilai ekspor Indonesia menuju


Rusia hanya berada pada 0,46 persen dan barang impor yang masuk dari
Rusia hanya sekitar 0,96 persen. Hal ini jauh berbeda dengan negara-
negara ASEAN dengan jumlah persentase mencapai 20,11 persen untuk
ekspor dan 30,55 untuk impor. "Jangan terlalu khawatir karena Rusia saat
ini bukan partner penting bagi Indonesia dalam masalah ekonomi,"
katanya.

PRESIDENSI G20 DAN POLITIK BEBAS AKTIF

Setiap negara atau perusahaan internasional (asing) yang datang dan berminat untuk
berinvenstasi di Indonesia, akan sangat memperhatikan beberapa poin dan kondisi; populasi,
peningkatan kelas menengah, permintaan domestik yang kuat dan bagus, situasi politik dalam
negeri yang cenderung stabil, serta keberpihakan Indonesia dalam kancah politik internasional. 

Poin-poin tersebut jadi bahan pertimbangan bagi banyak perusahaan sebelum menanamkan
modalnya di Indonesia. Khusus poin terakhir, saat ini, Indonesia sedang diuji pada pilihan sikap
yang problematis karena invasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina, yang menyeret
kepentingan politik berbagai negara termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Hal ini
terutama berkaitan dengan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 yang berlangsung tahun 2022
ini.

Sikap politik Indonesia sendiri dalam memandang invasi Rusia terhadap Ukraina masih terkesan
adem ayem. Pada pemungutan suara di Sidang Majelis Umum PBB hari rabu, 2 Maret 2022,
Indonesia memang jadi salah satu dari 141 negara yang mendukung resolusi yang mengecam
invasi Rusia terhadap Ukraina. 

Dilansir dari Voa Indonesia, Duta Besar Indonesia untuk PBB, Arrmanatha Nasir mengatakan,
“aksi militer di Ukraina mempertaruhkan nyawa warga sipil dan mengancam perdamaian serta
stabilitas regional dan global.” 

Namun dukungan pada resolusi PBB tersebut, pada akhirnya, hanyalah sebuah penegasan bahwa
Indonesia secara nyata (dari sejak 1955 hingga hari ini) memang menentang segala bentuk invasi
militer yang merugikan sebuah negara, tanpa embel-embel keberpihakan kepada salah satu pihak
yang berperang.

Setali tiga uang, Presiden Joko Widodo di Twitter resmi miliknya memberi komentar, “Setop
perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.” Lewat
pernyataan itu, Presiden secara implisit menyerukan agar perang dihentikan karena merugikan
tatanan dunia secara umum, tanpa menghakimi pihak mana yang salah dan mana pihak yang
benar.

Pilihan Indonesia untuk cenderung bersikap netral dalam invasi Rusia terhadap Ukraina adalah
pilihan cerdas dan berakar pada prinsip politik luar negeri Indonesia yang menganut politik
bebas aktif.

Meskipun belakangan ini, Indonesia diminta oleh Ukraina dan Amerika Serikat untuk
mengambil sikap tegas terkait dengan keanggotaan Rusia di G20, karena tahun ini Indonesia
terpilih sebagai Presidensi G20. 

Permintaan ini dilakukan agar sejalan dengan langkah-langkah yang diambil negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat, yang saat ini tengah beramai-ramai dan bergelombang, menjatuhkan
berbagai sanksi ekonomi terhadap Rusia: berupa pemutusan kerjasama secara sepihak, serta
pembatasan-pembatasan terhadap segala sesuatu yang berkait kelindan dengan Rusia.

Politik Bebas Aktif


Sejak pertama kali dicetuskan oleh Sutan Sjahrir saat berpidato dalam acara Inter Asian
Relations Conference  di New Delhi pada 23 Maret-2 April 1947, yang kemudian dipertegas oleh
Mohammad Hatta dalam pidatonya di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
yang berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang” pada 2 September 1948, sikap Indonesia
dalam peta politik luar negeri cukup terang benderang yaitu politik bebas aktif. 

Pilihan politik bebas aktif ini kemudian diatur dalam Ketetapan MPRS No.XII/MPRS/1966, di
mana dalam ketetapan itu mengandung dua hal pokok. Pertama, politik bebas aktif merupakan
sebuah sikap anti imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun. Kedua, politik bebas
aktif mengabdi pada kepentingan nasional. Sementara setelah era reformasi, politik bebas aktif
diatur dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 untuk lebih ditekankan pada bidang ekonomi
yang berkaitan dengan hubungan kerja sama di dunia internasional.

Dengan mencermati panjangnya sejarah Indonesia dalam memerankan politik bebas aktif di
dunia internasional, termasuk penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung,
Indonesia tentu saja menentang invasi Rusia terhadap Ukraina seperti juga Indonesia mengutuk
keras pendudukan Palestina oleh Israel. Sebab inti dari politik bebas aktif adalah mengedepankan
perdamaian dunia. 

Namun, bentuk dukungan itu tidak serta membuat Indonesia latah untuk ikut terlibat memboikot
atau memutus hubungan diplomatik dengan salah satu pihak, baik itu Rusia maupun Ukraina.

Selain itu, seperti yang tercantum dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999, pilihan politik bebas aktif
juga melegitimasi kebebasan Indonesia dalam membina hubungan kerja sama dalam berbagai
bidang dengan negara manapun, secara berdaulat, tanpa harus berpihak terhadap salah satu pihak
(entah itu Amerika Serikat, NATO dan sekutunya, atau Rusia, Tiongkok, dan kawan-kawan).

Oleh karena itu, dengan menjadi Presidensi G20, menjadi waktu yang tepat bagi Indonesia untuk
menunjukkan pilihan politik bebas aktif, terutama dari sisi ekonomi, dalam menjalin kerja sama
dengan banyak negara termasuk dengan negara-negara yang sekarang ini sedang bertikai. Pilihan
politik bebas aktif membuat Indonesia secara leluasa dapat membangun kerja sama ekonomi
yang saling menguntungkan dengan banyak negara maju dan berkembang, di saat dunia mulai
bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid 19.

Indonesia harus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa dengan menjadi Presidensi
G20, tanpa mengabaikan kondisi politik dunia saat ini, Indonesia secara independen dan aktif
akan tetap mendorong keberhasilan pembahasan isu-isu prioritas G20 tahun ini yaitu,
konektivitas dan pemulihan pasca pandemi Covid 19 (connectivity and post-Covid 19 recovery),
kemampuan digital dan literasi digital (digital skills and digital literacy), serta aliran data lintas
negara dan aliran data secara bebas berbasis kepercayaan (cross border data flow and data free
flow with rust).

G20 dengan Semangat Inklusivitas 


Gelaran G20 dengan tema “Recover Together, Recover Stronger” pada tahun ini harus jadi
momentum kebangkitan ekonomi negara-negara tertinggal dan berkembang. Pemulihan ekonomi
pasca pandemi Covid 19 harus jadi prioritas utama pertemuan G20, tanpa terganggu konstelasi
politik pasca invasi Rusia terhadap Ukraina serta berbagai macam aksi saling boikot produk-
produk ekonomi antara Rusia vs Amerika+NATO dan sekutunya.

Indonesia sebagai Presidensi G20 harus mendapatkan keuntungan dalam pemulihan ekonomi
nasional. Terutama dalam mengakselerasi kebangkitan Usaha Kecil Mikro dan Menengah
(UMKM), dengan mendorong potensi dan produktivitas UMKM agar lebih terkoneksi secara
global melalui digitalisasi, salah satunya melalui platform e-commerce,  dan kerja sama langsung
antar perusahaan/UMKM antar negara.

Sementara dari sektor yang lain, gelaran G20 diharapkan menumbuhkan sektor pariwisata secara
langsung (meningkatkan hunian hotel dan tempat-tempat wisata), karena berbagai rangkaian
acara G20 diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia, selain juga ikut mendorong
terbukanya peluang inventasi jangka panjang di bidang pariwisata. 

Berdasarkan catatan Kemenparekraf, Presidensi Indonesia di G20 kali ini bakal mendatangkan
wisatawan dari 20 negara anggota, organisasi internasional, dan negara undangan dengan
estimasi sekitar 6.500 delegasi yang terdiri dari 38 pemimpin dunia, 60 menteri pendamping,
serta 6.000 awak pers.

Selain itu, dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menegaskan inklusivitas sebagai
prioritas kepemimpinan Indonesia di G20 adalah untuk “tak meninggalkan siapa pun.”
Penegasan Presiden tersebut sedikit banyak memperjelas sikap Indonesia dalam kancah
pergaulan internasional untuk merangkul semua negara tanpa terkecuali. 

Di mana tahun ini, Indonesia turut mengundang tamu dari negara-negara kepulauan serta
organisasi internasional dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara, untuk berpartisipasi
dalam gelaran G20. Sehingga membuat spektrum pertemuan G20 tahun ini jadi meluas dan
diharapkan dapat memberi manfaat pula bagi negara-negara di luar keanggotaan G20.

Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Tantangan Global


Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi memberikan ceramah mengenai “Politik
Luar Negeri Indonesia di Tengah Tantangan Global” di hadapan Peserta Program
Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LVI Lemhannas RI pada Senin (31/7) di Ruang
NKRI Lemhannas RI.

Ceramah tersebut membahas mengenai bagaimana politik Indonesia di luar negeri


khususnya pada negara-negara yang sedang berkonflik dan akan memiliki dampak
terhadap Indonesia.  Dalam ceramahnya, Retno Marsudi menyampaikan empat
prioritas politik Indonesia di luar negeri yaitu, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Perlindungan WNI, diplomasi ekonomi, serta peran regional dan global Indonesia.
 

Selain itu, Retno Marsudi juga menjelaskan mengenai diplomasi yang dilakukan
Indonesia di dunia internasional untuk terus berupaya memberikan kontribusi dalam
penyelesaian permasalahan konflik, baik pada lingkup regional maupun global.
Menurutnya, sikap Indonesia dalam pergaulan dunia internasional tersebut
merupakan mandat konstitusi mengenai perdamaian dan ketertiban dunia yang
tercantum di Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. 

Selain alasan perdamaian, perlindungan WNI juga menjadi salah satu latar
belakang kenapa Indonesia sangat aktif pada politik luar negeri. Menurut Retno
Marsudi, ketika terjadi konflik diplomasi dengan negara lain, maka yang akan terkena
dampak secara langsung adalah warga negara Indonesia.

Retno Marsudi juga mengatakan, Kementerian Luar Negeri RI yang ia pimpin telah
melakukan reformasi yang signifikan di bidang pelayanan sehingga semua pelayanan
dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan transparan. Selain itu, menurutnya,
permasalahan harus dibenahi dari hulu hingga hilir, sebagaimana terjadi pada masalah
penempatan tenaga kerja Indonesia.  “Dalam menyelesaikan suatu masalah, jangan
sampai kemudian membuat masalah lain. Kami menyelesaikan masalah dengan hati-
hati dan harus bisa menyiasati agar tidak terjadi masalah yang lebih pelik lagi,” tegas
Retno Marsudi.

Menyinggung meningkatnya ancaman terorisme, menurut Retno Marsudi, adalah


akibat perubahan metode perekrutan teroris yang dulu masih bersifat konvergen
dalam artian mereka mengumpulkan orang-orang untuk di latih lalu melakukan aksi
terorisme, namun sekarang berubah menjadi bersifat divergen dimana mereka
menyebarkan orang-orang yang sudah dilatih kembali ke negara asalnya dan
melakukan aksi terorisme secara tidak struktur. Diakhir, Peserta PPRA LVI Lemhannas
RI melakukan diskusi dan tanya jawab.

Wajah Politik Luar Negeri RI: Kritik dan Relevansinya di Abad Ke-21
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menganut prinsip politik luar
negeri (PLN RI) bebas-aktif. Namun seiring dengan dinamika global, PLN RI mengalami perkembangan
yang signifikan. Secara operasionalnya PLN RI memiliki karakteristik yang berbeda-beda dibawah  rezim
yang berkuasa. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan situasi internal maupun internasional. Pasca
berakhirnya Perang Dingin, eksistensi PLN RI kerap menjadi pertanyaan besar di kalangan akademisi.
Apakah praktiknya masih relevan atau tidak, mengingat panggung internasional telah mengalami
metamorfosis.

Rekam Jejak Wajah PLN RI

Pada Era Orde Lama, PLN RI menunjukkan gaya konfrontatif yang dekat dengan negara-negara komunis.
Hal ini dilatarbelakangi oleh Orientasi kepentingan nasional Indonesia terhadap pertahanan dan
keamanan akibat situasi domestik yang baru merdeka. Sehingga tujuan utamanya adalah mencari
pengakuan internasional atas kedaulatan wilayah. Sedangkan di era Orde Baru, orientasi kebijakan PLN
RI lebih condong ke "Barat" sebagai upaya pemulihan ekonomi dan reorientasi posisi Indonesia di
ASEAN. Di Era Orde Baru Indonesia diwarisi pekerjaan yang tidak mudah bagi pemerintahan berikutnya.
Lemahnya kepercayaan internasional akibat korupsi membawa dampak terhadap sulitnya mencari
bantuan internasional dan minimnya modal di dalam negeri- menjadi kendala terhadap pemulihan
ekonomi nasional. Dibawah pemerintahan Presiden Habibie Indonesia mendapatkan kembali
kepercayaan internasional, terutama dari IMF dan World Bank, yang membantu melakukan pencairan
dana untuk mengatasi krisis ekonomi.

Di bawah rezim selanjutnya, Abdurrahman Wahid, pemulihan ekonomi masih menjadi agenda utama.
Beliau melakukan kunjungan ke berbagai negara ASEAN, Amerika Serikat, dan Jepang. Selain itu,
Presiden Wahid juga melakukan upaya dengan memberikan usulan pembukaan hubungan dagang
dengan Israel dengan maksud menarik investor asing serta strategi untuk memperkuat lobi Yahudi-
Amerika. Namun menurut penulis, orientasi PLN RI di masa tersebut menujukan kedilemaan. Di satu sisi,
upaya Presiden Wahid menyambangi negara-negara barat untuk mendorong investasi, namun di sisi lain
juga berupaya untuk membendung pengaruh barat melalui usulannya, dengan membentuk Forum
Pasifik Barat. Penguatan lobi dengan Amerika Serikat juga ditunjukan di masa pemerintahan Presiden
Megawati yang memberi simpati pasca peristiwa peledakan gedung WTC. Namun tindakan ini secara
tidak langsung mendukung stigmatisasi terorisme dengan Islam. Hal ini juga menunjukkan sikap dan
posisi yang dilema dalam melawan terorisme.

Di bawah rezim SBY, PLN RI mulai menemukan wajah baru yang mana konsepsinya tidak lagi berpijak
pada "mendayung diantara dua karang" seperti di masa perang dingin. Hal ini, disampaikan Presiden SBY
dalam pidatonya yang menyatakan bahwa, Indonesia di abad ke-21 ini tengah berhadapan dengan
situasi yang kompleks. Artinya, pasca berakhirnya peristiwa perang dingin, panggung internasional telah
memasuki era multipolar yang menggiring Indonesia untuk beradaptasi dengan "banyaknya karang"
yang tengah bergejolak. Narasi tersebut, dicetuskan melalui slogan "Thousand Friend, Zero Enemy".
Melalui slogan tersebut, menggiring kembali citra baik nasional kearah yang outward looking. Karena
dulu Indonesia bersikap inward looking, yang mana cendurung menutup diri dari permasalahan
internasional akibat terlalu fokus pada urusan domestik.

Dewasa ini, Indonesia dihadapkan pada tiga permasalahan pokok yaitu, merosotnya kewibawaan
negara, melemahnya perekonomian, intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Oleh karena itu, dibawah
pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat empat agenda strategis dalam PLN RI, yaitu kedaulatan,
perlindungan WNI, ekonomi, serta kontribusi dan kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia.
Menurut pernyataan Menlu Retno, Indonesia perlu menekankan kerja sama maritim untuk mendorong
terwujudnya konektivitas maritim dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Untuk mewujudkan
narasi tersebut, Indonesia semakin membuka diri terhadap investor-investor asing yang masuk. Salah
satu contohnya adalah melalui pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang merupakan komitmen
B2B antara BUMN Indonesia dengan perusahaan multinasional China.

Dalam bingkai neoliberalisme, proyek tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi baru, serta
pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam buku "In the Ruins of Neoliberalism" yang ditulis oleh
Wendy Brown, menjelaskan bahwa neoliberalisme dimaknai sebagai proyeksi kaum kapital yang
berorientasi untuk meruntuhkan hambatan kapital, menaklukan tuntutan redistribusi modal yang adil,
serta meruntuhkan kekuatan dan harapan kelas pekerja di negara maju maupun berkembang. Terlihat
dengan jelas bahwa nafas neoliberalisme masuk kedalam sendi proyek kereta api cepat tersebut.
Mengapa demikian, sebab dalam skemanya investasi yang dilakukan China diberikan melalui China
Development Bank (CBD) dengan pembiayaan hutang , kemudian terciptanya ruang ekonomi yang justru
eksklusif sehingga mengakibatkan privatisasi lahan dan marjinalisasi warga di sekitar proyek. Selain itu
membengkaknya biaya proyek tersebut, juga menjadi polemik yang kerap disorot. Integrasi
perekonomian global yang semakin bebas seperti kasus diatas, cenderung menjadikan Indonesia
terperangkap pada jerat neoliberalisme, terlebih jika pemerintah tidak mengambil lamgkah hati-hati,
yang justru dapat membawa mimpi buruk bagi perekonomian nasional.

Relevansi PLN RI di Abad ke-21

Terlepas dari permasalahan tersebut, eksistensi PLN RI dipertanyaakan relevansinya di abad ke-21 ini.
Meskipun panggung internasional telah mengalami metamorfosis, ternyata kacamata politik bebas-aktif
masih dianggap relevan untuk melihat situasi saat ini. Politik bebas-aktif yang dipegang oleh Indonesia
telah menemukan wajah barunya, seperti yang telah dinarasikan oleh Presdien SBY, bahwa kontemporer
situasi global telah memasuki fase multipolar. Maka dari itu ditengah kompleksnya situasi global,
Indonesia terus merefleksikan dirinya untuk aktif bekerja sama dan terlibat dalam percaturan
internasional yang didasari oleh nilai-nilai yang termaktub dalam UUD 1945. Dimensi itulah yang
menjadi simbol bahwa politik bebas aktif Indonesia menjadi refleksi atas cita-cita ideal tatanan global di
masa depan. Mulai dari kemerdekaan, hingga perdamaian dunia. Prinsip bebas-aktif yang melekat pada
politik luar negeri Indonesia akan terus eksis ditengah situasi global yang anarkis dan menjadi dasar
serta solusi atas persoalan-persoalan yang terjadi, baik persoalan internal maupun internasional.

Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menganut prinsip politik luar
negeri (PLN RI) bebas-aktif. Namun seiring dengan dinamika global, PLN RI mengalami perkembangan
yang signifikan. Secara operasionalnya PLN RI memiliki karakteristik yang berbeda-beda dibawah  rezim
yang berkuasa. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan situasi internal maupun internasional. Pasca
berakhirnya Perang Dingin, eksistensi PLN RI kerap menjadi pertanyaan besar di kalangan akademisi.
Apakah praktiknya masih relevan atau tidak, mengingat panggung internasional telah mengalami
metamorfosis.

Rekam Jejak Wajah PLN RI

Pada Era Orde Lama, PLN RI menunjukkan gaya konfrontatif yang dekat dengan negara-negara komunis.
Hal ini dilatarbelakangi oleh Orientasi kepentingan nasional Indonesia terhadap pertahanan dan
keamanan akibat situasi domestik yang baru merdeka. Sehingga tujuan utamanya adalah mencari
pengakuan internasional atas kedaulatan wilayah. Sedangkan di era Orde Baru, orientasi kebijakan PLN
RI lebih condong ke "Barat" sebagai upaya pemulihan ekonomi dan reorientasi posisi Indonesia di
ASEAN. Di Era Orde Baru Indonesia diwarisi pekerjaan yang tidak mudah bagi pemerintahan berikutnya.
Lemahnya kepercayaan internasional akibat korupsi membawa dampak terhadap sulitnya mencari
bantuan internasional dan minimnya modal di dalam negeri- menjadi kendala terhadap pemulihan
ekonomi nasional. Dibawah pemerintahan Presiden Habibie Indonesia mendapatkan kembali
kepercayaan internasional, terutama dari IMF dan World Bank, yang membantu melakukan pencairan
dana untuk mengatasi krisis ekonomi.

Di bawah rezim selanjutnya, Abdurrahman Wahid, pemulihan ekonomi masih menjadi agenda utama.
Beliau melakukan kunjungan ke berbagai negara ASEAN, Amerika Serikat, dan Jepang. Selain itu,
Presiden Wahid juga melakukan upaya dengan memberikan usulan pembukaan hubungan dagang
dengan Israel dengan maksud menarik investor asing serta strategi untuk memperkuat lobi Yahudi-
Amerika. Namun menurut penulis, orientasi PLN RI di masa tersebut menujukan kedilemaan. Di satu sisi,
upaya Presiden Wahid menyambangi negara-negara barat untuk mendorong investasi, namun di sisi lain
juga berupaya untuk membendung pengaruh barat melalui usulannya, dengan membentuk Forum
Pasifik Barat. Penguatan lobi dengan Amerika Serikat juga ditunjukan di masa pemerintahan Presiden
Megawati yang memberi simpati pasca peristiwa peledakan gedung WTC. Namun tindakan ini secara
tidak langsung mendukung stigmatisasi terorisme dengan Islam. Hal ini juga menunjukkan sikap dan
posisi yang dilema dalam melawan terorisme.
Di bawah rezim SBY, PLN RI mulai menemukan wajah baru yang mana konsepsinya tidak lagi berpijak
pada "mendayung diantara dua karang" seperti di masa perang dingin. Hal ini, disampaikan Presiden SBY
dalam pidatonya yang menyatakan bahwa, Indonesia di abad ke-21 ini tengah berhadapan dengan
situasi yang kompleks. Artinya, pasca berakhirnya peristiwa perang dingin, panggung internasional telah
memasuki era multipolar yang menggiring Indonesia untuk beradaptasi dengan "banyaknya karang"
yang tengah bergejolak. Narasi tersebut, dicetuskan melalui slogan "Thousand Friend, Zero Enemy".
Melalui slogan tersebut, menggiring kembali citra baik nasional kearah yang outward looking. Karena
dulu Indonesia bersikap inward looking, yang mana cendurung menutup diri dari permasalahan
internasional akibat terlalu fokus pada urusan domestik.

Dewasa ini, Indonesia dihadapkan pada tiga permasalahan pokok yaitu, merosotnya kewibawaan
negara, melemahnya perekonomian, intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Oleh karena itu, dibawah
pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat empat agenda strategis dalam PLN RI, yaitu kedaulatan,
perlindungan WNI, ekonomi, serta kontribusi dan kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia.
Menurut pernyataan Menlu Retno, Indonesia perlu menekankan kerja sama maritim untuk mendorong
terwujudnya konektivitas maritim dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Untuk mewujudkan
narasi tersebut, Indonesia semakin membuka diri terhadap investor-investor asing yang masuk. Salah
satu contohnya adalah melalui pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang merupakan komitmen
B2B antara BUMN Indonesia dengan perusahaan multinasional China.

Dalam bingkai neoliberalisme, proyek tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi baru, serta
pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam buku "In the Ruins of Neoliberalism" yang ditulis oleh
Wendy Brown, menjelaskan bahwa neoliberalisme dimaknai sebagai proyeksi kaum kapital yang
berorientasi untuk meruntuhkan hambatan kapital, menaklukan tuntutan redistribusi modal yang adil,
serta meruntuhkan kekuatan dan harapan kelas pekerja di negara maju maupun berkembang. Terlihat
dengan jelas bahwa nafas neoliberalisme masuk kedalam sendi proyek kereta api cepat tersebut.
Mengapa demikian, sebab dalam skemanya investasi yang dilakukan China diberikan melalui China
Development Bank (CBD) dengan pembiayaan hutang , kemudian terciptanya ruang ekonomi yang justru
eksklusif sehingga mengakibatkan privatisasi lahan dan marjinalisasi warga di sekitar proyek. Selain itu
membengkaknya biaya proyek tersebut, juga menjadi polemik yang kerap disorot. Integrasi
perekonomian global yang semakin bebas seperti kasus diatas, cenderung menjadikan Indonesia
terperangkap pada jerat neoliberalisme, terlebih jika pemerintah tidak mengambil lamgkah hati-hati,
yang justru dapat membawa mimpi buruk bagi perekonomian nasional.

Relevansi PLN RI di Abad ke-21


Terlepas dari permasalahan tersebut, eksistensi PLN RI dipertanyaakan relevansinya di abad ke-21 ini.
Meskipun panggung internasional telah mengalami metamorfosis, ternyata kacamata politik bebas-aktif
masih dianggap relevan untuk melihat situasi saat ini. Politik bebas-aktif yang dipegang oleh Indonesia
telah menemukan wajah barunya, seperti yang telah dinarasikan oleh Presdien SBY, bahwa kontemporer
situasi global telah memasuki fase multipolar. Maka dari itu ditengah kompleksnya situasi global,
Indonesia terus merefleksikan dirinya untuk aktif bekerja sama dan terlibat dalam percaturan
internasional yang didasari oleh nilai-nilai yang termaktub dalam UUD 1945. Dimensi itulah yang
menjadi simbol bahwa politik bebas aktif Indonesia menjadi refleksi atas cita-cita ideal tatanan global di
masa depan. Mulai dari kemerdekaan, hingga perdamaian dunia. Prinsip bebas-aktif yang melekat pada
politik luar negeri Indonesia akan terus eksis ditengah situasi global yang anarkis dan menjadi dasar
serta solusi atas persoalan-persoalan yang terjadi, baik persoalan internal maupun internasional.

BEM dan Pengamat Bahas Strategi Indonesia di Tengah


Gejolak Politik Dunia
Unesa.ac.id, SURABAYA-Gejolak politik dunia semakin memanas. Rusia dan Ukraina masih saling
serang. Ekonomi global terguncang, harga-harga kian memuncak. Di tengah situasi tersebut, publik
berusaha menakar peran Indonesia yang dinahkodai Joko Widodo dua periode ini. Mengenai strategi
Indonesia, BEM UNESA bersama pakar menguliknya dalam Seminar Nasional di Auditorium Lantai 11,
Gedung Rektorat Kampus Lidah Wetan, Surabaya pada Kamis, 30 Juni 2022.
Seminar tersebut bertajuk “Pertahanan dan Politik Bebas Aktif: Mengulas Strategi & Kontribusi
Pemerintahan Jokowi Menghadapi Gejolak Politik Dunia” ini dihadiri kurang lebih 200 peserta. Dwi
Ardiansyah, Presiden BEM UNESA dalam sambutannya menyampaikan bahwa tema yang dibawakan
merupakan bentuk representasi dunia perpolitikan baik nasional maupun global berjalan. “Kita
harapkan seminar ini ada pencerahan mengenai apa sudah dilakukan Indonesia dan strategi apa kira-
kira yang harus dilakukan ke depan,” ujarnya.
Pemateri, Mauli Fikr, M.IP., Pengamat Politik Intra Publik menyampaikan bahwa politik bebas aktif
merupakan topik yang sangat bagus, karena berbicara tentang pengelolaan pertahanan Indonesia dan
sejauh mana kinerja politik Internasional Indonesia.
Ini menjadi salah satu catatan tidak hanya pada dua instansi yang menjadi stakeholder yaitu
Kementerian Pertahanan Nasional Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Indonesia melainkan juga
mendorong publik untuk melihat sejauh mana capaian keberhasilan dari program seluruh kementerian
di Indonesia dalam menjaga stabilitas nasional.
Selain itu, juga menjadi indikator bagaimana Indonesia menjadi daya tarik baik dalam sektor
pariwisata, energi alam, maupun SDM dalam konteks global karena hal tersebut merupakan tanggung
jawab bersama. Indonesia harus proaktif, sejauh mana aktivitas diplomasi bisa menguntungkan
Indonesia. “Itu yang disebut dengan Independen dalam konteks internasional. Dan Independen yang
dimaksud ada batasan prinsipnya, pancasila harus menjadi instrumen diplomasi, apa yang menjadi
permasalahan? Dan apa yang menjadi target dari diplomasi kita hari ini,” ucapnya.
Dia berpesan bahwa mahasiswa tugas besarnya adalah menjalankan tridarma perguruan tinggi yang
merupakan tugas mulia. Namun perlu diingat, tugas mulia harus dilakukan secara seimbang. Tidak bisa
hanya dilakukan di hilir, di hulu juga perlu dipraktekkan. Kemudian juga penting melakukan
pendampingan kebijakan sebagai bentuk penerapan di hulu.
“Kalau di hilir, contohnya seperti melakukan kkn, pengabdian masyarakat, juga merupakan
implementasi Tri Dharma Perguruan tinggi. Beliau berharap mahasiswa tidak hanya ada di satu titik,
mahasiswa harus berada ditengah sebagai penyeimbang. Kalau ada kebijakan pasti ada dampak,
karena kebijakan itu berpihak. Itulah mengapa mahasiswa memiliki tanggung jawab besar untuk
mengadvokasi kebijakan dan mendampingi masyarakat,” terangnya.
Di akhir kegiatan, moderator menyampaikan kesimpulan yang dapat diambil mahasiswa yang
merupakan agent of change. Politik bukan hanya identik dengan bagi-bagi jatah kursi, bagi-bagi
kekuasaan atau tukar menukar kongsi dan kursi, tetapi politik harus berdampak baik terhadap
pencapaian cita-cita kebangsaan. Jangan menjadi mahasiswa yang takut untuk berpihak. Dalam arti
lain tidak takut mengambil resiko dalam perjuangkan demi kebenaran. [HUMAS UNESA]

Politik Luar Negeri Indonesia Konsisten di Tengah Pandemi


Covid-19
Jakarta: Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Mahendra Siregar mengatakan jalur
politik luar negeri Indonesia tetap sama di tengah pandemi covid-19. Indonesia tetap
memegang politik luar negeri yang bebas aktif tanpa berpihak ke satu kubu mana
pun.
 
Pasalnya, di tengah pandemi ini, dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan
Tiongkok masih kerap 'berperang'. Padahal, seharusnya kolaborasi mereka bisa
mempercepat perkembangan penanganan covid-19.
 
"Beberapa tren terjadi saat covid-19 sebenarnya akselerasi dari tren yang terjadi
sebelumnya, antara lain perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat," tutur
Mahendra dalam kuliah umum virtual, Rabu 17 Juni 2020.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?

 Happy

 Inspire

 Confuse

 Sad

Mahendra menuturkan pandemi ini malah digunakan kedua negara besar itu untuk
saling menjatuhkan satu sama lain. Namun, posisi Indonesia di tengah pandemi tidak
berpihak ke satu kubu tertentu.
 
"Kita pada masa lalu bukan bagian dari Uni Soviet atau Amerika Serikat, sekarang kita
tidak punya kepentingan menjadi bagian dari AS atau Tiongkok, karena kita punya
prinsip sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam hal ini, kepentingan kita
memelihara perdamaian dunia, khususnya di kawasan," tegas dia.
 
Menurut Mahendra, perdamaian dan stabilitas global penting untuk dunia di tengah
pandemi ini. Terutama, kata Mahendra, perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara,
khususnya di Laut China Selatan yang selalu menjadi prioritas politik luar negeri
Pemerintah Indonesia.
 
Dalam kesempatan sama, ia menyebut pandemi ini malah justru menguatkan gerakan
anti-globalisasi yang kini tumbuh di negara maju, termasuk Amerika Serikat.
Menurutnya, sikap anti-globalisasi di Negeri Paman Sam mungkin didorong faktor
ketimpangan tinggi.
 
"Sedikit banyak, politik mempengaruhi hal ini, sehingga menyalahkan globalisasi.
SIkap anti-globalisasi ini menyebabkan beberapa negara cenderung melakukan sikap
unilateral," pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai