Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), resesi adalah memburuknya perekonomian suatu
negara, yang dibuktikan dengan produk domestik bruto (PDB) negatif, meningkatnya pengangguran, dan
pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut. Sedangkan menurut Forbes, resesi
adalah penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan yang berlangsung berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun.
Beberapa faktor penyebab resesi global yang diperkirakan akan terjadi tahun depan adalah:
Namun pandemi Covid-19 sudah mulai mereda dan banyak negara telah mengizinkan warganya
untuk melanjutkan aktivitas bisnis secara normal. Namun, di saat wabah Covid-19 menyebar
dari awal tahun 2020 hingga awal tahun ini, aktivitas ekonomi global anjlok. Setiap negara lebih
fokus pada penanganan Covid-19 dan menerapkan pembatasan aktivitas, termasuk aktivitas
ekonomi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi global juga terkontraksi. Pada saat yang sama,
banyak negara melindungi bahan pangan dari risiko wabah Covid-19 yang berkepanjangan akan
mendorong kenaikan harga pangan karena kurangnya pasokan. Indonesia juga mengalami resesi
ekonomi di penghujung tahun 2020 akibat pandemi Covid-19.
Perang Rusia-Ukraina yang pecah pada bulan Februari telah menyebabkan PDB global anjlok
hingga $2,8 triliun. Perang Rusia-Ukraina mengganggu rantai pasok global sehingga
menimbulkan krisis, terutama di sektor pangan dan energi, sehingga mempercepat inflasi.
Perang Rusia-Ukraina merupakan penyumbang utama resesi global yang diperkirakan akan
terjadi pada tahun 2023.
tingkat inflasi yang tinggi. Dalam World Economic Outlook Oktober 2022, International
Monetary Fund (IMF) memperkirakan tingkat inflasi global akan mencapai 8,8% pada tahun
2022 dan turun menjadi 6,5% pada tahun 2020. Tahun 2023. Menurut Bank Indonesia, inflasi di
Indonesia diperkirakan akan menurun dan kembali ke tingkat target 3,0 ± 1% pada tahun 2023
dan 2,5 ± 1% pada tahun 2024. Untuk menghadapinya, beberapa negara telah menarik insentif
keuangan dan moneter untuk menutup risiko. terkait dengan berlanjutnya inflasi.
Kenaikan suku bunga dasar. Bank-bank sentral di seluruh dunia serentak menaikkan suku bunga
acuannya sejak paruh kedua tahun ini, seperti Bank of England dan Federal Reserve (FED).
Tekanan inflasi di negara-negara Barat dan AS memaksa bank sentral untuk terus menaikkan
suku bunga dasar untuk mengendalikan inflasi. Demikian juga dengan kenaikan suku bunga
acuan di negara-negara anggota G20 seperti Brazil, India dan india. Pada tahun 2022, Bank of
England menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin. Sementara itu, The Fed
menaikkan suku bunga acuan sebesar 300 basis poin. Menyikapi hal tersebut, Bank Indonesia
juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,25% pada November 2022.
Fakta bahwa bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga acuan akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan dapat menyebabkan resesi global.
Mengurangi permintaan global. Baru-baru ini, perusahaan di banyak negara mulai memangkas
produksi karena turunnya permintaan global. Hal ini mengindikasikan terjadinya stagnasi
ekonomi dan menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi global.
Dari sekian banyak penyebab di atas, resesi dapat menyebabkan penurunan serentak di semua
kegiatan ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Selain kenaikan harga
yang tajam menyebabkan ekonomi stagnan atau proses yang dikenal dengan istilah stalling inflation,
resesi juga bisa terjadi akibat penurunan harga atau deflasi. Situasi ini bisa mengaburkan ekonomi tahun
depan.
Situasi ekonomi Indonesia dinilai masih kokoh menghadapi krisis ekonomi global yang mengarah
pada resesi ekonomi. Potensi bertahan dari risiko resesi cukup besar, didukung oleh PDB yang positif
secara konsisten dan tingkat inflasi yang relatif rendah dibandingkan banyak negara lain.
Ancaman resesi global bagi Indonesia akan menjadi sorotan antara lain:
Permintaan ekspor Indonesia untuk barang jadi seperti tekstil dan kerajinan mengalami
penurunan terutama dari Amerika Serikat, Eropa dan China;
Harga beberapa minyak mentah, minyak sawit mentah (CPO) dan logam dasar turun;
Peningkatan suku bunga di negara maju menyebabkan arus keluar modal;
Pertumbuhan ekonomi melambat;
Kenaikan biaya operasional akibat depresiasi rupiah.
Pemerintah harus mengatasi ancaman resesi global yang akan datang dengan mengambil langkah-
langkah proaktif untuk lebih meningkatkan kinerja perekonomian nasional. Meskipun situasi
perekonomian nasional saat ini cukup positif, namun jika terjadi resesi global diperkirakan akan
mempengaruhi Indonesia dan dapat menyeret Indonesia ke dalam “jurang” resesi ekonomi. Melihat
kemungkinan tersebut, pemerintah harus merumuskan kebijakan yang tepat terkait pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Dengan segala keterbatasan kemampuan ekonomi nasional saat ini,
pembiayaan infrastruktur memerlukan terobosan inovasi investasi infrastruktur untuk memenuhi
pembiayaan infrastruktur infrastruktur untuk percepatan pembangunan infrastruktur.
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan infrastruktur juga menjadi agenda
utama G20 dalam investasi infrastruktur berkelanjutan. Program ini sejalan dengan prioritas Indonesia di
G20 2022 menuju pemulihan yang berkelanjutan, inklusif dan tangguh untuk mencapai “Together
Recovery, Stronger Recovery”. Berinvestasi dalam infrastruktur berkelanjutan adalah kunci untuk
mencapainya
Komitmen G20 di bawah Presidensi Indonesia tahun 2022 tentang investasi infrastruktur
berkelanjutan merupakan bagian dari upaya G20 untuk melanjutkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan
2021 dan mengembangkan infrastruktur secara grup.properti memiliki karakteristik investasi yang
menarik bagi investor. Hasil dari dialog ini akan berkontribusi pada pencapaian tujuan program investasi
infrastruktur berkelanjutan dan dapat memberikan sinyal positif bagi investor untuk meningkatkan
kepercayaan dan memobilisasi investasi sektor swasta menuju infrastruktur berkelanjutan.
Berikut upaya kesiapan kita menghadapi resesi 2023 pada tahun ini :