Anda di halaman 1dari 10

Sri Mulyani: Dampak Virus Corona Berat ke

Perekonomian
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap penyebaran virus corona akan semakin
memberatkan perekonomian.

"Covid-19 belum bisa diatasi, penyebaran masih meningkat dan dampaknya ke ekonomi berat. Dampak ke
keuangan akan terus semakin berat," ujarnya, Rabu (1/4).

Sri Mulyani mengaku mau memformulasikan langkah ekonomi untuk menekan dampak dari virus corona.
"Berdasarkan APBN 2020, maka dikeluarkan lah langkah refocusing dan realokasi sesuai Inpres IV/2020,"
paparnya.

Dia juga memaparkan yang sudah dilakukan pemerintah saat ini untuk menekan dampak covid-19 seperti
membentuk gugus tugas penanganan virus corona. Selain itu, kebijakan menopang alokasi anggaran di daerah,
maka PMK akan menyalurkan dari Dana Bagi Hasil (DBH) untuk menanggulangi covid-19.

Dalam kondisi terburuk, Sri Mulyani memperkirakan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 2,3
persen karena virus corona. Namun, skenario terburuknya ekonomi RI minus hingga 0,4 persen.

"Outlook PE kita yang menurun di 2,3 persen bahkan jika semakin berat bisa negatif 0,4 persen," ujarnya
dalam video conference, Rabu (1/4).

Penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi tersebut karena konsumsi rumah tangga, investasi dan konsumsi
pemerintah yang turun. Menurut Ani, konsumsi rumah tangga menurun menjadi 3,2 persen hingga 1,6 persen.
Sementara, konsumsi pemerintah sedang dipertahankan tetapi memperlebar defisit.

"Awalnya kami perkirakan 6 persen, tapi jadi 1 persen atau bahkan negatif 4 persen," jelasnya.
Ani bersama BI dan OJK mengaku sudah mempersiapkan skenario dari yang buruk sampai yang terburuk.
Langkah ini disiapkan agar siap menghadapi berbagai kemungkinan dan implikasi sosial serta keuangan.

"Jadi beberapa langkah yang dilakukan dari diagnosa perekonomian global yang negatif adalah ancaman
terhadap sektor keuangan dalam bentuk capital outflow, tekanan pasar modal, surat berharga dan ekskalasi
masih tajam," jelas Sri Mulyani.

Sehingga, menurut bendahara negara tersebut, untuk mencegah krisis maka pemerintah mengambil langkah
WFH, jaga jarak dan meningkatkan sektor kesehatan publik.
Sri Mulyani: Ekonomi RI Berpotensi Tumbuh 2,3
Persen Akibat Covid-19
Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan mengatakan perekonomian Indonesia
berpotensi hanya tumbuh 2,3 persen atau dengan skenario terburuk akan
terkontraksi hingga 0,4 persen akibat adanya wabah virus corona atau Covid-19.

“BI, OJK, dan kami (Kemenkeu) memperkirakan pertumbuhan ekonomi turun ke


2,3 persen bahkan dalam skenario terburuk bisa terkontraksi 0,4 persen,”
katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Sri Mulyani menyatakan wabah virus corona menyebabkan kegiatan ekonomi


menurun serta menekan kegiatan lembaga keuangan sehingga berpotensi
membuat pertumbuhan ekonomi jauh dari target APBN 2020 yakni 5,3 persen.

“Kondisi ini menyebabkan penurunan pada kegiatan ekonomi dan menekan


lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan atau bahkan diberikan
relaksasi untuk tidak dibayarkan,” ujarnya seperti dilansir Antara.

Sri Mulyani menjelaskan menurunnya kegiatan ekonomi membuat pertumbuhan


konsumsi rumah tangga menurun di level 3,22 persen untuk skenario berat dan
1,6 persen pada skenario terberat dengan target dalam APBN 2020 mencapai 5
persen.

“Sektor rumah tangga kita perkirakan akan mengalami penurunan cukup besar
dari sisi konsumsi karena mereka tidak lagi melakukan aktivitas di luar rumah,”
katanya.

Kemudian, Konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga


(LNPRT) juga diperkirakan terkontraksi 1,78 persen pada skenario berat dan
minus 1,91 persen.

Sementara itu, untuk konsumsi pemerintah hanya diperkirakan tumbuh 6,83


persen untuk skenario berat dan 3,73 persen skenario terberat dengan target
dalam APBN 2020 sebesar 4,3 persen.

“Konsumsi pemerintah dalam hal ini akan kita pertahankan oleh karena itu
defisitnya meningkat,” ujarnya.

Tak hanya itu, Sri Mulyani menyebutkan untuk investasi akan merosot cukup
tajam dari target APBN 2020 sebesar 6 persen yakni diperkirakan hanya berada
di level 1,12 persen pada skenario berat dan negatif hingga 4,22 persen untuk
skenario terberat.
Selanjutnya, ekspor yang dalam APBN 2020 ditargetkan tumbuh 3,7 persen
justru diproyeksikan turut mengalami kontraksi sangat dalam yaitu hingga 14
persen pada skenario berat dan 15,6 persen untuk skenario terberat.

“Ekspor yang kemarin sudah negative growth selama hampir satu tahun itu juga
mengalami pertumbuhan yang lebih dalam lagi,” ujarnya.

Impor juga diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif yaitu 14,5 persen untuk
skenario berat dan hingga 16,65 persen pada skenario terberat dengan target
dalam APBN 2020 sebesar 3,2 persen.

“Transmisi kesehatan menjadi masalah sosial dan ekonomi lalu kemudian


masalah ancaman stabilitas keuangan menjadi sangat nyata,” tegasnya.
(ant/iss/ipg)
Dampak Covid-19 Terhadap Ekonomi Global
2020
Ekonomi global dapat menyusut hingga satu persen pada 2020 karena pandemi
Virus Corona baru atau COVID-19, dan dapat berkontraksi lebih jauh jika
pembatasan kegiatan ekonomi diperpanjang tanpa respons fiskal memadai. Hal
itu disampaikan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UN-DESA) yang
dilansir Antara pada Kamis (2/4/2020).

Pengarahan UN-DESA menemukan bahwa jutaan pekerja berisiko kehilangan


pekerjaan ketika hampir 100 negara menutup perbatasan nasional mereka. Itu
bisa berarti kontraksi ekonomi global 0,9 persen pada akhir 2020, atau bahkan
lebih tinggi jika pemerintah gagal memberikan dukungan pendapatan dan
membantu meningkatkan belanja konsumen.

Menurut perkiraan, penguncian di Eropa dan Amerika Utara memukul sektor jasa
dengan keras, terutama industri yang melibatkan interaksi fisik seperti
perdagangan ritel, rekreasi dan perhotelan dan transportasi. Secara kolektif,
industri-industri semacam itu mencakup lebih dari seperempat dari semua
pekerjaan di negara-negara tersebut.

Ketika bisnis kehilangan pendapatan, pengangguran cenderung meningkat


tajam, maka akan mengubah guncangan sisi penawaran menjadi guncangan sisi
permintaan yang lebih luas bagi perekonomian. Tingkat keparahan dampak akan
sangat tergantung pada durasi pembatasan pada pergerakan orang dan
kegiatan ekonomi serta pada skala dan kemanjuran respons oleh otoritas-
otoritas keuangan nasional.

Dengan latar belakang itu, UN-DESA bergabung dengan paduan suara di


seluruh sistem PBB yang menyerukan paket stimulus fiskal yang dirancang
dengan baik yang memprioritaskan pengeluaran kesehatan dan mendukung
rumah tangga yang paling terkena dampak pandemi.

“Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya


untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk
melindungi yang paling rentan di masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan
untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan,” kata
Liu Zhenmin Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial.

Analisis ini juga memperingatkan bahwa efek buruk dari pembatasan ekonomi
yang berkepanjangan di negara maju akan segera menyebar ke negara-negara
berkembang melalui jalur perdagangan dan investasi. Penurunan tajam dalam
pengeluaran konsumen di Uni Eropa dan Amerika Serikat akan mengurangi
impor barang-barang konsumsi dari negara-negara berkembang.

Negara-negara berkembang, terutama yang bergantung pada pariwisata dan


ekspor komoditas, menghadapi risiko ekonomi yang meningkat. Produksi
manufaktur global dapat berkontraksi secara signifikan, dan jumlah pelancong
yang anjlok kemungkinan akan merusak sektor pariwisata di negara-negara
berkembang pulau kecil, yang mempekerjakan jutaan pekerja berketerampilan
rendah.

Badan penerbangan sipil PBB, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional,


menyambut baik komitmen para pemimpin ekonomi utama G20 akhir pekan lalu
yang menunjukkan bahwa dukungan fiskal yang berani diperlukan untuk
melindungi industri perjalanan global, untuk membantu pemulihan global dalam
beberapa bulan mendatang.

Sementara itu, penurunan pendapatan terkait komoditas dan pembalikan aliran


modal meningkatkan kemungkinan tekanan utang bagi banyak negara.
Pemerintah mungkin terpaksa membatasi pengeluaran publik pada saat mereka
perlu meningkatkan pengeluaran untuk menahan pandemi dan mendukung
konsumsi dan investasi.

Elliot Harris Kepala Ekonom dan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk
Pembangunan Ekonomi mengatakan tujuan kolektif itu haruslah pemulihan yang
tangguh yang mengembalikan planet ini ke jalur yang berkelanjutan. “Kita tidak
boleh lupa bagaimana hal itu mempengaruhi populasi yang paling rentan dan
apa artinya bagi pembangunan berkelanjutan,” katanya.(ant/tin/ipg)
Menkeu: Dampak Covid-19, Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia 2020 bisa Minus 0,4 persen
Semua negara memproyeksikan penurunan pertumbuhan
ekonominya akibat pandemi virus Corona. Bahkan, dalam
skenario terburuk, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa minus
0,4 persen.
JAKARTA (VOA) — 
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia cukup terhantam keras
dengan penyebaran virus Corona. Tidak hanya kesehatan manusia, virus ini
juga mengganggu kesehatan ekonomi di seluruh dunia. Komite Stabilitas
Sektor Keuangan (KSSK), kata Ani, memperkirakan pertumbuhan ekonomi
Indonesia dalam skenario terburuk bisa minus 0,4 persen.

“Pertumbuhan ekonomi kita berdasarkan assessment yang tadi kita lihat, BI,


OJK, LPS, dan kami memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan
turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenarionya yang lebih buruk, bisa
mencapai negatif 0,4 persen,” ungkapnya dalam telekonferensi di Jakarta,
Rabu (1/4).

Kenapa hal ini bisa terjadi? Ani menjelaskan, kondisi sekarang ini akan
berimbas pada menurunnya konsumsi rumah tangga yang diperkirakan 3,2
persen hingga 1,2 persen. Lebih dari itu, investasi pun akan merosot tajam.
Sebelumnya, pemerintah cukup optimistis bahwa investasi akan tumbuh
enam persen. Namun, dengan adanya COVID-19, diprediksi investasi akan
merosot ke level satu persen atau terburuk bisa mencapai minus empat
persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh negatif akibat
pandemi Covid-19.

Ekspor pun diperkirakan terkoreksi lebih dalam, mengingat sudah satu tahun
belakangan ini pertumbuhannya negatif. Begitu juga dengan impor yang,
menurut Ani, juga akan tetap negatif pertumbuhannya.

Sektor UMKM, adalah sektor yang paling pertama terdampak wabah COVID-
19. Berkaca pada krisis tahun 1998, sektor ini cenderung aman. Namun,
sekarang situasinya berbeda.

“Sektor UMKM adalah sektor yang juga terpukul. Padahal, selama ini
biasanya menjadi safety net. Sekarang mengalami pukulan yang sangat besar,
karena adanya restriksi kegiatan ekonomi dan sosial yang memengaruhi
kemampuan UMKM, yang biasanya resilient, bisa menghadapi kondisi. Tahun
97-98, justru UMKM masih resilience. Sekarang ini dalam COVID ini, UMKM
terpukul paling depan karena ketiadaan kegiatan di luar rumah oleh seluruh
masyarakat,” jelasnya.

Pemerintah, kata Ani sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, dengan


pemberian stimulus kepada masyarakat yang terdampak. Hal ini tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang telah ditandatangani
Presiden Joko Widodo. Dalam Perppu ini, salah satu stimulusnya adalah
jaring pengaman sosial yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak
mampu.

Restriksi kegiatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 akan berdampak besar bagi UMKM.

“Oleh karena itu kita di Indonesia, harus memusatkan perhatian pada tiga hal.
Pertama, kesehatan dan masalah kemanusiaan harus ditangani. Kedua,
menjamin kondisi masyarakat terutama jaring pengaman sosial kepada
masyarakat terbawah dan bagaimana kita melindungi sedapat mungkin sektor
usaha ekonomi supaya mereka tidak mengalami damage atau bisa bertahan
dalam situasi sulit. Dan dalam hal ini kita juga melindungi stabilitas sektor
keuangan,” papar Sri Mulyani.

Rupiah Berpotensi Tembus Rp20.000 per Dolar AS

Dalam kesempatan tersebut, Ani juga mengumumkan, nilai tukar rupiah


terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi melemah hingga Rp20.000
per dolar AS akibat wabah COVID-19. Untuk perkiraan moderatnya berada di
kisaran Rp17.500 per dolar AS.

Hal ini menjadi bagian dari salah satu skenario asumsi makro 2020 yang
seluruhnya mengalami perubahan, seperti pertumbuhan ekonomi yang
diperkirakan 2,3 persen hingga minus 0,4 persen. Selain itu, inflasi 5,1 persen
serta harga minyak mentah Indonesia yang anjlok menjadi USD 31 per barel.

Meskipun asumsi makro kali ini begitu menakutkan, Ani menegaskan,


pemerintah tidak akan membuat hal itu terlaksana. Justru, hal ini dijadikan
patokan jangan sampai skenario terburuk itu terjadi.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, pihaknya tidak


akan membiarkan skenario nilai tukar rupiah Rp20.000 per dolar AS terjadi.
Bahkan, ia menyatakan, nilai tukar rupiah saat ini, yang berada pada kisaran
Rp16.000 per dolar AS, sudah cukup stabil.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo

“Skenario terberat kurs Rp17.500 per dolar AS atau yang sangat berat
Rp20.000 itu akan kita anitisipasi supaya tidak terjadi. Dalam hal ini saya
sebagai Gubernur BI menyatakan bahwa tingkat rupiah saat ini sudah
memadai. Yang tadi saya sampaikan skenario adalah sebagai forward looking
yang kita akan cegah supaya tidak akan terjadi. Oleh karena itu BI akan terus
berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Perry.

Dijelaskannya, penyebab melemahnya rupiah karena investor panik sehingga


terjadi apa yang disebut pembalikan modal atau capital outflow. Selama
periode terjadinya pandemi ini antara Januari dan Maret 2020 telah terjadi
capital outflow dalam portofolio investasi Indonesia, yang jumlahnya
mencapai Rp167,9 triliun.

“Capital outflow ini yang kemudian terjadi di seluruh dunia termasuk di


Indonesia, yang juga menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah,
didorong oleh kepanikan global akibatnya cepat menyebarnya wabah COVID-
19 di berbagai dunia. Dalam konteks ini, kami menyediakan dolar, baik di spot
dan juga di domestic non delivery forward maupun pembelian SBN di pasar
sekunder. Sejauh ini kami sudah membeli SBN dari pasar sekunder sejumlah
Rp166 triliun,” jelas Perry.

Sejauh ini, BI telah melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi


dampak COVID-19 ini, antara lain, dua kali menurunkan suku bunga acuan
BI.

“Kami di BI berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan aspek-aspek


yang berkaitan dengan stabilitas moneter maupun stimulus moneter dimana
kami telah menurunkan suku bunga dua kali sehingga suku bunga BI menjadi
4,5 persen untuk merilis beban dunia usaha. Yang kedua, kami terus
melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan mengintervensi di pasar
spot, domestic non delivery forward, maupun pembelian SBN dari pasar
sekunder,” ungkap Perry. [gi/ka]

Anda mungkin juga menyukai