Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH WABAH COVID-19 TERHADAP PEREKONOMIAN NEGARA

INDONESIA

Kelompok 6 :

Fikri Maualana : 170801078

Hayatun Nisa : 180801007

Rizki Ramadhana : 170801052

Muslim Arpan : 170801048

Nasrullah : 170801024

Dian Rizqie Ananda : 160801005

Muhanis : 170801133

PROGRAM STUDY ILMU POLITIK


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Koronavirus atau Coronavirus (virus korona atau virus Corona) adalah sekumpulan
virus dari subfamili Orthocoronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales.
Kelompok virus ini yang dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia (termasuk
manusia). Pada manusia, Coronavirus menyebabkan infeksi saluran pernapasan yang
umumnya ringan, seperti pilek, meskipun beberapa bentuk penyakit seperti SARS, MERS,
dan Covid-19 sifatnya lebih mematikan.

Manifestasi klinis yang muncul cukup beragam pada spesies lain: pada ayam,
koronavirus menyebabkan penyakit saluran pernapasan atas, sedangkan pada sapi dan babi
menyebabkan diare. Belum ada vaksin atau obat antivirus untuk mencegah atau mengobati
infeksi koronavirus pada manusia.

Mulai penyebaran virus Corona atau Covid-19 yang berasal dari Wuhan, Provinsi
Hubei, China. Penyebaran virus Corona yang telah meluas ke berbagai belahan dunia,
termasuk Indonesia yang sejak awal bulan ini telah mewabah. Penyebaran virus Corona
berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dan berdampak pada perekonomian
dunia dari perdagangan, investasi dan pariwisata.

B. RUMUSAN MASALAH

a. Krisisnya Perekonomian Indonesia.


b. Rupiah Berpotensi Dengan Dolar AS
BAB II

PEMBAHASAN

A. KRISIS EKONOMI DI INDONESIA

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan karena berbagai faktor,


seperti penurunan kinerja ekspor impor, konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh tinggi
dan investasi yang tumbuh melambat.Menurut lembaga penelitian ekonomi center of reforms
on Economic ( CORE ) yang memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berada
pada kisaran minus 2 persen hingga 2 persen . Angka tersebut dapat dicapai jika
pemerintahan melakukan langkah-langkah yang lebih ketat dalam pencegahan penularan
virus Corona. Negara. Dengan adanya pandemi Covid-19 tidak dapat dipungkiri bahwa
perekonomian Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi yang bisa dibilang “sangat
tidak stabil”.

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebutkan ekonomi Indonesia bisa hanya
tumbuh 2,5 persen atau bahkan 0 persen jika pandemi Corona di RI tak segera diatasi.
Dengan adanya corona virus pertumbuhan ekonomi Indonesia pasti berada di bawah 5
persen. Kondisi ekonomi juga diperburuk dengan harga minyak dan gas yang turun di
Kisaran USD 30 per barel. Padahal perekonomian Indonesia bergantung pada harga
komoditas.

Pertumbuhan ekonomi juga berdampak pada ketidakpastian yang sangat tinggi dan
menurunkan kinerja pasar keuangan global. Ekonom Institute for Development of Economics
and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Indonesia rentan terhadap
krisis ekonomi. Apalagi kini sedang merebaknya Covid-19 di Indonesia yang berdampak
terhadap perekonomian. Ia pun menjelaskan beberaap alasan Indonesia rentan masuk dalam
krisis ekonomi.

1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan yang cukup tajam, yang


diperkirakan hanya 4,5-4,8 persen di tahun 2020.
2. Terkait aliran modal keluar sepanjang enam bulan terakhir, tercatat investor asing
melakukan aksi jual sebesar Rp16 triliun.
3. Indonesia makin rentan terpapar kepanikan pasar keuangan global.
Menurut Asian Development Bank (ADB), sebanyak 38,5 persen surat utang
pemerintah Indonesia dipegang oleh investor asing. Lebih tinggi dari negara Asia lainnya.
Jika terjadi aksi jual secara serentak tentunya ini beresiko tinggi terhadap krisis ekonomi.

Menurut menteri Sri Mulyani mengatakan bahwa wa penyesalan virus Corona yang
terjadi di Indonesia mengakibatkan menurunnya pada kegiatan ekonomi. Yaitu pada berbagai
sektor keuangan Indonesia seperti perbankan hingga konsumsi rumah tangga yang menurun.

Pada sektor konsumsi rumah tangga terjadi ancaman kehilangan pendapatan


masyarakat karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama rumah
tangga miskin dan rentan serta sektor informal detik penurunan lainnya juga terjadi pada
UMKM pelaku usaha ini tidak dapat melakukan kegiatan usahanya sehingga terganggu
Kemampuan memenuhi kewajiban kredit. Perekonomian juga berdampak pada sektor
korporasi dan sektor keuangan lainnya.

Pemerintah dalam hal ini bersama Bank Indonesia dan otoritas terkait berkomitmen
akan terus memperkuat Sinergi kebijakan untuk memonitor dinamika penyebaran COVID-19
termasuk dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu. Berbagai
langkah kebijakan akan ditempuh guna menjaga tetap kondusifnya aktivitas perekonomian
sehingga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga sehingga momentum
pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan.

Menurut Sekertaris Jenedral Badan Pengurus Pusat HIPMI, Bagas Adhadirgha


menjelaskan bahwa situasi perekonomian yang semakin memburuk akan di perlukan gugus
tuntas ekonomi untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan realisasi di lapangan, serta
berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Bagas juga berharap DPR segera menyetujui Perpu
nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di
tengah wabah korona. Ini karena Perpu tersebut memiliki poin-poin pentingnya kebijakan
pemerintah terutama stimulus menghadapi wabah ini, serta pelebaran defisit anggaran.

Pemerintah juga memastikan kebutuhan masyarakat terjamin. Presiden Joko Widodo


mengumumkan ia menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (Perppu)
yang terbitkan untuk menanggulangi dampak wabah Corona di Indonesia. Presiden
mengklaim Perppu baru tersebut memberikan fondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan
dan otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah yang luar biasa dalam upaya
menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional serta stabilitas
sistem keuangan.
Menurut tenaga ahli utama kantor staf kepresidenan (KSP), Dany Amrul Ichdan
mengungkapkan beberapa cara pemerintah untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi
Indonesia di tengah bencana wabah virus Corona :

a. Meningkatkan belanja pemerintah melalui proyek-proyek infrastruktur yang padat


Karya, padat modal dan pada penyerapan tenaga kerja.
b. Pemerintah memberikan insentif pada sektor pariwisata seperti memberikan diskon 30
hingga 35 persen untuk tiket pariwisata titik.
c. Pemerintah terus menambah bantuan jaminan sosial serta penurunan suku bunga
kredit.

Berdasarkan pertumbuhan dari tahun ke tahun, sumber pertumbuhann ekonomi


indonesia terbesar pada sektor informasi dan komunikasi sebesar 0,53 persen. Hal ini cukup
bisa dimaklumi mengingat dengan adanya anjuran dari pemerintah untuk “di rumah saja”
maka banyak orang menjalankan pekerjaan, hiburan dan pendidikan melalui teknologi
informasi. Seiring hal tersebut, volume penjualan listrik PLN ke rumah tangga pun otomatis
meningkat. Berdasarkan rilis dari Badan Pusat Statistik, jumlah wisatawan mancanegara yang
datang ke Indonesia pada Triwulan 1 2020 juga turun drastis hanya sejumlah 2,61 juta
kunjungan, berkurang 34,9 persen bila dibandingkan dengan tahun lalu.

Hal ini sejalan dengan adanya larangan penerbangan antar negara yang mulai
diberlakukan pada pertengahan Februari lalu. Jumlah penumpang angkutan rel dan udara juga
tumbuh negative seiring dengan diberlakukannya PSBB. Idul Fitri yang biasanya mempunyai
pengaruh cukup besar untuk menggerakkan perekonomian, akan menjadi sebaliknya
dikarenakan adanya PSBB. Sisi baiknya, bila bulan Juni aktivitas sudah berjalan maka
perusahaan dan pengusaha masih mempunyai waktu untuk langsung operasional.

Berdasarkan analisa data yang dikeluarkan oleh The Singapore University of


Technology and Design dengan menggunakan metode estimasi pandemi, Susceptible Infected
Recovered (SIR) dengan Data Driven Estimation (DDE), maka diperkirakan puncak pandemi
di Indonesia telah terjadi pada bulan 19 April 2020 yang lalu dan diperkirakan akan berakhir
secara total pada akhir Juli 2020. Data ini dikeluarkan per 5 Mei 2020 yang diambil
berdasarkan data dari berbagai negara untuk memprediksi berakhirnya pandemi di dunia.
Berdasarkan data tersebut, diperkirakan akhir Mei 2020 kebijakan PSBB dapat segera
berakhir. Dengan demikian, awal Juni seluruh aktivitas dapat kembali berjalan dengan
normal.Bila prediksi yang ditujukan untuk pendidikan dan penelitian ini benar, maka
pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai titik terendah pada kuartal kedua.Tetapi
sampai saat ini Covid-19 masih kuat,jadi tidak bisa di perkirakan dampak Covid-19 tersebut

Dari sisi makro ekonomi, dengan adanya stimulus fiskal yang disertai dengan
realokasi anggaran untuk kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi nasional
dari sektor keuangan, diharapkan akan dapat meningkatkan perekonomian secara perlahan di
kuartal ketiga. Dengan menggunakan model Input-Output (IO), Tim Riset Ekonomi PT
Sarana Multi Infrastruktur memperkirakan bahwa stimulus fiskal oleh pemerintah sebesar
Rp405,1 triliun akan tercipta output dalam perekonomian sebesar Rp649,3 triliun. Sementara
itu, nilai tambah dan pendapatan pekerja akan meningkat masing-masing sebesar Rp355
triliun dan Rp146,9 triliun.

Dengan penciptaan output, nilai tambah, dan pendapatan dalam perekonomian,


stimulus fiskal yang digelontorkan akan menyerap tambahan tenaga kerja sebesar 15 juta
orang atau 11,84 persen dari total tenaga kerja.Stimulus fiskal ini diharapkan dapat memberi
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 sebesar 3,24 persen.
Stimulus fiskal juga telah diikuti dengan stimulus moneter yang diberikan oleh Bank
Indonesia dengan menurunkan tingkat bunga acuan dan pelonggaran Giro Wajib Minimum
(GWM).

Penurunan tingkat bunga acuan ini diharapkan akan diikuti dengan penurunan tingkat
bunga pasar sehingga dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pandemi Covid-
19 ini juga telah memberikan nuansa baru pada rantai pasokan dunia (global supply
chain).Sumber pasokan dunia yang tadinya dikuasai kurang lebih 20 persen oleh negara
China, telah bergeser ke beberapa negara lain karena adanya pandemi ini. Tentu saja untuk
dapat merebut kue pada global supply chain, Indonesia harus berbenah diri agar lebih
menarik investor.

Penurunan tarif pajak penghasilan perusahaan yang telah dikeluarkan dalam Perppu
I/2020 perlu diikuti oleh pembenahan dari sisi kepastian hukum investasi, reformasi birokrasi
dan iklim ketenagakerjaan yang sehat. Segala daya upaya perlu dikerahkan secara bersinergi
agar Indonesia dapat bangkit dari kondisi yang disebabkan dari  dampak pandemi Covid-19
saat ini.

Saat ini Indonesia cukup terhantam keras dengan penyebaran virus Corona. Tidak
hanya kesehatan manusia, virus ini juga mengganggu kesehatan ekonomi di seluruh dunia.
Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), memperkirakan pertumbuhan ekonomi
Indonesia dalam skenario terburuk bisa minus 0,4 persen.“Pertumbuhan ekonomi kita
berdasarkan assessment yang tadi kita lihat, BI, OJK, LPS, dan kami memperkirakan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenarionya yang lebih buruk,
bisa mencapai negatif 0,4 persen,kondisi sekarang ini akan berimbas pada menurunnya
konsumsi rumah tangga yang diperkirakan 3,2 persen hingga 1,2 persen. Lebih dari itu,
investasi pun akan merosot tajam. Sebelumnya, pemerintah cukup optimistis bahwa investasi
akan tumbuh enam persen. Namun, dengan adanya COVID-19, diprediksi investasi akan
merosot ke level satu persen atau terburuk bisa mencapai minus empat persen.

Ekspor pun diperkirakan terkoreksi lebih dalam, mengingat sudah satu tahun
belakangan ini pertumbuhannya negatif. Begitu juga dengan impor yang, menurut Ani, juga
akan tetap negatif pertumbuhannya.Sektor UMKM, adalah sektor yang paling pertama
terdampak wabah COVID-19. Berkaca pada krisis tahun 1998, sektor ini cenderung aman.
Namun, sekarang situasinya berbeda. Sektor UMKM adalah sektor yang juga terpukul.
Padahal, selama ini biasanya menjadi safety net. Sekarang mengalami pukulan yang sangat
besar, karena adanya restriksi kegiatan ekonomi dan sosial yang memengaruhi kemampuan
UMKM, yang biasanya resilient, bisa menghadapi kondisi. Tahun 97-98, justru UMKM
masih resilience. Sekarang ini dalam COVID ini, UMKM terpukul paling depan karena
ketiadaan kegiatan di luar rumah oleh seluruh masyarakat.

Pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, dengan pemberian stimulus


kepada masyarakat yang terdampak. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
UU (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang telah
ditandatangani Presiden Joko Widodo. Dalam Perppu ini, salah satu stimulusnya adalah
jaring pengaman sosial yang diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu.

Oleh karena itu kita di Indonesia, harus memusatkan perhatian pada tiga hal. Pertama,
kesehatan dan masalah kemanusiaan harus ditangani. Kedua, menjamin kondisi masyarakat
terutama jaring pengaman sosial kepada masyarakat terbawah dan bagaimana kita melindungi
sedapat mungkin sektor usaha ekonomi supaya mereka tidak mengalami damage atau bisa
bertahan dalam situasi sulit. Dan dalam hal ini kita juga melindungi stabilitas sektor
keuangan.

B. RUPIAH BERPOTENSI DENGAN DOLAR AS

Dalam situasi sekarang nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)
berpotensi melemah hingga Rp20.000 per dolar AS akibat wabah COVID-19. Untuk
perkiraan moderatnya berada di kisaran Rp17.500 per dolar AS. Hal ini menjadi bagian dari
salah satu skenario asumsi makro 2020 yang seluruhnya mengalami perubahan, seperti
pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 2,3 persen hingga minus 0,4 persen. Selain itu,
inflasi 5,1 persen serta harga minyak mentah Indonesia yang anjlok menjadi USD 31 per
barel.

Meskipun asumsi makro kali ini begitu menakutkan, pemerintah tidak akan membuat
hal itu terlaksana. Justru, hal ini dijadikan patokan jangan sampai skenario terburuk itu
terjadi. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, pihaknya tidak akan
membiarkan skenario nilai tukar rupiah Rp20.000 per dolar AS terjadi. Bahkan, ia
menyatakan, nilai tukar rupiah saat ini, yang berada pada kisaran Rp16.000 per dolar AS,
sudah cukup stabil. Skenario terberat kurs Rp17.500 per dolar AS atau yang sangat berat
Rp20.000 itu akan kita anitisipasi supaya tidak terjadi. Dalam hal ini saya sebagai Gubernur
BI menyatakan bahwa tingkat rupiah saat ini sudah memadai. Yang tadi saya sampaikan
skenario adalah sebagai forward looking yang kita akan cegah supaya tidak akan terjadi. Oleh
karena itu BI akan terus berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Penyebab melemahnya rupiah karena investor panik sehingga terjadi apa yang disebut
pembalikan modal atau capital outflow. Selama periode terjadinya pandemi ini antara Januari
dan Maret 2020 telah terjadi capital outflow dalam portofolio investasi Indonesia, yang
jumlahnya mencapai Rp167,9 triliun. Capital outflow ini yang kemudian terjadi di seluruh
dunia termasuk di Indonesia, yang juga menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah,
didorong oleh kepanikan global akibatnya cepat menyebarnya wabah COVID-19 di berbagai
dunia. Dalam konteks ini, kami menyediakan dolar, baik di spot dan juga di domestic non
delivery forward maupun pembelian SBN di pasar sekunder. Sejauh ini kami sudah membeli
SBN dari pasar sekunder sejumlah Rp166 triliun.

Sejauh ini, BI telah melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi dampak


COVID-19 ini, antara lain, dua kali menurunkan suku bunga acuan BI. “Kami di BI
berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan aspek-aspek yang berkaitan dengan
stabilitas moneter maupun stimulus moneter dimana kami telah menurunkan suku bunga dua
kali sehingga suku bunga BI menjadi 4,5 persen untuk merilis beban dunia usaha. Yang
kedua, kami terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan mengintervensi di pasar
spot, domestic non delivery forward, maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
Dalam kaitan analisa dampak ini, Visi  mengumpulkan berbagai informasi untuk
memperkirakan dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Analisa yang dilakukan
berawal dengan melihat hubungan ekonomi antara Indonesia dan China, sebagai episentrum
awal penyebaran virus. Dalam 5 tahun terakhir, China selalu menempati tiga besar mitra
dagang utama Indonesia. Malahan, sejak 2014, China merupakan negara asal impor dengan
nilai terbesar bagi Indonesia. Berdasar kategori barang konsumsi, bahan baku, dan barang
modal sepanjang Januari hingga Desember 2019, makin kentara ketergantungan Indonesia
terhadap China. Dari ketiga kategori barang yang diimpor oleh negara ini, sebanyak 37%
barang konsumsi, 25% bahan baku penolong, dan 44% barang modal jelas diimpor dari
China. Dalam hal investasi langsung, selama rentang 5 tahun terakhir (2016—2019),
Indonesia menerima aliran investasi China sebesar US$13,2 miliar atau peringkat ketiga
terbesar bagi Indonesia.  Selain di bidang investasi, China juga memiliki peran besar dalam
sektor pariwisata di Indonesia. Dalam kurun 8 tahun, turis China meningkat jumlahnya
sebanyak 309%, yaitu dari 511.000 pada pada 2010 menjadi 2,14 juta pada 2017.Dari sisi
produksi rata-rata produsen dalam negeri memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April
2020. Jika pada bulan-bulan tersebut belum juga ada pasokan dari China atau hanya terpenuhi
sedikit, proses produksi pabrik di Indonesia dapat terhambat. 

Namun, hal ini diyakini belum menandakan stabilisasi dalam kegiatan ekonomi.
Pasalnya, di tengah biaya produksi yang makin tinggi karena terganggunya jalur distribusi,
permintaan pasar juga belum sembuh sepenuhnya. Apalagi, ada penurunan permintaan impor
dari negara lain, termasuk Indonesia.“Namun jika masa pemulihan yang dialami China lebih
lama lagi, asumsi China baru berproduksi kembali, artinya proses impor baru bisa dilakukan .
Dengan begitu, dampak resesi yang dihadapi Indonesia akan lebih dalam lagi, Selain dialami
industri mamin, lanjutnya, gangguan lebih dalam juga bakal dialami industri manufaktur lain.
Dampak dari kelangkaan bahan baku ini akan membawa inflasi yang lebih tinggi karena
industri manufaktur tidak mampu memenuhi permintaan dan memicu terjadinya shortage.Di
sisi lain, dengan inflasi yang tinggi, tentu rumah tangga akan menurunkan konsumsinya.
Padahal kontribusi terbesar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini adalah konsumsi
rumah tangga. Dengan tingkat inflasi tinggi, konsumsi rumah tangga juga turun sejalan
dengan daya beli yang juga menurun. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun dapat terpuruk
lebih jauh.

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini akan


tertekan di level 2,1 persen. Hal ini disebabkan oleh terus meluasnya persebaran Covid-19
baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bank Indonesia (BI) pun telah merevisi proyeksi
pertumbuhan ekonomi RI menjadi di Bawah 5 Persen atau hanya sekitar 2,5 persen saja yang
biasanya mampu tumbuh mencapai 5,02 persen.Hal ini diakibatkan oleh melambatnya
pertumbuhan ekonomi karena pandemi Covid-19. Keterlambatan ini ditandai dengan
memburuknya kondisi lingkungan eksternal dan melemahnya permintaan dalam negeri
seiring dengan menurunnya sentimen bisnis dan konsumen.

Pandemi Covid-19 akan berimplikasi buruk bagi perekonomian dunia dan Indonesia
pada tahun ini, karena terjadi bersamaan dengan menurunnya harga komoditas dan gejolak
pasar keuangan. Inflasi yang terjadi ditahun ini pun diproyeksi akan mengalami peningkatan
ke level 3 persen, karena ketatnya pasokan pangan dan depresiasi mata uang yang
diperkirakan dapat diimbangi sebagian oleh penurunan harga bahan bakar non-subsidi, serta
subsidi tambahan untuk listrik dan pangan. Namun, pada tahun 2021 inflasi diyakini kembali
ke level normal, yakni 2,8 persen.

Sementara itu, berbeda halnya dengan inflasi, segi pendapatan ekspor pariwisata dan
komoditas, diperkirakan terjadi penurunan yang menyebabkan defisit transaksi berjalan
mencapai 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020. Seperti pada
laporan World Bank yang bertajuk East Asia and The Pacific in The Time of COVID-19
pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2020 lalu, menyatakan meski sempat tertekan di tahun ini
pertumbuhan ekonomi RI akan kembali rebound di kisaran 5,4 persen pada 2021 mendatang.
Hal ini seiring dengan tingkat permintaan agregat yang kian stabil. "Kerugian yang
berdampak pada Outlook pertumbuhan tahun ini cukup parah," menurut World Bank dalam
laporannya tersebut. Lebih lanjut, Wold Bank menyebut berbagai upaya yang dilakukan
dalam mencegah persebaran virus baik secara global maupun domestik akan mengurangi
tekanan terhadap permintaan global, harga komoditas, perdagangan internasional hingga
pariwisata dan sentimen bisnis global serta pertumbuhan investasi.

Mereka menilai pertumbuhan investasi akan melambat akibat adanya fluktuasi pada
perdagangan yang menyebabkan kepercayaan investor menjadi lebih rendah. Namun kendati
demikian, ongkos kredit yang lebih murah serta usulan reformasi ekonomi diharapkan bisa
mendukung proses pemulihan dalam beberapa waktu ke depan. Adapun pertumbuhan belanja
pemerintah diproyeksi bakal menguat, dengan besarnya paket stimulus fiskal yang
digelontorkan dalam meredam dampak virus corona. "Di tengah penurunan tajam
pertumbuhan dan perdagangan global, ekspor dan impor Indonesia diperkirakan akan
terkontraksi untuk kedua kalinya tahun ini.

Menurut Gubernur BI, Perry Warjiyo, pulihnya perekonomian Indonesia pada tahun
depan dipengaruhi oleh upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi melalui
Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan. Sebelumnya,
Perrymenjelaskan kondisi Covid-19 terhadap perekonomian global menyebabkan
ketidakpastian yang sangat tinggi dan menurunkan kinerja pasar keuangan global, menekan
banyak mata uang dunia, serta memicu pembalikan modal kepada aset keuangan yang
dianggap aman.

Prospek pertumbuhan ekonomi dunia juga menurun akibat terganggunya rantai


penawaran global, menurunnya permintaan dunia, dan melemahnya keyakinan pelaku
ekonomi. Data Februari 2020 menunjukkan berbagai indikator dini global seperti keyakinan
pelaku ekonomi, Purchasing Manager Index (PMI), serta konsumsi dan produksi listrik
menurun tajam. "Dengan risiko ke bawah yang tetap besar, Bank Indonesia memprakirakan
pertumbuhan ekonomi global 2020 turun menjadi 2,5 persen, lebih rendah dari pertumbuhan
ekonomi 2019 sebesar 2,9 persen dan juga proyeksi sebelumnya sebesar 3,0 persen," ujarnya.
Pasca berakhirnya wabah Covid-19, perekonomian global diprakirakan kembali meningkat
pada 2021 menjadi 3,7 persen, lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya 3,4 persen. "Bank
Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan OJK untuk memonitor secara
cermat dinamika penyebaran Covid-19 dan dampaknya terhadap Indonesia dari waktu ke
waktu," ujarnya.

Semoga pandemi ini dapat segera berakhir agar segala sektor dapat berjalan kembali seperti
semula.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Wabah Covid-19 berpotensi mengubah tatanan ekonomi dunia yang ditandai dengan
berubahnya peta perdagangan dunia, selain mengakibatkan mandegnya berbagai bidang
usaha. Kinerja perdagangan global dipastikan akan terganggu akibat lambatnya perbaikan
kinerja manufaktur, khususnya di China hingga menjelang semester pertama tahun ini. Di
tambah dengan jalur distribusi logistik yang juga terganggu, dampak negatif mau tak mau
akan menerpa ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.

Anda mungkin juga menyukai