Konflik
– Konsep penyelesaian konflik, selain terkait dengan domain kajian konflik tetapi seringkali pula
berkaitan dengan domain kajian perdamaian.
– Konsep ini hanya berlaku pada konteks para aktor konflik berada dalam ketegangan konflik yang
terus berjalan, bukan pada konteks salah satu pihak yang berkonflik memenangkan pertikaian.
– Setidaknya terdapat 4 pendekatan yang berkaitan dengan kajian mengenai penyelesaian konflik,
yaitu:
1. Pendekatan Manajemen Konflik (Conflict Management School)
2. Pendekatan Resolusi Konflik (Conflict Resolution School)
3. Pendekatan Kombinasi Resolusi-Manajemen Konflik (Complementary School)
4. Pendekatan Transformasi Konflik (Conflict Transformation School)
Conflict Management
School
– Pendekatan Konflik Manajemen – Menekankan pada hasil, bukan pada
bertujuan untuk menyelesaikan proses penyelesaian konflik (Outcome-
konflik melalui langkah-langkah oriented approach)
diplomasi yang formal. – Prosesnya, para pihak ketiga
– Konsep tertua pada kajian mengidentifikasi para aktor inti dalam
konflik dan membawanya ke meja
penyelesaian konflik.
perundingan. Dengan harapan para
– Proses penyelesaian konflik pimpinan aktor konflik dapat
memerlukan pihak ketiga diluar mempengaruhi bawahannya ketika
pihak yang berkonflik, yang poin-poin perdamaian disepakati (Top-
dianggap netral. down Approach)
– Proses penyelesaian konflik pada – Pendekatan ini kerap dikritik karena:
pendekatan ini lazimnya menggunakan 1. Terlalu fokus dengan kepentingan pemimpin
metode mediasi. para pihak yang berkonflik saja, dan
– Atau juga seringkali menggunakan metode mengesampingkan kepentingan-kepentingan
masyarakat di level bawah (Lederach 1997);
mediasi kekuatan (power mediation).
Metode ini sama halnya dengan metode 2. Mediator kerap kali tidak berada dalam
mediasi, namun mediator memiliki posisi netral, terutama ketika menggunakan
kekuatan yang lebih besar dibanding para power mediation (Ropers and Debiel 1995);
pihak yang berkonflik, sehingga dapat 3. Menafikan sumber-sumber konflik dan tidak
menekan dan mengarahkan para pihak dapat menjamin keberlangsungan
yang berkonflik untuk sepakat atas poin- perdamaian yang bertahan lama (Hoffman
poin perundingan. 1995)
– Namun demikian, pendekatan ini
juga semakin berkembang. Dan
saat ini semakin memasukkan
unsur-unsur yang dapat menjamin
keberlangsungan perdamaian yang
bertahan lama.
– Kekurangan-kekurangan tersebut
kemudian diperbaiki menjadi
pendekatan yang lebih modern
dalam manajemen konflik.
Conflict Resolution School
– Pendekatan ini bertujuan untuk – Pendekatan ini mengadopsi strategi socio-
menyelesaikan konflik dari sumber- psychology dalam penyelesaian konflik
sumber konflik yang melahirkan dan pada level inter-personal.
menjaga konflik tetap hadir, serta – Pada perkembangnnya, pendekatan ini
membangun kembali hubungan antara juga meletakkan unsur NGO (lokal ataupun
pihak yang berkonflik. internasional) sebagai agen yang mampu
– Berbanding pendekatan manajemen melaksanakan pendekatan ini.
konflik, pendekatan ini menempatkan – Pada prosesnya, para aktor difasilitasi
masyarakat konflik di level bawah sebagai untuk dapat membicarakan dan
pihak yang terpenting, sehingga menyelesaikan persoalan-persoalan yang
harmonisasi yang dilakukan dapat membuat konflik muncul dan berkembang.
mempengaruhi di level para elit.
– Pendekatan ini dipercaya dapat – Pendekatan ini mendapat beberapa kritikan
memastikan keberlangsungan seperti:
– Model ini bertujuan untuk mengidentifikasi metode yang cocok digunakan oleh
pihak ketiga dan ‘timing’ untuk mengintervensi konflik. Menggunakan
pemikiran Glasl (1990), pendekatan ini bertujuan untun menurunkan tingkat
konflik dari fase ke fase. Fase-fase ini cocok untuk pendekatan yang
berorientasikan pendekatan resolusi, serta pendekatan power mediation
digunakan untuk menekan naiknnya tensi konflik kembali. Setelah tercapainya
kata sepakat, maka sudah waktunya untuk mengembalikannya pada
pendekatan resolusi konflik yang bertujuan untuk membangun relasi sosial
paska konflik.
2. Alternative Contingency model for third party intervention, based on variety
of actors involvement into the armed conflict stage (Bercovitch & Rubin, 1992)