Anda di halaman 1dari 17

PRAKTIK RENT-SEEKING

(KASUS MONOPOLI KAYU CENDANA DI NUSA TENGGARA TIMUR)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi suatu negara saat ini tidak terlepas dari peran pemerintah dalam
mengatur perekonomian untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi kehidupan
bermasyarakat.Mayoritas Negara di dunia ini melakukan strategi perekonomian yang dianggap
kondusif bagi kelangsungan negaranya dengan menggabungkan prinsip pasar bebas dengan
intervensi pemerintah yang lebih terarah dan tepat guna.Aliran-aliran pemikiran seperti ekonomi
klasik, neoklasik, marxisme, Keynesian dan paham sosialis juga mengakui adanya dua
instrument besar dalam perekonomian yang sangat berpengaruh untuk mencapai ekonomi yang
lebih efisien dan adil.Sejak tahun19671, teori mengenai perburuan rente (rent-seeking) ini
dikembangkan oleh Gordon Tulluck dengan pengertian yang bertolak belakang dari definisi yang
berkembang pada masa ekonomi klasik Adam Smith.Fenomena rent-seeking saat ini
teridentifikasi dalam hubungannya dengan praktik monopoli dan juga korupsi, dimana pada
akhirnya pemaknaannya menjadi suatu kegiatan pencarian keuntungan melalui manipulasi
dengan memanfaatkan situasi ekonomi dan politik yang dimudahkan.

Istilah rent-seeking sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Anne Krueger pada tahun
1973 dalam tulisannya yang mengulas tentang pemikiran Tullock. Menurut Didik Rachbani,
perburuan rente ekonomi terjadi ketika seorang pengusaha atau perusahaan mengambil manfaat
atau nilai yang tidak dikompensasikan dari yang lain dengan melakukan manipulasi pada
lingkungan usaha atau bisnis. Manipulasi pada lingkungan usaha tersebut terjadi karena adanya
perebutan hak monopoli atas aturan main ataupun regulasi.Oleh karena itu, pelaku usaha yang
melobi pembuat kebijakan untuk mempengaruhi aturan yang lebih memihak kepentingan dirinya
dengan mengorbankan pihak lainnya dapat dikategorikan sebagai pemburu rente (rent-seekers).2

1
Deliarnov.Ekonomi Politik. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2006. hlm : 50.
2
Arifin dan Didik Rachbini, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, Jakarta : Grasindo. 2001. Hlm :28.

1
Indonesia juga memiliki catatan perekonomian dengan melibatkan pola hubungan antara
pengusaha dan penguasa pemerintahan. Dengan kata lain praktik rent-seeking juga sering terjadi
di Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran secara
lebih spesifik tentang praktik rent-seeking di Indonesia, maka dalammakalah ini disajikan sebuah
kasus yang telah ditelusuri dan dicermati secara mandala melalui sebuah penelitian lapangan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni kasus “Monopoli Tata Niaga Kayu
Cendana”.Realitanya, secara historis, Kayu Cendana merupakan salah satu komoditi unggulan di
daerah NTT, yang keberadaannya sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat
setempat.
1.2. Permasalahan

Kayu Cendana merupakan salah satu komoditi mayoritas dan unggulan dari Provinsi
NTT, dimana keberadaannya sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat
sekitarnya.Kasus Tata Niaga Kayu Cendana faktanya tidak hanya melibatkan para birokrat dan
politisi daerah yang berada pada jabatan strategis saja, tetapi juga melibatkan para jajaran pejabat
daerah dibawahnya.Lebih jauh realitanya dalam beberapa hal, kasus ini juga melibatkan para
aparat keamanan, terutama dari jajaran TNI Angkatan Darat, dan Kepolisian.Kasus ini dimulai
dengan sikap intervensi Pemerintah Daerah NTT dalam pengelolaan kebijaksanaan pengaturan
tata niaga kayu cendana, dengan menggunakan kewenangannya dalam pembuatan regulasi yang
menguntungkan pihak pejabat tertentu dan pengusaha yang menjadi kroninya. Berdasarkan
uraian permasalahan diatas makalah ini akanmenggambarkan fenomena rent-seeking di
Indonesia dan menganalisis fenomena tersebut berdasarkan teori yang dipilih.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, pertanyaan penelitian yang diajukan


dalammakalah ini adalah bagaimana praktik rent-seeking dalamkasus Tata Niaga Kayu Cendana
di NTT ?

2
2. KAJIAN TEORI

Pemburu Rente (Rent-Seekers)

Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan
bisnis dapat disebut sebagai pemburu rente (rent-seekers) karena pada pokoknya mereka mencari
peluang-peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan
menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-
jenis kegiatan tertentu yang diaturnya.Istilah rente disini didefinisikan sebagai selisih antara nilai
pasar dari suatu “kebaikan hati” pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima
kepada pemerintah dan secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan.3
Konsep perburuan rente sangat penting bagi ilmu ekonomi politik untuk menjelaskan
perilaku pengusaha, politisi dan kelompok kepentingan lainnya. Berangkat dari konsep dasar
teori klasik, maka Adam Smith membedakan tiga bentuk pendapatan, yaitu keuntungan atau laba
(profits), upah (wages), dan sewa atau rente (rents).Laba atau keuntungan biasanya diperoleh
dari suatu usaha atau bisnis, yang mengandung resiko.Upah merupakan bentuk pendapatan yang
tercipta karena seseorang bekerja berdasarkan keterampilan dan keahliannya.Berbeda dengan
laba, upah tidak merupakan cerminan dari resiko, melainkan lebih merupakan cermin dari tingkat
produktivitas, yang biasanya sejalan dengan investasi modal dari sumber daya
manusia.Sedangkan sewa atau rente merupakan bentuk pendapatan yang paling mudah
dibandingkan dengan kedua jenis pendapatan di atas karena tidak perlu menghadapi resiko dan
tidak perlu mengerahkan keterampilan untuk memperolehnya.4
Sebenarnya pengertian ketiga bentuk pendapatan di atas bersifat netral. Namun untuk
kepentingan analisis ekonomi politik, maka pengertian rente ditransformasikan sebagai suatu
sifat pelaku bisnis untuk memudahkan cara memperoleh keuntungan dengan menggunakan
modal yang menjadi hak milik orang lain atau hak milik publik demi keuntungannya sendiri
(rent seeking behaviour). Dalam pengertian ini rente diartikan lebih kritis dan menjadi negatif
artinya karena input atau modal yang dipakai bukan merupakan hak milik sendiri. Sementara itu
rente (sewa) dalam arti yang netral atau positif adalah bentuk pendapatan yang diperoleh dari
modal yang merupakan hak milik pribadi.5

3
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES. 1990. Hlm : 93.
4
Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik.Jakarta : Ghalia Indonesia. 2002. Hlm : 118-119
5
Ibid. Hlm : 120.

3
Dalam literatur ekonomi, yang dimaksud dengan sewa ekonomi atau rente suatu faktor
produksi tertentu adalah kelebihan pembayaran atas biaya minimum yang diperlukan untuk tetap
mengonsumsi faktor produksi tersebut.Contoh sewa ekonomi atau rente adalah laba yang
diterima sebuah perusahaan monopoli dalam jangka panjang. Laba ini tercipta karena adanya
kekuatan monopoli atas faktor produksi tertentu yang menyebabkan tingginya pembayaran
terhadap faktor tersebut, dari jumlah yang mungkin diterima seandainya faktor tersebut juga
dimiliki oleh perusahaan lain.6Sejak itu, segala bentuk keuntungan eksesif (super normal) yang
berhubungan dengan struktur pasar barang dan jasa yang mengarah ke monopoli disebut sebagai
rente.

Perusahaan yang bisa menciptakan halangan masuk pasar dengan menguasai sumber
daya strategik atau mengupayakan agar tidak ada barang pengganti (substitusi), akan menikmati
laba super normal atau rente yang lebih tinggi. Untuk memperoleh keuntungan lebih tinggi,
kadang-kadang pengusaha berkolusi dengan penguasa agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan
ekonomi yang lebih menguntungkan sang pengusaha, seperti kebijakan larangan impor dan
penentuan tarif atau kuota. Sebagai imbalannya, pengusaha memberikan imbalan atau lebih
tepatnya bayaran kepada penguasa.Dalam kajian ekonomi politik, laba yang diterima oleh
penguasa melalui kekuasaan yang dimilikinya dan digunakan untuk mengejar kepentingan
pribadi juga disebut sebagai rente. Kemudian perilaku aparat pemerintahan atau penguasa yang
mengharapkan imbalan atas kebijakan yang dikeluarkannya disebut perilaku kalap rente (rent
seeking behavior). Bahkan dalam perspektif ekonomi politik neoklasik seperti yang dikatakan
Grindle, para pembuat keputusan, perencana pembangunan, penyelenggara Negara maupun
elemen-elemen dari masyarakat itu sendiri semuanya dapat diasumsikan sebagai kumpulan dari
pemburu rente yang lebih termotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan jangka
pendek ketimbang memajukan Negara.7

Terdapat beberapa tipe dari rent-seeking atau pemburu rente menurut Michael Ross,
antara lain sebagai berikut8 :

6
Deliarnov.Ekonomi Politik. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2006. hlm : 58.
7
Deliarnov.Ibid. hlm : 59-61.
8
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan. Malang : Bayu Media Publishing. 2006. Hlm : 67.

4
a. Rent Creation, dimana perusahaan mencari keuntungan yang dibuat oleh Negara
dengan menyogok politisi dan birokrat (in which firms seek rents created by the
state, by bribing politicians and bureaucrats).
b. Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan
dengan mengancam perusahaan atas regulasi-regulasi terkait (in which politicians
and bureaucrats seek rents held by firms, by threatening firms with costly
regulations).
c. Rent Seizing, dimana ketika aktor-aktor Negara atau birokrat berusaha untuk
mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkan dari institusi-institusi
Negara demi kepentingan individu dan kelompoknya (as efforts by state acrtors
to gain theright to allocate rents).

Secara ekonomi, faktor-faktor yang menyebabkan maraknya praktek rent-seeking


menurut Mauro yaitu adanya hambatan perdagangan internasional, pengawasan harga oleh
pemerintah, diberlakukannya multiple exchange rate, dan rendahnya gaji pegawai negeri.9
Pemburu rente (rent-seekers) dapat disebut sebagai perilaku pengusaha yang memperoleh
keuntungan dengan sama sekali tidak berkontribusi bagi peningkatan produktivitas
perekonomian tetapi malah menimbulkan tambahan kerugian pada masyarakat. Tullock
menemukan bahwa perilaku ini cenderung terjadi pada mereka yang memegang kendali struktur
monopoli. Di sektor ekonomi ia memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar sementara di
sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan maupun legislatif. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa perilaku ini tidak mungkin berkembang bila tidak terjadi kerjasama saling
menguntungkan antara pemburu rente di sektor ekonomi dengan kaum predator pembuat
kebijakan di sektor publik.Fenomena ini sering disebut sebagai ersatz capitalism atau pseudo
capitalism (kapitalisme semu) dimana merupakan suatu terminologi perekonomian yang terlihat
maju dalam jangka pendek tetapi rentan dalam jangka panjang.10

Mcvey lebih menjelaskan fenomena kapitalisme semu tersebut telah terwujud di banyak
Negara Asia Tenggara dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara para pengusaha
yang menyediakan modal domestik maupun asing dengan pejabat yang menyediakan fasilitas,
intensif, dan proteksi.Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya,
9
Paolo Mauro. Why Worry About Corruption?. Jurnal Isu Ekonomi Internasional Vol 6. 1997.
10
Yoshihara Kunio, Op.Cit. Hlm : 94-95.

5
mudahnya akses atas informasi dan opportunity yang diperoleh melalui kebijakan yang
dikeluarkan untuk itu sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam bentuk imbalan suap,
kolusi bahkan korupsi.11

3. PEMBAHASAN
3.1. Fenomena Rent-Seeking dalam Kasus Tata Niaga Kayu Cendana di NTT

Cendana (Santalum album L.) merupakan hasil hutan yang tergolong sangat penting di
Propinsi Nusa Tenggara Timur karena mempunyai nilai ekonomi tinggi dan merupakan species
endemik yang terbaik di dunia. Species cendana di NTT mempunyai keunggulan kadar minyak
dan produksi kayu teras yang tinggi. Kayu cendana menghasilkan minyak atsiri dengan aroma
yang harum dan banyak digemari, sehingga mempunyai nilai pasar yang cukup baik. 12Pohon ini
dapat menghasilkan kayu Cendana dengan aroma wanginya yang khas, memiliki nilai ekonomi
yang tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya, karena hampir semua bagian dari kayu ini
seperti akar, batang, ranting, dan kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai komoditi
perdagangan.13Pemasaran cendana selama ini dilakukan dalam bentuk batangan atau telah diolah
dalam bentuk olahan seperti minyak cendana dan hasil industri kerajinan. Hasil dari perdagangan
kayu cendana merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang sejak tahun 1986/1987-
1990/1991 memberikan kontribusi sebesar 28,2 – 47,6 persen. 14Oleh sebab itu kayu Cendana
merupakan komoditas yang sangat penting dalam meningkatkan pembangunan terutama dalam
bidang ekonomi Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Kayu cendana yang merupakan komoditas di NTT sebenarnya bisa ditelusuri semenjak
zaman kolonial, dimana Portugal yang mencari rempah-rempah di maluku yang kemudian
singgah di NTT untuk membeli kayu cendana.Ketika zaman kolonial Belanda, kayu cendana di
monopoli oleh VOC yang bekerjasama dengan etnis Cina yang berperan sebagai pedagang
pengumpul. Peran monopoli yang dilakukan semenjak zaman kolonial, kemduian di teruskan
oleh pemerintah Indonesia, dimana pada kurun waktu 1950 sampai 1966, kayu cendana yang
dikumpulkan oleh rakyat harus diserahkan kepada Pemda NTT melalui petugas Dinas Kehutanan

11
Ibid.
12
I Komang Surata, Teknik Budidaya Cendana, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2006, hal 2
13
Boetje Patty, “Pelestarian Pohon Cendana Secara Budidaya Untuk Pengentasan Kemiskinan: Studi Kasus pada Empat Desa
Penghasil Kayu Cendana di Propinsi Nusa Tenggara TImur”, Program Studi Ilmu Lingkungan UI, Tahun 2001, hal 1
14
I Komang Surata, Op Cit, hal 2

6
di setiap kecamatan. Kayu cendana yang sudah dikumpulkan kemudian diserahkan kepada
Pemerintah Propinsi di Kupang.
Keinginan pemerintah untuk memonopoli kayu cendana dimulai ketika zaman Orde baru,
dan itu bisa dilihat dari peraturan tata niaga kayu dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda)
nomor 11 tahun 1966 oleh Pemerintah Propinsi/Daerah Tingkat I NTT, Perda nomor 11 tahun
1966 berisi tentang hak Pemerintah Daerah/Propinsi/Dati I NTT untuk penguasaan dan
pengaturan tata niaga kayu cendana. Kemudian peraturan ini direvisi dan disempurnakan melalui
Perda NTT nomor 8 tahun 1968, nomor 17 tahun 1974, nomor 7 tahun 1980, dan Perda nomor
16 tahun 1986, yang tidak saja mengatur tentang hak monopoli Pemda dalam tata niaga kayu
cendana, tetapi juga menegaskan hak pemda dalam budidaya kayu itu sendiri.
Perda nomor 16 tahun 1986, pasal 2 (1) disebutkan: Pemerintah Daerah Tingkat I
menguasai semua cendana, baik yang berupa tumbuhan hidup ataupun mati, maupun potongan,
kepingan, akar yang belum diolah yang berada di kawasan Hutan Negara, maupun di luar
Kawasan Hutan Negara dalam Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pasal 4 (2) disebutkan:
Dinas Kehutanan melaksanakan penanaman cendana dalam Kawasan Hutan Negara. Sekilas
kita dapat mengamati keinginan Pemerintah Propinsi/Dati I NTT untuk menguasai kayu cendana.
Mekanisme penjualan dan bagi hasil pendapatan dijelaskan dalam pasal 8,9, dan 10, dimana
penjualan kayu cendana harus berdasarkan hasil eksploitasi dari Pemda, sedangkan harga jual
dan eksploitasi kayu cendana ditetapkan berdasarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah.
Pendapatan yang diperoleh menjadi hak Pemda tingka I dan disetor seluruhnya ke Kas Daerah
Propinsi/Daerah Tingkat I NTT. Untuk Daerah tingkat II mendapatkan 50% dari total
penerimaan Pemerintah Propinsi/Daerah Tingkat I dari hasil penjualan kayu cendana dikurangi
biaya eksploitasi. Daerah Tingkat II harus menyisihkan 25% dari total penerimaan untuk biaya
pembinaan, penanaman kembali, dan pemeliharaan kayu cendana di daerah masing-masing.
Dijelaskan di Perda nomor 16 tahun 1986 tentang hukuman bagi orang yang melanggar,
dimana pada pasal 12 (1) disebutkan: [Akan dikenakan] hukuman kurungan selama-lamanya 6
(enam) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) [bagi]:
(a). Barang siapa yang memotong, menebang pohon cendana yang hidup maupun yang mati
atau menggali akar cendana baik di dalam maupun di luar kawasan hutan negara tanpa izin
Dinas Kehutanan; (b) Barang siapa menyimpan atau menyuruh menyimpan dalam rumah atau
di tempat lain, kayu cendana yang cara mendapatkannya tidak dapat ditunjuk asal-usulnya yang

7
sah; (c) Barang siapa mengangkut tanpa dapat menunjukkan surat keterangan yang sah.
Selanjutna dala pasal 12 (2), disebutkan: Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) bagi
barang siapa dengan sengaja merusak pohon cendana baik peruba tumbuhan hidup maupun
tumbuhan mati dalam maupun luar kawasan hutan negara.
Bila kita menganalisis Perda nomor 11 tahun 1986, bahwa dalam peraturan itu tidak
diatur secara jelas tentang hak kepemilikan terutama dengan kalimat: pohon cendana yang
tumbuh di kawasan hutan negara maupun di luar kawasan hutan negara. Pasal 3 sendiri lebih
menitikberatkan pengelolaan kayu cendana oleh pihak non pemerintah yang lebih kepada pihak
swasta dan Badan Usaha Milik Negar (BUMN).Hal ini selanjutnya yang menimbulkan
ketidakpuasan dari masyarakat karena tidak menguntungkan mereka secara ekonomis maupun
non ekonomis.Pada konteks inilah kita sampai pada akar persoalan tentang mengapa sebagian
besar masyarakat menyebut kayu cendana sebagai Kayu Perkara (Hau Lasi), dan Kayu
Pemerintah (Hau Plenat).15
Pemerintah Daerah Propinsi/Daerah Tingkat I NTT mengantisipasi permasalahan tersebut
dengan cara dikeluarkannya Perda No. 2 tahun 1996 tentang Perubahan Pertama Peraturan
Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 16 Tahun 1986. Hal yang
menjadi dasar tentang revisi dari Perda No. 16 tahun 1986 karena peraturan tersebut dinilai
belum mampu mendorong partisipasi masyarakat baik dalam penanaman, pemeliharaan, maupun
dalam pengamana kayu cendana. Adanya ketimpangan dalam status kepemilikan cendana dan
ketiakadilan dalam pembagian hasil penjualan kayu menjadi dasar dari Perda ini, disebutkan:
Namun demikian, dalam perkembangannya ternyata Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1986
tersebut belum mampu mendorong partisipasi masyarakat untuk menanam, memlihara, dan
mengamankan hasil-hasil Cendana. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya ketimpangan
dalam status pemilikan Cendana yang tumbuh secara alamiah di atas tanah milik rakyat sediri
dan dirasakan adanya kekurangadilan dalam pembagian hasil penjualan kayu Cendana,
sehingga menimbulkan adanya rasa ketidakpuasan, apatisme dalam memlihara, melindungi dan
mengamankan hasil-hasil Cendana.

15
Syarif Hidayat, “Fenomena Rent Seeking di Daerah: Kasus Tata Niaga Kayu Cendana”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Nopember 2001, Volume 5, Nomor 2, hal 191

8
Perda No. 2 Tahun 1996, Pasal 4 (c) tentang Status Pemilikan Kayu Cendana, disebutkan:
Kayu Cendana yang tumbuh secara alamiah di atas tanah milik perorangan atau Badan Hukum
adalah milik perorangan atau Badan Hukum tersebut. Untuk menjaga kelestarian kayu Cendana,
dijelaskan dalam Pasal 4A (1) yang mengaskan bahwa setiap penduduk diwajibkan untuk
membudidayakan dan memelihara Cendana di atas tanah miliknya secara swakelola. Untuk
mencipatkan keadilan pembagian hasil Pasal 11 (1.b) secara eksplisit disebutkan: [hasil
penjualan] kayu cendana yang dimaksud pada Pasal 4 butir c Pasal 7 ayat (3a) Peraturan Daerah
ini diberikan untuk Pemerintah Daerah Tingkat I sebesar 60% (enam puluh persen) dan untuk
perorangan atau Badan Hukum sebesar 40% (empat puluh persen). Dengan adanya revisi Perda
No. 16 tahun 1986 menjadi Perda No. 2 Tahun 1996 diharapkan bisa menyesaikan permasalah
yang terjadi di masyarakat, tetapi masyarakat merasa peraturan itu hanya berada dalam kertas
semata. Dalam kenyataannya Perda No. 2 Tahun 1996 hanya menguntungkan sebagian
kelompok saja, terutama dengan adanya program Operasi Bersahabat. Operasi Bersahabat yang
semula dirancang dengan tujuan utama untuk memberantas praktek penerbangan dan penjualan
kayu Cendana secara ilegal oleh penduduk, justru telah mendorong munculnya sejumlah
Penebang dan Pedagang Pengumpul Ilegal (Berdasi dan Berseragam Safari). 16 Secara umum
pihak-pihak yang terlibat dalam ekonomi kayu Cendana dapat digambarkan dalam diagram
berikut.

Gambar model analisis ekonomi kayu Cendana dengan tiga aktor17


3.2. Analisis Kasus
3.2.1 Kepentingan Publik Vs Kepentingan Individu
16
Ibid, hal 196
17
Slamet Edi Sumanto, Edy Sutrisno, Heri Kurniawan, “Analisis Kebijakan dan Strategi Litbang Kehutanan dalam
Pengembangan Cendana di Nusa Tenggara Timur”, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Desember 2011,Vol. 8
No. 3, hal 192

9
Apa yang terjadi dengan pengaturan Tata Niaga Kayu Cendana di NTT sesungguhnya
tidak terlepas dari kepentingan publik dan kepentingan individu. Untuk kepentingan publik ini
mudah diamati, karena bisa dikemukakan dalam bentuk kebijakan. Dalam kaitannya dengan
kebijakan pengaturan Tata Niaga Kayu Cendana, bentuk-bentuk kepentingan public tersebut
dapat dilihat , seperti contoh pada penjelasan umum Perda No. 2 Tahun 1996, dapat dilihat
kepentingan public yang mendasari dikeluarkannya kebijakan , antara lain : melestarikan kayu
cendana, meningkatkan produksi cendana, meningkatkan pendapatan daerah, dan meningkatkan
pendapatan masyarakat.

Sedangkan untuk kategori kedua yaitu kepentingan individu seperti dikemukakan


olehSofyan Harahap dan Syarif Hidayat 18
, mengidentifikasi bentuk-bentuk dari kepentingan
individu jauh lebih sulit dibandingkan dengan kepentingan publik.Dikarenakan kepentingan
individu ini sangat komplek, mempunyai keterhubungan, dan sangat relatif terhadap konteks
yang sedang berlangsung.
Dalam kasus cendana ini mengindikasikan, ditemukannya ada variasi bentuk
kepentingan individu elit lokal ini , seperti yang dikatakan oleh Grindle, para pembuat
keputusan, perencana pembangunan, penyelenggara Negara maupun elemen-elemen dari
masyarakat itu sendiri semuanya dapat diasumsikan sebagai kumpulan dari pemburu rente yang
lebih termotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan jangka pendek ketimbang
memajukan Negara.Untuk memahami persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari Operasi Sahabat
dalam mengatasi permasalahan tentang kayu Cendana.
Operasi bersahabat merupakan instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur sehubungan
dengan prediksi bahwa produksi cendana yang ada di masyarakat cukup banyak dan tidak
dilaporkan kepada pemerintah akibat penebangan liar oleh masyarakat.Secara konseptual,
Operasi Bersahabat merupakan kegiatan jangka pendek yang dirancang untuk mendukung
operasionalisasi Perda No. 2 Tahun 1996.Untuk tujuan ini maka setiap Kabupaten/Daerah
Tingkat II penghasil kayu Cendana membentuk sebuah Tim Gabungan Operasi Bersahabat
Kabupaten/Dati II.

18
Sofyan Harahap dan Syarif Hidayat ,Refleksi realitas otonomi daerah dan tantangan ke depan, Pustaka Quantum, Jakarta,
2000, hal. 52

10
Berdasarkan dokumen tentang petunjuk pelaksanaan Tim Gabungan Operasi Bersahabat
Kabupaten/ dati II,19 bahwa ada 2 (dua) alasana utama mengenai Operasi sahabat ini diperlukan
dan penting yaitu, mengamankan kayu cendana illegal yang berada ditangan masyarakat dan
mengamankan pendapatan asli daerah. Sasaran utava operasi ini adalah: masyarakat pengangkut
kayu,Cendana Ilegal, semua jenis kendaraan bermotor yang mengangkut kayu Cendana illegal
dan dokumen angkutan kayu cendana yang dipalsukan.
Dalam melaksanakan akivitasnya Tim Operasi Bersahabat telah dibekali sejumlah dana
untuk membeli kayu Cedana dari Masyarakat dengan harga Rp. 3000,- per Kg. Dana dalam
pemiayaan operasi ini disesiakan oleh pihak Pemda dan instansi lain yang terkait , serta pihak
swasta (pengusaha). Pihak Pemda yang diwakili Sekwilda Tingkat II, Dinas Kehutanan Tingkat
II, dan Dinas DLLAJR Tingkat II, sedangkan instansi yang terkait adalah KODIM 1621 TTS,
Polres TTS, dan Kejaksaan Negeri Soe. Sedangkan pihak swasta diwakili oleh perusahaan
pengolahan kayu Cendana yaitu CV. Vada, dan CV. Sumber Agung Kupang.
Dana pembelian kayu Cendana dan biaya Operasional Tim , tidak dialokasikan dari
APBD , akan ttetapi bersumber dari partisipasi Pengusaha Industri Pengolahan Cendana yyang
telah ditunjuk sebagai mitra. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa kemampuan keuangan
Pemda yang terbatas. Penunjukkan para pengusaha mitra dilakukan langsung oleh Gubernur
sebagai kepala Daerah Propinsi. Kemudian setelah mendapatkan surat Penunjukan , para
Pengusaha ini harus menghubungi Bupati sebagai kepal daerah di Kabupaten untuk
menyerahkan sejumlah dana operasi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Jika mengikutit mekanisme kerja dari Tim Gabungan Bersahabat ini dapat dilihat dan
diketahui setidaknya ada dua bentuk utama dari kepentingan ekonomi elit lokal, yaitu:
mendapatkan keuntungan jangka pendek dan melindungi bisnis keluarga.

a. Keuntungan Jangka Pendek

Pengusaha yang ditunjuk sebagai mitra harus menyediakan dana untuk memberli kayu
Cendana sebesar 3.000,-per kg, biaya operasional dan premi untuk petugas. Dengan demikian
dapat dimengerti bahwa mitra tersebut juga secara langsung telah bertindak sebagai pembeli
kayu Cendana hasil operasi.Hal yang menarik adalah peluang-peluang yang dapat
dimaksimalkan oleh Elit lokal untuk mengakumulasi keuntungan ekonomi jangka pendek

19
Syarif Hidayat, Op.cit, hal 198

11
yangtentunya bervariasi sesuai otoritas yang dimiliki , dalam hal ini dapat dijelaskan dalam
empat modus.20

Modus pertama adalah dengan cara memaksimalkan peluang mendapatkan “Premi” kayu
Cendana yang banyak melibatkan elit lokal tingkat bawah. Modus kedua adalah memaksimalkan
peluang mendapatkan bagian pendapatan dari Biaya Operasi Tim dan memotong harga beli
Cendana dari masyarakat serta me-Mark Up harga jual Cendana hasil operasi kepada penguasaha
mitra yang banyak melibatkan kelas menengah atas. Dalam fenomena ini , tidak harus
mengejutkan karena sesuai dengan otoritasnya yang dimiliki, mereka pun mendapatkan peluang
relative lebih besar dalam melakukan akumulasi keuntungan individu. Modus ketiga adalah
dengan cara memanipulasi klasifikasi kelas kayu Cendana, untuk kemudian mendapatkan “fee”
dari pihak pengusaha. Dalam modus operasi ketiga ini, juga lebih banyak melibatkan elit lokal
pada tataran menengah - atas.Terutama pejabat Pemda yang berwenang dalam melakukan
Pengujian Kualitas kayu Cendana.
Menurut hasil penelitian Herman Banoet21 klasifikasi produksi kayu cendana
danharganya ditetapkan oleh pemerintah berdasarkandiameter fisik kayu, bentuk serta kualitas
kayu, dantidak didasarkan pada kebutuhan pembeli.Penetapan klasifikasi itu meliputi kelas A
Rp.18.000/kg, kelas B Rp. 15.300/kg, kelas C Rp.9000/kg, sedangkan gubal/campuran Rp.
5000/kg. klasifikasi jenis Cendana ini sekaligus menentukan nilai jual dari kayu Cendana itu
sendiri. Hal yang menarik dalam kasus ini adalah elit lokal / pemerintah menetapkancuting
raterata-rata 600ton/tahun kemudian menetapkan kualifikasi kayudan harga serta menetapkan
pula calon-calonpembeli melalui penetapan Daftar RekananMampu (DRM).
Modus keempat yang dilakukan adalah dengan memaksimalkan otoritas yang dimiliki
untuk mempermudah pihak pengusaha mendapatkan quota pembelian kayu Cendana.Modus
operasi keempat ini, juga banyak melibatkan para elit lokal yang berada pada tataran menengah –
atas. Keuntungan ekonomi jangka pendek yang diperoleh para elit lokal , tidak lain adalah fee
dari pihak pengusaha sebagai imbalan atas jasa yang diberikan .

20
Syarif Hidayat, Op Cit, hal 201-205
21
Herman H. Banoet, Peranan Cendana dalam Perekonoian NTT : Dulu dan Kini. LIPI, Jakarta, 2000 . diakses dari http://e-
journal.biologi.lipi.go.id/index.php/berita_biologi/article/view/1452/1341 pada tanggal 9 mei 2016

12
b. Melindungi Bisnis Keluarga

Untuk melindungi bisnis keluarga ini dapat ditelusuri karena bisnis kayu Cendana
termasuk bisnis kelas tinggi dan tidak banyak akses anggota keluarga para pejabat terlibat dalam
bisnis milyaran rupiah ini.Pada umumnya keterlibatan anggota keluarga pejabat daerah dalam
Tata Niaga Kayu Cendana di NTT lebih banyak berpersan sebagai broker antara pihak pemda
dan pengusaha kayu Cendana lokal, atau broker antara pengusaha kayu cendana lokal dan
pengusaha asing.22 Sebagai broker peran yang utama adalah mengusahakan perolehan quota
pembelian kayu Cendana dari Pemda, mempermudah akses pengurusan izin pengiriman antar
pulau dan izin ekspor kayu Cendana, serta memperlancar berbagai urusan administrasi yang
berkaitan dengan pihak Pemda. Sebagai imbalan dari peran tersebut, maka akan memperoleh
“fee” dari pengusaha.

Dalam hal ini dapat diperkirakan elit lokal siapa yang terlibat dalam permainan bisnis ini,
yang tidak lain adalah para pejabat tinggi di daerah , terutama mereka yang menduduki posisin
kunci di tingkat Propinsi. Satu contoh dari hasil penelitian Hidayat 23adalah : keterlibatan Pak A
A yang merupakan pejabat tinggi di Propinsi NTT, salah seorang putranya si B terlibat dalam
bisnis kayu Cendana. Peran Pak A ikut andil dalam menggolkan beberapa permohonan quota
pembelian kayu Cendana yang diusulkan oleh si B. dimana si B juga ikut membantu beberapa
pengusaha untuk memperoleh izin pengiriman antar pulau dan izin ekspor kayu Cendana.

3.2.2. Tipe Hubungan Rent- Seeking

Bila mengacu pada tipe rent-seeking yang dikemukakan oleh Ross yaitu terdapat 3 (tiga)
tipe , diantaranya:rent creation, rent extraction, dan rent seizing.

a. Rent Creation, dimana perusahaan mencari keuntungan yang dibuat oleh Negara
dengan menyogok politisi dan birokrat (in which firms seek rents created by the state,
by bribing politicians and bureaucrats).
b. Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan
dengan mengancam perusahaan atas regulasi-regulasi terkait (in which politicians and
bureaucrats seek rents held by firms, by threatening firms with costly regulations).

22
Syarif Hidayat, Op.cit, hal 206
23
ibid, hal 206-207

13
c. Rent Seizing, dimana ketika aktor-aktor Negara atau birokrat berusaha untuk
mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkan dari institusi-institusi Negara
demi kepentingan individu dan kelompoknya (as efforts by state acrtors to gain
theright to allocate rents).

Selanjutnya jika melihat kasus tata niaga Kayu Cendana di NTT ini, mengindikasi pada
tipe rent-seeking yang terjadi yaitu tipe pertama dan ketiga (Rent Creation dan Rent Seizing).
Untuk lebih spesifik, tipe rent creation dapat terlihat dari , keuntungan ekonomi jangka pendek
yang didapatkan oleh elit lokal (Patron) dalam upaya memaksimalkan otoritas yang dimiliki
untuk mempermudah pihak pengusaha ( clien)mendapatkan quota pembelian kayu Cendana dan
perizinan-perizinan terkait bisnis Kayu cendana ini. Sedangkan keuntungan ekonomi yang
diperoleh oleh elit lokal ini berupa fee-fee dari pihak pengusaha.

Sementara, untuk tipe rent- seeking yang ketiga yaitu bentuk rent seizingdapat dilihat
pada peran elit lokal seperti penjelasan di atas bahwa ada keterlibatan anggota keluarga pejabat
daerah dalam Tata Niaga Kayu Cendana di NTT . misalnya pada kasus pak A, seperti yang telah
dijelaskan diatas, dalam hal ini pak A bukanlah sebagai patron bagi si pengusaha kayu cendana
( clien), melainkan si B (anak Pak A) yang bertindak sebagai patron. Namun dalam kapsitasnya
sebagai Pejabat Tinggi di NTT , maka Pak A telah memposisikan dirinya sebagai power supply
bagi si B. Secara umum, peran yang dimainkan Pak A adalah memaksimalkan otoritasnya yang
dimiliki guna memberi bantuan kepada si B sebagai keluarga untuk mendapatkan kemudahan
dalam menjalankan bisnis yang dikelolanya.

4. KESIMPULAN

Pengaturan Tata Niaga Kayu Cendana di NTT telah melibatkan kepentingan individu elit
lokal, yang memiliki bentuk relatif berragam, namun memiliki karakteristik yang sama yaitu
keuntungan ekonomi jangka pendek. Dalam kasus Kayu Cendana di NTT ini, mengindikasikan
setidaknya 4 (empat) modus operasi yang dilakukan oleh elit lokal dalam upaya untuk
mengakumulasi keuntungan ekonomi jangka pendek. Modus pertama adalah dengan
memaksimalkan peluang mendapatkan “Premi” kayu Cendana .Modus yang kedua adalah
memaksimalkan peluang mendapatkan bagian pendapatan dari biaya operasi Tim, memotong
harga beli kayu Cendana dari masyarakat, dan me-mark-Up harga jual kepada pengusaha.Modus

14
ketiga yang dilakukan adalah ,memanipulasi klasifikasi kayu cendana. Dan modus keempat
adalah, memaksimalkan otoritas yang dimiliki untuk mempermudah pihak pengusaha
mendapatkan quota pembelian kayu Cendana dari pemda.

Bentuk lain dari kepentingan individu dari elit lokal ini dalam kasus Kayu Cendana ini
adalah, melindungi bisnis keluarga, walaupun bentuk dari kepentingan individu ini relative tidak
popular , namun setidaknya dapat ditemukan, seperti contoh yang terjadi pada Pak A, hal ini
memperlihatkan bahwa penyimpangan telah terjadi dalam implementasi kebijakan Tata Niaga
Kayu Cendana di NTT.Pola dari penyimpangan yang terjadi dalam kasus kayu Cendana di NTT
ini mengindikasikan pada 2 (dua) tipe rent-seeking: yaitu Rent Creation dan Rent Seizing. Pada
tipe yang pertama ini melibatkan elit lokal/pejabat daerah (patron) dan pengusaha (clien).
Sedangkan pada tipe yang berikutnya, yaitu tidak bersifat langsung, dimana elit lokal yang
memiliki otoritas menggunakan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dan pertemanan
(sebagai patron) untuk berinteraksi dengan pengusaha ( sebagai clien), guna keuntungan individu
dan kelompok mereka.

Praktek-praktek rent-seekingyang dilakukan oleh pejabat daerah dalam implementasi


pengaturan tata niaga kayu Cendana di NTT ini, kenyataannya telah melahirkan fenomena
ketidakadilan ekonomi dan tidak efisiennya pelaksanaan pembangunan pada masyarakat.Hal ini
dapat terlihat dari adanya konsentrasi keuntungan ekonomi yang hanya berada pada sekelompok
elit lokal/ pejabat daerah dan kecenderungan monopoli kesempatan berusaha oleh segelintir
pengusaha kayu cendana di daerah.Sementara masyarakat (sebagai pemilik kayu) hanya
diposisikan sebagai objek kebijakan dan berperan sebagai penyandang dana untuk membiayai
praktek rente yang dilakukan oleh pejabat daerah sebagai penguasa dan pengusaha itu sendiri.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arifin dan Didik Rachbini, 2001.Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik.Jakarta : Grasindo.

Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Harahap, Sofyan dan Syarif Hidayat , 2000 Refleksi realitas otonomi daerah dan tantangan ke
depan, Pustaka Quantum, Jakarta

Kunio, Yoshihara. 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara.Jakarta : LP3ES.

Patty , Boetje, 2001 , Pelestarian Pohon Cendana Secara Budidaya Untuk Pengentasan
Kemiskinan: Studi Kasus pada Empat Desa Penghasil Kayu Cendana di Propinsi Nusa
Tenggara TImur, Program Studi Ilmu Lingkungan UI.

Rachbini, Didik J. 2002. Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik.Jakarta : Ghalia
Indonesia.

Surata, I Komang, 2006, Teknik Budidaya Cendana, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Balai
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara.

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan. Malang : Bayu Media Publishing.

Jurnal:

Hidayat , Syarif, 2001, Fenomena Rent-Seeking di Daerah: Kasus Tata Niaga Kayu Cendana, Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Nopember 2001, Volume 5, Nomor 2

Mauro, Paolo. 1997. Why Worry About Corruption?. Jurnal Isu Ekonomi Internasional Vol 6.

Sumanto , Slamet Edi, Edy Sutrisno, Heri Kurniawan, 2011, Analisis Kebijakan dan Strategi Litbang
Kehutanan dalam Pengembangan Cendana di Nusa Tenggara Timur, Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, Desember 2011, Vol. 8 No. 3, hal 192

Internet:

Banoet,Herman H., 2000, Peranan Cendana dalam Perekonoian NTT : Dulu dan Kini. LIPI,
Jakarta, diakses dari
http://e-journal.biologi.lipi.go.id/index.php/berita_biologi/article/view/1452/1341

16
17

Anda mungkin juga menyukai