Latar Belakang :
Pembangunan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari kebijakan yang di buat oleh
pemerintah yang akan berimplikasi pada perekonomian suatu negara. dari peran
pemerintah dalam mengatur perekonomian untuk mencapai kesejahteraan bagi
masyarakatnya.
Tujuan:
Metode:
Dengan kurang baiknya system ekonomi dan politik pada massa orde baru
pemerintah pada era reformasi melakukan berbagai upaya untuk merubah
institusional. Perubahan yang signifikan dalam masa reformasi adalah adanya
pelembagaan demokrasi dan desentralisasi (Robison and Hadiz, 2004: 197).
Demokratisasi mempunyai tujuan agar sistem politik dapat lebih terbuka dan
demokratis. Artinya, setiap kelompok politik dapat menjadi input dalam pembuatan
kebijakan, sehingga masyarakat dapat ikut andil dalam pembuatan keputusan dan
kebijakan politik. Sedangkan desentralisasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah agar bisa mengatur
kegiatan di daerah tersebut berdasarkan asas otonom. Tujuan desentraisasi untuk
Mencegah terjadinya pemusatan keuangan, dan
Sebagai usaha pendemokrasian pemerintahan dan mencegah adanya kekuasaan
yang tersentralisasi pada segelintir orang. Desentralisasi memiliki beberapa asumsi,
antara lain, akuntabilitas, responsiveness dan partisipasi aktif warga negara (Hadiz,
2005: 290-292). Pada kenyataanya perubahan yang di lakukan tersebut tidak sesuai
dengan tujuan awalnya dan tidak sesuai dengan apa yang di harapkan. Hal ini di
buktikan dengan Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan
bahwa penanganan kasus korupsi dari tahun 2004-2014 (per 31 Maret 2014)
mengalami peningkatan (http://acch.kpk. go.id/statistik/Rekapitulasi-Penindakan-
PidanaKorupsi/). Bedasarkan data tersebut tingkat korupsi tidak mengalami
penurunan melainkan mengalami peningkatan secara signifikan dalam sepuluh
tahun terakhir ini, walaupun desentralisasi dijalankan. Tindakan korupsi merupakan
kepentingan ekonomi dan politik Meningkatnya korupsi di Indonesia pada masa
reformasi di isinyalir melibatkan aktor-aktor elit politik dalam tingkat pusat maupun
daerah dan aktor-aktor ekonomi atau pengusaha yang melakukan tindakan berbagi
sumber daya negara. dimana praktek rent seeking (perburuan rente) menjadi hal
yang menonjol dalam relasi bisnis dan politik tersebut dengan dilakukan secara
terbuka dan terjadi direzim yang demokratis, yang pada akhirnya memunculkan
dampak terjadinya korupsi yang semakin meningkat.
Didik J Rachbini mengemukakan bahwa dalam kajian ekonomi politik rent seeking
merupakan perburuan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi dan penggunaan
modal kekuasaan di dalam bisnis. Dalam teori pilihan publik, serta dalam ekonomi,
mencari-sewa berarti mencari untuk meningkatkan pangsa satu kekayaan yang ada
tanpa menciptakan kekayaan baru. Hasil pencarian sewa dalam mengurangi
efisiensi ekonomi melalui salah alokasi sumber daya, mengurangi kekayaan
penciptaan, meningkatnya ketidaksetaraan pendapatan, dan potensi penurunan
nasional. Rent seeking di lakukan untuk mendapatkan monopoli memaksa dapat
menghasilkan keuntungan bagi pencari sewa di pasar sementara memaksakan
kerugian pada pesaing mereka sepenuhnya. Ini adalah salah satu dari banyak
kemungkinan bentuk perilaku rent seeking. tindak korupsi biasanya terjadi di dalam
sistem politik yang tertutup dan otoriter perlu dikaji ulang. Kenyataan menunjukan
dengan jelas bahwa tindak korupsi juga terjadi di dalam sistem politik terbuka dan
(menuju pada tahapan) demokratis, setidaknya itu terjadi di Indonesia. Ketika
reformasi bergulir dan kebebasan pers serta partisipasi politik mengalami perubahan
luar biasa, tindak korupsi bukannya berhenti atau minimal terkurangi, tapi malah
mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Asumsi yang
melandasinya adalah semakin besar rente yang bisa diciptakan oleh suatu jabatan
pemerintahan, semakin besar peluang terjadinya korupsi. Banyak pelaku usaha
mempengaruhi kebijakan ekonomi melalui hubungan dengan para pejabat atau
politisi. Salah satu contoh adalah mempengaruhi kebijakan perdagangan luar negeri,
yakni membuat kebijakan perdagangan yang bisa memberi keuntungan pada suatu
perusahaan atau bidang industri tertentu dengan memproteksi pasar produk,
mengurangi ongkos produksi, dan mengurangi persaingan yang dihadapi. para
pejabat dan politisi untuk mendukung penerapan bea masuk yang bisa melindungi
pasar produk mereka atau subsidi untuk menurunkan ongkos produksi mereka.
Dorongan ini bisa berujud misalnya, sumbangan dana kampanye para politisi
tersebut. Perusahaan itu bersedia menyumbang karena kebijakan-kebijakan seperti
itu bisa meningkatkan keuntungan pebisnis.
Menurut Michael Ross, rent seeking dapat dibagi menjadi tipe-tipe, yaitu:
a. Rent Creation, dimana perusahaan (firms) mencari keuntungan yang dibuat oleh
negara dengan menyogok politisi dan birokrat (in which firms seek rents created by
the state, by bribing politicians and bureaucrats).
b. Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan
dengan mengancam perusahaan dengan peraturan-peraturan (in which politicians
and bureaucrats seek rents held by firms, by threathning firms with costly
regulations).
c. Rent Seizing, dimana terjadi ketika aktoraktor negara atau birokrat berusaha
untuk mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkan dari institusi-institusi
negara untuk kepentingan individunya atau kelompoknya (rent seizing: as effort by
state actors to gaintheright to allocate rents) (http://www.scribd.com/
doc/118391055/pemburu-rente-rentseeking).
Berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 telah membawa Indo-
nesia memasuki babak baru demokrasi. Dalam pemerintahan masa transisi yang
merupakan peralihan pemerintahan dari masa Orde Baru ke pemerintahan era
reformasi yang dipimpin oleh Habibie, ditandai juga dengan adanya tuntutan untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang lebih transparan, partisipatif dan akuntabel..
presiden Habibie menerapkan kebijakan desentralisasi dimana setiap masyarakat
memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya. Adanya
perubahan kebijakan tersebut mempengaruhi aspek pola bisnis dan politik di
Indonesia.Hal tersebut dikemukakan Natasha Hamilton Hart dalam tulisannya yang
berjudul “Government and Private Business: Rents, Representation and Collective
Action”, yang memperlihatkan tentang relasi bisnis dan pemerintah di Indonesia
pada masa reformasi. Pada massa reformasi sekarang ini para pemilik modal atau
kaum kapitalis sangat mudah untuk berpeluang di akomodir kepentinganya oleh
pemerintah dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut bisnisnya.dalam
perubahan institusional para pebisnis dengan sangat mudah dapat menguasai dan
mempengaruhi kebijakan politik di mana para pebisnis menjadi sebuah sumber daya
input untuk di perhatikan dalam pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah.
Pada massa reformasi sekarang ini masih di temukan Adanya pengaruh pola relasi
bisnis dan politik pada massa orde baru,dengan adanya pola relasi bisnis dan politik
yang dilakukan oleh aktor bisnis dan aktor politik/ pemerintahan sebagaimana
dilakukan masa Orde Baru. Pola relasi tersebut dicirikan dengan adanya aktor
ekonomi (pebisnis) yang berusaha melindungi kepentingannya dengan menjalin
relasi informal dan individu terhadap aktor politik/pemerintahan. Dalam pola relasi
antara aktor ekonomi (pebisnis) dan aktor politik/pemerintahan (politisi/birokrat)
masih memperlihatkan adanya atau terjadinya pola transaksional yang bersifat
predatoris dan bersifat patron-klien, yang dilakukan untuk mendapatkan rent dari
pemerintah.
Para pelaku bisnis menjalin hubungan formal maupun individu dengan penguasa
politik dengan harapan adanya perlindungan dan konsensi yang di dapatkan dari
pemerintah. perilaku rent seeking ini berkembang karena ada kerjasama saling
menguntungkan antara pemburu rente (pebisnis) di sektor ekonomi dengan kaum
predator pembuat kebijakan di sektor publik (politisi, pemerintah, birokrat), yang
tidak hanya di kalangan aktor ekonomi dan aktor politik/pemerintah pada tingkat
pusat tetapi juga meluas ke Daerah dalam lingkungan politik/pemerintahan yang
desentralistis. Praktek rent seeking ini merupakan akar dari munculnya korupsi,
dimana pola relasi pebisnis yang memburu rente dengan pemerintah yang
membuat kebijakan, dalam prosesnya banyak menghasilkan kesepakatan yang
berada di luar struktur lembaga formal. Dengan adanya system demokrasi dan
desentralisasi membuat semua pihak bebas dalam berpartisipasi ikut serta
menentukan kebijakan public. Kemudahan dan keterbukaan membuat praktik rent
seeking semakin marak dan subur di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan hasil studi
dari Ari Kuncoro dalam tulisannya yang berjudul ‘Corruption and Business
Uncertainty in Indonesia’ menjelaskan bahwa perilaku rent-seeking berfokus pada
penyuapan dan market dari produk-produk regulasi pemerintah, seperti izin bisnis,
inspeksi keselamatan kebakaran, kepatuhan terhadap peraturan lingkungan,
penilaian pajak daerah, pemberian izin, dan inspeksi kontrak lingkungan.Hal-hal
yang menjadi perilaku rentseeking adalah lobi pemerintah untuk proyek tertentu,
proteksi industrial, dan hak monopoli eksklusif (Kuncoro, 2006: 11).
Pemberian lisensi kepada para pelaku bisnis (seperti lisensi impor, ekspor, atau
perizinan bisnis lainnya) dapat dikategorikan praktek rent seeking. Dari pemberian
lisensi tersebut, sang pejabat publik akan membuka jalan bisnis bagi pelaku-pelaku
tertentu dengan mendapatkan fee atau komisi dari perusahaan yang dia endorse
(sahkan). dan juga adanya sejumlah uang yang diberikan dalam proses lobi untuk
mempengaruhi penguasa dalam pengambilan kebijakan atau keputusan publik.
Bentuk rent seeking seperti ini yang umumnya terjadi dalam pola korupsi di masa
reformasi. Data korupsi yang terjadi selama sepuluh terakhir (tahun 2004-2014)
menunjukkan bahwa menurut perkaranya, korupsi terbesar dilakukan karena adanya
penyuapan (170 kasus), pengadaan barang dan jasa (115 kasus), pungutan (14
kasus) dan perijinan (13 kasus) (http://acch.kpk. go.id/statistik/Rekapitulasi-
PenindakanPidana-Korupsi/ diakses pada 18 Agustus 2015). A.K Jain
berpandangan bahwa korupsi tersebut merupakan bagian dari rent seeking.
Menurutnya essensi rent seeking menjadi korupsi saat dilakukan di luar hubungan
publik dan formal, pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang
(secara pribadi) ke pejabat publik, dan berkaitan dengan monopoli atas suatu
sumber daya (Lambdorf, 2002: 104106). Pemberian uang tersebut berkaitan untuk
mendapatkan sejumlah rent yang merupakan produk kebijakan politik.
Dengan adanya desentralisasi membuat praktik rent seeking semakin marak dan
terjadi di tingkat pemerintah daerah. Masyarakat secara mandiri mengelola sumber
dayanya yang berdampak pada meningkatnya kasus korupsi di tingkat
lokal.bedasarkan hal tersebut korupsi pola relasi bisnis dan politik tidak hanya terjadi
di tingkat pemerintahan pusat namun juga di pemerintahan lokal di mana di tunjukan
dengan meningkatnya kasus korpusi yang di lakukan pejabat daerah yang mana
pejabat daerah berhak mengatur dan mengurus ekonomi daerahnya secara mandiri
bedasarkan asas otonom, hal ini menimbulkan praktik rent seeking seperti jual beli
jabatan, suap proyek, Beberapa perijinan, seperti lisensi lahan, ijin pertambangan
dan hak guna usaha atas sumber daya alam beralih
contoh kasus yang terjadi di Kota kelahiran saya Kabupatn nganjuk di mana
bupati nganjuk melakukan suap dan jual beli jabatan di lingkungan pemerintah
kabupaten nganuk, tidak hanya itu praktik reent seeking di nganjuk juga begitu
mencolok mata adanya lahan produktif yang di gunakan untuk pembangunan pabrik
industry tidak lepas dari peranan pemerintah daerah dalam menerbitkan surat
perizinan pendirian usaha di mana pada masa bupati nganjuk taufiq qurahman
menjalin hubungan individu dengan pebisnis asal china guna mempermudah
perizinan usaha pendirian industry sarung tangan. Kemudahan perizinan tersebut
tidak lepas dari adanya praktik rent seeking perizinan pendirian usaha yang di
lakukan antara pengusaha asal china dengan bupati nganjuk. Dalam aspek ekonomi
praktik rent seeking merupakan bisnis yang tidak sehat dan negatif.
Bertransformasinya pola relasi bisnis dan politik yang berbentuk rent seeking
dari masa pemerintahan Orde Baru ke Masa reformasi dengan sedikit perubahannya
disebabkan beberapa hal yaitu:
Hadiz merujuk pada Peter Evans bahwa kekuatan predatoris adalah pejabat
publik (baik individu atau mengacu pada bentuk korporatis) yang menguasai
sumber daya negara untuk kepentingan pribadi dan/atau kerabatnya. Evans
menyebut keterlibatan pebisnis yang mempunyai hubungan dekat dengan
para birokrat dan politisi, yang kemudian mengaitkannya dengan konsepsi
rent seeking. Menurutnya, rent seeking sebagai bentuk korupsi karena
akhirnya investasi yang tinggi dan sumber daya yang banyak milik negara
tidak teralokasikan untuk keperluan warga negara, tetapi masuk ke aparatus
negara dan kerabatnya (Hadiz, 1997: 253)
4. Menyertakan refrensi.
Kekurangan :
1. Sebenarnya jurnal ini cukup jelas pola penulisan yang runtut sehingga
pembaca tidak kebingungan. Namun sayang, pemilihan katanya
terkadang masih ambigu yang mengakibatkan penalaran yang berbeda
dari tiap pembaca.
Saran :
dari jurnal di atas Perburuan rente (rent seeking) di indonesia bukan lah
merupakan praktek baru, praktek ini mulai berkembang subur dan mekar
pada pemerintahan otoriter, hal ini untuk indonesia dapat kita lihat dari mulai
berkuasanya orde baru, disitu mulai berkembang. Karna pada pemerintah
diktator atau otoriter tidak adanya pengawasan yang efektif dan semuanya
dibawah kendali pemerintah.dan menampakkan kondisi ekonomi yang stabil
namun sebenarnya terdapat kesenjangan kondisi ekonomi antara kelas atas
dan kelas bawah. Namun bukan berarti dalam era demokrasi bersih dari
praktek rentseeking, prakteknya saat ini dapat dilihat dari kubutuhan pejabat
terhadap dukungan baik itu suara maupun finansial sebagai backing untuk
mencapai kekuasaan tertentu, dan praktek ini muncul sebagai bentuk balas
budi atas dukungan yang diberikan oleh kaum kapitalis.