Anda di halaman 1dari 5

NAMA : WAHYU PATTIPEILOHY

NIM : 031531576
TUGAS 3 MAKALAH

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME (KKN)


DALAM PENDEKATAN LEGALISTIK DAN SISTEMATIK

BAB I
PENDAHULUAN

Terkait dengan fenomena kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) ini, dan dengan adanya
perubahan sistem pemerintahan melalui UU No. 32 Tahun 2004, terdapat potensi yang cukup luas
bagi aparat Pemerintah Daerah dan berbagai elemen masyarakat untuk terlibat secara intensif dalam
berbagai kasus KKN. Desentralisasi telah membawa perubahan besar dalam hal kewenangan di
daerah. Perubahan kewenangan untuk mengatur semua aspek kehidupan pemerintahan di luar sistem
keuangan negara, pertahanan dan keamanan, agama, hubungan luar negeri dan sistem peradilan.
Selain berdampak positip dalam arti adanya keleluasaan bagi aparat di daerah untuk
melakukan berbagai kebijaksanaan mulai dari perencanaan program sampai dengan
implementasinya sesuai dengan potensi yang ada, juga memiliki dampak negatif. Dampak tersebut
yaitu semakin terbukanya peluang bagi aparat pemerintahan daerah untuk menyalahgunakan
kewenangan luas tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Oleh karena itu, dapat difahami
kekhawatiran semua pihak yang menilai desentralisasi hanya memindahkan praktik KKN dari pusat
ke tingkat daerah. Praktik KKN diyakini tidak akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik,
tetapi justru semakin parah.
Sehingga hal ini menarik untuk dipertanyakan apakah desentralisasi (otonomi daerah)
memiliki pengaruh siginifikan terhadap berkurangnya praktik KKN ataukah justru meningkatkan
praktik KKN, seperti yang dikhawatirkan tersebut. Praktik KKN dapat terjadi dalam berbagai
kegiatan pemerintahan dan pembangunan, seperti praktik KKN di Kantor Gubernur,
Bupati/Walikkota dan DPRD, KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti rekrutmen dan
promosi pegawai, tender proyek, penyusunan perda dan penyusunan APBD, serta dalam
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME (KKN)


Kata korupsi berasal dari bahasa Inggris, corruption, yang berarti penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya, untuk kepentingan pribadi atau orang
lain.1 Kata kolusi berasal dari bahasa Inggris, collution, yang berarti kerja sama rahasia untuk maksud
tidak terpuji; atau persekongkolan. Kata nepotisme berasal dari bahasa Inggris, artinya kecenderungan
untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di
lingkungan pemerintah, atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan. Berdasarkan pengertian menurut bahasa tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah mencerminkan tingkah laku, baik dilakukan sendiri
atau bersama-sama yang berhubungan dengan dunia pemerintahan yang merugikan rakyat, bangsa
dan negara.
Menurut Robert Klitgard, korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi sebuah jabatan negara, karena keuntungan status, atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa
tingkah laku pribadi. Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang
untuk kepentingan pribadi, golongan atau kroninya.
Tentang kolusi, menurut Teten Masduki, Koordinator ICW (Indonesia Corruption Watch)
mengatakan bahwa kolusi adalah suatu sarana atau cara untuk melakukan korupsi. Sedangkan menurut
pasal 1 ayat 4 Undang-Undang RI Nomor 28 tahun 1999, kolusi adalah pemufakatan atau kerja sama
secara melawan hukum antara penyelenggara negara, atau dengan pihak lain yang merugikan orang
lain, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan menurut JW. Schoolr, nepotisme adalah praktek seorang pegawai negeri yang
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga (dekat)nya menjadi pegawai pemerintah atau memberi
perlakuan yang istimewa kepada mereka dengan maksud untuk menjunjung nama keluarga, untuk
menambah penghasilan keluarga, atau untuk membantu menegakkan suatu organisasi politik, sedang
ia seharusnya mengabdi kepada kepentingan umum

2.1.1. Pendekatan Legalistik untuk Menganalisis Gejala dan Peristiwa Pemerintahan


Ciri yang menandai pendekatan legislatif sebagai berikut:
- Melihat gejala dan peristiwa pemerintahan dari dasar hukum yang
mengaturnya(hukum positif).
- Berdasarkan hukun positif dilakukan analisa dengan melihat proses pembuatan, isi dan
pelaksnaannya.
- Dalam melakukan analisis ilmu Pemerintahan banyak meminjam teori dari ilmu
hukum dan ilmu kebijakan public.
Dye dalam tulisan Anderson menyatakan kebijakan public adalah apa yang dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan menurut Anderson kebijakan public adalah arah tindakan
yang bertujuan yang diikuti oleh satu atau satuan actor di dalam mengatasi suatu masalah atau sesuatu
yang menjadi perhatian publik. Batasan ini setidaknya menggambarkan bahwa kebijakan public
melibatkan para actor dalam tindakan yang bertujuan untuk memecahkan masalah public.
Formulasi atau perumusan kebijakan public dapat dilihat dari perspektif ilmu politik dan ilmu
administasi public. Dilihat dari ilmu politik, perumusan kebijakan public adalah pemikiran terhadap
kebijakan public ditinjau dari proses pembuatan kebijakan. Pendekatan ini lebih dulu berkembang dan
esensinya adalah bagaimana tawar-menawar antara kekuatan politik dalam perumusan kebijakan
public. Sedangkan dilihat dari ilmu administrasi public tidak lain berupa pemikiran terhadap kebijakan
public ditinjau dari analisis kebijakan public. Proses pembuatan kebijakan publik mencakup sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahapan, yaitu: Dalam proses pembuatan kebijakan diperlukan metodologi analisis
kebijakan yang mampu menghasilkan pengetahuan berupa informasi yang relevan tentang kebijakan
dan prosedur analisis kebijakan. Penjelasan ini menunjukkan bahwa memahami gejala dan atau
peristiwa pemerintahan melalui pendekatan legalistic berkaitan erat dengan ilmu kebijakan public.
Artinya dalam menganalisis gejala dan atau peristiwa pemerintahan dapat meminjam teori, model
ataupun konsep yang dimiliki ilmu kebijakan public.
Gejala dan atau peristiwa pemerintahan tertentu selalu akan terkait dengan suatu dasar
hubungan tertentu yang dinamakan hubungan positif. Dengan mempelajari dasar hubungan tertentu,
kita dapat mengetahui filosofi maupun paradigm yang berada dibalik gejala dan atau peristiwa
pemerintahan tertentu. Gejala dan atau peristiwa pemerintahan terjadi pada saat pemberian pelayanan
public oleh pejabat public. Disitu akan Nampak apakah unit organisasi atau pejabat yang melayani
memiliki kewenangan untuk itu. Sebab pelayanan public dapat pula diberikan oleh sector non
pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.
Pelayanan public dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara
yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa tugas pokok
pemerintah pada hakikatnya adalah memberikan pelayanan pada masyarakat. Ia tidaklah
diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama

2.2.2. Pendekatan Sisteematik untuk Menganalisis Gejala dan Peristiwa Pemerintahan


Menurut Jay W. Frorrester dalam Windari (1997:168), yang telah melaksanakan riset simulasi
tentang perilaku dinamika sebuah sistem-sistem keorganisasian, di Amerika Serikat, bahwa organisasi
baru masa mendatang akan ditandai oleh ciri-ciri tertentu, berikut beberapa ciri organisasi masa depan;
1. Ditiadakan hubungan atasan dan bawahan
2. Sentra laba individu
3. Penentu imbalan secara objektif.
4. Penyusun kebijakan yang dipisahkan dari pengembalian keputusan
5. Restrukturisasi melalui EDP(Electronic Data Processing).
Menilik tahun 2009, masalah laten bangsa ini adalah korupsi. Padahal, keberhasilan
pemerintahan dan kekuasaan suatu negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana kebijakan negara
mencegah dan memberantas korupsi secara optimal. Masalah korupsi tidak bersandar pada limitasi
kebijakan hukum, tetapi terkait dengan masalah ekonomi dan politik. Untuk itu, perlu dicermati kritik
pengamat politik hokum negara berkembang, Prof SS Hueh, Rektor (saat itu) The University of East
Asia, yang menyatakan, pertumbuhan hukum korupsi tidak dapat dipisahkan dari perubahan dalam
kerangka sosial-ekonomi.
Prof Hueh memberi ilustrasi, pembentukan aturan hukum dalam rangka memberantas korupsi
tidak begitu saja dapat dipisahkan dari soal ekonomi dan politik. Dalam implementasi di Indonesia,
kebijakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat dipisahkan dengan
political and socio-economic setting. Masalah kebijakan hukum korupsi tidak akan terlepas dengan
kekuasaan ekonomi dan politik suatu negara sehingga stigma korupsi dapat menjadi simbol elastis
mengakarnya korupsi ketatanegaraan sebagai korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan.
BAB III
KESIMPULAN

1. Melalui pendekatan legalistic dimaksudkan agar terbebasdari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) dan Kajian Ilmu pemerintahan dapat berangkat dari peraturan perundangundangan
yang berlaku, dengan meletakkan pada proses, isi, implementasi maupun evaluasinya.

2. Melalui pendekatan Sistemik juga diharapkan pemerintah agar lebih mengevaluasi system
kerja kelembagaan politik ditingkat pusat maupun daerah supaya berjalan dengan efektif dan
diharapkan berkurangnya KKN.
DAFTAR PUSTAKA

Wasistiono Sadu, Simangunsong Fernandes, 2015. Metodologi Ilmu Pemerintahan.Bandung. IPDN


PRESS

file:///C:/Users/user/Downloads/makalah%20fik%20tinggal%20kirim%20ke%20OSF.pdf

https://bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf

BMP IPEM 4407 MODUL 7-8 METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN

Anda mungkin juga menyukai