PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendekatan Legalistik adalah salah satu cara untuk melihat gejala dan peristiwa dari
sudut pandang aturan-aturan formal. Hal tersebut sekaligus menjadi cirri yang membedakan
ilmu pemerintahan dari ilmu-ilmu sosial lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Pembahasan
1.4 Manfaat
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan didalam ilmu politik dan pemerintahan,
agar suatu saat dapat dijadikan contoh atau bahkan dapat diterapkan apabila terjun langsung
kedalam dunia politik dan pemerintahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan legalistic adalah salah satu cara untuk melihat gejala dan peristiwa dri
sudut pandang aturan-aturan formal. Hal tersebut sekaligus menjadi ciri yang membedakan
ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Kajian-kajian pemerintahan tidak dapat
dilepaskan dari peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif yang mengatur
berjalannya pemerintahan.
Ciri-ciri pendekatan legalistic dalam mempelajari ilmu pemerintahan adalah sebagai berikut:
1. Melihat gejala dan peristiwa pemerintahan dari dasar hukum yang mengaturnya (hukum
positif).
2. Berdasarkan hukum positif dilakukan dengan melihat proses perbuatannya, isinya
maupun pelaksanaannya.
3. Dalam melakukan analisis ilmu pemerintahan banyak meminjam teori ilmu hukum dan
ilmu kebijakan public.
Penyelenggaran pemerintahan dilakukan oleh aparat-aparatnya. Setiap kebijakan pemerintah
maupun implementasinya (termasuk proyek-proyeknya) mempunyai dampak terhadap
masyarakat. Usaha untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan pemerintah serta
implementasinya disebut pencarian rente (reny seeking). Untuk itu pencari rente dapat
bermodalkan kedekatannya dengan kekuasaan (nepotisme atau cronism), atau kesediaan
membagi keuntungan upeti (kick back) sehingga terjadi kolusi yang berarti juga korupsi dari
pihak penyelenggara negara (eksekutif, legislative, dan yudikatif). Kolusi dan korupsi tidak
mengenal tanda terima (kuintansi). Peraturan mencatatkan kekayaan setiap orang (termasuk
anggota eksekutif , legislative, yudikatif, maupun swasta) selain untuk mencegah kolusi dan
korupsi juga dapat memaksimalkan pendapatan pemerintah dari sector pajak.
Kesempatan dan ajakan setan dapat membuat penyelenggara negara lupa, karena itu
diperlukan adanya control (terutama tugas legislative). Control juga perlu dilakukan oleh
pers, cendikiawan dan masyarakat. Aparat pemerintah seharusnya menjalankan amanat
rakyat yang harus mendahulukan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi atau
golongan. Apabila aparat melakukan kekeliruan yang mengakibatkan kekacauan, maka
masyarakat dapat memberikan pandangan seperti perumpamaan seperti ini. “apabila kamu
melihat suatu kekeliruan maka ubahlah dengan tanganmu. Apabila kamu tidak sanggup maka
ubahlah dengan ucapanmu. Apabila kamu tidak sanggup pula maka ubahlah dengan hatimu
(bahwa kamu tidak setuju dengan kekeliruan tersebut), dan itu adalah selemah-lemahnya
iman.” Dari perumpamaan tadi maka dapat diartikan bahwa “tangan” adalah penguasa yang
memiliki kekuasaan, “lisan” adalah ilmuwan yang memiliki kompetensi keilmuwan, “hati”
adalah rakyat yang awam. Perumpamaan ini diungkapkan oleh Mardiasmo pada tahun 1999.
Kebudayaan masyarakat Indonesia umumnya masih paternalistic serta berorientasi vertical
keatas. Sebagai manusia, makhluk yang fana, pemimpin dapat berbuat salah dan berakibat
fatal karena jika dibiarkan akan dicontoh oleh rakyatnya. Kritik masyarakat dan kesediaan
pemimpin untuk dikritik mutlak diperlukan. Lee Kuan Yew dalam pidatonya diparlemen
Singapura, pada 23 Februari 1977 mengemukakan bahwa “ kapanpun, setiap saat, anda dapat
menghujat perdana menteri dan selama itu bukan dusta atau dusta criminal, anda tidak akan
apa-apa. Anda dapat mengatakan apapun. Anda dapat menulis buku mengenainya,
menghujatnya. Selama itu bukan fitnah, silahkan.” Meskipun Lee Kuan Yew bukanlah
seorang yang suka dikritik tetapi sebagai negarawan, dia tidak boleh mengharamkan kritik,
sehingga dia berusaha keras untuk tidak berbuat kesalahan dan hasilnya adalah Singapura
yang maju. Kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tidak mendorong kompetisi, tetapi
mendorong ketidakefisienan karena yang terjadi adalah perlombaan memberikan upeti dan
bukan perlombaan meningkatkan kualitas dan efisiensi. Hal tersebut akan menjadikan
masyarakat menjadi malas dan tidak kreatif, sehingga mengakibatkan bangsa menjadi tidak
kompetitif.
Pemimpin masa datang perlu menyadari ucapan John Naibitt bahwa “Pemimpin adalah
pemberi fasilitas bukan tukang perintah”.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini, kami berharap dapat menambah wawasan bagi
pembaca maupun bagi penulis, khususnya pada materi jenis-jenis teori dalam ilmu politik dan
pemerintahan.