Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Dalam kajian historis mengenai akar demokrasi dan kediktatoran, Barington


Moore menyimpulkan bahwa “sebuah kelas penduduk kota yang besar dan
independent telah menjadi elemen sangat diperlukan dalam pengembangan
demokrasi”. Menurutnya demokrasi akan tumbuh dan berkembang jika kelas
borjuis menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi, begitu argumen
Moore. No bourgeoisie no democracy, (Barrington Moore, 1966). Dewasa ini
banyak pengusaha menyepakati doktrin Moore ini dan bahkan ditandai dengan
banyaknya pengusaha berbondong-bondong terjun dalam dunia politik seperti
yang dikatakan oleh Wakil Presiden diatas. Hal ini merupakan trend dari dulu,
baik di luar negeri maupun di Indonesia, banyak pengusaha menguasai jabatan
publik.

Pada masa Orde Baru lalu, peran pengusaha hanya sebatas supporting system
belaka, dari jejaring politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan pemerintah pada
waktu itu dihadapkan pada permasalahan kekurangan modal sehingga pemerintah
memberikan insentif kepada pemilik capital swasta atau pengusaha berupa
kepercayaan mau bekerjasama dengan pemerintah (Barr, 1990). Peran negara
pada masa itu angat penting dalam menumbuhkan borjuasi seperti yang
dikemukakan oleh Barington Moore diatas. Pada masa itu modal, kontrak,
konsesi, dan kredit dari negara diberikan secara langsung kepada pengusaha,
namun pada kesempatan yang sama pengusaha-pengusaha swasta itu telah menja-
lankan atau memanfaatkannya. Pengusaha-pengusaha jenis ini dengan dukungan
dibawah proteksi rezim pemerintah; mereka mempunyai patron dalam kelompok
kekuasaan politik-birokrasi. Mereka diatur dibawah aparat birokrasi dan biasanya
sangat tergantung dengan modal asing. oleh sebab itu mereka hanya sebagai
pemain pendukung dibelakang pemerintah.

Dewasa ini kesempatan itu telah masuk ke wilayah politik dengan terbuka
lebar. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan, dengan
daya pikat finansial yang besar, nominasi bisa dibeli agar mereka dicalonkan
sebagai anggota legislatif (Nuryanti, 2005). Berubahnya konstelasi politik dan
ekonomi pasca-Soeharto membuat kekuasaan tersebar kemanamana serta
pengaruh politiknya yang luas. Akibatnya, upaya untuk mendapatkan kemudahan
dan proteksi politik dalam berbisnis makin lebar dan berbiaya tinggi. Semakin
banyak kelompok pengusaha mendekati pusat kekuasaan dengan cara menyuap,
sehingga menimbulkan biaya transaksi keuntungan pemburuan rente dalam
kekuasaan.
BAB II

PEMBAHASAN
Hubungan antara negara dengan pengusaha untuk memperoleh
perlindungan pribadi yang kita kenal dengan ikatan patrimonial sudah lekat untuk
mengetahui corak kelompok pengusaha Indonesia. Mereka memiliki jaringan
yang erat pada hubungan pribadi dengan penguasa.  Hubungan patron-klien yaitu
penguasa sebagai patron dan klien adalah pengusaha memiliki hubungan
simbiosis mutualisme. Patron sebagai pemegang kekuasaan memberikan konsesi-
konsesi berupa perlindungan usaha, lisensi ekspor dan impor, pemberian proyek-
proyek pengadaan dan kemudahan lainnya. Sedangkan pengusaha sebagai klien
memberikan dukungan ekonomi dan politik kepada penguasa.

A. Historis Kemunculan Kelompok Pengusaha Pribumi

Era Orde Lama

Pengusaha Cina dalam era tersebut sebetulnya tidak memposisikan diri di


dalam lingkungan birokrasi karena desain institusi yang menguatkan peran
pengusaha pribumi dalam lingkar kekuasaan. Kelas pengusaha pribumi pada
tahun 1946 dalam institusi PTE (Pusat Tenaga Ekonomi) menguatkan posisi
mereka dalam perdagangan domestik di daerah RI dengan bantuan pemerintah.
Namun akibat kasus 3 C (corruptie, connectie, centen) menyebabkan program-
program penguatan usaha tidak berjalan.

Selanjutnya Program Benteng tahun 1950-1955 yang digagas Soemitro


Djoyohadikusumo pada awalnya bertujuan untuk memberikan keistimewaan bagi
pengusaha pribumi ternyata tidak benar-benar mengangkat pengusaha pribumi
untuk dapat bersaing dengan pengusaha asing.  Pengusaha pribumi diberikan
kesempatan lebih besar daripada pengusaha Cina untuk mendapatkan lisensi dan
kredit impor. Namun akibat pengusaha pribumi tidak dapat mengelola program
tersebut dengan baik maka timbullah istilah Ali-Baba yang berarti hubungan
kolusi antara Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba sebagai pengusaha
Tionghoa.
Era Orde Baru

Hubungan penguasa dan pengusaha pada masa orde baru layaknya antara
hubungan ”Patron-klien”, dan negara cenderung bersifat sebagai Comprador
State. Pengusaha memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa untuk
mendapatkan fasilitas dan kemudahan dalam mengembangkan usahanya. Kondisi
ini lama-kelamaan semakin mengembangkan hubungan yang bersifat kolutif dan
mengakibatkan pula timbulnya korupsi di negara ini. Pola hubungan yang yang
terjadi pada masa orde baru ini tentu dinilai tidak sehat dalam dunia bisnis, serta
dapat pula menodai dunia bisnis di negeri ini.

Paska boom-minyak tahun 1980-an negara yang menerapkan kebijakan


deregulasi dan privatisasi diharapkan akan mengurangi peran negara. Namun
kebijakan tersebut tidak serta merta merubah hubungan saling menguntungkan
antara bisnis dan negara, namun yang terjadi malah semakin menguatkan politik
uang (korupsi, kolusi dan nepotisme).  Terlihat pengusaha pribumi sulit bersaing
dengan pengusaha asing karena pengusaha pribumi sulit bersaing dengan modal
besar dan teknologi canggih yang dimiliki oleh pengusaha asing.

Era Paska Reformasi

Di era paska reformasi, pengusaha berlomba-lomba untuk memasuki dunia


politik. Motifnya untuk mendukung bisnis yang dikelolanya. Peraturan
perundang-undangan sarat dengan kepentingan bisnis. Di sisi lain, proyek-proyek
pemerintah dibajak oleh rekanan pengusaha yang telah masuk ke dalam rantai
birokrasi. Kinerja birokrasi pun menjadi terganggu dikarenakan mereka
menganggap kekuasaan yang telah mereka pegang hanya menjadi sambilan saja.
Jabatan dianggap sebagai sumber kekayaan dan tidak ada pemisahan yang jelas
antara sarana produksi dan sarana administrasi publik.

Perbandingan dengan Negara Lain Yoshihara Kunio (1990) menyebut


kapitalis yang berkembang di Asia Tenggara sebagai kapitalis semu (ersatz
capitalist), yaitu pengusaha yang tumbuh karena bergandeng mesra dengan rezim.
Pengusaha semu ini membangun bisnis dengan memperoleh kemudahan dan
proteksi politik. Pada pola negara berkembang yang pernah mengalami
pengalaman kolonialisme maka corak keberpihakan pada golongan-golongan
pengusaha tertentu cukup jelas. Sebagai contoh Filipina yang memiliki corak
hampir sama dengan Indonesia dengan indikator hubungan yang cukup kuat
antara negara dengan pengusaha.

Di Eropa Barat dan Amerika Serikat, pengusaha yang masuk politik justru
ikut dalam disiplin partai politik dan tidak bisa mencampurbaurkan jabatan publik
dengan bisnis. ”Di sana undang-undang (UU) insider trading, UU antitrust, yang
mencegah kolusi pengusaha dan penguasa diberlakukan. Semakin dalam penetrasi
kapital, negara makin ketat menutup naluri pengusaha.

Dari berbagai macam penjelasan diatas sudahlah jelas bahwa pengusaha


memiliki peran cukup jelas dalam hubungannya dengan negara. Mahalnya biaya
demokrasi membuat lingkaran kekuasaan dikuasai dan dipengaruhi oleh para
pemilik modal yang notabene adalah pengusaha.  Besarnya pengaruh pengusaha
dalam politik harus diimbangi oleh gerakan-gerakan pembanding seperti
pedagang, petani, dan buruh sehingga tercipta keseimbangan di ruang publik.

B. Hubungan Antara Pengusaha Dan Politik

Di era demokrasi saat ini, banyak sekali pengusaha yang terjun dalam dunia
politik, baik dalam kancah nasional maupun internasional. Di dalam negeri,
banyak pengusaha yang menempati posisi strategis dalam kepengurusan partai,
atau maju dalam kontestasi demokrasi baik sebagai legislatif atau eksekutif,dari
jabatan tertinggi dalam legislatif sebagai Ketua DPR atau tertinggi dalam
eksekutif sebagai Presiden.

Timbul pertanyaan, mengapa di era reformasi ini banyak pengusaha yang


terjun dalam politik praktis, apakah mereka memang memiliki kualifikasi untuk
menjadi pejabat publik, apa motif sebenarnya di balik itu semua. Perihal motif,
pastinya menjadi sebuah jawaban yang relatif, mulai dari yang tulus berbakti pada
rakyat, atau mempertahankan bisnis, dan bahkan sekedar pembuktian kepada
orang banyak bahwa “saya juga bisa”.
Pengusaha dan penguasa memiliki hubungan yang cukup dekat karena
keduanya memiliki hubungan yang saling menguntungkan dan menunjang
hubungan ini ibarat mata uang dengan dua sisinya. Sehingga hubungan mereka
harus mesra dan terjalin dengan baik dan saling melindungi. Seorang Penguasa
yang berkuasa sangat membutuhkan pengusaha untuk memajukan ekonomi
dengan menciptakan pasar atau market.

Pasar atau market dibutuhkan untuk menciptkan transaksi dan ruang


pengembangan ekonomi rakyat, kemajuan suatu negara di tentukan oleh geliat
perekonomian suatu negara. Pengusaha dibutuhkan untuk melakukan investasi
dan pengelolaan sumber daya alam, memproduksi kebutuhan masyarakat, serta
menciptakan pasar. Sebenarnya Pengusaha memiliki kecenderungan dan bergelut
dalam bidang ekonomi sedangkan Penguasa selalu berhubungan dengan urusan
kekuasaan yakni mengatur orang banyak dengan sejumlah aturan dan kebijakan.
Sedangkan pengusaha hanya berpikir bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-
banyaknya selalu di pengaruhi oleh motif ekonomi. Jika kita sepakat bahwa motif
ekonomi adalah bagaimana mendapatkan keuntungan sebesarnya berarti
Pengusaha yang melakukan kegiatan ekonomi tidak membutuhkan Penguasa?
Tidaklah demikian karena yang mengatur kebijakan atau regulasi perekonomian
mengenai pajak dan retribusi adalah Penguasa. 

Proses untuk memperoleh kekuasaan-pun membutuhkan uang, Firmanzah


mengungkapkan kembali pemikiran Machiaveli, dimana Machiaveli sebagai
pemikir Politik yang sinis juga harus berhadapan dengan kenyataan begitu
dekatnya kekuasaan dengan uang serta hak miliknya. Sedangkan Marx
menyatakan bahwa ketika orang mulai memagari tanah miliknya dan menyimpan
harta benda termasuk uang kapitalisme dimulai. Maka politik dan kapitalisme
tampaknya tak bisa dipisahkan. Semangat kapitalisme telah bersinggungan dengan
kepentingan-kepentingan politik. Entah politik digunakan sebagai media untuk
mengakumulasi kapital ataukah akumulasi kapital digunakan untuk mendapatkan
kekuasaan dalam masyarakat. Pemikiran ini dapat disimpulkan bahwa hubungan
antara penguasa dan penguasa sangat erat karena saling membutuhkan dan saling
menguntungkan. Karena dengan memiliki uang atau modal yang cukup dapat
memperoleh kekuasaan tersebut, dan kekayaan sebagai salah satu sumber
kekuasaan selain kedudukan dan kepercayaan (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Gramedia – 2008)

Berbagai bukti nyata dapat kita lihat dalam kancah nasional, seperti beberapa
partai yang diketuai oleh pengusaha, contohnya Surya Paloh dengan Nasdem,
OSO dengan Hanura, dan Golkar yang diketuai Airlangga Hartarto.

Bahkan Presiden Indonesia, Joko Widodo, juga merupakan mantan


pengusaha mebel. Dalam kancah internasional dapat dilihat pada sosok Donald
Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, dan contoh sebelumnya Mitt Romney
yang menantang Obama dalam pemilihan presiden pada tahun 2012.

Setiap warga negara memiliki hak politik yang sama yaitu dapat memilih dan
dipilih, juga dilindungi oleh undang-undang, selama yang bersangkutan tidak
pernah melakukan pelanggaran pidana yang membuat hak politiknya dicabut.

Persaingan yang semakin ketat, begitu juga kebebasan berdemokrasi di antara


sekian banyaknya populasi menyebabkan dana modal pemilihan relatif besar.
Tidak dapat dipungkiri, modal kampanye bisa menyentuh angka yang tinggi
tergantung daerah pilih masing-masing calon. Disinilah para pengusaha memiliki
peluang yang lebih besar dalam meraih kemenangan, baik sebagai calon atau
membantu sebagai bagian dari tim sukses.

Para pengusaha yang terjun ke dunia politik memulai karirnya dari jalur yang
berbeda-beda, ada yang memulainya dari HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia) seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan Sandiaga Uno.

Lalu ada juga yang memulainya dari Kadin (Kamar Dagang dan Industri
Indonesia), dan ada juga yang murni pengusaha tanpa pernah menjadi pengurus di
himpunan-himpunan yang berbasis wiraswasta. Banyak wadah bagi para
pengusaha untuk dapat membuktikan kredibilitasnya sebagai pejabat publik, di
luar prestasi kepemimpinan dalam perusahaan.

Keberadaan para pengusaha tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik saat
ini. Sebuah contoh menarik yang saya angkat berasal dari momen yang terjadi
akhir-akhir ini. Sandiaga Uno yang maju menjadi Cawapres Prabowo Subianto,
dan juga pemilihan Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi
– Maruf Amin.

Sempat beredar statement Sandiaga Uno yang menyatakan bahwa dirinya naif
dan tidak menyangka Erick Thohir yang merupakan sahabatnya menjadi ketua
timses lawan politiknya di pilpres nanti. Kembali lagi, dalam politik hal seperti ini
sangatlah lumrah terjadi. Sebagai seorang tokoh, Sandiaga Uno dan Erick Thohir
dapat dikategorikan satu generasi dengan usia yang relative muda, mereka juga
sudah terbukti dalam dunia bisnis, dan juga sama-sama dapat menggaet suara
millennial bagi para capres yang didukungnya.

Keunggulan yang dimiliki para pengusaha adalah modal mereka yang besar,
koneksi dengan investor sebagai sesama pengusaha, serta pengetahuan soal
perdagangan, industri, dan ekonomi yang digeluti.

Dari luar pemerintahan, para pengusaha dapat memberi masukan soal


kebijakan perdagangan juga ekonomi, dan dari dalam pemerintahan dapat dengan
langsung mendorong kebijakan dan memberi kebermanfaatan secara langsung.

Contohnya Susi Pujiastuti, pengusaha yang besar dari Susi Air dan usaha
ekspor hasil-hasil perikanan, yang kemudian menerapkan ilmunya dengan
berbakti pada negara sebagai Menteri Kelautan. Begitu pula Sandiaga Uno yang
menerapkan OK-OCE ketika menjabat Wakil Gubernur DKI, bahkan dari masa
kampanye.

Modal logistik untuk memperlancar kampanye yaitu dalam bentuk


pengalaman sebagai pengusaha serta deretan prestasinya. Ditambah dengan modal
sosial, karena kepiawaiannya memimpin karyawan-karyawan yang jumlahnya
ratusan bahkan ribuan. Sehingga poin kemasyarakatannya dapat ditonjolkan
dengan lapangan kerja serta bentuk-bentuk kontribusi pada masyarakat terlihat
jelas selama menjadi pengusaha.
Akses terhadap pemerintahan dalam berbagai skala juga masuk dalam
pertimbangan, karena jelas para pengusaha membantu perputaran ekonomi di
domisilinya masing-masing.

Realitanya dalam pergesekan politik era reformasi, partai-partai tidak bisa


meninggalkan peran pengusaha yang memperkuat mesin partai politik, dan
menggerakkan roda kendaraan tersebut.

Strategi demi strategi dibuat dengan peran penting yang diberikan pada para
pengusaha, baik dari balik layar, atau sebagai frontman. Menjadi gambaran yang
realistis ketika pengusaha-pengusaha yang diimbangi dengan kompetensi,
kredibilitas, dan modal dapat menempati posisi-posisi strategis dalam dunia
politik saat ini.

Fenomena pengusaha terjun ke politik memang bukanlah hal baru. Namun,


terdapat stigma lama yang menyarankan agar pengusaha tetap fokus menjadi
pengusaha dan jangan turun ke politik. Hal ini mengarahkan para pengusaha
untuk mencari koneksi dan hampir wajib mempunyai koneksi politikus daerah
yang menjabat posisi strategis. Situasi ini sebetulnya berbahaya karena rawan
dimanfaatkan oleh politikus yang licik.

Sehingga dengan munculnya tokoh-tokoh pengusaha yang terjun ke politik,


diharapkan dapat memotong rantai tawar menawar antara pengusaha dan
politikus, dengan asumsi pengusaha yang terjun langsung adalah individu-
individu yang tulus berbakti untuk negara.

Kelihaian dalam menjalankan perusahaan tidak lepas dari faktor politik yang
ada dalam dunia pengusaha, sikut menyikut antar perusahaan, juga strategi untuk
ekspansi perusahaan tidak lepas dari kerjasama politik serta sense  dalam
berpolitik. Walaupun memang memimpin rakyat sipil berbeda dengan memimpin
perusahaan, tetapi bargaining power para pengusaha memang dibutuhkan dalam
sistem demokrasi seperti sekarang.

C. Peran Pengusaha di Balik Partai Politik


Semenjak era reformasi, bursa pemilihan pemimpin melalui jalur partai
politik kian riuh. Ramai tak hanya dari jumlah partai politik yang terus bertambah,
atau dari kader-kader politisi yang berkontestasi, pebisnis pun turut mewarnai
meja pemerintahan. Pengamat Politik UNJ & Direktur Puspol Indonesia Ubedilah
Badrun menjelaskan pasca era reformasi, terutama sejak 2004, dunia politik
mengalami pergeseran dari politik nilai dan politik pragmatis menjadi politik
industrial dan politik pragmatis.

Ketika politik sudah menjadi industri, maka sebuah proses kapitalisasi


antara pemilik modal atau pengusaha akan mendorong kader partai untuk
mengincar setidaknya tiga keuntungan besar. Pertama benefit berupa akses
terhadap kekuasaan. Kedua, adalah terakomodasinya kepentingan bisnis dalam
regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif. Ketiga, adalah keuntungan
kemudahan akses dan kepastian dijalankannya regulasi yang menguntungkan
oknum. Potensi ini menjadi sangat besar mengingat isi Undang-Undang APBN
2018 yang disahkan parlemen dan pemerintah senilai Rp 2.221 triliun. Dana besar
ini dapat diperoleh pemilik modal atau pengusaha yang sekaligus memiliki partai
untuk mengembangkan gurita bisnis mereka.

Mengenai efektifitas dari pebisnis maupun donatur partai politik, dilihat


dari besaran nilai sumbangan dan kontribusi tokoh pada partai politik. Ubedillah
menyatakan pengaruh langsung dari posisi tokoh-tokoh ini dapat mengarahkan
suara ribuan pegawai yang bekerja di bawah bendera perusahaan. Tak lupa, media
masa dapat dijadikan sebagai media kampanye partainya.

D. Penyalahgunaan Kewenangan

Jabatan adalah prasarana yang sangat bagus untuk mendapat kehormatan dan
menjadi kaya secara instant. Itulah semboyan orang-orang Indonesia jenis ini.
Sepanjang tidak ketahuan dan ditangkap KPK. Yang jadi pejabat tapi tidak
melakukan korupsi (secara langsung) untuk jadi kaya pun sebenarnya banyak,
tetapi dengan bekal jabatannya itu seorang pejabat akan menggunakan
kesempatan itu untuk menjadi pengusaha.
Maka selain pejabat dia juga pengusaha. Rangkap. Nah, dengan jabatan di
tangan, dia dijamin akan menjadi pengusaha yang “berhasil” juga. Karena segala
sesuatu akan menjadi mudah. Seperti urusan perizinan, kredit usaha dari bank, dan
sejenisnya. Sekalipun dia tidak menggunakan latar belakangnya sebagai pejabat.
Mau tak mau hal-hal tersebut sedkit-banyak akan terpengaruh terhadap usahanya.

Seorang pengusaha yang sudah sukses sedari awal sebelum menjadi pejabat,
dia relatif tidak butuh lagi memperkaya diri sendiri, maupun orang lain dengan
cara memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya. Meskipun faktor moral dan
etika juga harus berperan penting. Namun demikian tetap saja merupakan suatu
keharusan (harus dibuat dasar hukumnya) bahwa siapa saja tidak boleh
merangkap pejabat dan pengusaha. Bagaimana juga rasanya akan sulit untuk tidak
meniadakan faktor konflik kepentingan di dalamnya. Pengusaha yang memilih
karier sebagai pejabat negara, maka harus serta-merta melepaskan semua jabatan
dan kepemilikannya di semua perusahaannya.

Bagi pejabat bermental koruptif, kalau tidak punya bakat sama sekali jadi
pengusaha, atau malas jadi pengusaha, tetapi tetap mau kaya-raya dengan
memanfaatkan jabatannya, gampang juga. Kongkalikong dengan pengusaha.
Yang dimaksud tentu saja pengusaha hitam. Maka berkolaborasilah antara
penguasa hitam dengan pengusaha hitam. Maka yang terjadi adalah sogok-
menyogok yang semakin lama semakin intens. Sehingga lupa sebenarnya siapa
yang memulai fenomena ini (penyalahgunaan kekuasaan/abuse ofpower).

Kisah tentang pengusaha yang menerobos kekuasaan, baik karena kedekatan,


kolusi, maupun peran ganda,sesungguhnya telah masuk dalam kajian ekonomi
politik sejak dulu. Pembahasan ini pertama kali dilakukan oleh Anne Krueger
pada tahun 1973, yang membuat makalah mandiri dari karya GordonTullock.
Teori yang mengkaji masalah itu dikenal dengan sebutan teori perburuan rente
ekonomi (Theory of Economic Rent-seeking). Teori tersebut menjelaskan
fenomena perilaku pegusaha untuk mendapatkan lisensi khusus, monopoli dan
fasilitas lainnya dari pihak yang berwenang, yang mempunyai kekuasaanatas
bidang tersebut. Dengan lisensi khusus, maka dengan mudah pelaku yang lain
tidak bisa masuk pasar. Karena itu, perilaku pemburu rente ekonomi biasanya
merupakan perilaku anti persaingan atau menghindari persaingan.
BAB III

PENUTUPAN
Kesimpulan

Dalam teori bisnis dan politik tidak ada sesuatu yang gratis. Singkat kata,
kontribusi dan sumbangan dari para penguasa tersebut pasti mengharapkan
imbalan di kemudian hari. Kalaupun kandidat yang dipilihnya tidak terpilih,
mereka akan cenderung merapat pada kubu yang terpilih. Pada prinsipnya,
pengusaha akan menghindari konflik dengan penguasa demi kelangsungan usaha
mereka.

Hubungan pengusaha dan penguasa tumbuh sangat subur di negara-negara


yang menganut paham demokrasi, baik itu di Amerika Serikat bahkan di Inggris --
negara-negara yang notabene menganut konsep demokrasi yang menjadi rujukan
banyak negara. Pola hubungan penguasa dan pengusaha di negara demokrasi yang
sebelumnya bersifat sentralistis dan otoriter akan cenderung mengarah pada
demokrasi yang oligarki. Demokrasi oligarki adalah suatu pola kekuasaan yang
terkonsentrasi hanya pada beberapa orang yang memiliki modal dan kapital yang
besar. Ini bisa dilihat oleh banyaknya pengusaha-pengusaha di Indonesia yang
bergabung di partai politik. Bahkan beberapa di antara mereka yang memiliki
jaringan politik dan bisnis yang besar mampu membentuk partai politik sendiri.
Akibatnya, kepemilikan modal hanya akan terus terkonsentrasi pada 'orang yang
itu-itu saja'. Dalam artian, cabang-cabang usaha dan usaha yang baru terbentuk
hanya dimiliki oleh segelintir orang.

Oleh karena itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini
harus selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan ekonomi yang
dikeluarkan pemerintah. Masyarakat perlu ikut mengkaji, menelaah, dan
mengawasi secara menyeluruh dampak-dampak dari kebijakan tersebut. Kita
harus membaca secara cerdas sepak terjang dan wacana yang digulirkan penguasa
dan pengusaha berkenaan dengan sumber-sumber ekonomi Indonesia. Kita semua
harus ingat bahwa semua kekayaan yang ada di bumi Indonesia, termasuk
kekayaan ekonomi, adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik penguasa
atau pelaku ekonomi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

https://nasional.kontan.co.id/news/para-pengusaha-di-balik-partai-politik

https://news.detik.com/kolom/2433386/lingkaran-setan-korupsi-politik

https://www.kompasiana.com/danielht/54fd7293a33311ed2050fe62/penguasa-dan-
pengusaha-cara-mereka-memperoleh-kekayaannya

https://www.republika.co.id/berita/koran/podium/15/04/16/nmw94f23-saat-pengusaha-
berpolitik

Anda mungkin juga menyukai