PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada masa Orde Baru lalu, peran pengusaha hanya sebatas supporting system
belaka, dari jejaring politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan pemerintah pada
waktu itu dihadapkan pada permasalahan kekurangan modal sehingga pemerintah
memberikan insentif kepada pemilik capital swasta atau pengusaha berupa
kepercayaan mau bekerjasama dengan pemerintah (Barr, 1990). Peran negara
pada masa itu angat penting dalam menumbuhkan borjuasi seperti yang
dikemukakan oleh Barington Moore diatas. Pada masa itu modal, kontrak,
konsesi, dan kredit dari negara diberikan secara langsung kepada pengusaha,
namun pada kesempatan yang sama pengusaha-pengusaha swasta itu telah menja-
lankan atau memanfaatkannya. Pengusaha-pengusaha jenis ini dengan dukungan
dibawah proteksi rezim pemerintah; mereka mempunyai patron dalam kelompok
kekuasaan politik-birokrasi. Mereka diatur dibawah aparat birokrasi dan biasanya
sangat tergantung dengan modal asing. oleh sebab itu mereka hanya sebagai
pemain pendukung dibelakang pemerintah.
Dewasa ini kesempatan itu telah masuk ke wilayah politik dengan terbuka
lebar. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan, dengan
daya pikat finansial yang besar, nominasi bisa dibeli agar mereka dicalonkan
sebagai anggota legislatif (Nuryanti, 2005). Berubahnya konstelasi politik dan
ekonomi pasca-Soeharto membuat kekuasaan tersebar kemanamana serta
pengaruh politiknya yang luas. Akibatnya, upaya untuk mendapatkan kemudahan
dan proteksi politik dalam berbisnis makin lebar dan berbiaya tinggi. Semakin
banyak kelompok pengusaha mendekati pusat kekuasaan dengan cara menyuap,
sehingga menimbulkan biaya transaksi keuntungan pemburuan rente dalam
kekuasaan.
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan antara negara dengan pengusaha untuk memperoleh
perlindungan pribadi yang kita kenal dengan ikatan patrimonial sudah lekat untuk
mengetahui corak kelompok pengusaha Indonesia. Mereka memiliki jaringan
yang erat pada hubungan pribadi dengan penguasa. Hubungan patron-klien yaitu
penguasa sebagai patron dan klien adalah pengusaha memiliki hubungan
simbiosis mutualisme. Patron sebagai pemegang kekuasaan memberikan konsesi-
konsesi berupa perlindungan usaha, lisensi ekspor dan impor, pemberian proyek-
proyek pengadaan dan kemudahan lainnya. Sedangkan pengusaha sebagai klien
memberikan dukungan ekonomi dan politik kepada penguasa.
Hubungan penguasa dan pengusaha pada masa orde baru layaknya antara
hubungan ”Patron-klien”, dan negara cenderung bersifat sebagai Comprador
State. Pengusaha memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa untuk
mendapatkan fasilitas dan kemudahan dalam mengembangkan usahanya. Kondisi
ini lama-kelamaan semakin mengembangkan hubungan yang bersifat kolutif dan
mengakibatkan pula timbulnya korupsi di negara ini. Pola hubungan yang yang
terjadi pada masa orde baru ini tentu dinilai tidak sehat dalam dunia bisnis, serta
dapat pula menodai dunia bisnis di negeri ini.
Di Eropa Barat dan Amerika Serikat, pengusaha yang masuk politik justru
ikut dalam disiplin partai politik dan tidak bisa mencampurbaurkan jabatan publik
dengan bisnis. ”Di sana undang-undang (UU) insider trading, UU antitrust, yang
mencegah kolusi pengusaha dan penguasa diberlakukan. Semakin dalam penetrasi
kapital, negara makin ketat menutup naluri pengusaha.
Di era demokrasi saat ini, banyak sekali pengusaha yang terjun dalam dunia
politik, baik dalam kancah nasional maupun internasional. Di dalam negeri,
banyak pengusaha yang menempati posisi strategis dalam kepengurusan partai,
atau maju dalam kontestasi demokrasi baik sebagai legislatif atau eksekutif,dari
jabatan tertinggi dalam legislatif sebagai Ketua DPR atau tertinggi dalam
eksekutif sebagai Presiden.
Berbagai bukti nyata dapat kita lihat dalam kancah nasional, seperti beberapa
partai yang diketuai oleh pengusaha, contohnya Surya Paloh dengan Nasdem,
OSO dengan Hanura, dan Golkar yang diketuai Airlangga Hartarto.
Setiap warga negara memiliki hak politik yang sama yaitu dapat memilih dan
dipilih, juga dilindungi oleh undang-undang, selama yang bersangkutan tidak
pernah melakukan pelanggaran pidana yang membuat hak politiknya dicabut.
Para pengusaha yang terjun ke dunia politik memulai karirnya dari jalur yang
berbeda-beda, ada yang memulainya dari HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia) seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan Sandiaga Uno.
Lalu ada juga yang memulainya dari Kadin (Kamar Dagang dan Industri
Indonesia), dan ada juga yang murni pengusaha tanpa pernah menjadi pengurus di
himpunan-himpunan yang berbasis wiraswasta. Banyak wadah bagi para
pengusaha untuk dapat membuktikan kredibilitasnya sebagai pejabat publik, di
luar prestasi kepemimpinan dalam perusahaan.
Keberadaan para pengusaha tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik saat
ini. Sebuah contoh menarik yang saya angkat berasal dari momen yang terjadi
akhir-akhir ini. Sandiaga Uno yang maju menjadi Cawapres Prabowo Subianto,
dan juga pemilihan Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi
– Maruf Amin.
Sempat beredar statement Sandiaga Uno yang menyatakan bahwa dirinya naif
dan tidak menyangka Erick Thohir yang merupakan sahabatnya menjadi ketua
timses lawan politiknya di pilpres nanti. Kembali lagi, dalam politik hal seperti ini
sangatlah lumrah terjadi. Sebagai seorang tokoh, Sandiaga Uno dan Erick Thohir
dapat dikategorikan satu generasi dengan usia yang relative muda, mereka juga
sudah terbukti dalam dunia bisnis, dan juga sama-sama dapat menggaet suara
millennial bagi para capres yang didukungnya.
Keunggulan yang dimiliki para pengusaha adalah modal mereka yang besar,
koneksi dengan investor sebagai sesama pengusaha, serta pengetahuan soal
perdagangan, industri, dan ekonomi yang digeluti.
Contohnya Susi Pujiastuti, pengusaha yang besar dari Susi Air dan usaha
ekspor hasil-hasil perikanan, yang kemudian menerapkan ilmunya dengan
berbakti pada negara sebagai Menteri Kelautan. Begitu pula Sandiaga Uno yang
menerapkan OK-OCE ketika menjabat Wakil Gubernur DKI, bahkan dari masa
kampanye.
Strategi demi strategi dibuat dengan peran penting yang diberikan pada para
pengusaha, baik dari balik layar, atau sebagai frontman. Menjadi gambaran yang
realistis ketika pengusaha-pengusaha yang diimbangi dengan kompetensi,
kredibilitas, dan modal dapat menempati posisi-posisi strategis dalam dunia
politik saat ini.
Kelihaian dalam menjalankan perusahaan tidak lepas dari faktor politik yang
ada dalam dunia pengusaha, sikut menyikut antar perusahaan, juga strategi untuk
ekspansi perusahaan tidak lepas dari kerjasama politik serta sense dalam
berpolitik. Walaupun memang memimpin rakyat sipil berbeda dengan memimpin
perusahaan, tetapi bargaining power para pengusaha memang dibutuhkan dalam
sistem demokrasi seperti sekarang.
D. Penyalahgunaan Kewenangan
Jabatan adalah prasarana yang sangat bagus untuk mendapat kehormatan dan
menjadi kaya secara instant. Itulah semboyan orang-orang Indonesia jenis ini.
Sepanjang tidak ketahuan dan ditangkap KPK. Yang jadi pejabat tapi tidak
melakukan korupsi (secara langsung) untuk jadi kaya pun sebenarnya banyak,
tetapi dengan bekal jabatannya itu seorang pejabat akan menggunakan
kesempatan itu untuk menjadi pengusaha.
Maka selain pejabat dia juga pengusaha. Rangkap. Nah, dengan jabatan di
tangan, dia dijamin akan menjadi pengusaha yang “berhasil” juga. Karena segala
sesuatu akan menjadi mudah. Seperti urusan perizinan, kredit usaha dari bank, dan
sejenisnya. Sekalipun dia tidak menggunakan latar belakangnya sebagai pejabat.
Mau tak mau hal-hal tersebut sedkit-banyak akan terpengaruh terhadap usahanya.
Seorang pengusaha yang sudah sukses sedari awal sebelum menjadi pejabat,
dia relatif tidak butuh lagi memperkaya diri sendiri, maupun orang lain dengan
cara memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya. Meskipun faktor moral dan
etika juga harus berperan penting. Namun demikian tetap saja merupakan suatu
keharusan (harus dibuat dasar hukumnya) bahwa siapa saja tidak boleh
merangkap pejabat dan pengusaha. Bagaimana juga rasanya akan sulit untuk tidak
meniadakan faktor konflik kepentingan di dalamnya. Pengusaha yang memilih
karier sebagai pejabat negara, maka harus serta-merta melepaskan semua jabatan
dan kepemilikannya di semua perusahaannya.
Bagi pejabat bermental koruptif, kalau tidak punya bakat sama sekali jadi
pengusaha, atau malas jadi pengusaha, tetapi tetap mau kaya-raya dengan
memanfaatkan jabatannya, gampang juga. Kongkalikong dengan pengusaha.
Yang dimaksud tentu saja pengusaha hitam. Maka berkolaborasilah antara
penguasa hitam dengan pengusaha hitam. Maka yang terjadi adalah sogok-
menyogok yang semakin lama semakin intens. Sehingga lupa sebenarnya siapa
yang memulai fenomena ini (penyalahgunaan kekuasaan/abuse ofpower).
PENUTUPAN
Kesimpulan
Dalam teori bisnis dan politik tidak ada sesuatu yang gratis. Singkat kata,
kontribusi dan sumbangan dari para penguasa tersebut pasti mengharapkan
imbalan di kemudian hari. Kalaupun kandidat yang dipilihnya tidak terpilih,
mereka akan cenderung merapat pada kubu yang terpilih. Pada prinsipnya,
pengusaha akan menghindari konflik dengan penguasa demi kelangsungan usaha
mereka.
Oleh karena itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini
harus selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk kebijakan ekonomi yang
dikeluarkan pemerintah. Masyarakat perlu ikut mengkaji, menelaah, dan
mengawasi secara menyeluruh dampak-dampak dari kebijakan tersebut. Kita
harus membaca secara cerdas sepak terjang dan wacana yang digulirkan penguasa
dan pengusaha berkenaan dengan sumber-sumber ekonomi Indonesia. Kita semua
harus ingat bahwa semua kekayaan yang ada di bumi Indonesia, termasuk
kekayaan ekonomi, adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik penguasa
atau pelaku ekonomi tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
https://nasional.kontan.co.id/news/para-pengusaha-di-balik-partai-politik
https://news.detik.com/kolom/2433386/lingkaran-setan-korupsi-politik
https://www.kompasiana.com/danielht/54fd7293a33311ed2050fe62/penguasa-dan-
pengusaha-cara-mereka-memperoleh-kekayaannya
https://www.republika.co.id/berita/koran/podium/15/04/16/nmw94f23-saat-pengusaha-
berpolitik