Anda di halaman 1dari 5

Nama : Handriyo Iqbal Brillianto

NIM : 14020120130072

Mata Kuliah : Ekonomi Politik dan Kebijakan

Dosen Pembimbing : Dr. Budi Puspo Priyadi, M.Hum

BISNIS POLITIK DALAM DEMOKRASI DI INDONESIA

Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang menerapkan demokrasi dalam
kehidupan politiknya. Demokrasi Pancasila sebagai nama resmi demokrsi yang berlaku di
Indonesia sudah menghadapi berbagai macam tantangan dari zaman ke zaman. Pada masa
orde lama dan orde baru, demokrasi di Indonesia mengalami cobaan berat yang ditandai
dengan adanya kewenangan yang luar biasa kuat dari presiden yang berkuasa. Pada 5 Maret
1960, Presiden Soekarno yang dianggap masyarakat sebagai salah satu founding father
tindakan kontroversial dengan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil
Pemilihan Umum (Pemilu) pertama tahun 1955, setelah sebelumnya yaitu pada 5 Juli 1959
membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden. Keputusan itu dilatarbelakangi bahwa
DPR dan Konstituante yang terpilih dianggap gagal menjalankan tugasnya. Pembubaran
tersebut dianggap sebagian orang sebagai langkah dalam penyelamatan negara, namun hal itu
membuat kekuasaan negara menjadi terpersonifikasi dalam sosok Presiden Soekarno karena
keputusan tersebut beriringan dengan munculnya Demokrasi Terpimpin sebagai implikasi
dari pemberlakuan kembali UUD 1945. Keadaan orde baru tak jauh berbeda dengan era
sebelumnya. Presiden Soeharto bisa dikatakan lebih keras dalam menggunakan
kekuasaannya. Sifat otoriter begitu terasa dengan adanya politisasi Pegawai Negeri Sipil
(PNS) saat itu untuk kemenangan Presiden Soeharto dalam setiap pemilu yang digelar. Pasca
reformasi tahun 1998, kondisi demokrasi tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Muncul
masalah baru berupa patronase dan klientelisme yang berkaitan erat dengan Pemilu.

Patronase merupakan pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi
lainnya (seperti pekerjaan, jabatan di suatu organisasi atau pemerintahan atau kontrak proyek)
yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan untuk individu
(misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok/komunitas (misalnya, lapangan
sepak bola baru untuk para pemuda di sebuah kampung). Fenomena patronase sudah menjadi
rahasia umum dalam kehidupan masyarakat Indonesia dimana marak terjadi ketika menjelang
Pemilu baik tingkat nasional maupun daerah. Salah satu contoh praktik patronase adalah
politik uang. Jika konsep patronase didefinisikan sebagai relasi dua arah ketika seorang yang
memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan
sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan pada orang lain yang
memiliki status sosial ekonomi yang lebih rendah (klien) yang memberikan dukungan dan
bantuan kepada patron maka klientelisme adalah jaringan antara orang-orang yang memiliki
ikatan sosial, ekonomi dan politik yang di dalamnya mengandung elemen iterasi, status
inequality dan resiprokal. Praktik klientelisme erat kaitannya dengan maraknya tindakan
korupsi oleh pejabat publik yang terjadi di Indonesia.

Karakter yang mencolok dari demokrasi Indonesia ialah bahwa para pemenangnya
memperoleh kekuasaan, kedudukan prestisius, dan kekayaan dari keterlibatan mereka dalam
dunia politik. Ini menghadirkan suatu kecemasan tentang nasib sebenarnya dari demokrasi
yang tengah berjalan saat ini. Adanya praktik kotor berupa politik uang yang mau tidak mau
harus dilakukan oleh politisi menghadirkan keprihatinan baik dari masyarakat maupun
politisi sendiri. Para politisi seringkali mengeluh tentang biaya, ketidakpastian, kecacatan
moral, dan efek yang ditimbulkan dari adanya politik uang. Disaat menjadi pejabat publik
seorang politisi memiliki dua pilihan, yaitu bersikap idealis dengan berpegang teguh pada
prosedur dan aturan yang ada atau bersikap toleran dengan melanggar prosedur dan aturan itu
agar mendapatkan dana gelap. Kondisi tersebut bisa terjadi lantaran saat mengikuti Pemilu,
politisi tersebut disokong secara finansial oleh seseorang atau sekelompok orang. Penyokong
atau klien inilah yang biasa disebut oleh masyarakat saat ini sebagai oligarki jika
pengaruhnya terlalu kuat dalam menentukan arah kebijakan. Sokongan finansial tersebut
berguna untuk membayar mahar politik dan modal kampanye. Para politisi Indonesia menjadi
terjebak dalam pola pertukaran klientelistik, dimana ada tekanan dari klien mereka untuk
mengembalikan modal mereka baik dalam bentuk uang tunai atau manfaat lain yang bisa
diberikan ketika menempati jabatan tersebut. Jika mereka mengabaikan tuntutan dari para
klien, para politisi atau pejabat publik berada pada ancaman tidak didukung lagi di Pemilu
selanjutnya atau lebih buruknya posisi mereka dapat diguncang melalui demonstrasi
settingan para klien tersebut.

Demokrasi di Indonesia seakan menjadi komoditas bisnis yang sangat


menguntungkan. Maka tak heran jika ada suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat
atau pemerintah daerah yang kerap menguntungkan segelintir orang saja. Kasus terbaru dapat
dilihat belum lama ini, yaitu pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja. Banyak orang
beranggapan bahwa disahkannya Undang-undang tersebut sarat akan kepentingan oligarki
atau klien politik. Dalam prosesnya, oligarki atau klien politik akan menitipkan agenda
mereka melalui parlemen agar dibahas melalui tahap formulasi yang sedemikian rupa
sehingga akhirnya dapat disahkan. Dalam hal ini tentunya sudah ada kesepakatan antara
pihak parlemen dan eksekutif dalam mengerjakan agenda titipan tersebut. Hasil akhirnya
akan beragam, bisa berupa dana yang dialirkan kepada klien politik, proyek, izin eksplorasi
sumber, ataupun izin mendirikan usaha dengan izin yang dipermudah. Akibatnya para pejabat
publik harus korupsi karena tuntutan itu mengingat gaji mereka sangat tidak cukup untuk
membayar tuntutan itu. Dalam wawancara yang viral sekaligus kontroversial salah satu
bupati di Jawa Tengah menegaskan hal itu di depan media dan masyarakat. Kasus korupsi
KTP Elektronik (e-KTP) juga merupakan implikasi dari adanya praktik klientelisme.
Indikasinya ialah adanya kolusi antara pihak perusahaan dengan anggota dewan. Implikasi
lain dapat ditemukan di berbagai daerah dimana sebuah perusahaan dapat berdiri tanpa izin
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau suatu perusahaan yang tetap berdiri
walaupun jelas-jelas mencemari lingkungan sekitarnya.

Kondisi pemerintahan Indonesia yang bisa dibilang tidak terlalu berdaulat karena
adanya klien politik yang mengendalikan para aktor politik kerap menimbulkan masalah
terkait keadilan sosial dan upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah. Ketika
ada sengketa antara perusahaan dan masyarakat di suatu daerah, pemerintah baik pusat atau
daerah cenderung tidak akan bisa berbuat banyak. Contoh kasus adalah Perampasan Tanah di
Kabupaten Karawang Tahun 2014. Jika pemerintah berpihak pada masyarakat maka
perusahaan tersebut bisa membayar sekelompok orang untuk melakukan tindakan anarkis
atau demonstrasi sehingga mengganggu stabilitas keamanan. Dalam permasalahan upah
buruh juga demikian, dimana pemerintah tidam bisa terlalu banyak menuntut ke perusahaan.
Keadaan sulit ini berimbas ketiadaan perkembangan yang signifikan pada taraf hidup
masyarakat. Kemudian hal ini mendorong masyarakat untuk menanyakan pertanyaan
fundamental tentang pengaruh investasi terhadap kemakmuran mereka. Sehingga dengan
demikian adanya permasalahan dalam berdemokrasi di Indonesia membawa efek domino
yang merugikan bagi pembangunan yang tengah dilakukan.

Selain mengganggu pembangunan yang terjadi, yang tidak kalah penting ialah tidak
kunjung hilangnya mental feodal para pejabat di Indonesia. Pejabat publik yang telah
mengerahkan sedemikian rupa sumber daya yang dimilikinya sampai harus menerima
sokongan dari para klien cenderung akan menuntut untuk dilayani saat dirinya memimpin.
Dalam pikiran mereka mungkin beranggapan bahwa jabatan pestisius yang telah didapatkan
ialah hasil kerja keras dan kualtas diri mereka. Mereka yang dibutakan jabatan tidak akan
sadar bahwa kewajiban sesungguhnya ialah melayani masyarakat sebagaimana amanah
tersebut dipasrahkan terhadap mereka melalui adanya Pemilu. Adanya mental feodal akan
sangat mengganggu proses pelayanan publik dan pembangunan yang tengah diupayakan.
Akan ada banyak hal yang dipolitisasi sehingga terlihat baik-baik saja, padahal keadaan
sebenarnya tidak demikian. Masyarakat tidak akan memiliki kesempatan untuk mengatakan
fakta sebenarnya sebagai salah satu dampak adanya politisasi di berbagai sektor.

Demokrasi Indonesia yang saat ini sedang tidak sehat menimbulkan efek domino
dalam berbagai aspek kehidupan. Dimulai dengan hilangnya moral dan independensi para
pejabat publik karena adanya patronase dan klientelisme. Idealisme mereka seakan hancur
dengan berpindahnya fokus dari melayani masyarakat kepada kepentingan mengembalikan
sumber daya finansial dan memberikan manfaat sesuai jabatan terhadap para klien politiknya.
Akibatnya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak dapat dihindari di berbagai
lini pemerintahan. Hukum juga tidak dapat berjalan efektif ketika berhadapan dengan
kepentingan para klien politik yang tidak mungkin dilawan oleh para pejabat. Regulasi yang
ketat seakan hanya berlaku jika dihadapkan dengan masyarakat biasa dimana harusnya
menjadi sarana untuk memudahkan masyarakat dalam mencari jalan kesejahteraan. Dampak
selanjutnya ialah semakin parahnya ketimpangan yang terjadi sebagai implikasi
pembangunan kurang berjalan efektif. Pemerintah tidak akan bisa berbuat banyak ketika
berhadapan dengan perusahaan besar, apalagi jika perusahaan tersebut berhubungan dengan
klien politiknya. Masyarakat biasa hampir tidak memiliki daya tawar dengan kondisi
demokrasi Indonesia yang sedemikian rusak. Adanya lelucon bahwa “Di Indonesia,
pemenang Pemilu dapat diketahui sebelum proses pemungutan suara” bukanlah omong
kosong belaka. Sudah seharusnya hal ini menjadi perhatian bersama baik dari pemerintah
maupun masyarakat agar berusaha mencari solusi konkret yang kemudian segera
ditindaklanjuti. Harus ada komitmen bersama yang jelas dan kuat untuk menggapai solusi
serta implementasinya nanti. Untuk saat ini, masalah demokrasi di Indonesia harus menjadi
renungan bersama.
DAFTAR PUSTAKA

Aspinall, Edward; Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale Pemilu, Klientelisme, dan
Negara di Indonesia.

Ramadhan, M. N., Daniel, J., & Oley, B. (2019). Klientelisme sebagai Perilaku Koruptif dan
Demokrasi Banal. Jurnal Antikorupsi Integritas, 5(1), 169–180.
https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/379

Purnaweni, H. (2004). DEMOKRASI INDONESIA : Dari Masa Ke Masa. Jurnal


Administrasi Publik, 3(2).

Rofifah, D. (2020). PATRONASE, KLIENTELISME DAN POLITIK IDENTITAS DALAM


PERHELATAN DEMOKRASI AKAR RUMPUT (Studi Tentang Pemilihan Kepala
Desa Pada Masyarakat Multietnis di Sulawesi dan NTB). Paper Knowledge . Toward a
Media History of Documents, 12–26.

Risdiarto, D. (2018). Legalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruhnya bagi
Perkembangan Demokrasi di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, 15(1), 59–68.

Ananta, D. D. (2017). Politik Oligarki dan Perampasan Tanah di Indonesia: Kasus


Perampasan Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2014. Jurnal Politik, 2(1), 101.
https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.83

5 Maret 1960: Presiden Sukarno Bubarkan DPR Hasil Pemilu Pertama - News
Liputan6.com. (n.d.). Retrieved October 8, 2021, from
https://www.liputan6.com/news/read/4498242/5-maret-1960-presiden-sukarno-
bubarkan-dpr-hasil-pemilu-pertama

Anda mungkin juga menyukai