NPM : 2201020021
Praktik demokrasi di alam keterbukaan ini memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk
membicarakan dan melibatkan diri dalam persoalan demokrasi khususnya dalam level lokal.
Membicarakan mengenai relasi bisnis dengan politik, penguasa dan pengusaha, terjadi pertukaran sumber
daya yang saling menguntungkan antara dua peran ini. Sebagaimana kita ketahui, Kalimantan Selatan
menjadi menjadi salah satu provinsi yang menghasilkan hasil tambang terbesar kedua dan sumber daya
alamnya menjadi andalan pendapatan asli daerah dan untuk mengedepankan sumber-sumber ekonomi
untuk membiayai pembangunan. Tambang batu bara menjadi salah satu political marketing dan menjadi
satu instrumen persekongkolan para aktor bisnis dan juga politik hingga terjadi transaksi politik dimana
para pengusaha terlibat menjadi cukong pilkada. Dengan demikian, uang menjadi faktor utama bagi
keterpilihan seseorang menjadi kepala suatu daerah maupun menjadi anggota legislatif. Dengan biaya
tinggi (high cost) tersebut, masing masing orang yang ingin ataupun cakap untuk dicalonkan menjadi
seorang kepala daerah maupun anggota legislastif mengalami kesulitan untuk mencapai titik tersebut.
Dibutuhkan pula strategi yang mumpuni baik pendanaan, basis yang akan diarahkan sehingga
elektabilitasnya di masyarakat diadu. Dengan pendanaan yang bagus, seseorang yang bahkan tidak
mendapat tempat dan kurang terkenal dikalangan masyarakat luas, dapat ditempatkan di tempat yang
membuat pendekatan konstituen lebih mudah. Betapa berpengaruhnya peran seorang cukong dalam
dinamika pasar gelap politik telah dibuktikan dengan banyaknya individu yang kurang dikenal
masyarakat luas dapat menduduki ‘kursi’ anggota legislatif. Apa yang dicari cukong sebenarnya? Untung
dari segala upaya keterlibatan dalam pendanaan suatu calon legislatif ? Sebagian besar adalah
konektivitas. Dengan terpilihnya sang anggota, dia akan mempengaruhi kebijakan seperti perda,
pengajuan sebuah perizinan, dan banyak lagi kekuatan terselubung dibaliknya. Dengan adanya kolosi,
persaingan antar pengusaha dapat tergeser dan ketentuan aturan dapat sedikit demi sedikit dirubah dan
dilonggarkan. Begitupun timbal balik untuk sang calon sendiri, khususnya yang tidak mendapat tempat di
masyarakat luas menjadi dikenal dan meraih suatu popularitas. Hal itu merupakan suatu simbiosis
mutualisme yang akan memantapkan pro oligarki. Bagaimana mengurangi praktik gelap semacam ini di
era demokrasi saat ini? Semua tergantung pada kemandirian partai politik tersebut dalam melakukan
seleksi. Jika para pelaku partai politik tersebut memiliki suatu kekuatan mental yang tidak tergoyahkan,
maka hal tersebut dapat terkendalikan. Ini menjadi salah satu sisi gelap praktik demokrasi yang menjadi
perusak di Indonesia yang hanya peduli dengan orang yang memiliki duit banyak namun otak tipis. Pun
mengenai “Pemerintahan Bayangan” yang menguasai panggung demokrasi dan mengatur para calon
kepala daerah dan anggota legislatif, hal ini sangat disayangkan mengingat pemerintahan bayangan
merupakan pemerintahan yang berada di luar sistem dan mengatur segala jalannya pemerintahan di balik
layar. Jika pengaruh kelompok pemerintah bayangan ini mempengaruhi visi dan misi yang diusung oleh
kandidat terpilih, maka jelas akan membawa dampak yang positif dalam tatanan kelola pemerintahan.
Namun jika sebaliknya, hal itu tentu akan membawa dampak yang negatif bagi tatanan pemerintahan
maupun hak hak masyarakat terkait. Kekuatan civil society dan media massa yang mampu memberi tafsir
kritis senantiasa dibutuhkan untuk mencegah kristalisasi pasar gelap dalam panggung politik negeri.
Masyarakat harus terus mendapat pencerahan dari kalangan kritis guna agar tidak mudah terpesona dalam
aneka iklan yang dipastikan akan semakin mengepung menjelang perhelatan pemilu.