Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MONEY POLITIC DALAM PRAKTEK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN


UMUM DI INDONESIA

OLEH :

1. Lessy Novrianti
2. Nadya Ganis Syahfitri
3. R.A Dwi Putri
Guru Pembimbing

: Nurhayana, S.pd. MM.

KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat serta bimbingan
yang diberikan-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah MONEY POLITIC DALAM
PRAKTEK PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini.

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai Money Politics.
Makalah Money Politic Dalam Praktek Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bagaikan gading yang tak retak, Penulis menyadari dalam pebuatan makalah ini memiliki
banyak kekurangan dalam penulisan maupun penampilannya. Maka dari itu Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dalam pembuatan makalah
selanjutnya bisa lebih baik dan bermanfaat.

Palembang, 23 Oktober 2014

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL...............................................................................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................................
MATERI :
BAB I .............................................................................................................................
PENDAHULUAN....................................................................................................
1.1. Latar Belakang.....................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................
1.3. Tujuan Pnulisan......................................................................................
BAB II ...............................................................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................
BAB III ..............................................................................................................................
PEMBAHASAN......................................................................................................
BAB IV .............................................................................................................................
KESIMPULAN........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ ...

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengertian Money Politics, ada beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya
mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual
beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik
pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada
kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik
yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak
akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.
Konsekwensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang akan
terjerat undang-undang anti suap.
Perpolitikan lokal selalu melahirkan dinamika. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai
instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi
di masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol. Sebut saja
masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan kelompok ini kepada
parpol. Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai
pemimpin. Tentunya, figur yang bisa membawa perubahan.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janjijanji politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin
mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat Lembaga
Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang komitmen pertanggungjawaban parpol
terhadap konstituennya masih sangat minim. Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak
respek terhadap parpol.
Dengan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin memberikan efek
negatif bagi para elit-elit dengan menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi
kekuasaan semata. Dan sebaliknya adalah sangat menggiurkan juga bagi masyarakat meskipun
sesaat, karena itu juga masyarakat merasa berhutang budi pada calon walikota yang
memberikan uang tersebut.
Dengan cara Money Politics hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat melakukan
kampanye dan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat
perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi sehingga mereka
tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena
kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korup. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan
terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat
perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional.

Panwas secara bertingkat dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan juga saling
mengawasi. Panwas pusat dapat menegur dan menghentikan Panwas provinsi. Demikian pula
dari tingkat provinsi kepada kabupaten/kota atau Panwas kabupaten/kota kepada Panwas tingkat
kecamatan.
Singkatnya, penyelenggara pemilu harus siap karena pemilihan presiden mendatang
menampilkan perubahan kultur politik dari partai oriented ke kandidat oriented. Sementara
dengan kondisi yang ada, kandidat presiden harus mampu mendanai partai sebagai imbal balik
pencalonan. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang dari
berbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan masyarakat.
B.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan bahwa makalah ini mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana Money politics dalam Pemilu?
2. Apakah Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan
Kepala Daerah dan Pemilihan Umum?
3. Apa dampak dari Praktik Money politics?
4. Kenapa Money Politics masih menjadi ancaman?
5. Bagaimana cara melawan Praktik Money Politics?
C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang
1.
2.
3.
4.
5.

Money Politics dalam pemilu


Pengaruh Money Politics terhadap partisipasi politik masyarakat dalam PILKADA
Dampak Money Politics
Alasan Money Politics masih menjadi ancaman
Cara melawan praktik Money Politics

BAB II
PEMBAHASAN
A. Money Politics dalam Pemilu
Praktik dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang
dianggap politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada
para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b) pemberian sumbangan dari
konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi
yang ilegal, c) penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan atau
mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS atau
penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain.[1]
Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua
tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa
kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama
mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah setelah pemungutan,
yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang tersebut. Sasarannya adalah
kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang
untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.
Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang
dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur
keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih.
Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang
telah memberikan uang atau mereka berkhianat. Karena dalam masyarakat telah berkembang
pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi
ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan
mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan
dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelaku
Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan. Dengan demikian para pengkhianat
sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap merajalela
niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar.
Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh
lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktik Money Politics adalah pihak pemberi,
karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai.
Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk

memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak
penyumbangnya, kelompoknya daripada interest public.
Bagaimanapun juga Money Politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa,
walaupun secara ekonomisdalam jangka pendekdapat sedikit memberikan bantuan kepada
rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat ekonomis
harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya demokratisasi dan pembentukan
moralitas bangsa?
Demoralisasi yang diakibatkan oleh Money Politics akan sangat berbahaya baik dipandang dari
sisi deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi). Karena sifatnya yang destruktif,
yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan tertentu, atau
mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik kebijakannya tidak lagi dapat
dipertanggungjawabkan untuk kepentingan rakyat.
B. Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala
Daerah dan Pemilihan Umum
Dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya
perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta demokrasi yang
berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan
Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam norma standar
demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya
didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan
publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang, satu
suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik diberikan atas pertimbangan
uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.[2]
Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan
Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota
terdapat beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat
tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada Ring Dalam
para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli suara juga berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan
tingkat ekonomi masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin
harga satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk daerah yang
sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu suara sangat variatif berkiasar
antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. [3]
Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan.
Dalam permainan politik uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim
suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini
dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat
sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang
hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak
dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih.

Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi
bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari
kelompok yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akan pekerjaan yang
dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah. Pada semua
tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti
tentang adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk mencari
keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara pesta demokrasi tersebut.
Maka dapat dijadikan bahan untuk membatalkan pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah
peraturan pemerintah Nomor 151 tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus
menghadapi masa uji publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh untuk
menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti adanya praktek politik uang
(Money Politics). Bukankah politik uang (Money Politics) dapat dikategorikan sebagai suatu
tindak pidana suap.
Di samping mempelajari secara hati-hati dan seksama, calon kepala daerah tidak pula
sembarangan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas guna dalam memperoleh suara
dalam pemilihan nanti. Dalam praktek politik uang (Money Politics) dikenal beberapa tahapan
dana yang dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal, uang untuk fraksi
hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per orang pemilih. Pada proses
pemilihan, masing-masin bakal calon melakukan pendekatan kepada para anggota dewan, guna
mencari dukungan bagi mereka untuk mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah
(PILKADA). Bagi mereka yang terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics) mereka
juga menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon yang paham betul
dengan situasi lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi masa perkenalan telah
menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi istilah uang pangkal. Bagi sebagian
kandidat memberikan uang dalam jumlah besar untuk suatu pertarungan yang belum pasti
mereka menangkan merupakan suatu hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu
besar resikonya. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi
kesepakatan untuk memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati
dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila kelak terpilih
akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.[4]
Memang pola menggunakan uang pangkal ini juga riskan apabila ditinjau dari sisi kepastian
bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada si pemberi uang pangkal. **Dalam salah satu
kasus yang saya ketahui dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10 juta disertai dengan
janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila kelak terpilih. Oleh anggota DPRD
bersangkutan ternyata uang pangkal ini dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain
memberikan dana secara kontan tiga kali lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh si
pemberi uang pangkal pertama berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang
diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma karena dana yang lebih
besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala
daerah yang lain.[5] Dalam pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak
sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL (Jujur dan Adil).
Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai asas ini pada awal akan dimasukkan asas
ini dalam asas Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia, antara lain:

1. Perlunya atau tidak asas jurdil ini dimasukan dalam perundang-undangan sebagai asas
resmi disamping asas LUBER.
2. Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan bahwa asas jurdil ini merupakan sesuatu
yang benar-benar diterapkan.
Melihat pengertian asas Jurdil ini disatu pihak dan asas Luber pihak lain, keduanya memiliki
pengertian yang berbeda, namun sangat erat kaitannya. Dalam pembahasan ini maka
sewajarnyalah sebuah Pemilu harus menggunakan asas JURDIL dan LUBER, guna terciptanya
sebuah demokrasi serta pesta demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan
juga sesuai dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek
KKN.
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER)
hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem
yang tidak akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus menerus
terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses masing-masing calon dalam
pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk
memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan
Umum). Walaupun adanya partai politik yang berasaskan Islam akan tetapi praktek Money
Politics ini tetap ada walau dikemas dalam agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga
partai politik yang memang benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics).
Serta merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi
dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat
akan tetapi kedaulatan berada ditangan uang.
Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah pemilik uang, baik dari dalam negeri maupun
luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di tengah gelombang demokratisasi yang gencar
belakangan ini, maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya penetrasi politik melalui
uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistem Money Politics akan terus terjadi kejadian
yang paling umum dalam praktek politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara
menjelang hari pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada para
anggota DPRD.
Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui perantara orang ketiga. Pada
saat inilah transaksi dilakukan baik dengan memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji
atau pemberian atas pemberian. Ada hal yang menarik bahwa umumnya para anggota DPRD
lebih menginginkan uang kontan dari pada cheque. Akibatnya, jangan heran kalau uang kontan
berdampak lebih ampuh dibandingkan dengan penggunaan selembar cheque. Karena itu harga
suara itu sangat mahal apabila seorang bakal calon kepala daerah berasal dari anggota TNI/
POLRI artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi tawar yang tinggi. Mereka dapat
mengajukan argument bahwaterikat rantai komando dan terikat pemerintah komandan dan
seterunya. Padahal, tidak ada lagi perintah komando untuk memilih atau tidak memilih salah satu
bakal calon. Akibatnya, calon pembeli suara dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi inilah
dibutuhkan dana yang cukup besar. Biasanya strategi yang dilakukan dengan mendapatkan

informasi berupa dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah
mengetahui harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya Serangan Fajar bagi para bakal calon
kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih, adapun masa yang paling rawan adalah
H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian
guna semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi tentang berapa besar
dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD. Informasi ini menjadi sangat penting karena
pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut. Namun, dalam
praktek juga terjadi Serangan Fajar yang dimaksud sebenarnya adalah dengan Serangan Fajar
ialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan), kandidat kepala daerah atau tim suksesnya
memanfaatkan informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih
yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD mana saja yang
kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai suaranya dalam pemungutan suara dan masa
uji publik serta masa pelantikan kepala daerah. Ada beberapa kategori yang dapat di ketahui
yaitu sebagai berikut : Pertama, Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini dikenal dengan
kondisi siap menyeberang asal sesuai harga. Kedua, Anggota Dewan (DPRD) yang masih
dihadapkan pada keraguan antara misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.
Namun hal yang inti dari Money Politics adalah bagaimana strategi pemberian uang ini.
Bukankah tindakan menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hukum, oleh karena
itu proses penyampaian uang harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun, yang pasti
bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak melalui transfer bank
walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu dengan cara mendatangi secara langsung
rumah Anggota Dewan (DPRD) untuk memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk
semaksimal mungkin menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa
perbankan tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di samping memang transaksi
perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan peluang bagi calon
kandidat yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang dilakukan
oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau pemilhan kepala daerah
(PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan sebuah kesan negative bahwa calon tersebut
melakukan praktek politik uang (Money Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut. Selain
itu ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung.
Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk
teman akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk
pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money
Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:
1. Sistem ijon.
2. Melalui tim sukses calon.
3. Melalui orang terdekat.
4. Pemberian langsung oleh kandidat.

5. Dalam bentuk cheque.


Akan tetapi tidak banyak juga Money Politics ini yang tidak berhasil pada akhirnya dalam
masalah pembelian suara pemilih maupun dari anggota dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor
yang membuat hal ini terjadi, yaitu:
1. Adanya hubungan keluarga dan persahabatan.
2. Bakal calon bersikap ragu-ragu.
3. Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri.
4. Adanya anggota yang dianggap opportunis.
C. Dampak Praktik Money Politics
Ciri khas demokrasi adalah adanya kebebasan (freedom), persamaan derajat (equality), dan
kedaulatan rakyat (peoples sovereghty). Di lihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah
sebuah paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai
dengan norma hukum yang ada.
Dengan demikian adanya praktik Money Politics berarti berdampak terhadap bangunan,
khususnya di Indonesia berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktek politik
uang. Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi
kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat dikatakan kejahatan.
Sisi etika politik yang lainnya adalah pemberian uang kepada rakyat dengan harapan agar
terpilihnya partai politik tertentu berimbas pada pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada
gilirannya menyumbat partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek
eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Money Politics bukan secara moral saja yang salah dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan,
sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang
dihasilkan adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat itu
sendiri.
D. Kenapa Money Politics Masih Menjadi Ancaman
Dalam perkembangan demokratisasi dalam sistem politik Indonesia, justru mencuat isu yang
diangkat oleh teman-teman LSM politisi bermasalah, yang di indikasikan salah satunya pernah
terlibat kasus korupsi dan masalah hukum lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud memperdebatkan
akan validitasnya. Yang menurut Bung Jeiry Sumampow, dan teman-teman dari JPPR, data yang
mereka miliki bersumber dari pengaduan masyarakat. Untuk itu paling tidak dapat disikapi dari
dua aspek. Aspek pertama, bahwa ada indikasi peningkatan kontrol publik atas mekanisme
politik dan mengalami institusinalisasi secara baik. Aspek kedua merupakan keprihatinan,
mengingat bahwa masih menggejalanya korupsi dalam mekanisme politik nasional, yang diduga

keras berasal dari politik uang. Hal yang menurut hemat kami, merupakan gejala yang harus
menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong berkembangnya demokrasi
dalam proses politik yang lebih akuntabel dan yang lebih transparan dalam sistim politik
Indonesia.
Sebuah keniscayaan bahwa, politik memang membutuhkan dana. Belanja politik direncanakan
dan digunakan untuk berbagai kegiatan program kampanye. Untuk membangun komunikasi
politik dengan konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat.
Politisi dalam kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan
akan kalah. Tetapi dana politik dan politik uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus
dalam pengunaan dana yang digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula
sumber pendanaannya. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana; sudah
hampir dapat dipastikan akan kalah dan tersingkir. Faktanya politisi tidak hanya memerlukan
dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru umumnya
politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan walaupun tidak resmi
dari elite partai, yang mengusungnya.[6]
Sumber dana politik umumnya dapat dikategorikan pada dua sumber. Pertama, bersumber pada
sektor negara atau menggunakan APBN. Kedua, dana politik yang bersumber dari sektor publik
atau masyarakat. Dari perkembangan sisitem politik di Indonesia, yang tercermin dari perubahan
peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang
digunakan sekarang, semata-mata sumber dana politik dalam tataran infra strktur politik adalah
dari sektor masyarakat.
Pada pasal 129 UU No. 10 Thn 2008 tentang Pemilu sumber dana itu meliputi:
1. Partai politik.
2. Caleg dari partai politik yang bersangkutan.
3. Sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum.
Partai politik memiliki sumber dana dari iuran anggota. Fakta menujukan hampir semua Partai,
sistem iuran anggota belum dapat berjalan secara memadai. Yang digunakan adalah iuran atau
kewajiban anggota fraksi. Yang dapat memberi donasi kepada Partainya terbatas kepada orangorang tertentu saja. Karena tingkat sosial ekonomi anggota atau masyarakat yang menjadi
konstituen, dengan pendapatan perkapita rata-rata (data terakhir) 1860, itu pun dengan
kesenjangan yang cukup besar pula.
Dari gambaran fakta dilapangan, maka terlihat bahwa sumber dana politik itu, dominan dari
kategori butir (b), dan butir (c) diatas. Kategori sumber dana pada butir (b), tersebut adalah caleg
yang memiliki uang sendiri. Politisi dari kategori ini, umumnya kelompok kaya atau pengusaha,
yang umumnya berpikir dalam perspektif usaha, dimana dana yang sudah dikeluarkan akan
kembali juga dalam bentuk dana, berpolitik untuk pengembalian modal mungkin plus
keuntungan. Sehingga kinerja politik menjadi nomor dua. Sedangkan kategori sumber dana pada
butir (c), adalah kelompok pendana perorangan atau mungkin juga sindikasi. Yang memberikan

donasi, dengan syarat adanya pengembalian dalam perlindungan atau kepentingan politik
tertentu. Donasi yang diberikan mengikat si politisi, harus mengikuti kepentingan dari sumber
si pemberi donasi. Kinerja politik dan moralitas politik menjadi nomor dua.
Hal ideal yang semestinya berlangsung dalam mekanisme dan politik yang sehat adalah si
pemberi donasi, mengharapkan out-put politik adalah kebijakan publik yang berkualitas. Dalam
hal ini, demokrasi menjadi instrumen yang dapat diharapkan mendatangkan kebijakan yang adil,
yang mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik yang lebih baik.
Mekanisme politik yang ideal tersebut, mau tidak mau bila didukung oleh si pemberi donasi
yang memiliki harapan terwujudnya tatakelola pemerintahan yang lebih baik, untuk mencapai
tujuan bernegara. Pengalaman menujukan si pemberi dana dalam kategori tersebut, adalah
kalangan masyarakat menengah yang sosial ekonomi mampu, disamping memiliki kesadaran,
karakter dan moralitas. Karena masyarakat pada akar rumput, walaupun besar jumlahnya belum
dapat menyumbang seorang calon wakil rakyat, sekalipun calon itu adalah pilihannya.
Bagaimana mungkin dia dapat menyumbang, dengan kebutuhan sehari-hari saja sudah repot.
Tentu sangat berbeda, dengan perbandingan sisitem politik Amerika yang demikian demokratis
dan transparan. Pada Pemilu yang baru lalu, kemanangan Barack Obama, memberikan suatu
contoh. Dia tidak hanya berhasil menekan angka golput (yang tidak menggunakan hal pilih).
Dana politik, dihimpun dari konstituen dengan kuantita person dan jumlah donasi terbesar justru
berasal donasi yang kecil-kecil dari masyarakat menengah sampai pada lampisan akar rumput.
Jelas mereka tidak mengenal dana politik pinjaman yang harus dikembalikan ke pemberi donasi.
Konsekwensinya hanya dalam pertanggungjawaban Barack Obama, pengelolaan yang transparan
dan tentu pada gilirannya tuntutan atas kinerja politik, dalam bentuk keberhasilan dia
mewujudkan visi dan janji politik yang disampaikan pada saat kampanye.
Barangkali disanalah letak persolannya bagi bangsa kita sekarang ini. Pilihan sikap politik dari
kalangan menengah Indonesia. Kalangan yang mampu memberi donasi kegiatan politik, apakah
aktif atau tidak. Bila aktif, maka hal tersebut menekan peluang kelompok pendana perorangan
(besar) atau mungkin juga sindikasi, mendominasi atau bahkan boleh jadi mengkoptasi
mekanisme politik kita. Yang secara tidak langsung sudah mengikat si politisi jatuh kedalam
jebakan politik uang.
E. Melawan Praktik Money Politics
. Partai politik dan para anggota legislatif di segala level sudah mempersiapkan strategi untuk
mendapatkan simpati rakyat agar menang dalam Pemilu yang nampaknya akan lebih kompetitif,
karena diikuti oleh tiga puluh delapan partai politik nasional dan enam partai politik lokal.
Pemilu mendatang nampaknya akan diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena
sebagian besar rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang terjadi
yang dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati,
walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah satu pertimbangan
dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik Money Politics bisa diminimalisir. Bahkan
dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik Money Politics menjadi

semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik
haram ini, seolah dibuat hanya untuk dilanggar.
Praktik Money Politics dalam setiap perhelatan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan
masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan Money
Politics. Singkatnya, terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam setiap kompetisi
politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian menyebabkan semacam pandangan
bahwa seolah terdapat empat faktor yang sangat berpengaruh dalam proses kompetisi politik,
yaitu: uang, duit, money, dan fulus.
Selain itu, partai politik tidak siap menyediakan kader-kader handal, baik sebagai calon maupun
sebagai relawan yang mau bekerja secara militan untuk mensosialisasikan calon-calon yang
diajukan oleh partai. Dengan demikian, calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara
instan dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk memberikan hak
pilihnya.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab,
seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan
kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan
uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatan-jabatan publik
akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi
memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan
bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(common goods).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Dari pembahasan diatas mengenai partisipasi politik yang ada didalam masyarakat dalam
pemilu umum maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi politik
masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara ini. Serta juga
memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi tersebut jangan
salah digunakan dalam pemilihan umum.
Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang (Money Politics)
yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah
slogan yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara
umum yaitu DEMOKRASI bukanlah DEMOCRAZY.
Saran :
Bagi masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua
iming-iming janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanyenya dan juga
lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta ingat pada para
calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini,
yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para
calon pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati
kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau sudah
tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan masa depan
bangsa ini.

DAFTAR PUSTAKA
Antulian, Rifai. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta:
PT. Rajawali Perss.
Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.
Syafiee, Innu Kencana. Drs. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU). Jakarta:PT. Rineka
Cipta.
Money Politic di Indonesia,
tanggal akses: 1 Mei 2012

http://fahrurozi89.wordpress.com/2009/07/28/money-politic/,

Anda mungkin juga menyukai