Anda di halaman 1dari 3

Nama : Lisa Kurnia Putri

Nim : 21042389
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara

Analisis Kasus Perilaku Pemilihan di Indonesia dalam Beberapa Pemilu Pasca


Reformasi

Pemilu di Indonesia dalam realitasnya menuju pada penciptaan demokrasi yang baik,
dilihatdari sistem maupun kualitas partisipasi politik masyarakat jika dibandingkan dengan era
sebelumnya (orde baru). Ini akan memungkinkan masyarakat memenuhi ekspektasi dirinya pada
pilihannya bahkan dapat memilih secara langsung calon yang dikehendakinya. Perbandingan
pemilu pasca reformasi beberapa hal, pertama, agregasi kepentingan masyarakat semakin
meningkat, demikian juga tingginya jumlah non voting sebagai wujud dari protes (protest voters)
atau terjadinya perpindahan suara pemilih dari satu partai ke partai lain sebagai wujud
retrospektif voting. Secara sederhana voting behavior bisa didefinisikan sebagai keputusan
seorang pemilih dalam memberikan suara kepada legislatif maupun eksekutif.

Seperti hal nya pada saat ini pada zaman reformasi banyak sekali di jumpai beberapa
kasus terkait prilaku pemilihan di Indonesia ini, contohnya pada kasus kampanye pemilu dan
janji politik. Melalui kampanye para calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota
legislatif memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika
kelak dirinya terpilih. Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam
menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak. Kenyataannya, sebagian besar rakyat tidak lagi
memandang penting kampanye bahkan pemilu itu sendiri karena hal ini dianggap tidak lebih dari
sekedar rutinitas lima tahunan belaka yang belum pasti akan memberikan dampak langsung
terhadap perbaikan kehidupan mereka.

Sehingga dengan demikian rakyat saat ini sama sekali tidak mementingkan visi misi dan
lain sebagainya terkait calon presiden dan wakin presiden yang akan terpilih nantinya, melainkan
lebih memilih pesaing yang terdapat feed back yang terlihat pada saat itu, yang dengan demikian
memberikan keuntungan secara pribadi. Namun menurut saya dalam kasus ini tentunya terdapat
permasalahan yang cukup kompleks, dimana secara tidak langsung pemilihan umum seperti ini
tidak menunjukkan atau mengedepankan kejujuran dan keadilan dalam memilih calon pemimpin.

Namun terlepas dari permasalahan ini terdapat beberapa alasan yang menjadi latar
belakang mengapa rakyat berpikir dan memiliki perspektif demikian yaitu dengan munculnya
kekecewaan masyarakat akibat janji pemilu yang tak kunjung pernah menjadi kenyataan. Rakyat
mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, selanjutnya diabaikan ketika
kekuasaan telah tercapai. Janji kampanye para kontestan pemilu seolah-olah hanya menjadi
pemanis bibir semata untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya padahal dari semula
janji tersebut (mungkin) telah direncanakan untuk tidak dipenuhi. Maka tidak heran bila sebagian
besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Pemilu di mata rakyat
tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari.
Akibatnya, demokrasi perwakilan di Indonesia saat ini mengalami masalah disconnected
electoral yaitu adanya keterputusan relasi antara wakil dengan yang diwakili. Sehingga seringkali
tindakan yang dilakukan oleh para wakil tidak linier dengan apa yang menjadi aspirasi dan
keinginan dari orang-orang yang diwakili (publik).

Penyebab munculnya persoalan tersebut selain karena popularitas sebagian kandidat jauh
melebihi kemampuannya untuk menjadi politisi yang andal dan negarawan, juga ditopang oleh
semakin berkembangnya sikap rasional para pemilih terutama “rasional secara materi”.
Implikasinya, money politics menjadi lebih meluas sehingga perilaku pemilih cenderung
mengarah pada munculnya “transaksi material” yang bercorak jangka pendek dan sesaat, bukan
pada “transaksi kebijakan” antara para wakil dengan terwakil.

Sebenarnya, ingkar janji dalam politik bukan hanya fenomena khas Indonesia. Di
beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes
(2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan
presiden di 15 Negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya
kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye. Ada gejala bahwa
para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi segera
setelah mereka terpilih mereka menentukan kebijakan semau mereka tanpa mempedulikan
preferensi para pemilihnya.
Namun demikian, banyaknya janji-janji palsu dalam kampanye tidak berarti janji politik
menjadi tidak penting. Dalam sebuah negara demokrasi, janji politik adalah hal yang niscaya.
Politik tanpa janji adalah politik yang buruk (Paul B. Kleden: 2013). Setidaknya ada dua arti
penting janji politik. Pertama, mencerminkan visi dan misi seorang calon politisi yang akan
memberikan arah dan panduan yang jelas bagi dirinya dalam mencapai sasaran yang hendak
diraih bila kelak diberi amanah menduduki jabatan publik.

Jika di bandingkan dengan pemilu pada zaman pasca reformasi kasus money politik dan
janji palsu seperti ini tentunya telah ada namun terdapat perbedaan pada bagian
kualitaspartisipasipolitikmasyarakat. Sehingga Dengan demikian karena adanya kasus seperti ini,
menyebabkan rusaknya nilai-nilai demokrasi dalam suatu pemilihan umum. Hal ini tentu
menjadi sebuah permasalahan yang cukup besar yang seharusnya dikaji kembali, baik oleh
orang-orang yang yang berkecimpung dalam partai politik ataupun pada ilmu politik sehingga
kasus yang seperti ini tidak terjadi lagi kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai