Nim :
Dalam pandangan mengenai sistem politik Indonesia saat ini, menurut saya sangat
penting untuk memahami konsep sistem politik itu sendiri. Sistem politik adalah kerangka
konseptual yang menggambarkan struktur, fungsi, dan interaksi antara komponen-komponen
yang ada dalam suatu negara atau pemerintahan. Ini mencakup semua aspek yang terkait
dengan pengambilan keputusan politik, pembentukan kebijakan, dan distribusi kekuasaan di
suatu negara.
Sebagai titik awal dalam membahas citra pemerintahan, kita perlu merinci beberapa
isu krusial yang menjadi sorotan masyarakat. Salah satu fenomena yang memengaruhi
pandangan masyarakat terhadap pemerintah adalah polarisasi politik yang mencuat selama
Pemilu Presiden 2019 antara dua kubu, pendukung Joko Widodo (Jokowi) yang sering
disebut sebagai "Cebong" dan pendukung Prabowo Subianto yang disebut sebagai
"Kampret."
Polarisasi ini muncul dalam bentuk identitas keislaman, di mana kampanye Prabowo
menonjolkan atribut-atribut yang sangat kental dengan identitas keislamannya. Pakaian
nasional dipertukarkan dengan baju koko bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan.
Fenomena ini mencerminkan upaya politik untuk menarik dukungan pemilih berbasis
identitas agama.
Namun, sejumlah analis dan akademisi meragukan sejauh mana polarisasi politik ini
nyata, menilai bahwa hal tersebut lebih merupakan strategi politisi untuk meraih suara
daripada pembelahan masyarakat yang sebenarnya. Budi Irawanto, seorang dosen
Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa polarisasi ini mungkin bersifat
artifisial, lebih sebagai taktik politik dalam meraih dukungan.
Namun, pandangan mengenai sistem politik tidak hanya terbatas pada polarisasi
politik. Citra pemerintahan juga sangat dipengaruhi oleh sejumlah isu krusial, seperti kualitas
layanan publik. Kurangnya kepuasan terhadap layanan publik dapat menciptakan persepsi
bahwa pemerintahan tidak mampu memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kinerja aparatur sipil negara (ASN) juga menjadi fokus penting. Ketidakmaksimalan
ASN dalam melaksanakan tugasnya, terutama terkait netralitas politik, dapat merusak citra
pemerintahan. Terlihat dalam beberapa kasus, di mana ASN terlibat dalam kegiatan politik
yang dapat memunculkan ketidaksetaraan dalam proses demokrasi.
Salah satu lembaga yang memberikan dampak signifikan terhadap citra pemerintahan
adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa
sebagian besar responden menilai citra DPR buruk. Fenomena seperti tindakan Puan
Maharani, Wakil Ketua DPR, yang mematikan mikrofon anggota dewan saat sidang
paripurna, menciptakan kontroversi dan merugikan citra DPR di mata masyarakat.
Tidak hanya itu, kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR juga memberikan
dampak negatif. Banyak anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, dan penindakan yang
diambil terkadang dinilai tidak sebanding dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Fenomena ini memberikan gambaran bahwa pemberantasan korupsi di tingkat legislatif
belum optimal.
Selanjutnya, nepotisme menjadi isu lain yang meruncing dalam pandangan terhadap
sistem politik Indonesia. Ada pandangan bahwa lembaga-lembaga pemerintahan diisi oleh
nepotisme, yang mungkin menciptakan ketidaksetaraan dan merugikan keberlanjutan
demokrasi. Ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan dan peluang dapat menciptakan
ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan.
Sebagai contoh, kasus penganiayaan yang melibatkan Mario Dandy Satriyo, anak
pejabat pajak, menjadi sorotan publik karena menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana
hukum diterapkan terhadap keluarga pejabat. Fenomena ini menciptakan kesan bahwa hukum
tidak selalu adil dan bahwa elite politik dapat terhindar dari pertanggungjawaban.
Penting untuk dicatat bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam
membangun citra yang positif dan memperbaiki ketidakpuasan masyarakat. Reformasi
struktural dan peningkatan integritas lembaga-lembaga pemerintahan menjadi kunci untuk
mendapatkan kembali kepercayaan rakyat.