Anda di halaman 1dari 5

Bad Bereucracy vs good bereucracy

Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah perusahaan konsultan yang
mengkhususkan diri pada informasi bisnis strategis dan analisis untuk perusahaanperusahaan melakukan bisnis di negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, di awal
tahun 2010 ini telah melakukan sebuah survey, review, dan pemeringkatan terhadap sistem
birokrasi di 12 negara di Asia. Survey ini dilakukan dengan melakukan interview/wawancara
pada 1.373 expatriat (tenaga kerja asing) executif tingkat menengah dan senior.
Dari hasil survey ini, dibuatlah peringkat birokrasi di 12 negara Asia tersebut dari mulai
yang paling buruk (peringkat 1) sampai yang terbaik (peringkat terakhir). Berikut ini adalah
daftar peringkat selengkapnya, paling atas adalah yang terburuk, semakin ke bawah
semakin baik.
No.
Negara
Skor
1
India
9.41
2
Indonesia
8.59
3
Philippines
8.37
4
Vietnam
8.13
5
China
7.93
6
Malaysia
6. 97
7
Taiwan
6.60
8
Jepang
6.57
9
Korea Selatan
6.13
10
Thailand
5.53
11
Hong Kong
3.49
12
Singapura
2.53
Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia.
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti
pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai
termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun
1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.
Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari
kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0
atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats
yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi
pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan
orang terdekat.1
Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di
kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga
mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk
melakukan reformasi. Birokrasi pasca berhentinya Presiden Soeharto ada dalam
persimpangan jalan antara adanya upaya pihak yang ingin tetap mempertahankan
berlangsungnya politisasi birokrasi (bureaucratic polity), berhadapan dengan pihak yang
menginginkan ditegakkannya reformasi, ketidakberpihakan politik dan profesionalisme
birokrasi.

Arah baru atau model reformasi birokrasi perlu dirancang untuk mendukung
demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya pemerintahan
yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap
kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum
dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility)
secara teratur. Praktik birokrasi di negara-negara berkembang menunjukkan, pemihakan
birokrasi pada suatu partai politik telah memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik,
khususnya dari kalangan birokrasi itu sendiri.2
Ada kecenderungan beberapa aspek negatif yang bisa dikemukakan, untuk dikaji ulang,
sebagai dampak dari keberpihakkan birokrasi dalam politik di Indonesia.
Pertama, terjadi keterpasungan pegawai birokrasi dalam kehidupan politik, khususnya
akibat yang menimpanya jika memilih partai selain Golkar. Saat itu, jika ada pegawai
birorkasi yang memilih atau menjadi pengurus partai non-Golkar, harus keluar dari jajaran
birokrasi.
Kedua, keberpihakan birokrasi pada Golkar telah membawa ketakutan terhadap
sebagian anggotanya, khususnya saat kampanye. Pegawai birokrasi tak lagi berani
mengenakan seragam KORPRI dan PSH (Pakaian Seragam Harian) saat kampanye
berlangsung, karena hanya akan menjadi sasaran ketidakpuasan simpatisan partai nonGolkar atas praktik keberpihakan birokrasi itu. Kenyataan seperti itu hampir terjadi di semua
daerah.
Ketiga, keberpihakkan birorkasi pada Golkar lebih mengakibatkan ancaman-ancaman
struktural ketimbang fungsional.Contohnya, seorang pegawai tak akan pernah naik pangkat
secara lancar jika disinyalir tidak memilih Golkar. Akibatnya, karier organisatorisnya lebih
didasarkan pada kepentingan politik (Golkar) ketimbang profesionalisme kerja.
Keempat, kecenderungan pelayanan birokrasi yang diskriminatif, baik dalam aspek
administratif maupun pembangunan. Sudah bisa ditebak saat itu, jika suatu daerah tidak
bisa memenangkan Golkar, jangan berharap daerah tersebut mampu dan diperioritaskan
untuk dibangun sarana dan prasana fisiknya dengan lancar. Bahkan permohonan
pembangunan fisik seperti pengaspalan jalan, pembuatan jembatan dan penyediaan
fasilitas listrik, tidak akan tercapai jika Golkar kalah di tempat itu. Dalam pengurusan suratsurat administratif, berlaku hal yang sama. Jika mereka Golkar, maka akan dengan lancar
mengurusnya, tetapi jika bukan, jangan terlalu berharap atau perlu menambahkan uang
pelicin. Kondisi ini nyata dalam pengurusan persoalan perizinan, pembuatan akte dan KTP
(Kartu Tanda Penduduk).
Kelima, keberpihakkan birorkasi pada salah satu partai politik memperlemah
profesionalisme organisasi pemerintahan. Charles E. Lindblom mengingatkan, keasyikan
birokrasi bermain dalam politik, pada suatu titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang
korup, tidak efisien dan amoral.3
Pada tahun 1992, ada koreksi terhadap paradigma birokrasi modern Weber yang
hirarkis, disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja
tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Hal itu
disarankan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Juga disarankan paradigma birokrasi
yang baru antara lain:

Catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis, lebih
baik menyetir daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk
melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh
masyarakat sendiri.
Community-owned government: empowering rather than serving. Pemerintah adalah
milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih ole h
wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih
utama jika memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya
secara mandiri, daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah.
Competitive government: injecting competition into service delivery. Pemerintahan yang
kompetitif adalah pemerintahan yang memasukan semangat kompetisi di dalam
birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam
memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang -barang kebutuhan publik.
Dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya
perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat
universal.
Dalam kamus, istilah government dan governance seringkali dianggap memiliki arti
yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara.
Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu
politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kirakira 1125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks
pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang
governance dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini -dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan,
penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15
tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional
mempersyaratkan good governance dalam berbagai program bantuannya. Oleh para
teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term good governance telah
diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro
Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik
dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai
pemerintahan yang bersih.
Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada
bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam
pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep pemerintahan berkonotasi peranan pemerintah
yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam
governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan
kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan,
rule of law, partisipatiof dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag
paling tepat meng-capture makna tersebut yakni the process whereby elements in society

wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public
life, economic and social development.
Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita cita-citakan amat
memerlukan Good Governance agar kita dapat menyelenggarakan pemerintahan negara
sesuai dengan praktek-praktek yang diterima secara internasional. Namun, perumusan
praktek-praktek tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan sangat
memperhatikan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Jangan terjadi, Indonesia kemudian
semakin terjerumus kedalam jebakan negara asing atau lembaga internasional dalam
pemilihan bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara, hubungan antara pusat dan
daerah, serta dalam pengelolaan keuangan negara.
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup sebuah
organisasi. Karena itulah perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk
mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Sebaliknya, birokrasi pemerintahan negara
kurang punya perhatian terhadap perubahan lingkungan karena dua alasan. Pertama,
secara konseptual ketika Max
Peter Bijur (2001) menganggap syarat yang paling utama untuk menjamin keberhasilan
upaya perubahan budaya organisasi adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership)
baik dalam kemampuan memimpin mau pun dalam ketajaman visinya. Saya kira secara
nasional ini yang menjadi kendala utama kita. Selanjutnya, ada 5 faktor yang penting untuk
mensukseskan perubahan budaya organisasi yaitu:
1.
2.
3.

Nilai-nilai yang mendukung pencapaian visi yang telah ditetapkan;


Motivasi yang mampu memobiliasi dukungan untuk perubahan;
Ide dan Strategi yang tepat untuk menciptakan lingkungan yang mampu
menyuburkan kebersamaan dalam perumusan ide-ide dan strategi untuk
mendorong perubahan;
4. Tujuan yang jelas serta selalu dikomunikasikan kepada para anggota organisasi;
5. Etik kinerja yang ditumbuhkan dengan sistem remunerasi dan penghargaan
yang tepat.
Perubahan budaya organisasi adalah ibarat perjalan panjang yang melelahkan dan
merupakan upaya yang bersifat incremental, tidak bisa dicapat melalui gebrakan
revolusioner. Budaya organisiasi paternalisitik dan sentralistik, misalnya, tidak serta merta
berhasil berubah dengan menjungkir balikkan pemerintah yang berkuasa, seperti yang
sedang kitaalami selama beberapa tahun ini.
Organisasi yang ingin merubah budayanya harus berani menempuh jalan yang tidak
selalu lurus, dari kondisi stabil, melalui turbulence atau bahkan chaos, untuk mencapai
penyesuaian dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku dan simbol-simbol budaya baru.
Organiisasi harus disipkan untuk selalu adaptif terehadap perubahan-perubahan, harus
berani bereksperimen, harus berani gagal dan harus dapat menyesuaikan diri dengan
unsur-unsur budaya baru, yang ditelakkan oleh pimpinan organisasi.
Walaupun sudah dilakukan dengan komitmen yang tinggi serta program yang benar,
selalu ada resiko perubahan budaya organisasi tidak berjalan seperti diharapkan, atau
dalam kakus sekstrim bertentangan dengan arah yang diinginkan. Perubahan budaya

organisasi adalah proses panjang dan mahal yang tidak ada jaminan akan sukses. Minimal
diperlukan waktu 5 sampai 10 tahun untuk merubah budaya organisasi dengan sekala
seperti Republik Indonesia atau pemerintah provinsi, kabuaten dan kota. Karena itu strategi
yang diajurkan oleh para ahli (Morgan, 1996dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara
bertahap dan gradual. Memang kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih aman.

Sumber bacaan

Osborne dan Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo,


1995.
Antlov and Cederroth, dalam Teguh Yuwono, PNS Berpolitik untuk Kepentingan
Golkar dalam Suara Merdeka. Jumat, 22 Januari 1999.
Prof. Dr. Sofian Effendi, 2005 , MEMBANGUN BUDAYA BIROKRASI UNTUK GOOD
GOVERNANCE disajikan dalam Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan
Kantor Menteri Negara PAN
Model Reformasi Birokrasi, Syafuan Rozi, PPW LIPI, th. 2000

Anda mungkin juga menyukai