Anda di halaman 1dari 12

GOOD GOVERNANCE AND

CLEAN GOVERNANCE
Posted on 31 Oktober 2014 by febriana muryanto

Masruri*

*Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Negara

Sekolah Tinggi Ilmu sosial dan Ilmu Politik (Stisip Kartika Bangsa) Yogyakarta

Jln. Rejowinangun No. 6 Yogyakarta. Tlp/Fax. (0274) 4438543, 4438578. Kode Pos 55171

1. Pendahuluan

Pemerintah atau ”government” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “The authoritative
direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc”
(pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara,
negara bagian, kota, dan sebagainya). Ditinjau dari sisi semantik, kebahasaan governance berarti
tata kepemerintahan dan good governance bermakna tata kepemerintahan yang baik.

Good Governance adalah pemerintahan yang baik. Dalam versi World Bank, Good Governance
adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang
sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana
investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan
disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Hal ini bagi pemerintah maupun swasta di Indonesia ialah merupakan suatu terobosan mutakhir
dalam menciptakan kredibilitas publik dan untuk melahirkan bentuk manajerial yang handal

Clean government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah tata
pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment berarti bahwa
pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses
pemerintah (Prasetijo, 2009)

Governance berbeda dengan government yang artinya pemerintahan. Karena government


hanyalah satu bagian dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastruktur, maka
governance juga bicara tentang suprastrukturnya. Banyak sekali definisi tentang good
governance. Kita ambil satu saja untuk sebagai bahan analisa. Bank Dunia dalam laporannya
tentang governance and development tahun 2002 mengartikan good governance sebagai
pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang
bertanggung jawab pada publiknya (Bintan R. Saragih 2008)

1. Pembahasan
UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama
dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas
birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi
dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya.

Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah


masyarakat sispil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat
diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum

Kepemerintahan yang baik adalah terciptanya suatu keadaan yang memberi rasa nyaman
menyenangkan bagi para pihak dalam suasana yang berkepemimpinan yang demokratis menuju
masyarakat adil dan berkesejahteraan berdasarkan Pancasila. Para Pihak yang dimaksud adalah
pemerintah yang baik (good government) dalam hal ini eksekutif, parlemen yang baik (good
parlemen)/ anggota legislatif yakni DPRD dan rakyat yang baik (good citizen) bisa pewarta,
tokoh, cendekiawan, pengusaha, ketiga para pihak ini merupakan aktor yang sangat penting
dalam mewujudkan Kepemerintahan yang Baik. Ketiga para pihak ini harus saling bekerjasama,
berkoordinasi, bersinergis dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan, sehingga
apa yang kita harapkan yakni kepemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud

1. Membangun Good Governance

Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik
hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke
27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu
governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana
tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari
ini dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata pemerintahan,
penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul sekitar
15 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan
“good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka.

United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the


exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all
levels”. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic,
political, dan administrative. Economics governance meliputi proses-proses pembuatan
keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri
dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi
terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses
pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, sedangkan administrative governance adalah
sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga
domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha),
dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing
(LAN, 2000 : 5)

Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah
diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah
(Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang
baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai
pemerintahan yang bersih (clean government)

Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana
cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu
bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam
penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna
bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance
terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipation dan kemitraan. Mungkin
difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the
process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies
and decisions concerning public life, economic and sosial development.” Terjemahan dalam
bahasa kita, adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan
otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan
publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial

OECD pada 1992, telah menggunakan keruntuhan Soviet Uni, sebagai momentum untuk
membenarkan sistem ideologi liberal yang intinya adalah: (1) menjunjung tinggi nilai-nilai HAM
khususnya hak dan kebebasan individu, (2) demokrasi, (3) penegakan Rule of Law, (4) pasar
bebas dan (5) perhatian terhadap lingkungnan. Sejak itu pula good governance di negara
penerima bantuan dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan
internasional.

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good
governance, yakni: pemerintah (the state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani,
masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi
ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan
kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust),
transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga
akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

Konsep good governance yang dianjur-anjurkan oleh lembaga-lembaga donor internasional


tersebut kemudian berubah akibat pengaruh Amerika Serikat yang menggunakan globalisasi
untuk menebarkan sistem pasar bebas ke segala penjuru dunia. Sejak itu good governance
diartikan sama dengan less government. Semua kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan
masyarakat di negara dapat dipenuhi lebih baik bila campur tangan pemerintah tidak terlalu
dominan. Berubahlah good governance menjadi best government adalah less government.

Bagaimana kondisi good governance di Indonesia? Berbagai assessment yang diadakan oleh
lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini
belum pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan
Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good
Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (Clean Governance).
Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum
terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement
menggunakan, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan bangsa telah
menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance ?

Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita cita-citakan amat
memerlukan Good Governance. Dalam kondisi seperti sekarang, pemerintah, yang selama ini
mendapat tempat yang dominan dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan
administrasi, sukar diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah dan menjelma menjadi
bagian yang efektif dari good governance Indonesia. Karena itu pembangunan good governance
dalam menuju Indonesia Masa Depan harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar
birokrasi atau pemerintah, yakni melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar
partisipasi berbagai warganegara dalam peneyelenggaraan pemerintahan.

Kekuatan eksternal kedua yang dapat “memaksa” timbuilnya good governance adalah dunia
usaha. Pola hubungan kolutif antara dunia usaha dengan pemerintah yang terlah bnerkembang
selama lebih 3 dekade harus berubah menjadi hubungan yang lebih adil dan terbuka.

Nilai yang terkandung dari pengertian beserta karakteristik good governance tersebut diatas
merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999 – 2004, karena itu diperlukan
pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan
berhasil guna. Kondisi semacam ini perlu adanya akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama
pada informasi bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem
demokrasi, mengingat prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya
memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Kondisi semacam ini mensyaratkan bagi siapa saja
yang terlibat dalam pembuatan keputusan, baik itu pemerintah, sektor swasta maupun
masyarakat, harus bertanggung jawab kepada publik serta kepada institusi stakeholders.
Disamping itu, institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-
fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, memberikan fasilitas dan peluang
ketimbang melakukan kontrol serta melaksanakan peraturan perundang-undanganan yang
berlaku.

Wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid yang
bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang positif
diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (LAN; 2000, 8), sedangkan
hubungan diantara ketiga unsur utama (domain) tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Sektor

Negara

Swasta

Masyarakat
Kunci untuk menciptakan good governance adalah suatu kepemempinan nasional yang memiliki
legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat. Karena itu mungkin Pemilu 2004 yang memilih
Pimpinan Nasional secara langsung, adil dan jujur dapat menjadi salah satu jawaban bagi
terbentuknya pemenyelenggaraan pemerintahan yang baik. Itu pun kalau Pemilu tersebut mampu
memilih seorang yang kredibel, yang mendapat dukungan popular, dan yang visioner dan
kapabel sebagai Presiden ke 6. Sayangnya harapan tersebut belum terealisasi, setahun setelah
Presiden yang paling memiliki legitimasi terpilih

1. Governance and clean Governance

Makna dari governance dan good governance pada dasarnya tidak diatur dalam sebuah undang-
undang (UU). Tetapi dapat dimaknai bahwa governance adalah tata pemerintahan,
penyelenggaraan negara, atau management (pengelolaan) yang artinya kekuasaan tidak lagi
semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu sendiri memiliki unsur
kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta
dan warga negara) yang dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif.

Sedangkan good governance adalah tata pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi
pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain).
Clean government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah tata
pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment berarti bahwa
pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses
pemerintah (Prasetijo, 2009)

Clean and good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan, yakni kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa
yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good
governance, yakni : pertama pemerintah (the state), kedua civil society (masyarakat adab,
masyarakat madani, masyarakat sipil), dan ketiga pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas
politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang
setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur
bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good
governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa
dan memiliki visi yang jelas

Di Indonesia, substansi wacana Good Governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan
yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap di mana kekuasaan
dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintah negara yang berkaitan
dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya, pemerintahan
yang bersih (Clean Governance) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur,
transparan, dan bertanggung jawab.
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun
hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling
berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika
pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang
maksimal. Faktor lain yang tak kalah penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika
produktivitas bersinergi dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam
aspek produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.

Untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi di atas, proses pembentukan pemerintahan yang


berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai sebuah paradigma pengelolaan
lembaga negara, Good and Clean Governance dapat terwujud secara maksimal jika ditopang
oleh dua unsur yang saling terkait: negara dan Masyarakat Madani yang di dalamnya terdapat
sektor swasta. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola
pelayanan publik dari perspektif birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Birokrasi populi
adalah tata kelola pemerintahan yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan
masyarakat.

Pada saat yang sama, sebagai komponen di luar birokrasi negara, sektor swasta (Corporate
Sectors) harus pula bertanggung jawab dalam proses pengelolaan seumber daya alam dan
perumusan kebijakan publik dengan menjadikan masyarakat sebagai mitra strategis. Dalam hal
ini, sebagai bagian dari pelaksanaan Good and Clean Governance, dunia usaha berkewajiban
untuk memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Sosial Responsibility/CSR), yakni dalam
bentuk kebijakan sosial perusahaan yang bertanggung jawab langsung dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di mana suatu perusahaan beroperasi. Bentuk tanggung jawab sosial
(CSR) ini dapat diwujudkan dalam program-program pengembangan masyarakat (Community
Empowerment) dan pelestarian lingkungan hidup.

1. Prinsip Pokok Good And Clean Governance

Untuk meralisasikan pemerintahan yang professional dan akuntabel yang berstandar pada
prinsip-prinsip Good Governance, Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan
aspek fundamental (asas) dalam Good Governance yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Partisipasi (participation)

Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan,
baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah berdasarkan prinsip demokrasi
yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong
partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor
kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.

Paradigma birokrasi sebagai pusat pelayanan publik seyogianya diikuti dengan deregulasi
berbagai aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
Efisiensi pelayanan publik meliputi pelayanan yang tepat waktu dengan biaya murah.
Paradigama ini tentu saja menghajatkan perubahan orientasi birokrasi dari yang dilayani menjadi
birokrasi yang melayani.
2. Penegakkan hukum (rule of law)

Asas pengakkan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus didukung oleh
penegakkan hukum yang berwibawa. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan
penegakkannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang
anarkis. Publik membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum. Tanpa kepastian dan aturan
hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik.

Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud Good and Clean Governance, harus diimbangi
dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:

1. Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan


negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya
secara benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya
tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan
yang dimilikinya).
2. Kepastian hukum (legal certainly), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara
diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu
dengan lainnya.
3. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
4. Penegakkan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakkan hukum
berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum
yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
5. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa
atau kekuatan lainnya

3. Transparansi (transparency)

Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya Good and Clean Governance.
Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, menurut banyak ahli, Indonesia telah terjerembab ke
dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu
dalam pengelolaan kebijakan publik, khususnya bidang ekonomi, pemerintah di semua tingkatan
harus menerapkan prinsip transparansi dalam proses kebijakan publik. Hal ini mutlak dilakukan
dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan baik pusat
maupun yang di bawahnya.

Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:

1. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.


2. Kekayaan pejabat publik.
3. Pemberian penghargaan.
4. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
5. Kesehatan
6. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
7. Keamanan dan ketertiban.
8. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

Dalam hal penetapan posisi jabatan publik harus dilakukan melalui mekanisme test and proper
test (uji kelayakan) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen. Uji kelayakan bisa
dilakukan oleh lembaga legislatif maupun komisi independen, seperti komisi yudisial,
kepolisian, dan pajak.

4. Responsif (responsiveness)

Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip Good and Clean Governance bahwa
pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Pemerintah harus
memahami kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu mereka menyampaikan keinginan-
keinginannya, tetapi pemerintah harus proaktif mempelajari dan menganalisis kebutuhan-
kebutuhan masyarakat.

Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni:

1. Etika Individual

Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria
kapabilitas dan loyalitas profesional.

1. Etika Sosial

Etika sosial menuntut pelaksana birokrasi pemerintah memiliki sensitivitas terhadap berbagai
kebutuhan publik.

5. Orientasi kesepakatan (consensus orientation)

Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsensus. Cara pengambilan konsensus, selain dapat memuaskan semua pihak atau
sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan
memiliki kekuatan memaksa (coersive power) terhadap semua yang terlibat untuk melaksanakan
keputusan tersebut.

Sekalipun para pejabat pada tingkatan tertentu dapat mengambil kebijakan secara personal sesuai
batas kewenangannya, tetapi menyangkut kebijakan-kebijakan penting dan bersifat publik
seyogianya diputuskan secara bersama dengan seluruh unsur terkait. Kebijakan individual hanya
dapat dilakukan sebatas menyangkut teknis pelaksanaan kebijakan, sesuai batas kewenangannya.

Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan
yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan
kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara
partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili.
Selain itu, semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-
kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas
pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan.

6. Kesetaraan (equity)

Asas kesetaraan (equity) adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas
kesetaraan ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku adil
dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas
sosial.

7. Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)

Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang baik dan bersih
juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria
efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Adapun, asas efisiensi
umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua
masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka
pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien.

8. Akuntabilitas (accountability)

Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang


memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut
untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralis sikapnya
terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

9. Visi strategis (strategic vision)

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi Good and Clean Governance. Dengan
kata lain, kebijakan apa pun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada
sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa
yang akan datang, seorang yang menempati jabatan publik atau lembaga profesional lainnya
harus mempunyai kemampuan menganalisis persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh
lembaga yang dipimpinnya

Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan dari
implementasi Good and Clean Governance. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengolahan
lembaga pemerintahan pada akhirnya akan melahirkan kontrol sosial masyarakat terhadap
jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata
pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok Good and Clean
Governance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
1. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.

Pengaturan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD, mutlak dilakukan dalam
rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.

1. Selain melalukan check and balance, lembaga legislative harus pula mampu menyerap
dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang
berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
2. Kemandirian lembaga peradilan

Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip Good and
Clean Governance peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian
lembaga peradilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga
yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakkan hukum dan keadilan

1. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah.

Perubahan paradigma aparatur negara dari birokrasi populis (pelayan masyarakat) harus
dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah.
Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan legitimasi
birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi
dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan berkualitas.

1. Penguatan partisipasi Masayarakat Madani (Civil Society).

Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsure penting lainnya dalam merealisasikan


pemerintah yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik
mutlak dilakukan dan difasilitasi oleh negara (pemerintah)

Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan publik pada dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip
HAM. Masyarakat mempunyai hak atas informasi, hak untuk menyampaikan usulan, dan hak
untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui
lembaga-lembaga perwakilan, pers, maupun dilakukan secara langsung lewat dialog-dialog
terbuka dengan jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik, maupun organisasi sosial lainnya.

1. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam rangka otonomi daerah.

Untuk merealisasikan prinsip-prinsip Good and Clean Governance, kebijakan otonomi daerah
dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang menopang
tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan
pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi,
sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi
daerah tersebut, pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat yang pada
akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat
Pelaksanaan Good Governance dan Clean Governance dalam Sistem Pemerintahan Nagari
Hambatan dalam pelaksanaan Good Governance adalah masih kita rasakan belum terciptanya
tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, Birokrasi yang masih belum efesien, masih
membutuhkan waktu yang lama, masih berbelit belit, masih terjadi yang namamya
dunsanakisme, ketika ada hubungan kekerabatan baru pelayanannya berkualitas, tidak terjadi
transparancy keuangan di nagara, bahkan akuntabilitas masih belum bagus begitu banyak
hambatan atau kendalanya adalah di sebabkan oleh mesin birokrasi yang tidak berjalan sesuai
dengan relnya.

Kita merasakan masih bayaknya terjadinya koropsi karena sistem tata kelola belum efektif,
terbuktinya otonomi kebablasan bahkan hari ini yang terjadi korupsi tidak hanya di pusat tapi
telah berimbas ke Negara, berbeda dengan rezim orde bari yang berani korupsi hanya pusat. Tapi
hari ini justru telah terjadi raja raja kecil di daearah dengan terciptanya pemindahan ladang
korupsi secara berjemaah dan di kololam oleh DPRD. Prilaku yang sesuai dengan perananya
selaku abdi tersebut.

Keseluruhan prilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan pada seluruh masyarakat.
Karena penerapan prinsip Fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang tentu
menjadi bagian masyarakat suatu institusi tertentu. Prinsip pelayanan yang harus di berikan
kepada rakyat atau masyarakat oleh birokrat adalah pelayanan yang bersifat adil, cepat , ramah,
korek tanpa diskriminasi dan tanpa pilih kasih. Karena itu, ungkapan yang mengatakan bahwa
para pegawai negeri adalah melayani bukan untuk di layani, hendaknya terwujud dalam praktek
dan realisasinya dan akan tidak ada artinya kalau hanya pada tataran konsep tanpa di tuangkan ke
prakteknya dan kita tidak inginkan hanya ungkapan tersebut hanya menjadi slogan tanpa di ikuti
makna.

Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari
prilaku yang tidak sesuai dengan perananya selaku abdi negara mayarakat. Dari inilah, “penting
di pahami patologi birokrasi yang bersumber dari keprilakuan” . Pemahaman tentang prilaku
dalam kaitanya pada birokrasi, mutlak perlu di soroti dari sudut andang etos kerja dan kultur
organisasi yang berlaku adalah kultur sosial yang luas. Hambatan Pelaksanaan Good Governance
selanjutnya adalah permasalahan atau tantangan masa depan Sistem Pemerintahan nagari
menurut penulis adalah tidak terciptanya good local governance, tata kelola pemerintahanyang
baik dan bersih dan konsekuensinya adalah munculnya raja, raja kecil dari daerah, korupsi yang
semakin bersarang di daerah, artinya seolah-olah otonomi daerah memberi peluang pemindahan
korupsi dari pusat kepada daerah.

Pemekaran dalam daerah yang tidak proporsional, banyak pelimpaan kewenangan yang
menyimpang sehinga bupati lebih presiden dari presiden sendiri. Persoalan diatas sebagai
solusinya perlu good local governance agar daerah lebih efektif dan efeien dan akuntabilitas di
dalam penyelengaraan sistem desentaralisasi

Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dapat di katakan baik apabila sistem
pelayanannya yang baik maka produk pelayanan itu akan berjalan sesuai dengan rel yang ada.
Standar buruk atau baik tata kelola pelayanan yang baik dan bersih sangat di tentukan pemberian
layanan publik yang lebih professional dan efektif, efisien, sederhana, transparan, tepat waktu,
responsive dan adaptif, dan sekaligus dapat membangun kualitas individu dalam arti
menigkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif masa depannya. Responsif,
kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang
diberikan,competen tuntutan yang dimiliki, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh
aparatur dalam memberikan layanan. Pelayanan publik (publik services) merupakan salah satu
perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara

Pelayanan publik (publik services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu
perwujudan dari fungsi aparatur Negara sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara. Pelayanan
publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga Negara)
dari suatu Negara kesejahteraan (welfare state). Dan sekali lagu tujuan dari good governce
sebagai tujuan Primer adalah mewuhkan pendidikan politik kepada masyrakat (demokrasi)
sementara tujuan sekunder dari Good Governance adalah menciptakan sistem pelayanan yang
efesien dan efektif, akuntabilitas, tapai yang menjadi perslan sekarang adalah good governance
lebh fokus kepada pelayan publik, artinya ketika seseorang berbicra Good Local Governnace
maka yang terbayang di depan matanya adalah elayann yang efektif dan efesien. Pelayanan
publik dapat diartikan disini adalah pemberi layanan atau keperluan orang aatau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
ditetapkan

Anda mungkin juga menyukai