Anda di halaman 1dari 234

BAGIAN PERTAMA

POLITIK, DEMOKRASI
DAN HAM

1
Menyempurnakan
Proses Komunikasi Politik

Bisnis Indonesia, 11 April 2008

Beberapa waktu lalu, dalam pemilihan calon Gubernur Bank Indonesia


(BI), Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menolak Agus Martowardojo dan
Raden Pardede, dua calon gubernur BI yang diajukan pemerintah.
Penolakan tersebut semakin menambah polemik proses pemilihan orang
nomor satu di BI saat itu sehingga berakibat pertama, dalam tataran ekonomi,
penolakan tersebut akan berakibat munculnya ketidakpercayaan pasar terhadap
perekonomian Indonesia karena ketidakpastian kepemimpinan di lembaga
otoritas moneter.

1
Kedua, dalam tataran politik, telah terjadi kebuntuan komunikasi antara
DPR dan pemerintah. Artinya, komunikasi politik yang dijalin pemerintah dengan
DPR tidak berjalan dengan baik dan efektif serta kurang harmonis.
Tulisan ini selanjutnya mencoba membahas poin kedua yaitu; adanya
kebuntuan komunikasi politik antara DPR dan pemerintah. Dalam pengajuan
calon Gubernur BI waktu itu, sama sekali tidak didahului komunikasi politik yang
memadai antara pemerintah dan DPR sehingga menimbulkan ketidakpastian
dalam tatanan kehidupan ekonomi bahkan politik.
Menurut Effendi Gazali, komunikasi politik itu sukses, bila membuahkan
kepastian, dan gagal kalau membuahkan ketidakpastian.
Berkaitan dengan pemilihan Gubernur BI saat itu, maka jelas pemerintah
dan DPR telah gagal menjalankan komunikasi politik.
Kegagalan menjalin kemunikasi politik akan berdampak kepada tidak
tercapainya konsensus bersama untuk memecahkan berbagai persoalan yang
menyangkut kehidupan masyarakat. Dalam kasus pencalonan Gubernur BI,
harusnya inisiatif komunikasi politik antara DPR dan pemerintah dapat
terbangun.
Tidak terbangunnya komunikasi politik antara pemerintah dan DPR paling
tidak disebabkan karena posisi pemerintah yang tidak seimbang dengan posisi
legislatif. Kita melihat bahwa parlemen memiliki kekuatan yang sangat jauh
melampaui batas kekuatan eksekutif. Kekuatan politik riil pemerintah di
parlemen praktis hanya ditopang Partai Demokrat dan Partai Golkar.
Pada akhirnya, tidak terbangun check and balance secara sempurna.
Malah, korporatisme baru yang menonjolkan aspek pemenuhan kepentingan
politik daripada kepentingan publik hadir tidak terbendung.

Lebih baik
Namun, jika kita melihat seluruh proses komunikasi politik yang terjadi
pada era Orde Baru, proses komunikasi politik saat ini tentu saja lebih baik

2
daripada era Orde Baru. Di bawah rezim Orde Baru, komunikasi politik di
Indonesia di monopoli oleh pemerintah yang berkuasa. Atau tergantung pada
satu tangan, yaitu Presiden.
Dalam kurun kekuasaan Orde Baru, badan legislatif tidak berfungsi
sebagai suara rakyat, tetapi tak lain hanya sebagai pendukung Presiden. Anggota
legislatif tidak bisa mengajukan kritik kepada Presiden. Atau menolak keinginan
pemerintah seperti kasus pengajuan calon Gubernur beberapa waktu lalu.
Jika Presiden dikritik, risikonya adalah anggota legislatif tersebut dapat
diberhentikan dengan seketika. Mungkin kita dapat melihat contohnya, di mana
anggota DPR/MPR pernah melontar kritik yang terlalu keras sehingga akan
berakhir dengan pemberhentian tidak hormat.
Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli
komunikasi itu berjalan tanpa ada yang mampu untuk membendung. Monopoli
komunikasi politik di era Orde Baru berakhir dengan mundurnya Soeharto
sebagai Presiden. Komunikasi politik tidak lagi dipegang pemerintah. Namun,
mulai diimbangi oleh kelompok kepentingan seperti LSM, elemen masyarakat
dan kalangan kampus. Sejak saat itu, komunikasi politik tumbuh dan berkembang
begitu cepat, meskipun di sana-sini terdapat kekurangan dan kelemahan dalam
menyampaikan dan mengaktualisasikannya.
Sebagai contoh, begitu banyak komunikasi politik yang terjadi berakhir
dengan bentrok bahkan kekerasan. Hal ini disebabkan karena, dengan
tumbuhnya keterbukaan dalam berdemokrasi, elemen-elemen masyarakat
semakin tahu hak dan kewajibannya. Akibatnya, aksi-aksi protes sebagai sebuah
masukan ke dalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh lagi.
Salah satu manifestasi itu adalah keberanian elemen masyarakat,
kalangan LSM, kalangan mahasiswa mengkritisi para pejabat, elite politik, bahkan
juga mengkritisi kebijakan pemerintah. Sesuatu yang mungkin jarang atau
bahkan tidak pernah terjadi dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.

3
Saat ini, dengan tumbuhnya komunikasi politik di dalam kehidupan sosial
masyarakat setelah runtuhnya rezim Orde Baru, semakin menyuburkan nilai-nilai
demokrasi di Indonesia.
Namun, ada baiknya komunikasi politik itu dijalankan dengan etika dan
cara-cara yang santun. Ada take and give di antara kedua belah pihak. Tidak
merugikan atau menguntungkan suatu kelompok.
Untuk itu kedepan, alangkah baiknya bila komunikasi politik dijalin
dengan lebih baik, disampaikan secara santun, baik, penuh etika dan rasional.
Baik itu antara pemerintah dan DPR, antara pemerintah dan LSM, antara partai
politik dengan rakyat, maupun antara seluruh elemen masyarakat.
Semua komunikasi politik yang dijalankan harus mempunyai komitmen
dan konsensus bersama dalam memecahkan persoalan yang ada demi
kepentingan bersama. Bukan kepentingan perseorangan atau kelompok.
Sebagaimana pendapat Jurgen Habermas (dalam Piliang, 2000;104) bahwa
komunikasi adalah upaya untuk mencapai konsensus bersama dalam
memecahkan berbagai persoalan dan tujuan bersama lewat cara argumentasi
yang rasional. Dalam ranah demokrasi dan kehidupan politik, tentu konsensus itu
dapat dicapai melalui komunikasi politik yang baik.
Akhirnya, manfaat komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik
sehari-hari memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan terhadap
setiap kejadian politik yang berlangsung. Komunikasi politik juga berusaha
memahami berbagai fenomena tentang, misalnya, apa alasan-alasan menolak,
atau tidak setuju sehingga bisa dicapai kata sepakat untuk kepentingan bersama.
Jadi mari sempurnakan proses komunikasi politik dengan cara-cara yang baik dan
santun untuk kepentingan bersama pada masa-masa mendatang. Semoga.

4
2
Terjebak Politik Balas Budi

Bisnis Indonesia, 29 Nov 2007

Kursi kekuasaan menjadi incaran banyak orang. Terkadang cara-cara


untuk mendapatkan kekuasaan itu ditempuh dengan cara-cara yang tidak
profesional, sehat dan jujur. Misalnya, dengan menyetorkan uang terlebih
dahulu atau karena pengaruh hubungan kekerabatan atau pertemanan.
Parahnya, kekuasaan dibagi untuk keuntungan kelompok tanpa memikirkan
apakah seseorang yang menduduki kursi kekuasaan itu ahli dan profesional di
bidangnya.

5
Baru-baru ini sejumlah tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-
Jusuf Kalla duduk sebagai komisaris atau dewan pengawas di sejumlah BUMN.
Sebut saja misalnya, Mayjen (Purn) Samsoeddin (mantan Sekjen Tim Kampanye)
menjadi Komisaris Jasa Marga, Umar Said (mantan Ketua Seksi Kampanye)
menjadi Komisaris Pertamina, Brigjen Rubik Mukav (mantan Ketua Seksi
Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Dewan Pengawas TVRI, Hazairin
Sitepu (mantan Waka Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Ketua
Dewan Pengawas TVRI, Dino Patti Djalal menjadi Komisaris PT Danareksa.
Selain itu ada juga nama Mayjen (Purn) Soeprapto (mantan Ketua Seksi
Pembinaan, Penggalangan, dan Pengerahan Massa) sebagai Komisaris Indosat,
Yahya Ombara (Sekretaris Seksi Pembinaan, Penggalangan dan Pengerahan
Massa) sebagai Komisaris PT Kereta Api Indonesia (KAI), Mayjen (Purn) Sulatin
(mantan Koordinator Wilayah Sulawesi) sebagai Dewan Pengawas Bulog.
Beberapa mantan anggota Tim Khusus juga memperoleh jabatan komisaris,
seperti Andi Arif (Pos Indonesia), Heri Sebayang (PTP Sumatra Utara), Syahganda
Nainggolan (PT Pelindo).
Ironis memang, di era reformasi dan ditandai dengan terpilihnya presiden
secara langsung, dimana kita telah berhasil memilih presiden sesuai dengan
keinginan rakyat, tetapi pola-pola perekrutan pejabat masih menggunakan cara-
cara lama yang sarat akan nuansa nepotisme dan cenderung "terjebak politik
balas budi". Betapa tidak, mereka yang umumnya duduk di kursi komisaris
sebagaimana disebut di atas tidak melalui proses fit and proper test.
Aneh memang, padahal sejak keran reformasi dibuka masyarakat
menghendaki perubahan di segala bidang. Misalnya, masyarakat menghendaki
adanya keinginan untuk menghasilkan birokrat yang baik, jujur, profesional di
bidangnya dan lain sebagainya. Apakah itu di departemen, lembaga
nondepartemen dan BUMN. Untuk menghasilkan birokrat yang demikian salah
satunya adalah dengan memerhatikan track record-nya kemudian diuji
kelayakannya di DPR.

6
Namun, apa yang kita lihat saat ini. Dalam berbagai jabatan di BUMN,
masih menghasilkan bentuk primordialisme dalam banyak wajah. Era reformasi
justru malah memunculkan kelompok-kelompok tertentu dari para
penyelenggara pemerintah untuk menduduki jabatan strategis, misalnya di
BUMN. Berbagai jabatan strategis itu cenderung dipegang dan dipercayakan
kepada figur-figur yang memiliki kedekatan dengan kekuatan politik yang
berkuasa tanpa mempertimbangkan aspek integritas, aspek dedikasi, aspek
kompetensi, aspek kecakapan, aspek pemahaman, aspek keahlian dan
pengalaman.
Padahal kita tahu, semua aspek diatas menjadi prasyarat mutlak untuk
jabatan komisaris di BUMN. Ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) tentang
BUMN. Pasal 26 UU tersebut mengatakan bahwa komisaris diangkat berdasarkan
pertimbangan integritas, dedikasi dan pemahaman masalah-masalah manajemen
perusahaan serta memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha mikro.
Yang tidak kalah penting, komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk
melaksanakan tugas.

Birokrasi bapakisme
Indonesia sebagai negara berkembang memang tidak bisa dilepaskan dari
realitas di atas. Sebagaimana terlihat, birokrasi yang diterapkan di Indonesia
lebih mendekati pengertian dari Max Weber tentang birokrasi patrimonial
dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hierarki birokrasi banyak
didasarkan pada hu-bungan familiar, hubungan kelompok, hubungan pribadi dan
hubungan bapak-anak buah (patron-client).
Hubungan patron-client lebih dikenal dengan nama bapakisme
(paternalisme). Ini banyak diwarnai oleh peninggalan masa lalu, yaitu konsep
politik kelompok etnis Jawa tradisional yang aristokrasi. Bentuk birokrasi
tersebut biasanya mempunyai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses

7
pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien, kurang efektif dan
sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang.
Semua prosedur kerja yang tidak kondusif diatas disebabkan oleh birokrat
yang terpilih tidaklah orang-orang yang cerdas dan cocok pada bidangnya.
Kalau kita perhatikan di negara-negara maju, maka sistem birokrasinya tertata
dengan baik. Bahkan segala aspek dan persyaratan yang diperlukan bagi
penetapan suatu jabatan, promosi dan karier juga tertata dengan baik.
Semuanya benar-benar didasarkan pada kapasitas, kapabilitas dan integritas.
Di samping itu juga didasarkan karena adanya kecakapan atau keahlian,
prestasi, golongan, pangkat dan pengalaman tugas. Jadi ada kepastian karier
apabila seseorang berprestasi, sehingga suatu saat dia layak dipromosikan untuk
menduduki suatu jabatan tertentu yang sesuai dengan keahliannya.
Mengakhiri tulisan ini, kita sepakat, bahwa birokrasi dalam suatu
pemerintahan merupakan paru-paru yang akan selalu menopang kelangsungan
dan kehidupan dari suatu sistem pemerintahan. Dari itu, masihkah kita dapat
menaruh harapan untuk menjadikan birokrasi, baik di departemen, lembaga
nondepartemen maupun sejumlah BUMN yang lebih baik dimasa mendatang?
Jawabannya akan sangat bergantung kepada pihak-pihak yang
berkompeten untuk itu. Yaitu bagaimana pejabat pemerintahan ini mengangkat
orang-orang yang cakap, profesional, kapabilitas dan kredibel di bidangnya untuk
menduduki jabatan-jabatan strategis, seperti komisaris, dewan direksi, dewan
pengawas, kepala bidang, kepala bagian, kepala seksi dan lain sebagainya. Bukan
pejabat yang ditunjuk karena faktor kedekatan, kekeluargaan ataupun kelompok.
Jadi jangan biarkan orang-orang yang tidak cakap dan ahli di bidangnya
duduk di kursi yang mereka tidak mengerti sama sekali. Kejadian ini bukan
pembelajaran yang baik bagi bangsa, tetapi dapat menjadi preseden buruk bagi
kepemimpinan nasional di masa-masa mendatang. Hanya dengan cara
menempatkan orang-orang yang cakap dan ahli di bidangnyalah upaya
menciptakan birokrat yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan

8
masyarakat akan terlaksana sehingga ia akan menjadi kekuatan yang sangat
efektif dalam pelaksanaan pembangunan dan modernisasi. Semoga.

9
3
Fenomena Selebriti dalam Dunia Politik

Suara Pembaruan, 27 Nov 2006

Dalam perspektif demokrasi langsung saat ini, menjadi kepala daerah


sepertinya memangku jabatan yang gampang dan enteng, sehingga banyak sekali
orang yang merasa sanggup untuk mengembannya. Gejala ini menjelma tanpa
pandang bulu, apakah memimpin daerah yang miskin atau memimpin kota
metropolitan yang sangat kompleks masalahnya seperti Jakarta. Semua calon
sama-sama punya ambisi besar, meskipun kemampuan calon belum pernah
teruji dalam memimpin.
Para calon datang dari berbagai kalangan. Tidak ketinggalan para selebriti
yang sekarang berkantor di Senayan. Misalnya, Marissa Haque yang
mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Banten, Adjie Massaid mencalonkan
diri menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur dan Dede Yusuf mencalonkan diri
menjadi Gubernur Jawa Barat. Selebriti lain yang dulunya pernah disebut-sebut
akan mencalonkan atau dicalonkan menjadi kepala daerah adalah pelawak Nurul
Komar untuk Bupati Indramayu dan Rano Karno untuk Gubernur DKI Jakarta.
Fenomena keikutsertaan artis di kancah politik dengan mengincar salah
satu jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah menarik untuk dicermati.

10
Paling tidak, keikutsertaan selebriti dalam ranah politik ini telah menjadi
fenomena baru dalam kehidupan politik sejak era reformasi digulirkan. Kita tahu,
di zaman Orde Baru artis hanya sering dipakai sebagai vote getter alias
penggembira.
Namun era reformasi saat ini, di mana demokrasi berlangsung dengan
bebas, artis tiba-tiba diberi kedudukan dan peranan yang lebih hebat oleh partai
politik. Para artis bukan lagi vote getter, pemain sinetron, akan tetapi sudah
menjadi calon anggota DPR, bahkan akhirnya menjadi wakil rakyat, meskipun
publik tidak pernah mendengar apa prestasi, kinerjanya dan perjuangannya
untuk konstituennya.

Faktor Ketenaran
Fenomena ini menunjukkan bahwa banyaknya artis yang terjun ke politik
dan akhirnya berkantor di Senayan masih dan sangat ditentukan oleh faktor
ketenaran dan popularitas mereka semata. Apalagi mereka masih muda, energik,
cantik dan gagah. Kelebihan ini menjadi faktor pendukung untuk meraup suara
sebanyak mungkin.
Lihat saja perolehan suara yang dikumpulkan oleh para artis pada pemilu
tahun 2004 lalu. Faktor popularitas dan dikenal masyarakat membuat suara
mereka membengkak. Bahkan mereka menjadi pemenang di daerah pemilihan
masing-masing.
Perolehan suara Adjie Massaid di daerah pemilihan Pasuruan misalnya. Data
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Pasuruan menunjukkan bahwa Adjie
berada pada posisi paling atas dengan perolehan 11.717 suara. Perolehan suara
itu mampu meninggalkan pesaingnya yang politikus dan tokoh masyarakat
setempat.
Marissa Haque malah lebih tinggi dengan perolehan 55.299 suara untuk
daerah pemilihan Kabupaten Bandung. Bahkan dia berhasil menggeser

11
perolehan suara tokoh PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas yang mengoleksi 42.400
suara.
Perolehan suara meyakinkan juga diraup Dede Yusuf dengan 28.331 pemilih di
daerah pemilihan Kuningan, Jawa Barat. Bisa jadi suksesnya para artis di pemilu
legislatif 2004 kemungkinan akan berlanjut dalam pemilihan kepala daerah.
Di Indonesia, ramainya artis melangkah ke pentas politik memang suatu
hal yang baru. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya,
fenomena seorang artis terjun ke kancah politik dan kemudian menjadi
pemimpin eksekutif telah lama berlangsung.
Lihat saja aktor Arnold Swarzenegger yang terpilih sebagai Gubernur Califor-nia,
salah satu negara bagian di AS pada 7 Oktober 2003.
Sebelumnya, aktor Ronald Reagan yang bisa main dalam film-film koboi
justru sukses di pangung politik. Karier politik Reagan di mulai ketika menjadi
anggota Liberal Partai Demokraat. Ia mendukung program New Deal yang
dicanangkan Presiden Franklin Roosevelt. Kemudian Reagan beralih menjadi
seorang pendukung Republik.
Namanya mulai dikenal dikancah politik saat ia membongkar nama-nama
mitra pekerja Hollywood yang pro-komunis kepada FBI di tahun 1950-an. Lalu Ia
pernah memimpin Screen Actors Giuld (SAG) dan bertugas membongkar
pengaruh komunis di Hollywood.
Dan pada akhirnya tahun 1966 Reagan terpilih menjadi gubernur
California. Dari situ dia mencoba meraih kursi kepresidenan. Dan tahun 1980
Ronald Reagan berhasil menang sebagai calon Presiden dari Partai Republik.
Sehingga ketika Reagan resmi terpilih sebagai orang nomor satu di Amerika
Serikat sejumlah headline surat ka-bar serentak menulis judul Koboi Masuk
Gedung Putih.
Pada masa kepemimpinannya, Reagan mampu membuat seluruh
hidupnya menjadi sebuah "show" yang memikat untuk diperhatikan setiap

12
orang, layaknya sebuah runtutan cerita film yang menarik. Hal ini tidak terlepas
dari pengalamannya baik sebagai penyiar radio dan bintang Hollywood.
Di samping dua nama di atas, tentu masih banyak lagi mantan selebriti
dunia yang berhasil dalam dunia politik. Jose Marcelo Ejercito misalnya, mantan
Presiden Filipina. Pertengahan tahun 1980-an Jose terpilih sebagai senator
dengan kendaraan Partai Partido Masang Pilipino. Petualangan menuju kursi
Presiden-pun dimulai. Tahun 1992 ia melangkah menuju kursi calon wakil
Presiden. Dan pada tahun 1998 ia akhirnya terpilih sebagai Presiden Filipina.

Tidak Mudah
Di Indonesia, dan jika nanti salah satu di antara selebriti jadi menduduki
kursi gubernur atau wakil gubernur, maka tantangan ke depan yang akan
dihadapi oleh para selebriti tentu tidak mudah. Banyak persoalan-persoalan
daerah yang harus dipahami betul oleh mereka. Misalnya masalah investasi,
pengangguran, kemiskinan, industri, penegakan hukum bahkan konflik sosial.
Jangan sampai setelah meraih jabatan publik, mereka tidak mengerti apa-
apa yang akan dikerjakan untuk daerah yang dipimpinnya. Jangan sampai setelah
menduduki kursi kekuasaan mereka sibuk bagaimana cara mengumpulkan
kekayaan sebanyak mungkin tentunya untuk kepentingan pribadi.
Karena sudah jamak di ketahui banyak pejabat yang kaya-raya setelah
menduduki posisi penting di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Mumpung masih menjabat maka kesempatan harus digunakan untuk meraup
uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya, meskipun harus ditempuh dengan
cara-cara yang tidak benar.
Ini perlu dicermati, karena itu langkah untuk maju mencalonkan diri
menjadi gubernur atau wakil gubernur janganlah hanya karena ambisi-ambisi
tertentu, namun demi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Hendaknya mereka
sadar bahwa masuk ke bursa pemilihan gubernur atau wakil gubernur hanya

13
karena dilandasi oleh kesadaran untuk membangun daerah yang akan
dipimpinnya.
Bukan mencari ketenaran, kedudukan, kekuasaan dan kekayaan. Jika itu
yang terjadi, sudah pasti rakyat yang akan menanggung beban penderitaan. Kita
tentu tidak menginginkan hal itu bukan.

4
Langkah Awal Menghapus Diskriminasi

Republika, 22 Nov 2006

Tanggal 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah
mensahkan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan yang baru
yaitu UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. UU tersebut adalah
penganti UU Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No 62 tahun 1958 yang telah

14
diubah dengan UU No 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No 62 tahun
1958 tentang Kewarganegaraan RI.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam praktiknya, UU Nomor 62 tahun
1958 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan
masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang
menuntut adanya persamaan perlakuan dan kedudukan dihadapan hukum.
Selama ini, UU Kewarganegaraan yang lama kurang menjamin pemenuhan hak
asasi manusia dan persamaan antarwarga negara serta kurang memberikan
perlindungan kepada anak-anak dan juga kaum perempuan.
Sebagai contoh, menurut UU No 62/1958 yang menganut asas ius
sanguinis, anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita Warga Negara
Indonesia (WNI) dengan pria Warga Negara Indonesia (WNA), otomatis
mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hal ini tentu saja sangat memberatkan
perempuan. Karena menetapkan bahwa kewarganegaraan anak hanya mengikuti
kewarganegaraan ayah. Wanita tidak dapat menentukan kewarganegaraan
anaknya.
Di samping itu juga, wanita akan kehilangan kewarganegaraannya jika
sang suami meninggal atau bercerai. Hak wanita lain pun temarginalisasi dengan
adanya UU lama ini. Misalnya, seorang ibu juga tidak otomatis punya hak asuh
bagi anaknya karena berbeda kewarganegaraan. Kemudian, UU ini juga
menyebabkan wanita dan anak akan mengalami kesulitan keadilan hukum jika
mereka mengalami kekerasan rumah tangga. Lebih dari itu, UU ini juga
menyebabkan adanya pembatasan hak wanita untuk bekerja dalam perkawinan
campur. Jadi, tampak sekali bahwa UU Kewarganegaraan yang lama tidak
memihak kepada kaum perempuan.
Aturan bahwa kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan
ayahnya, dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (b) UU No 62/1958. Disebutkan, warga
negara RI adalah orang yang pada waktu lahir memiliki hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya warga negara RI. Hubungan kekeluargaan ini

15
berlangsung sebelum orang tersebut berusia 18 tahun atau belum menikah pada
usia di bawah 18 tahun. Ayat (d) menyebutkan, warga negara Indonesia adalah
anak yang dilahirkan dari ibu warga negara Indonesia yang ketika lahir tidak
memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya. Ayat (e)
menyebutkan, anak mengikuti kewarganegaraan ibunya apabila ayahnya tidak
memiliki kewarganegaraan atau kewarganegaraan ayahnya tidak diketahui.
Sementara Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan, anak di luar perkawinan dari
seorang ibu warga negara Indonesia atau anak dari perkawinan sah, tetapi dalam
perceraian, oleh hakim anak itu diserahkan pengasuhannya kepada ibunya yang
warga Indonesia dan kewarganegaraan anak itu mengikuti ayahnya yang warga
asing, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk
memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Permohonan kewarganegaraan itu
harus diajukan setelah anak tersebut berusia 18 tahun dan diajukan dalam waktu
tidak lebih dari satu tahun.
Perbedaan kewarganegaraan antara anak dan ibu dalam perkawinan
campur telah melahirkan berbagai kesulitan bagi perempuan WNI. Terkadang si
ibu WNI harus mengurus izin tinggal anaknya dengan visa kunjungan
sosial/budaya tentunya dengan biaya permohonan visa..
Berbeda dengan UU Kewarganegaraan yang lama. UU Kewarganegaraan
yang baru menganut asas campuran antara ius sanguinis dan ius soli
(kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), dan mengakui
kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur
dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun.
Maksudnya, sampai anak berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua
kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut, ditambah tenggang waktu 3
tahun untuk mempersiapkannya, barulah si anak diwajibkan memilih salah
satunya. Lalu dalam UU Kewarganegaraan baru juga disebutkan bahwa WNI yang
menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti

16
kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk
menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya.
Jadi kalau dalam UU Kewarganegaraan yang lama, bila wanita Indonesia
menikah dengan pria asing maka wanita tersebut akan kehilangan
kewarganegaraannya, dan kemudian akan ikut dengan warganegara suaminya.
Pasal 8 (1) UUU No.62 tahun 1958 menyebutkan, bagi perempuan
berwarganegara Indonesia yang menikah dengan seorang WNA akan kehilangan
kewarganegaraan RI.
Kewarganegaraan RI akan diperoleh kembali jika dan pada waktu ia
setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan
itu harus dinyatakan dalam jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya
terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan RI tempat tinggalnya (Pasal
11 UU Kewarganegaraan).
Akhirnya, pengesahan UU Kewarganegaraan yang baru layak
diapresiasikan. Karena ia membuka babak baru dalam kehidupan perkawinan
campur di Indonesia. Lebih dari itu, pengesahan UU ini baru merupakan langkah
awal untuk mengakhiri segala praktik diskriminasi yang telah dirasakan selama
lebih 61 tahun merdeka. Dan orang-orang yang selama ini ter-diskriminasikan
mudah-mudahan sekarang merasa memiliki legalitas sebagai warga negara.
Untuk itu, yang paling penting nantinya dilakukan adalah bagaimana
implementasi UU tersebut di lapangan. Inilah pekerjaan rumah bagi pemerintah
untuk mengawasi jalannya UU tersebut. Sebab apalah artinya sebuah payung
hukum bernama UU Kewarganegaraan yang menjamin diakhirinya diskriminasi,
tetapi dalam praktiknya bentuk-bentuk ketidakadilan, diskriminasi dan
kesewenang-wenangan masih muncul dibumi pertiwi ini. Semoga dengan
diresmikannya UU Kewarganegaraan yang baru ini, kebersamaan kita sebagai
anak bangsa akan lebih bermakna dalam menyongsong hari depan yang lebih
baik.

17
5
Pemerintahan Perlu
Perhatikan Masalah HAM

Seputar Indonesia, 15 Oktober 2005

18
Pada pemilu Presiden 2004 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai
Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004-2009. Selanjutnya sejumlah
harapan digantungkan di pundak SBY-JK. Misalnya, harapan penegakan hukum,
pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik. Tidak kalah menarik, masalah
perlindungan dan penegakan HAM juga menjadi hal yang selalu diharapkan
banyak pihak.
Sebab dibidang penegakan dan perlindungan HAM, pemerintahan
sebelumnya belum maksimal memberikan perlindungan terhadap warga
masyarakat dari berbagai prilaku dan tindakan kekerasan. Lihat saja, ancaman
bom masih saja mengincar nyawa setiap orang.
Aparat keamananpun masih sering melakukan pelanggaran HAM berat
dengan berbuat kekerasan kepada masyarakat terutama sekali ketika menangani
aksi demonstrasi dan menindak prilaku kriminal.
Jadi sangat wajar jika harapan itu digantungkan pada pasangan SBY-JK.
Namun sayang, setelah setahun masa pemerintahan SBY-JK berjalan, harapan
akan terciptanya perlindungan dan penegakan HAM masih jauh dari kenyataan.
Rendahnya perlindungan HAM tersebut dapat dilihat dengan belum
tuntasnya kasus-kasus pelanggaran HAM diselesaikan oleh pemerintah.
Pemerintah belum memberikan langkah yang berarti sampai proses keputusan
akhir pengadilan. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM lebih bersifat retorika.
Sejatinya, pengadilan HAM yang dibentuk tidak tuntas dalam menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM. Banyak pelaku pelanggaran HAM yang di
bebaskan.
Padahal diperlukan pertanggungjawaban dari perbuatan mereka.
Impunity ini membuat semua pelaku dengan senang menghirup udara bebas
diatas penderitaan rakyat yang menjadi korban. Impunity ini merupakan
fenomena hukum dan politik yang sering kita saksikan sejak beberapa tahun
belakangan ini.

19
Padahal terminologi yang mengatur tentang hukuman bagi pelanggar
HAM ini telah ada secara formal dalam hukum Indonesia. Terutama sejak
diundangkannya dua Undang-undang yang dihasilkan lewat reformasi yakni UU
No 30/1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.26/2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 UU No 39/1999 menyebutkan bahwa; pelanggaran HAM adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh UU.
Sayang sampai kini UU tersebut belum sepenuhnya mampu
menghentikan praktik-praktik pelanggaran HAM dan juga UU tersebut belum
mampu memberikan hukuman yang adil bagi pelaku pelanggaran HAM.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang pelakunya tidak tersentuh oleh
hukum tersebut misalnya, pelanggaran HAM dalam peristiwa Trisakti dan
Semanggi, peristiwa Mei 1998, penyerangan kantor PDI-P tahun 1996, masa
DOM di Aceh dan Papua, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari Lampung, peristiwa
petrus, sampai pada peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966 dan lain
sebagainya.
Dalam menghadapi kasus-kasus diatas, pengadilan HAM yang terbentuk
seakan tidak berdaya menghukum pelakunya. Sehingga pada akhirnya
perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM masih jauh dari konsensus
reformasi yakni mewujudkan keadilan yang hakiki pada setiap warga negara.
Janji-janji pemerintahan SBY-JK untuk menegakkan hukum dan HAM masih janji
bohong.
Lihat saja, pengungkapan kasus kematian Munir sampai sekarang masih
berlarut-larut. Sementara bom masih juga meledak disana-sini. Ini adalah
barometer tidak adanya kemauan dan kemampuan pemerintah SBY-JK dalam
upaya-upaya penegakan dan perlindungan HAM.

20
Ajakan untuk menegakkan HAM dari pemerintahan SBY nampaknya baru
berupa wacana dan tidak didukung oleh aksi nyata. Untuk itu, mumpung masih
satu tahun usia pemerintahan SBY-JK, kedepan SBY-JK harus segera membuat
langkah-langkah yang konkret terhadap upaya-upaya perlindungan HAM dan
menindak pelakunya.
Karena agenda utama dalam penegakan hukum salah satunya adalah
melindungi HAM dan menindak pelanggar HAM secara adil sesuai dengan hukum
yang berlaku. Hal ini harus ditindaklanjuti oleh seluruh aparat hukum. Jadi untuk
kasus-kasus yang telah dilimpahkan ke penyidik kejaksaan agung (kejagung)
harus segera dilimpahkan ke pengadilan.
Jika pun ada kekurangan keterangan saksi-saksi, Kejagung harus segera
melengkapinya. Hal yang tidak kalah pentingnya pemerintahan SBY-JK harus
dapat menertibkan aparat keamanan dari prilaku-prilaku pelanggaran HAM.
Karena biasanya aparat keamanan merupakan pihak yang paling berpotensi
melakukan pelanggaran HAM terutama sekali dalam menangani aksi massa.
Apakah masih ada harapan untuk hidup jauh dari segala bentuk
kekerasan, intimidasi dan segala bentuk pelanggaran HAM lainnya pada masa-
masa mendatang?
Semua itu akan terjawab apabila penyelenggara kekuasaan negara
mempunyai komitmen yang serius untuk melakukan perbaikan dalam rangka
menegakkan nilai-nilai HAM dan menjauhi masyarakat dari praktik-praktik
pelanggaran HAM? Mumpung masa pemerintahan SBY-JK masih tersisa empat
tahun lagi. Saatnya sekarang untuk membuktikan janji kampanyenya dahulu
untuk melakukan langkah yang konkrit dalam upaya-upaya perlindungan HAM
dan kemudian menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi
perhatian masyarakat. Hanya itulah yang dirindukan masyarakat. Semoga.***

21
6
22
Imlek dan Politik Diskriminasi
Etnis Tionghoa

Sinar Harapan, 19 Januari 2004

Proses reformasi dengan tampilnya Habibie sebagai Presiden telah


membawa perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat etnis Tionghoa.
Salah satu bentuk perubahan tesebut adalah diakhirinya segala bentuk
pelarangan terhadap kebebasan berekspresi kelompok etnis tionghoa dengan
menerbitkan Impres Nomor 26 tahun 1998. Karena sepanjang orde baru
berkuasa identitas etnis Tionghoa telah dicoba ditutup-tutupi secara paksa oleh
suatu keputusan politik yang otoriter. Sejatinya, pelarangan kegiatan kesenian,
kebudayaan dan segala macam yang berbau China dihapus sama sekali oleh
penguasa saat itu.
Lengsernya Habibie dan tampilnya Gus Dur sebagai Presiden pada tahun
2000 semakin memperkuat eksistensi etnis Tionghoa untuk berekspresi. Hal ini
ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun
2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan sekaligus mencabut keberadaan
Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sejak saat itu kesenian Barongsai sebagai simbol
perayaan imlek nyaris tidak ada hambatan. Naiknya Megawati sebagai Presiden
pada tahun 2002 juga telah membuat suatu keputusan dengan menyatakan
Imlek sebagai hari libur nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu disambut
gembira oleh seluruh masyarakat keturunan etnis Tionghoa. Namun demikian
dalam kehidupan politik, warga etnis Tinghoa masih saja dihadapkan pada ruang
diskriminasi. Terutama dalam menyalurkan hak politiknya pada pesta pemilu.
Pada pemilu 2004 misalnya, warga etnis Tionghoa masih banyak yang
belum di daftar dalam proses pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk
berkelanjutan (P4B). Hal ini setidaknya diakui oleh pendiri Lembaga Anti

23
Diskriminasi di Indonesia (LADI) Frans Hendra Winata dan Direktur Eksekutif LADI
Rebeka Harsono yang menyebutkan bahwa sejumlah daerah di Jakarta masih
banyak warga Tionghoa yang belum terdaftar sebagai calon pemilih pada pemilu
2004.
Sulitnya warga negara keturunan Tionghoa untuk dapat di daftar dalam
proses pelaksanaan pemilu paling tidak disebabkan karena mereka tidak memiliki
Surat Bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), akibatnya mereka
sangat sulit untuk mendapatkan KTP atau surat resmi lainnya. Sedangkan KTP
atau surat-surat bukti tersebut merupakan syarat penting yang diperlukan dalam
pendataan penduduk untuk bisa diikutkan dalam pesta pemilu. Memang
pencatuman kewarganegaraan Indonesia dalam akte kelahiran sudah jelas
disebutkan, namun penegasan itu masih harus dibuktikan dengan SBKRI.
Jika kita lihat sejarah kebelakang, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
sudah berlangsung cukup lama. Dalam hak politik misalnya, etnis Tionghoa
memang telah dikebiri oleh penguasa. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk
menggunakan hak politiknya secara bebas. Bahkan selama kurun waktu tertentu
di bawah kekuasaan orde baru, warga Tionghoa selalu digiring untuk memilih
partai politik tertentu. Bahkan sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis
Tionghoa yang telah dikeluarkan oleh Orde Baru jelas-jelas telah melanggar hak
asasi manusia yang dilakukan oleh negara terhadap warganya.
Perlakuan diskriminatif tersebut misalnya. Pertama, dengan
dikeluarkannya Surat Edaran (SE) No 2/SE/Ditjen/PPG/K/1998 tentang larangan
penerbitan tulisan/iklan yang beraksara dan berbahasa Cina. Kedua, Instruksi
Presiden (Impres) No 14/1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat
Cina. Ketiga, Instruksi Mendagri No 455.2-360 tahun 1968 mengenai penataan
kelenteng. Keempat, Surat Edaran (SE) Presedium Kabinet RI No SE-06/Pres-
Kab/6/1967 tentang pengantian istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina.
Kelima, Impres No 37/U/IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina

24
(BKMC). Keenam, Keputusan Presidium No 127/U/Kep/12/1966 tentang
peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina.
Banyaknya bentuk perlakukan diskriminatif terhadap warga keturunan
tersebut telah menimbulkan adanya kerenganggan dalam hubungan sosial
antara orang Indonesia asli dan penduduk keturunan atau warga pribumi dan
non pribumi. Dan pengaturan hukum yang diskriminatif diatas jelas merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Sulitnya warga negara Tionghoa untuk mendapatkan SBKRI memang
merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang selalu menjadi berita penting
untuk dikritisi. Sebab secara resmi pemerintah telah mengeluarkan sejumlah
kebijakan untuk menghapus SBKRI yang dilahirkan oleh Peraturan Menteri
Kehakiman No JB 3/4/12 tahun 1978. Misalnya Kepres No 56/1996 tentang Bukti
Kewarganegaraan RI. Dalam Pasal 4 ayat 2 UU ini menyebutkan. “Berbagai
kepentingan yang memerlukan bukti kewarganegaraan cukup menggunakan
KTP, kartu keluarga atau akte kelahiran. Selanjutnya pada Pasal 5 dinyatakan
bahwa dengan adanya Kepres tersebut maka segala peraturan perundang-
undangan untuk kepentingan tertentu yang mengsyaratkan SBKRI dinyatakan
tidak berlaku lagi. Peraturan ini masih dipertegas lagi dengan Surat Edaran
Menteri Kehakiman dan HAM yang menyatakan kepada seluruh jajaran
Depatmen Kehakiman dan HAM untuk tidak menerbitkan lagi SBKRI.
Banyaknya ketentuan yang menghapus keberadaan SBKRI tersebut
ternyata dalam praktiknya tidaklah dijalankan sebagaimana mestinya. Praktik-
praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tetap berjalan. Ini sangat
bertentangan dengan Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan
bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai subjek hukum.
Kenyataan ini juga sangat bertolak belakang dengan UUD 45 khususnya Pasal 27
yang mengamanatkan setiap warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya
didepan hukum.

25
Kebijakan diskriminatif yang dijalankan pemerintah Orde Baru memang
telah membuat warga etnis Tionghoa kesulitan untuk mendapatkan haknya
sebagai warga negara Indonesia. Keharusan memiliki SBKRI tersebut membuat
banyak warga etnis Tionghoa masuk dalam kelompok warga negara kelas dua.
Padahal Kepres yang menyatakan tidak diperlukannya lagi SBKRI sudah
diterbitkan, akan tetapi diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa
ternyata belum dapat dihilangkan dari tanah air Indonesia ini.
Untuk itu, langkah yang harus dilakukan agar tercapainya hubungan yang
harmonis antara pribumi dan non pribumi adalah dengan membuka kesempatan
yang lebih besar kepada golongan etnis Tionghoa untuk turut berkiprah dalam
kegiatan-kegiatan yang juga dilakukan oleh warga pribumi.
Upaya-upaya mengembalikan hak-hak politik dan sosial warga etnis
Tionghoa haruslah berpegang kepada prinsip persamaan hak sebagai warga
negara Indonesia. Penegasan partisipasi politik warga Tionghoa ini penting agar
nantinya mereka tidak lagi dirugikan dalam hak-hak politiknya. Dan ini harus
ditangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Kalau ini tidak dilakukan maka pihak-pihak terkait tesebut dapat diduga
telah menghalang-halangi hak seseorang untuk menggunakan hak pilihnya. Dan
ini jelas sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 45 yang telah
disepakati oleh bangsa Indonesia.
Agar pelaksanaan pemilu yang didambakan dapat menghasilkan
kehidupan yang lebih baik. Maka persiapan dan langkah-langkah yang baik harus
dilakukan. Kesiapan politik dari masyarakat secara keseluruhan tanpa
membedakan suku, agama dan budaya harus dihilangkan. Sebab seluruh
masyarakat harus mendapatkan serta mengetahui hak dan kewajibannya sebagai
warga negara yang baik.
Dan ini jelas menjadi syarat mutlak terselenggarannya kehidupan politik
yang demokratis. Prinsip-prinsip demokrasi yang benar harus dijabarkan dan
dijamin keberadaannya. Dan tidak ada cara lain, seluruh komponen bangsa ini

26
harus secara bersama-sama menciptakan pemilu 2004 sebagai solusi yang tepat
untuk menyudahi krisis multidimensi yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Dengan ulasan diatas mudah-mudahan perayaan imlek setiap tahunnya dapat
menggugah komitmen kita untuk lebih menyadari hakekat kehidupan bangsa
dengan segala latar belakang suku, agama, budaya dan latar belakang lainnya.
Selamat imlek. ***

27
7
Demokrasi dan Penegakan Hukum

Suara Karya, 3 Februari 2003

Mempersoalkan demokrasi sebagai suatu sistem politik dalam negara


hukum sesungguhnya tidak sekedar terfokus pada dimensi tujuannya saja.
Namun penting diperhatikan juga tentang cara berdemokrasi yang benar. Jika
kita lihat sekarang masyarakat lebih cenderung mengaktualisasikannya dengan
cara yang tidak terpuji. Yang dengan alasan demokrasi semua aturan-aturan
hukum bisa dilanggar dengan seenaknya.
Problem utama setelah reformasi bergulir adalah adanya kebebasan
tanpa arah sebagai dasar dari demokrasi. Padahal dalam pelaksanaannya sendiri
seharusnya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Inilah yang disebut dan dikenal
dengan prinsip hak dan kewajiban. Yaitu adanya hak oarng lain yang mesti
dihargai dan kewajiban kita untuk mematuhi sistem demokrasi dengan benar.

28
Kemerdekaan yang diperoleh melalui perjuangan yang cukup lama dan
memakan banyak korban, maka kata demokrasi mempunyai arti penting sebab
merupakan salah satu tonggak dari pada penyanggah kemerdekaan yang telah
dicapai. Bertolak pada hal diatas maka kemerdekaan yang telah dicapai tersebut
haruslah diisi dengan sistem demokrasi yang berkeadilan. Dengan demikian
nantinya demokrasi akan jauh lebih bermakna sebab telah terpenuhinya nilai-
nilai hak asasi manusia untuk berekspresi dengan segala kebebasan yang positif
dan bukan kebebasan yang anarkhis. Oleh sebab itu tahapan demokrasi yang
benar dan baik harus dikedepankan sehingga nanti akan dijumpai suatu
masyarakat yang hidup dalam suasana yang sejahtera dengan koridor hukum
yang berlaku.
Sebagai suatu sistem politik, demokrasi dapat dilihat sekitar lima abad
sebelum masehi. Saat itu orang yunani membentuk polis (Negara Kota) dengan
menerapkan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan sehingga
dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pentingnya demokrasi
juga dikemukakan oleh Samuel P. Hunngtington yang menulis dalam bukunya
The Third Wave Democratization In The Late Twentieth Century (1991) yang
mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi kata kunci dalam wacana dan
pergerakan politik dunia. Dan tidak ada keragu-raguan untuk itu. Serta proses
demokratisasi atau perjuangan untuk menegakkan demokrasi dewasa ini telah
ada dan sedang berlangsung diberbagai pelosok dunia. Jadi hampir semua istilah
demokrasi selalu memberikan arti penting bagi masyarakat. Karena sebagai
dasar hidup berdenegara demokrasi memberikan pengertian bahwa pada tingkat
terakhir rakyat merasakan langsung manfaat demokrasi yang dilaksanakan.

29
Dari itu rakyat berhak menikmati demokrasi sebab hanya dengan
demikianlah arah kehidupan rakyat dapat diarahkan pada kehidupan yang lebih
adil dalam semua aspek kehidupan. Maka dari itu negara demokrasi adalah
negara yang berlandaskan kehendak dan kemauan rakyat, karena kedaulatan
berada ditangan rakyat. Ketidakadilan dalam mengujudkan fungsi hukum
merupakan salah satu bentuk demokrasi tidak berjalan ditengah masyarakat.
Lumpuhnya kedaulatan hukum rakyat dan mandulnya lembaga-lembaga hukum
menggambarkan keadaan tersebut.
Pemerintah sebagai penguasa yang mengklain dirinya sebagai reformator
demokrasi hukum namun malah bersikap acuh tak acuh dalam menegakkan
hukum. Hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya seolah-olah hukum hanya
berlaku bagi golongan masyarakat kecil.Bahwa demokrasi telah tumbuh menjadi
alasan reformasi dengan kecendrungan mengabaikan hak-hak asasi manusia
memang tidak bisa dipungkiri. Semua sikap demokrasi yang dijalankan selalu
membonceng makna reformasi sebebas-bebasnya tanpa mampu membedakan
sikap-sikap yang arogan.
Dibidang HAM, maka untuk melindungi HAM tersebut negara harus
dibangun atas prinsip negara hukum dan diawasi oleh instrumen yang
berwenang. Agar demokrasi dapat berjalan tanpa menginjak hak asasi manusia
maka perlulah segera agenda penting diutamakan oleh penguasa dengan
memberikan perhatian khusus cara-cara demokrasi yang tidak menyimpang.
Sebab mempersoalkan demokrasi sebagai suatu paham dari sistem politik dalam
negara hukum pada hakekatnya tidak terpusat pada dimensi aktualitas dan
tujuan yang ingin dicapai saja tetapi juga menyangkut hak asasi manusia yang
sebenarnya tidak boleh diabaikan. Jika demokrasi hanya dipersoalkan pada
tujuan yang ingin dicapai saja maka jelas akan mengandung sejumlah problem
terutama yang berdampak pada kelangsungan kehidupan masyarakat. Karena
demokrasi tidak berada pada ruang hampa yang kebal dari aturan yang anarkis.

30
Namun sebaliknya bahwa demokrasi tersebut harus tunduk pada
ketentuan hukum yang berlaku yang nantinya berdampak pada aktifitas
masyarakat. Pertanyaannya? Sudahkah demokrasi berjalan dengan semestinya
dinegeri ini atau jika benar demokrasi sudah ditegakkan dimanakah tempat
rakyat yang sesungguhnya? Apakah rakyat bisa mendapatkan manfaat dalam
proses politik yang didengungkan secara demokratis? Atau dapatkah masyarakat
memperoleh persaman dan keadilan dimuka hukum? Menjawab pertanyaan ini
penulis teringat dengan apa yang dikatakan Gus Dur dalam tulisannya diharian
Kompas edisi 1 September 1998 yang berjudul “Masa Depan Demokrasi di
Indonesia”.
Dalam tulisannya Gus Dur mempertanyakan mungkinkah demokrasi
dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan datang? (Pemilu
pertama setelah tumbangnya kekuasaan orde baru). Dengan enteng Gus Dur
menjawab “tidak”. Walaupun pertanyaan tersebut sempat mengejutkan
berbagai pihak sebab dalam kenyataannya telah terjadi perubahan besar
dipanggung politik yang memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi seperti
berdirinya partai-partai politik yang didukung oleh cendikiawan, mahasiswa,
media massa, LSM yang semuanya hampir bertujuan menegakkan demokrasi.
Namun disisi lain Gus Dur beralasan bahwa konstelasi politik yang ada
belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih
banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Disamping itu masih adanya
lembaga negara yang mempertahankan status quo, demikian juga dengan UU
pemilu dan sistem politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu serta
yang lebih penting tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat.

31
Dari uraian yang digambarkan oleh Gus Dur diatas dan jika dilihat kondisi
peta politik sekarang memang sangatlah tepat. Demokrasi seolah tidak ada arti.
Semua serba anarkis. Partai politik saling berkonflik ria. Pejabat dan elite politik
saling beragumen semua atas nama rakyat,. Hukum belum berjalan sebagai
mana mestinya. Lembaga negara khususnya dibidang hukum masih saja
diintervensi. Untuk itu Gus Dur menyarankan bahwa tradisi budaya politik
haruslah sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada. Dan perlu
perjuangan melalui serangkaian pemilu sebab dari situlah dimulainya
perombakan aturan mengenai mekanisme kerja pemerintah. Hubungan pusat
dan daerah serta perumusan kembali peran institusi yang ada agar dapat
berjalan secara efektif.
Untuk mengujudkan sistem demokrasi yang baik maka perlu dituangkan
didalam kaedah hukum dalam suatu sistem pemerintahan. Demikian juga
dengan lembaga-lembaga negara yang ada. Karena secara umum prinsip
demokrasi itu mempunyai empat pilar utama yang mempunyai peran signifikan
seperti lembaga legislatif atau parlemen sebagai tempat wakil rakyat, lembaga
eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan negara, lembaga yudikatif
sebagai tempat memberi putusan hukum dan keadilan dalam pelaksanaan UU
serta pers sebagai alat kontrol masyarakat. Semua lembaga diatas sangat
menentukan sekali dalam proses tegaknya demokrasi. Untuk itu dengan tetap
berpegang pada pilar-pilar demokrasi dan konsep-konsep demokrasi hukum
serta politik pada umumnya, diharapkan akan terujud penyelenggara negara
yang bersih dan baik. Karena apapun alasannya demokrasi tanpa diwadahi
dengan hukum yang responsif maka segala bentuk kekacauan dan kecurangan
akan selalu datang dan seolah tidak mau pergi menghinggapi masyarakat.
Oleh sebab itu menurut penulis perlu ditumbuhkan kesadaran moral para
elite pemerintah dinegeri ini untuk membawa muatan kepentingan
memperjuangkan amanat rakyat. Dengan motto yaitu bahwa sekali amanat
rakyat yang diemban itu dikhianati dan dijadikan barang komoditi maka saat itu

32
juga kekuasaan telah kehilangan keabsahan. Dari itu, perlu dicamkan bahwa
demokrasi akan menjadi prasyarat yang utama bagi pembangunan yang
dilaksanakan. Dan nantinya akan memberikan berkah pada rakyatnya.
Pemerintah dengan segala sumber daya yang dimilikinya tidak akan dapat tegak
tanpa adanya dukungan yang memadai dari rakyat. Kita sepakat bahwa sasaran
utama dari gerakan reformasi adalah membangun suatu kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam kerangka demoktaris. Semua tujuan itu akan tercapai kalau
kita telah menjamin suatu kehidupan yang demokratis. Kehidupan yang
demokratis itu berlaku dalam semua bidang kehidupan, baik politik, ekonomi,
hukum maupun pendidikan. Karena itu yang dimaksud dengan reformasi total
adalah membangun demokrasi yang berlandaskan hukum menuju kehidupan
yang lebih berdaya guna dalam setiap kesempatan. Dari kontek diatas maka
perlu kita membangun demokrasi dengan struktur sosial politik yang baik serta
membangun mental dan budaya yang penuh damai. Jika hal ini dapat diujudkan
sudah tentu perundangan yang ada memungkinkan dijalankan sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya sebagai pengikat dan pemberi sanksi. Berkenaan
dengan itu maka keberadaan legitimasi kekuasaan yang otoriter jelas tidak dapat
dijalankan didalam suatu negara hukum. Dan legitimasi pada keteraturan dalam
konteks negara hukum akan memberikan kedaulatan pada rakyat dengan
sebesar-sebesarnya.
Dari uraian yang kemukakan diatas maka penulis berkesimpulan bahwa,
setidaknya yang harus dikedepankan dalam suatu negara demokrasi yaitu.
Adanya persamaan didepan hukum yang berarti negara demokrasi hendaknya
mencerminkan ketaatan akan hukum yang ada. Untuk itu Rule Of Law harus
dijalankan oleh seluruh warganegara tanpa membedakan latar belakang. Jika
hukum dapat dijalankan sesuai dengan kaedah yang benar maka akan tercipta
suatu tatanan demokrasi yang baik. Dan kita akan terhindar dari kekacauan yang
lebih cenderung mengabaikan hak asasi manusia. Sekali lagi demokrasi saja
tanpa hukum akan melahirkan sikap anarkhis dan chaos. Hukum saja tanpa

33
demokrasi akan membuat bangsa ini kembali kepangkuan kediktatoran. Karena
hukum bisa dibuat dan dimanipulasi hanya sekedar sebagai alat untuk
memberikan legitimasi bagi kekuasaan. Untuk itu jika ingin mengembangkan
demokrasi haruslah dengan cara yang demokratis pula. Intinya kesediaan
berbeda pendapat, kesediaan mendengar haruslah diiringi dengan ketentuan
hukum yang ada. Semoga cita-cita merespon tegaknya demokrasi dalam negara
hukum akan terlaksana, sebab kita tidak ingin ada lagi aktifitas demokrasi yang
anarkhis dan brutal. ***

BAB KEDUA

PARTAI POLITIK,
ANTARA

34
HARAPAN DAN KENYATAAN

1
Parpol di Tanah Rencong dan Pemilu 2009

Harian Merdeka, 15 Januari 2009

Sejak tahun 2006, telah berdiri beberapa partai politik (parpol) lokal di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Enam diantaranya sampai sekarang
tetap eksis dan akan menjadi peserta pemilihan umum (pemilu) 2009. Berdirinya
beberapa partai politik di NAD merupakan tindaklanjut dari hasil nota
kesepahaman antara pemerintah Indoneia dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 beberapa tahun lalu. Sejatinya,
nota kesepahaman tersebut menegaskan tentang dibolehkannya rakyat Aceh
memiliki atau mendirikan partai lokal.
Enam partai lokal yang sekarang eksis di NAD tersebut yaitu; Partai Aceh
(PA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai
Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Partai Suara Independen Rakyat
Aceh (Partai SIRA).

35
Lalu bagaimana keberadaan partai-partai lokal tersebut di mata
masyarakat Aceh? Partai mana yang akan mereka pilih pada pemilu 2009? Dan
bagaimana pula kans partai-partai nasional? Partai manakah yang akan mampu
meraih simpati rakyat Aceh? Apakah partai lokal atau partai nasional?
Dari beberapa pertanyaan diatas, agaknya partai lokal akan menjadi
saingan berat bagi partai nasional, baik pada pemilu anggota legislatif tingkat
Kota/Kabupaten maupun tingkat Proponsi. Alasannya adalah, jika ditinjau
kebelakang, maka partai lokal di Aceh muncul karena adanya kekecewaan rakyat
Aceh terhadap partai-partai nasional yang dianggap gagal dalam mewakili
kehendak dan cita-cita rakyat Aceh.
Beberapa tokoh yang terpilih menjadi anggota dewan tidak menunjukkan
kinerja yang mengusung kepentingan rakyat Aceh. Mereka lebih terlihat
mementingkan kelompok dan diri sendiri. Sehingga keberadaan konstituante
menjadi terabaikan.
Dari itu, kehadiran partai lokal bagi rakyat Aceh diharapkan membawa
angin segar untuk perubahan. Partai lokal lebih mementingkan ide-ide
pembangunan demi kemajuan Propinsi NAD. Partai lokal membawa darah baru
bagi kehidupan demokrasi di Aceh. Partai Lokal juga diharapkan akan
menggantikan buruknya kinerja partai nasional yang selama ini berkuasa di
parlemen. Itulah impian-impian rakyat Aceh yang akan diujudkan lewat partai
lokal.
Impian-impian tersebut tentu sangat beralasan, sebab semenjak
kemunculan partai lokal di Aceh, maka para tokoh dan pendidirinya menawarkan
janji-janji dan platfom partai untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat Aceh.
Partai lokal menampilkan isu-isu dalam memperjuangkan kepentingan ke-
acehan. Bagi masyarakat Aceh semua itu menjadi poin menarik dan
menggiurkan. Sehingga akan melupakan partai-partai nasional.
Meski partai lokal akan menjadi pesaing berat bagi partai nasional
dipemilu 2009, namun yang lebih penting adalah bagaimana semua elite partai

36
menjaga pelaksanaan pemilu di Aceh. Elite partai politik di NAD hendaknya
menjaga pelaksanaan pemilu yang santun dan aman. Adanya persaingan secara
sehat, sehingga tidak menimbulkan suasana yang mengganggu jalannya
demokrasi di Aceh.
Berjalannya pemilu dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi dapat
ditempuh dengan cara bersama-sama menciptakan skenario akumulasi
pemikiran dalam rangka mendorong perubahan di Aceh. Aceh memiliki banyak
sejarah konflik. Jika kondisi ini ditumbuhkembangkan akan dapat mendorong
tercapainya kehidupan rakyat Aceh yang lebih baik. Sehingga permasalahan
seperti konflik dan kekerasan dapat dihindari.
Bagaimanapun kursi 2009 akan semakin menggiurkan bagi partai-partai
politik. Dengan hadirnya partai lokal maka otomatis dinamika politik akan
semakin bervariasi dan kompetitif. Ada partai nasional dengan platformnya yang
usang atau baru. Dan ada partai lokal dengan mengusung tema perubahan.
Meski platform belum secara otomatis akan menarik bagi rakyat. Namun
yang pasti semua tergantung bagaimana para elite partai menyampaikan
platform dalam mengambil hati rakyat. Dapat memberikan harapan kepada
rakyat akan kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang.
Dengan demikian pemilu 2009 bukan sekedar pertarungan
memperebutkan kursi akan tetapi juga pertempuran bagaimana menyakinkan
rakyat tentang platform mana yang lebih baik. Rakyat akan memilih partai yang
serius, sungguh dan benar-benar mampu membawa perubahan bagi
kehidupanmya. Oleh sebab itu, bagi elite partai, baik partai lokal apalagi partai
nasional yang terlibat dalam perebutan kursi tahun 2009 jangan lagi bohongi
rakyat dengan kontrak politik yang selalu menjadi dagelan politik disetiap pesta
demokrasi. Jika mau jujur rakyat sebenarnya sudah bosan dengan pemilu tanpa
ada perbaikan untuk kehidupan mereka.
Oleh karena itu, partai politik di Aceh harus menjadikan momentum 2009
pada posisi yang amat penting untuk kehidupan rakyat Aceh, misalnya

37
terujudnya kesejahteraan dan perdamaian baik saat pelaksanaan pemilu maupun
pasca pemilu nanti. Jika nanti kehidupan yang lebih baik tidak terujud, bisa
dipastikan rakyat akan antipati dan tidak lagi percaya kepada partai politik
bahkan kepada elite politiknya. Itu artinya demokrasi tidak akan mendapat
tempat dihati rakyat aceh.
Akhirnya, partai apapun yang akan menjadi pilihan rakyat, atau partai
apapun yang akan menjadi pemenang pada pemilu 2009, yang pasti semua
partai, apakah itu partai nasional maupun partai lokal dapat bersama-sama
memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh. Hendaknya keberadaan dan
eksistensi semua partai dalam menyuarakan aspirasi rakyat akan berjalan mulus
dan mulia seiring dengan penguatan negara kesatuan Republik Indonesia. Untuk
itu, kedewasaan dan sikap politik yang arif dan santun adalah kunci dari semua
itu. Semoga.***

38
2
Partai Politik dan Pragmatisme Kekuasaan

Media Indonesia, 4 Juni 2008

Setiap warga negara mempunyai hak untuk membentuk dan mendirikan


partai politik (Parpol). Hal ini dijamin dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun
2008 tentang parpol dan konstitusi negara Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945
yang mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul.
Berdasarkan dua ketentuan diatas, maka menjelang pemilihan umum
(pemilu) 2009, banyak orang berlomba-lomba mendirikan parpol. Bahkan sampai
penutupan pendaftaran partai politik peserta pemilu Selasa 13/5 lalu, lebih
kurang 66 partai politik telah mendaftarkan diri. Mereka yang mendaftar ke
Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu termasuk lima parpol yang sedang berkonflik
atau memiliki pengurus kembar.
Parpol yang mendaftar itu adalah parpol baru yang telah lolos
administrasi Depkum dan HAM ditambah parpol lama yang mengantongi Surat
Keputusan (SK) berdasar UU Pemilu 2003. Pertanyaannya, bisakah parpol yang

39
sudah mendaftar tersebut menjadi kontestan dalam pemilu 2009 nanti? Yang
pasti, bisa tidaknya ke-66 parpol yang mendaftar tersebut menjadi kontestan
pemilu 2009 mendatang, akan bergantung dari hasil verifikasi kelayakan yang
dilakukan KPU.
Bagi parpol, dapat-nya mereka ikut serta dalam pemilu 2009 tentu
menjadi sangat penting. Apalagi bisa memenangkan pemilu. Akan tetapi, bagi
masyarakat yang jauh lebih penting adalah apakah keberadaan parpol tersebut
akan memberikan manfaat yang signifikan bagi perkembangan kehidupan rakyat
selanjutnya? Karena seperti kita ketahui, sejak tahun 1999 sampai sekarang,
telah banyak parpol yang dibentuk dan telah silih berganti pula kepengurusan
diparpol terjadi.
Namun parpol masih sangat sulit diharapkan mampu menyalurkan
aspirasi rakyat. Padahal banyak parpol yang menyisipkan “kata rakyat” sebagai
nama partainya. Pada pemilu 1999 misalnya, ada 141 partai yang disahkan
Departemen Kehakiman. Dari jumlah ini ada 21 partai yang namanya
menggunakan kata rakyat. Meski tidak semua menyisipkan kata rakyat sebagai
nama resmi. Namun semua parpol “katanya berjuang untuk rakyat”. Jika semua
parpol berjuang untuk rakyat, mengapa negeri ini terus saja tergopoh-gopoh
dalam memperbaiki nasib rakyat? Mengapa penderitaan rakyat tak
berkesudahan? Dimana parpol yang berjanji ingin membela rakyat? Dan
mengapa program-program parpol yang ditawarkan kepada rakayat tidak
berjalan. Lihat saja, banyak program dan platfom parpol yang diimplementasikan
kepada rakyat tidak jelas dan tidak terujud. Dan adalah sangat bertolak belakang
dengan janji elite parpol sebelum mereka duduk di kursi kekuasaan.
Program parpol tersebut misalnya, program terhadap rakyat miskin kota,
terhadap isu-isu pelanggaran HAM, terhadap kebudayaan, pemulihan ekonomi,
terhadap kesejahteraan dan kesehatan rakyat, pendidikan, otonomi daerah,
nasib buruh dan masalah penegakan hukum.

40
Menyikapi hal demikian, kelihatannya sebuah parpol masih terjebak
kepada pragmatisme kekuasaan. Rakyat yang katanya diwakili ternyata belum
sepenuhnya di perhatikan dengan segala program yang dijanjikan menjelang
pemilu. Tidak salah jika banyak pihak masih selalu mempertanyakan keberadaan
sebuah parpol. Sebenarnya mereka mewakil aspirasi siapa?
Pertanyaan ini tentu saja sangat patut dipertanyakan secara berulang kali.
Sebab terkesan selama ini bahwa elite parpol hanya memerlukan rakyat untuk
mencapai kekuasaan dan kedudukan semata. Setelah semua tujuan tersebut
dicapai yaitu dengan duduknya elite parpol dikursi legislatif, eksekutif dan
yudikatif apa yang dijanjikan kepada rakyat ternyata tidak kunjung datang sesuai
harapan rakyat. Keadaan ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dinegara-
negara maju.
Di negara-negara maju, apabila kader-kader pimpinan parpol
memperoleh posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, maka para kader parpol bersangkutan tidak saja harus
menunjukkan kepiawaian mereka dalam mengemban posisi yang belum pernah
mereka jabat. Akan tetapi mereka juga menepati janji yang telah mereka ajukan
kepada rakyat.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan telah terlembaganya sistem demokrasi
dalam pemerintahan negara-negara maju tersebut. Disamping itu, keberadaan
parpol merupakan instrumen artikulasi utama kepentingan rakyat. Sebagai
instrumen utama kepentingan rakyat, parpol selalu dengan setia menjawab dan
menyelesaikan semua aspirasi yang berkembang dalam kehidupan rakyat. Parpol
selalu responsif dalam menjawab tuntutan-tuntutan yang muncul di tengah
kehidupan rakyat.
Apa yang dilakukan oleh elite parpol dinegara-negara maju tersebut tentu
akan sangat sulit ditemukan dinegara-negara berkembang. Negara Indonesia
misalnya, keterlibatan parpol dalam kehidupan rakyat seakan menghilang entah
kemana. Parpol masih memandang bahwa rakyat bisa dibodohi, dimanfaatkan

41
tanpa harus bertanggung jawab. Apa yang diperbuat elite parpol belum
sepenuhnya memihak untuk kepentingan rakyat. Rakyat yang semakin hari
didera kehidupan yang sulit tidak menjadi perhatian serius parpol. Padahal
sebagai elite parpol yang dipilih rakyat, seharusnya dengan setumpuk persoalan
yang dihadapi rakyat, mereka harus dengan sigap dan cepat membantu
mencarikan jalan keluar agar rakyat tidak semakin terjepit dengan kesusahan.
Bagaimanapun, keberadaan parpol masih tetap dibutuhkan. Sebuah
parpol adalah bagian hakiki dalam corak kehidupan bernegara. Namun yang
perlu diperhatikan adalah bahwa, sebuah ideologi dalam pendirian suatu parpol
hendaknya mengacu kepada terujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur
sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan UUD 45.
Kita berharap bahwa dimasa-masa mendatang keberadaan parpol tidak
semata-mata memanfaatkan rakyat pada saat proses memperebutkan atau
mencari kursi kekuasaan saja. Kita berharap para elite parpol tidak melulu
menghandalkan kehebatan retrorika semata. Akan tetapi keberadaan elite
parpol dimasa mendatang harus bisa memberikan manfaat yang signifikan dalam
kehidupan rakyat.
Agar keberadaannya dicintai oleh rakyat, maka pemimpin dan tokoh-
tokoh parpol yang nanti duduk di kursi kekuasaan hendaknya dengan sungguh-
sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat dalam proses kehidupan yang lebih
baik. Sebuah parpol hendaknya malu apabila rakyat yang diwakilinya mempunyai
banyak persoalan. Seharusnyalah parpol mendasarkan setiap sikap dan tindakan
sebagai instrumen politik yang kian penting dalam era globalisasi.
Seharusnyalah elite parpol dituntut untuk memberikan konstribusi
konkret pada problem-problem nasional yang semakin beragam dan kompleks
saat ini. Sudah saatnya segenap elite parpol menyadari bahwa kehidupan politik
yang aspiratif menjadi prasarat mutlak untuk terakulasinya seluruh sistem
demokrasi rakyat. Sudah saatnya sekarang kehadiran, peranan dan partisipasi
elite parpol diharapkan tampak jelas secara nyata didalam kehidupan rakyat.

42
Bagaimanapun, yang menentukan hidup, tumbuh dan besarnya suatu
parpol adalah rakyat. Sebab dalam perkembangan dan keberadaannya parpol
tidak terlepas dari kohesi emosional massa pendukungnya. Jadi elite parpol yang
telah terpilih sebagai pemenang pemilu, apakah itu menjadi Presiden dan Wakil
Presiden atau terpilih menjadi anggota legislatif pada pemilu 2009 nanti, semoga
dapat bekerja dengan seluruh program yang ditawarkan untuk rakyat, jangan lagi
kecewakan rakyat. Mari laksanakan program dengan aksi nyata demi
kesejahteraan rakyat. Dan yang lebih penting mari hilangkan pragmatisme
kekuasaan demi sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera. Semoga.***

3
Partai Politik, Antara Harapan
dan Kenyataan

Harian Neraca, 29 Januari 2008

Dalam suatu diskusi bertajuk "Demokrasi di Persimpangan Jalan: Melihat


Tantangan Kepemimpinan di Indonesia 1999-2014" yang diselenggarakan Center
for Information and Development Studies (CIDES) di Jakarta, Rabu (23/1),

43
beberapa pengamat politik mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia
akan sangat ditentukan oleh mutu pilar-pilar demokrasi itu sendiri, misalnya
partai politik dan aturan perundang-undangan yang membangun sistem yang
demokratis. Ketika partai politik rusak, demokrasi menjadi tidak berbobot. Dari
itu, yang harus dibenahi pertama adalah partai politik. Caranya, partai-partai
politik harus terbuka dan berani merekrut kader-kader bangsa yang terbaik.
Dengan kader-kader yang berkualitas, diharapkan nantinya orang-orang yang
duduk di DPR dapat menghasilkan aturan perundang-undangan yang berkualitas
pula.
Kalau kita berbicara mengenai partai politik, jelas tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan para kadernya atau orang-orang yang duduk dalam
kepengurusan partai. Suatu hal yang menarik untuk dicermati adalah sering kali
terjadi perpecahan bahkan perkelahian dalam tubuh partai. Hal ini menyebabkan
logika politik yang demokratis seakan tidak berjalan sebagaimana tuntutan ideal
yang dikehendaki oleh rakyat.
Lihat saja misalnya sebuah proses politik dalam kongres partai. Kongres
terkadang berubah menjadi arena adu urat leher, arena saling menjatuhkan.
Bahkan banyak pengurus partai yang tidak terpilih bikin partai tandingan sebagai
tindak lanjut dari gagalnya tokoh partai tersebut menduduki kursi kepengurusan.
Atau bahkan tidak menerima kepengurusan partai yang baru.
Kondisi diatas tentu saja semakin memperlihatkan kepada kita. Partai
politik telah gagal menghadirkan kehidupan yang demokratis di tengah rakyat.
Artinya, partai politik belum mampu memberikan jaminan terciptanya kehidupan
rakyat yang lebih baik selama ini. Ini akibat dari ulah elite partai yang masih
disibukkan dengan ambisinya untuk mengapai kekuasaan, baik di kepengurusan
partai maupun di legislatif.
Gagalnya partai politik memenuhi tuntutan demokrasi tersebut juga
terlihat dengan sering terjadinya kekerasan dalam tubuh partai pada saat orang
partai melaksanakan rapat-rapat di gedung dewan yang terhormat. Meskipun

44
kondisi ini oleh sebagian kalangan sudah dianggap lazim, sebab tradisi kepartaian
di negara kita yang memang masih belum bisa dilepaskan dari tradisi kekerasan,
saling hujat, dan saling jatuh-menjatuhkan. Namun kejadian tersebut patut
disayangkan, karena elite partai adalah orang-orang pintar dan bukan para
preman. Jadi seharusnyalah peristiwa tersebut tidak terjadi.
Bukankah akan lebih baik bila setelah kongres, partai politik selain
membicarakan masalah kepengurusan partai, juga sepantasnya mencermati
aspirasi rakyat dan mengambil sebuah keputusan yang nantinya benar-benar
bermanfaat dalam kehidupan rakyat. Misalnya, ikut membantu meringankan
penderitaan rakyat yang terkena musibah bencana alam.
Aneh memang, padahal kalau kita mau jujur, sebetulnya rakyat sangat
menaruh harapan yang cukup tinggi terhadap kehadiran partai politik, terutama
sekali setelah sebuah partai melakukan pembaharuan atau perubahan
kepengurusan. Tingginya harapan rakyat tersebut tentu saja bertujuan sebagai
wahana untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat. Karena partai-lah yang
dapat menyalurkan aspirasi rakyat untuk melakukan perubahan-perubahan
kearah kehidupan yang lebih baik. Namun harapan tersebut tertinggal semakin
jauh. Sementara kelakuan elite partai politik semakin membuat rakyat berang.
Jika partai masih disibukkan dengan ambisi kekuasaan dan sering terjadi
kekerasan, lalu buat apa semua klaim para tokoh partai yang menyatakan bahwa
kehadiran partai sebagai penyambung suara rakyat? Tetapi tidak pernah
mempraktekkan mekanisme penyaluran aspirasi rakyat secara lebih terukur,
terarah dan jelas.
Belum terpenuhinya segenap aspirasi rakyat oleh partai politik
sesungguhnya sangat mudah dilihat. Lihat saja, wakil-wakil rakyat dari berbagai
partai politik mengalami berbagai kesulitan dalam menuntaskan benang kusut
seluruh persoalan bangsa. Seharusnya partai politik bersama dengan pemerintah
mencarikan solusi yang baik dan jitu untuk mengatasi seluruh persoalan rakyat.

45
Jangan lagi partai politik terjebak dengan politik yang cenderung mengarah
kepada perebutan kekuasaan semata.
Untuk dapat terujudnya hal diatas, maka sudah saatnya perhatian
tentang aspirasi rakyat dijadikan agenda penting. Ini mengingat bahwa masalah
yang dihadapi rakyat seperti, masalah kemiskinan, pengangguran, dis-integrasi
bangsa merupakan masalah utama yang selalu saja dituntut oleh rakyat untuk
diselesaikan oleh partai bersama pemerintah. Dari itulah, keberadaan sebuah
partai sebagai instrumen politik semakin dituntut untuk memberikan konstribusi
kongkret pada masalah-masalah nasional yang semakin kompleks dan beragam
dewasa ini. Dalam konteks ini, partai-partai politik dituntut untuk menjadi
penyalur aspirasi rakyat secara maksimal. Bukan partai politik yang sibuk akan
kekuasaan dan adu jotos sesama warga bangsa. ***

4
Program Partai Terhadap
Penegakan Hukum

46
Jurnal Nasional, 13 September 2006

Sejak reformasi kepartaian diluncurkan pada tahun 1999 dengan Undang-


Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang membuat menjamurnya partai politik (181
parpol) banyak partai politik yang ingin menunjukkan diri sebagai partai yang
terbaik. Apalagi waktu itu, pemerintahan Habibie tidak akan membatasi
pembentukan partai politik. Siapa saja boleh membentuk partai, asalkan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Namun sayang sampai saat ini kinerja partai politik masih mengecewakan
masyarakat. Hal ini tampak dengan terus-menerusnya partai mengumbar janji
dan harapan kosong. Partai politik tidak mampu secara konsisten dalam
meredam konflik internal dan menumbuhkan militansi positif. Kemampuan
partai dalam menerjemahkan kehendak politik publik dan memberi pendidikan
politik yang sehat kepada masyarakat seakan tumpu. Bahkan para elite partai
sering terlibat dalam perdebatan dan konflik untuk memperebutkan kekuasaan.
Yang lebih parah lagi anggota partai politik yang ada di DPR banyak yang terlibat
praktik-praktik korupsi
Persoalan makin parah manakala perilaku anggota parpol yang sudah
menjadi wakil rakyat tidak menunjukkan sikap sensitif pada rakyat. Seperti
misalnya, persoalan gaji, tunjangan, maupun uang reses. Sementara persoalan-
persoalan misalnya, kenaikan harga BBM, penggusuran, penggangguran,
demokratisasi, lingkungan hidup, pendidikan dan penegakan hukum belum
terjamah secara maksimal oleh partai politik.
Semua ini semakin menunjukkan contoh kadar pendidikan politik yang
tidak sehat bagi masyarakat. Hal ini telah memunculkan reaksi negatif publik.
Menyimak keadaan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa peran partai politik
dianggap kurang serius menjalankan agenda reformasi untuk tujuan demokrasi.
Partai politik kehilangan peran ideologisnya bagi sebuah perubahan yang

47
bermakna bagi kehidupan masyarakat banyak. Khusus masalah penegakan
hukum, partai politik belum sepenuhnya mempunyai komitmen yang kuat
terhadap tegaknya supremasi hukum. Padahal tegaknya supremasi hukum
sangat penting untuk memajukan nilai-nilai demokrasi di dalam kehidupan
rakyat. Kita tahu krisis penegakan hukum tersebut telah begitu lama mendera
bangsa ini. Lihat saja, berbagai kasus korupsi muncul dalam banyak wajah dan ia
terjadi diberbagai sektor kehidupan. Ironis memang, padahal komitmen
penegakan hukum hampir selalu menjadi agenda utama pemerintahan yang
berkuasa. Pendeknya, penegakan hukum terutama kasus korupsi telah menjadi
agenda penting untuk diberantas sampai keakar-akarnya.
Namun ternyata pemerintah belum mampu memberikan harapan akan
hadirnya supremasi hukum dalam kehidupan masyarakat. Berbagai bentuk
kejahatan korupsi tumbuh semakin subur. Bahkan kasus-kasus yang terjadi pada
masa lampau sampai sekarang masih belum terlalu jelas proses penegakan
hukumnya.
Suburnya kejahatan korupsi di Indonesia tentu saja semakin
mengukuhkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia. Prestasi ini terus saja
bertahan dari tahun-ketahun. Paling tidak, hal ini dapat kita lihat berdasarkan
hasil survei Poltical and Economic Risk Consultancy (PERC). Tercatat indeks
prestasi korupsi dari tahun 1995 sebesar 7,31, tahun 1996 sebesar 7,96, tahun
1997 sebesar 8,67, dan tahun 1999 sebesar 9,88.
Sementara hasil survei yang dilakukan oleh Transparancy International
Indonesia (TII) dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa
pada tahun 2002 misalnya, TI yang berbasis di Berlin-Jerman tersebut
meletakkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 4 di dunia. Satu tahun
kemudian peringkat Indonesia naik dan berada diurutan ke 6. Artinya, dari 133
negara yang diteliti pada tahun 2003, Indonesia masih tetap bertengger di papan
atas sebagai negara paling korup dimuka bumi.

48
Dan pada tahun 2004 kembali hasil survei tahunan Lembaga Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) mencatat Indonesia masih ditempatkan
sebagai negara tertinggi tingkat korupsinya disamping negara Pilipina, Korea
Selatan, Thailand dan sebagainya. Bahkan rekor negara terkorupsi sampai
sekarang masih saja bertahan.
Berkaca pada hal diatas maka tekad untuk menegakkan hukum harus
secara terus-menerus diupayakan oleh partai politik bekerja sama dengan aparat
terkait. Karena sebagai bangsa yang bermartabat kita harus melihat terwujudnya
supremasi hukum dalam negara Republik Indonesia ini. Untuk mengujudkan itu
semua, maka seluruh partai politik yang ada harus dengan sungguh-sungguh
menegakkan hukum. Misalnya tidak terlibat kasus-kasus korupsi. Sebab
penegakan hukum tidak hanya bergantung pada pemerintah dan aparat terkait
saja, akan tetapi DPR yang notabene anggotanya berasal dari partai politik juga
harus memainkan peran yang penting untuk menjamin tegaknya wibawa hukum.
Apalagi anggota DPR yang dihasilkan pada pemilu 2004 lalu mempunyai peranan
penting dalam menentukan warna setiap pengambilan kebijakan, termasuk
didalamnya kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum. Partai politik
harus selalu lebih pro aktif untuk mencermati hal ini. Partai politik harus
memperjuangkan nilai-nilai hukum di tengah kehidupan rakyat. Ini bertujuan untuk
menciptakan hukum yang lebih baik dan demokratis dimasa-masa mendatang.
Seandainya tidak ada kemauan dari partai politik jelas akan berakibat kepada
merosotnya citra partai di mata rakyat.
Berdasarkan uraian diatas, maka kita semua sepakat bahwa penegakan
hukum bukan tugas aparat hukum saja. Namun peran partai politik juga dituntut
dalam upaya-upaya penegakan hukum.
Akhirnya kita sepakat bahwa penegakan hukum tidak cukup hanya dengan
menuliskannya dalam suatu rumusan peraturan atau Undang-undang saja. Atau
hanya menegaskannya dalam ucapan janji-janji saja. Penegakan hukum harus di
implementasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Dan tidak hanya sekedar
seremonial dan basa-basa politik saja. Inilah masalah utama yang harus

49
diperhatikan oleh elite partai politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Sehingga kedepannya langkah-langkah menuju proses demokratisasi seperti yang
diamanatkan agenda reformasi akan segera terujud. Semoga. ***

5
Kinerja Partai Politik Pascakongres

50
SUARA KARYA, 24 Mai 2005

Sejumlah partai politik telah sukses melaksanakan kongres atau


pertemuan tingkat nasional untuk memilih dan membentuk kepengurusan baru.
Partai-partai tersebut, antara lain Partai Golkar, PDIP, Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan terakhir Partai Demokrat (PD).
Terlepas dengan masih adanya kemelut intern di tubuh parpol-parpol tertentu
yang hingga kini masih tak terselesaikan, sejumlah parpol toh berhasil memilih
pemimpin dan pengurus baru untuk masa pengabdian lima tahun mendatang.
Sebagai institusi tertinggi untuk mengambil keputusan, termasuk
keputusan tentang siapa figur yang layak memimpin partai, parpol-parpol
akhirnya sukses melaksanakan perhelatan kongres ataupun muktamar kendati
masih adanya gejolak perpecahan di sana-sini. Namun ada suatu hal yang
menarik untuk dicermati dalam pertumbuhan partai. Enam tahun setelah
reformasi digulirkan, belum banyak kemajuan berarti yang dicapai partai-partai
politik.
Bahkan sering kita lihat adanya perpecahan dalam tubuh sejumlah partai.
Hal ini menyebabkan logika politik yang demokratis seakan tidak berjalan
sebagaimana tuntutan ideal yang dikehendaki oleh rakyat. Lihat saja, proses
politik berubah menjadi arena adu urat leher, arena saling menjatuhkan. Bahkan
banyak pengurus partai yang tidak terpilih, lantas membuat partai tandingan.
Kondisi tersebut tentu saja semakin memperlihatkan kepada kita bahwa partai
politik telah gagal menghadirkan kehidupan yang demokratisasi di tengah rakyat.
Gagalnya partai politik membangun kehidupan yang demokratis
merupakan tindak lanjut dari gagalnya partai memberikan jaminan terciptanya
kehidupan rakyat yang lebih baik selama ini. Ini akibat ulah elite sejumlah partai
yang tampaknya masih disibukkan dengan ambisinya untuk mengapai kekuasaan,
baik di kepengurusan partai maupun di legislatif. Gagalnya partai politik

51
memenuhi tuntutan demokrasi tersebut juga terlihat dengan sering terjadinya
kekerasan dalam tubuh partai, baik ketika melaksanakan kongres, munas atau
pada saat orang partai melaksanakan rapat-rapat di gedung dewan yang
terhormat. Kondisi ini oleh sebagian kalangan bahkan sudah dianggap lazim,
sebab tradisi kepartaian di negara kita memang masih belum bisa dilepaskan dari
tradisi kekerasan, saling hujat, dan saling jatuh-menjatuhkan. Yang jelas,
kejadian-kejadian tersebut tentu saja patut disayangkan, karena elite partai
adalah orang-orang pintar yang terpelajar, dan bukan para 'preman'. Jadi, sudah
seharusnyalah peristiwa-peristiwa macam itu perlu dihindari.

Kongres dan Aspirasi Rakyat


Menyimak berakhirnya pelaksanaan kongres beberapa partai belakangan
ini, maka terlihat, terlalu sedikit partai politik yang membicarakan konsep,
platform ataupun, sosialisasi program-program serta konsolidasi partai dalam
menjalin komunikasi politik dengan massa pendukungnya. Padahal, bukankah
akan lebih baik bila setelah kongres, partai-partai selain membicarakan masalah
kepengurusan partai, juga sepantasnya mencermati aspirasi rakyat dan
mengambil sebuah keputusan yang nantinya benar-benar bermanfaat bagi
kehidupan rakyat? Sebut saja, misalnya, mengupayakan bantuan sosial untuk
membantu meringankan penderitaan rakyat yang terkena musibah bencana
alam pasca gempa bumi dan gelombang tsunami Aceh dan P Nias. Saat ini tidak
dapat dipungkiri masih banyak rakyat yang terkena bencana alam hidup dalam
penderitaan, sementara elite partai hanya diam saja, cenderung tidak berupaya
mengatasi persoalan ini. Aneh memang, padahal kalau kita mau jujur, sebetulnya
rakyat sangat menaruh harapan yang cukup besar terhadap kehadiran partai
politik, terutama sekali setelah sebuah partai melakukan pembaruan atau
perubahan kepengurusan.
Tingginya harapan rakyat tersebut tentu saja bertujuan sebagai wahana
untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat. Karena, partailah yang dapat

52
menyalurkan aspirasi rakyat untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah
kehidupan yang lebih baik. Di samping itu, selama ini keberadaan partai politik
juga masih disibukkan dengan fenomena saling memperebutkan kepentingan
politik kelompok dan golongan masing-masing. Elite partai kurang
memperhatikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Pertanyaan pun
menggelitik, buat apa semua klaim para tokoh partai yang menyatakan bahwa
kehadiran partai sebagai penyambung suara rakyat? Sementara faktanya para
elite parpol tidak pernah mempraktikkan mekanisme penyaluran aspirasi rakyat
secara lebih terukur, terarah dan jelas.
Belum terpenuhinya segenap aspirasi rakyat oleh partai politik
sesungguhnya sangat mudah dilihat. Lihat saja, wakil-wakil rakyat dari berbagai
partai politik mengalami berbagai kesulitan dalam menuntaskan benang kusut
seluruh persoalan bangsa. Bukankah, masalah yang sangat serius seperti masalah
disintegrasi bangsa, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan bahkan masalah
korupsi seharusnya menjadi "pekerjaan rumah" (PR) bagi para wakil rakyat dari
berbagai partai politik tersebut?
Seharusnya partai politik bersama dengan pemerintah berupaya keras
mencarikan solusi yang baik dan jitu untuk mengatasi seluruh persoalan bangsa
tersebut. Harus dihindari partai-partai politik tertentu terjebak dengan politik
yang cenderung mengarah kepada perebutan kekuasaan semata.
Untuk dapat merealisasikan bagi terwujudnya cita-cita di atas, sudah
saatnya perhatian tentang aspirasi rakyat sesudah penyelenggaraan kongres,
muktamar ataupun munas dapat dijadikan agenda penting. Ini mengingat bahwa
masalah kemiskinan, pengangguran, disintegrasi bangsa merupakan masalah
utama yang selalu saja menjadi tuntutan rakyat agar secepatnya dapat
diselesaikan oleh partai dan pemerintah. Dari situlah, keberadaan sebuah partai
sebagai instrumen politik semakin dituntut untuk memberikan konstribusi
konkret pada masalah-masalah nasional yang semakin kompleks dan beragam,
dewasa ini.

53
Dalam konteks ini, partai-partai politik dituntut untuk menjadi penyalur
aspirasi rakyat secara maksimal. Ke depan, hendaknya putusan-putusan yang
telah dihasilkan dalam kongres, muktamar atau munas harus dapat memberikan
dampak yang positif bagi kelangsungan hidup rakyat. Sejatinya, partai sebagai
salah satu pilar aspirasi rakyat hendaknya mampu menjadi tumpuan harapan
bagi rakyat terutama rakyat menengah ke bawah untuk bisa lepas dari
penderitaan.

Catatan Penutup
Mencermati hal di atas, maka salah satu bahan evaluasi yang penting dalam
konteks ini adalah sejauh mana berbagai partai politik mampu melakukan kontak
atau komunikasi politik dengan rakyat setelah kongres, muktamar atau munas
berlangsung. Harus dihindari, partai-partai terlalu memfokuskan diri terus pada
masalah kekuasaan dengan meributkan hal-hal yang sepele. Sudah saatnya
partai-partai perlu memikirkan nasib rakyat secara serius. Sudah saatnya partai-
partai benar-benar memperhatikan aspirasi sesuai harapan rakyat. Untuk itulah,
peran partai sebagai wahana untuk memperjuangkan tercapainya kesejahteraan
rakyat harus dapat dimainkan dengan cepat dan tepat sasaran. Partai harus
memiliki kejelian terhadap apa yang dirasakan rakyat di dimana pun rakyat
berada.
Jika hal ini benar-benar dapat diagendakan maka keberadaan sebuah
partai dapat memberikan arti yang positif bagi pembangunan kehidupan rakyat.
Dan, hal itu bisa berimbas bagi terciptanya stabilitas politik ataupun ekonomi
yang kondusif. Namun jika hal ini tidak dikedepankan, bukan tidak mungkin,
sebuah partai akan tinggal nama karena akan ditinggal pergi oleh para
pendukungnya. Kita tentu tidak menginginkan hal itu terjadi, bukan?
Bagaimanapun kehadiran sebuah partai politik sangat dibutuhkan dalam sebuah
negara demokrasi demi terciptanya kehidupan politik yang lebih baik. Semoga.
***

54
6
Menunggu Aksi Partai Pascakongres

Media Indonesia, 18-4-2005

SEJUMLAH partai politik telah menyelenggarakan kongres. Sebut saja


misalnya Partai Golkar, PDIP, dan PAN. Kongres tersebut telah berhasil memilih
dan membentuk pengurus baru untuk masa bakti lima tahun mendatang. Muncul
dan hadirnya muka-muka baru di tubuh partai tersebut tentu saja membawa
angin segar bagi kehidupan partai yang lebih baik ke depannya. Sehingga apa
yang dicita-citakan rakyat, yaitu terwujudnya kehidupan yang demokratis melalui
partai politik akan selalu dirasakan di masa mendatang.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pembentukan partai-partai menjelang
pemilihan umum 7 Juni 1999 tidak lepas dari euforia kebebasan, keterbukaan,
dan demokrasi. Apalagi waktu itu, pemerintahan yang berkuasa sejak
tumbangnya mantan Presiden Soeharto yaitu Habibie tidak akan membatasi
pembentukan partai politik. Siapa saja boleh membentuk partai, asalkan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

55
Diperbolehkannya orang-orang mendirikan partai tentu saja disebabkan
karena tidak mampunya partai atau organisasi sosial politik yang sudah ada
(Golkar, PPP, dan PDI) untuk menampung tuntutan gerakan reformasi. Dari itu,
apa yang ditegaskan Presiden Habibie yang menyatakan bahwa pada prinsipnya
setiap orang boleh membentuk sebuah partai adalah bertujuan untuk menjawab
seluruh tuntutan reformasi.
Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan partai-partai tersebut
belum sepenuhnya memberikan manfaat yang signifikan bagi perkembangan
kehidupan rakyat. Sejak tahun 1999 sampai sekarang, telah silih berganti pula
kepengurusan di partai terjadi. Namun partai politik masih sangat sulit
diharapkan mampu menyalurkan aspirasi rakyat. Ini terbukti dengan tidak
jelasnya program dan platform partai politik yang diimplementasikan kepada
rakyat. Dan adalah sangat bertolak belakang dengan janji partai sebelum mereka
duduk di kursi kekuasaan.
Program partai tersebut misalnya, program terhadap rakyat miskin kota,
terhadap isu-isu pelanggaran HAM, terhadap kebudayaan, pemulihan ekonomi,
terhadap kesejahteraan dan kesehatan rakyat, pendidikan, otonomi daerah,
nasib buruh dan masalah penegakan hukum. Parahnya elite partai malah
tersangkut kasus hukum dengan melakukan korupsi secara berjamaah.
Mencermati hal ini, tidak salah hasil penelitian Research Institute for Democracy
and Peace (Ridep) mengungkapkan bahwa kebanyakan platform partai politik
dibuat secara umum, hanya bersifat jangka pendek serta tidak menggambarkan
implementasi program.
Menyikapi hal demikian, kelihatannya sebuah partai masih terjebak
kepada pragmatisme kekuasaan. Rakyat yang katanya diwakili ternyata belum
sepenuhnya diperhatikan dengan segala program yang dijanjikan menjelang
pemilu. Tidak salah jika banyak pihak masih selalu mempertanyakan
keberadaannya. Sebenarnya mereka mewakili aspirasi siapa?

56
Pertanyaan ini tentu saja sangat patut dipertanyakan secara berulang kali.
Sebab terkesan selama ini bahwa partai politik hanya memerlukan rakyat untuk
mencapai kekuasaan dan kedudukan semata. Setelah semua tujuan tersebut
dicapai yaitu dengan duduknya elite partai di kursi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif apa yang dijanjikan kepada rakyat ternyata tidak kunjung datang sesuai
harapan rakyat. Keadaan ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di negara-
negara maju.
Di negara-negara maju, apabila kader-kader pimpinan partai politik
memperoleh posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, maka para kader partai bersangkutan tidak saja harus
menunjukkan kepiawaian mereka dalam mengemban posisi yang belum pernah
mereka jabat. Akan tetapi mereka juga menepati janji yang telah mereka ajukan
kepada rakyat.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan telah terlembaganya sistem demokrasi
dalam pemerintahan negara-negara maju tersebut. Disamping itu, keberadaan
partai politik merupakan instrumen artikulasi utama kepentingan rakyat. Sebagai
instrumen utama kepentingan rakyat, partai politik selalu dengan setia
menjawab dan menyelesaikan semua aspirasi yang berkembang dalam
kehidupan rakyat. Partai politik selalu responsif dalam menjawab tuntutan-
tuntutan yang muncul di tengah kehidupan rakyat.
Apa yang dilakukan oleh elite partai di negara-negara maju tersebut tentu
akan sangat sulit ditemukan di negara-negara berkembang. Negara Indonesia
misalnya, keterlibatan partai politik dalam kehidupan rakyat seakan menghilang
entah ke mana. Partai politik masih memandang bahwa rakyat bisa dibodohi,
dimanfaatkan tanpa harus bertanggung jawab. Apa yang diperbuat partai politik
belum sepenuhnya memihak untuk kepentingan rakyat.
Rakyat yang semakin hari didera kehidupan yang sulit tidak menjadi
perhatian serius partai politik. Padahal sebagai partai yang dipilih rakyat,
seharusnya dengan setumpuk persoalan yang dihadapi rakyat, mereka harus

57
dengan sigap dan cepat membantu mencarikan jalan keluar agar rakyat tidak
semakin terjepit dengan kesusahan.
Yang tidak kalah penting, partai politik juga belum sepenuhnya
melakukan pembinaan politik terhadap rakyat. Seharusnya sebagai instrumen
aspirasi politik bagi rakyat, partai politik seharusnya dapat memberikan
pendidikan politik dan demokrasi yang baik kepada rakyat. Agar nantinya nilai-
nilai demokrasi dapat terus berkembang dalam kehidupan rakyat.
Peranan mereka dalam menunjang sistem demokrasi yang handal harus
secara terus-menerus dimainkan. Ini tidak boleh dilupakan. Sebab pemerintahan
yang demokrasi hanya akan dapat terselenggara jika ditunjang secara proaktif
oleh partai-partai politik. Pendeknya, tidak akan ada pemerintahan demokrasi
tanpa kehadiran sebuah partai politik. Untuk itu, demokrasi di dalam tubuh
partai perlu dijadikan landasan agar partai-partai menjadi tumpuan harapan
rakyat dalam memainkan peran mengimplementasi aspirasi rakyat dalam proses
negosiasi untuk kepentingan negara.
Bagaimanapun, keberadaan partai politik masih tetap dibutuhkan.
Sebuah partai politik adalah bagian hakiki dalam corak kehidupan bernegara.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa, sebuah ideologi dalam pendirian
suatu partai politik hendaknya mengacu pada terwujudnya suatu masyarakat
yang adil dan makmur sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan
UUD 45.
Kita berharap bahwa di masa-masa mendatang keberadaan partai-partai
politik tidak semata-mata memanfaatkan rakyat pada saat proses
memperebutkan atau mencari kursi kekuasaan saja. Dan kita juga berharap
bahwa para elite partai tidak melulu menghandalkan kehebatan retorika semata.
Akan tetapi keberadaan elite partai di masa mendatang harus bisa memberikan
manfaat yang signifikan dalam kehidupan rakyat.

58
7
Menunggu Program Nyata Partai Politik
Terhadap Penegakan HAM

Bisnis Indonesia 26 Januari 2005

59
Sejak awal era reformasi, telah lahir deretan partai politik yang ingin
menunjukkan diri sebagai partai yang terbaik. Apalagi waktu itu, pemerintahan
yang berkuasa sejak jatuhnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto
yaitu Habibie tidak akan membatasi pembentukan partai politik. Siapa saja boleh
membentuk partai, asalkan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sejatinya,
sebuah ideologi dalam pendirian suatu partai politik haruslah mengacu kepada
terujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam Pancasila dan UUD 45 tersebut.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, aksi nyata dari seluruh
program yang ditawarkan maupun dijanjikan oleh partai politik menjelang
pemilu belum sepenuhnya di lakukan. Partai politik tidak memiliki sikap untuk
memberikan program dan aksi yang konkret bagi kehidupan rakyat yang lebih
baik. Lihat saja, masih banyak persoalan-persoalan yang menghimpit rakyat
banyak tidak terjamah oleh partai politik. Misalnya, persoalan kenaikan harga
BBM, penggusuran, penggangguran, demokratisasi, lingkungan hidup,
pendidikan, penegakan hukum, penegakan hak asasi manusia (HAM) dan lain
sebagainya. Khusus masalah penegakan HAM, partai politik belum sepenuhnya
mempunyai komitmen yang kuat terhadap pengakuan, perlindungan dan
penegakan HAM. Padahal pengakuan, perlindungan dan penegakan HAM sangat
penting untuk memajukan nilai-nilai demokrasi di dalam kehidupan rakyat.
Mencermati akan pentingnya pengakuan, perlindungan dan penegakan
HAM tersebut, maka sudah pasti pelanggaran terhadap HAM tidak boleh tumbuh
dan berkembang di tengah kehidupan rakyat. Hal ini sesuai dengan penegasan
Pasal 1 Piagam HAM PBB yang berbunyi “tidak seorangpun di atas bumi ini yang
dapat sesuka hatinya merenggut dan merampas kemerdekaan, martabat dan hak
orang lain”. Disamping itu, tidak seorangpun dapat memaksakan kebenaran
sendiri untuk diterima atau meniadakan kebenaran orang lain.
Memang krisis penegakan HAM telah begitu lama mendera bangsa ini.
Meskipun di Indonesia penghargaan dan perlindungan terhadap HAM

60
sebenarnya sudah tercantum dalam sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Di
antara sila-sila tersebut adalah; Pertama, sila kedua tentang kemanusiaan yang
adil dan beradab. Kedua, sila keempat tentang pemusyawaratan. Ketiga, sila
kelima tentang keadilan sosial. Seluruh sila tersebut mencerminkan adanya suatu
penghormatan dan perlindungan terhadap HAM. Dan ini merupakan amanat
Ideologi negara Republik Indonesia.
Lebih dari itu, sejak reformasi digulirkan. Penegakan dan perlindungan
terhadap HAM telah menjadi agenda penting dalam perkembangan
demokratisasi di Indonesia. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dalam proses
perubahan Amandemen ke IV UUD 45. Dalam Amandemen tersebut telah
memuat dan mencakup ketentuan Pasal 1 Deklarasi Universal HAM PBB yang
berbunyi “All human beings are born free and egual in dignity and rights”.
(Semua manusia dilahirkan merdeka serta memiliki martabat dan hak-hak yang
sama).
Banyaknya penghargaan dan perlindungan terhadap HAM tersebut,
ternyata belum mampu memberikan harapan akan adanya penghormatan
terhadap HAM. Berbagai bentuk pelanggaran HAM terus saja bermunculan.
Bahkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lampau sampai
sekarang masih belum terlalu jelas proses penegakan hukumnya. Sebut saja
misalnya, kasus pelanggaran HAM atas penculikan aktifis atau yang dikenal
dengan kasus orang hilang, pelanggaran HAM Aceh, Peristiwa Mei, Peristiwa
penembakan mahasiswa Trisakti, pelanggaran HAM Timor-Timur, Talangsari,
Abepura, Tanjung Priok dan lain sebagainya. Kalaupun ada yang sudah diproses,
kelihatannya masih belum memuaskan rasa keadilan rakyat.
Belum maksimalnya proses hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM
diatas, namun pemerintah terus saja melakukan pembaruan terhadap beberapa
peraturan ataupun UU yang berkaitan dengan HAM. Peraturan atau UU tersebut
misalnya TAP No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun

61
1999, UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM. Ini belum termasuk banyaknya
komisi-komisi untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Bahkan Indonesia juga telah berhasil menciptakan suatu pengadilan
HAM. Akan tetapi semua UU dan pengadilan HAM tersebut belum mampu secara
menyeluruh mencegah terjadinya pelanggaran HAM maupun mengadili dan
menyeret para pelaku pelanggaran HAM secara maksimal. Dan parahnya,
Komnas HAM yang diberi wewenang oleh UU untuk menyelesaikan dan
menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM masih belum menunjukkan kinerja
yang sungguh-sungguh sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Akibatnya,
penghormatan terhadap HAM dan keadilan tetap saja sebagai benda langka yang
sangat sulit di temukan.
Berkaca pada hal diatas maka sumber kegagalan dalam penegakan HAM
bukan berasal dari peraturan atau UU yang kurang memadai. Akan tetapi
bersumber pada aparatnya dalam upaya melindungi HAM secara sungguh-
sungguh. Untuk itu, tekad untuk menghapus segala bentuk pelanggaran
terhadap HAM harus secara terus-menerus dibumi hanguskan dari kehidupan
rakyat. Karena sebagai bangsa yang bermartabat kita harus melihat HAM sebagai
salah satu perwujudan akan adanya pengakuan terhadap kebebasan manusia
yang jauh dari segala bentuk kekerasan, intimidasi maupun diskriminasi.
Sejatinya, masalah penghormatan dan penegakan HAM harus dihayati
sebagai amanat dari ideologi negara yaitu Pancasila dan UUD 45. Untuk
mengujudkan itu semua, maka seluruh partai politik yang ada harus dengan
sungguh-sungguh menegakkan dan melindungi HAM. Sebab penegakan HAM
tidak hanya bergantung pada Komnas HAM saja atau pemerintah, akan tetapi
DPR yang notabene anggotanya berasal dari partai politik juga harus memainkan
peran yang penting untuk memajukan nilai-nilai HAM. Apalagi anggota DPR yang
dihasilkan pada pemilu 2004 lalu mempunyai peranan penting dalam
menentukan warna setiap pengambilan kebijakan, termasuk didalamnya
kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan HAM.

62
Partai politik harus selalu lebih pro aktif untuk mencermati hal ini. Partai
politik harus memperjuangkan nilai-nilai HAM di tengah kehidupan rakyat.
Menjaga dan melindungi HAM tersebut dari segala bentuk pelanggaran,
kesewenang-wenangan dan kekerasan. Ini bertujuan untuk menciptakan proses
politik, ekonomi maupun hukum yang lebih baik dan demokratis dimasa-masa
mendatang. Seandainya tidak ada kemauan untuk melindungi dan menegakkan
HAM jelas akan berakibat kepada merosotnya citra partai di mata rakyat.
Berdasarkan uraian diatas, maka kita semua sepakat bahwa perlindungan
dan penghormatan terhadap HAM tidak cukup hanya dengan menuliskannya
dalam suatu rumusan peraturan atau Undang-undang saja. Atau hanya
menegaskannya dalam ucapan janji-janji saja. Penghormatan dan penghargaan
terhadap HAM harus di implementasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Dan
tidak hanya sekedar seremonial dan basa-basa politik saja. Inilah masalah utama
yang harus diperhatikan oleh elite partai politik yang dipilih secara langsung oleh
rakyat. Sehingga kedepannya langkah-langkah menuju proses demokratisasi
seperti yang diamanatkan agenda reformasi akan segera terujud. Semoga. ***

63
8
Masa Depan Partai Golkar Pasca Munas

Media Indonesia, 20 Desember 2004

Golongan Karya (Golkar) pada 15 – 20 Desember 2004 lalu telah sukses


menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) ke VII di Bali. Hasil Munas
tersebut tentu saja harus dapat dijadikan momentum untuk melakukan
optimalisasi fungsi dan sekaligus mempertajam visi partai dalam menjawab
tuntutan reformasi dan demokrasi yang lebih baik. Sehingga kedepan partai
Golkar tidak akan kehilangan peran sebagai salah satu organisasi sosial politik
yang selalu diperhitungkan di dalam mengisi pembangunan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, Munas ke VII partai Golkar telah
berhasil memilih dan menetapkan pemimpin maupun pengurus barunya.
Suksesnya penyelenggaraan Munas tersebut tentu saja merupakan langkah awal
bagi segenap pemimpin dan pengurus baru partai Golkar untuk menghadapi
tuntutan perubahan. Ini menjadi penting. Karena selain partai besar, Golkar juga
bisa dijadikan simbol kepartaian di Indonesia.

64
Hal ini tentu saja dengan melihat pengalaman pengabdiannya yang sudah
begitu lama. Keberadaannya hampir selalu mewarnai dinamika politik ditanah
air. Sebut saja misalnya penyelenggaraan Konvensi dan pembentukan koalisi
kebangsaan beberapa waktu belakangan ini. Dua manuver fenomenal tersebut
telah menyita perhatian publik diberbagai pelosok tanah air.
Mencermati fenomena tersebut, maka pemimpin dan segenap pengurus
baru partai Golkar harus dapat membedah berbagai hal yang ada dalam tubuh
Golkar itu sendiri, termasuk membedah kekurangan-kekurangan yang ada.
Kekurangan tersebut tentu saja harus diarahkan kepada upaya-upaya
perubahan. Esensi-esensi perubahan harus bisa ditangkap secara maksimal.
Misalnya membangun dan memperkuat ikatan dengan rakyat, khususnya
bagaimana menyakinkan pendukung harus lebih diutamakan.
Dalam kaitannya dengan tuntutan reformasi, maka salah satu tugas berat
yang harus dihadapi oleh pimpinan dan pengurus baru adalah konsolidasi Golkar
sendiri. Seperti misalnya, para aktifis partai Golkar didaerah-daerah jangan lagi
ada saling intrik dan saling serang. Pengurus baru partai Golkar hendaknya tidak
mudah untuk hengkang dari kepengurusan, lalu membentuk partai baru sambil
mengeluarkan opini-opini yang tidak sehat.
Pemimpin maupun pengurus baru harus mampu membaca keadaan
perubahan dengan pikiran dan sikap tenang. Pemimpin maupun pengurus baru
harus lebih dengan bijaksana mengeluarkan pernyataan-pernyataan sejuk yang
lebih akomodatif, responsif sebagai aset untuk membesarkan organisasi.
Dengan karakter pribadi seorang pemimpin yang akomodasionis dan tidak
konfrontatif tersebut, maka secara pelan-pelan partai Golkar akan berhasil
membangun citra dan image partai ke arah yang lebih baik.
Dan yang tidak kalah penting, tampilnya partai Golkar sebagai pemenang
kedua pemilu 1999 dan peraih suara terbesar pemilu 2004 harus dapat
dipertahankan oleh pimpinan dan pengurus yang baru. Kita tahu bahwa Golkar
mampu memperoleh suara 24 % pada pemilu 1999.

65
Dengan perolehan suara ini berarti dalam pemilu 1999 Golkar mampu
meraih 120 kursi di DPR atau 183 kursi di MPR. Pada pemilu tahun 2004 lalu
partai Golkar juga masih bisa unjuk gigi dengan tampil sebagai partai peraih
suara terbesar di parleman. Hasil ini sungguh diluar dugaan banyak pihak. Baik
dikalangan internal Golkar maupun eksternal Golkar.
Dari kalangan internal, hasil pemilu tersebut tentu sangat
mengembirakan. Sebab hal ini sekali lagi membuktikan bahwa partai Golkar tidak
habis sama sekali. Meskipun sejak tahun 1998 harus menghadapi ancaman dan
tekanan. Sementara kalangan yang memusuhinya tentu saja sangat kecewa.
Perolehan suara Golkar yang cukup signifikan tidak pernah habis
dibayangkan apabila melihat keberhasilannya membangun opini penghancuran
citra Golkar. Melihat kenyataan diatas, maka kapasitas dan kepiawaian dari sosok
pemimpin dan pengurus baru partai Golkar jelas akan ditunggu kiprahnya oleh
rakyat terutama oleh para pendukungnya untuk kembali menjadi partai terbesar
pada pemilu 2009 nanti.
Agar semua itu dapat diujudkan maka, jabatan yang sudah diamanatkan
mesti dilaksanakan dengan baik serta selalu berpegang kepada tatanan dan nilai
demokrasi yang sehat dan benar. Pengurus partai Golkar yang baru harus
mampu mengawasi dan mengoreksi kebijakan eksekutif yang sangat merugikan
rakyat banyak sebagai wujud penciptaan nilai-nilai demokrasi.
Segenap pemimpin dan pengurus partai Golkar harus terbebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme. Pimpinan dan pengurus partai Golkar harus
menempatkan kepentingan rakyat dan bangsa diatas segala-galanya dari pada
kepentingan politik sesaat. Sehingga organisasi ini kedepan benar-benar
merupakan motor penggerak demokrasi, penyalur aspirasi yang efektif yang
peduli terhadap nasib rakyat banyak.

66
Pemimpin dan pengurus baru partai Golkar harus selalu menyediakan
ruang-ruang publik untuk berbeda pendapat secara demokratis. Pimpinan dan
pengurus partai Golkar harus memberikan tauladan agar dalam berpartai
menjadi lebih rasional. Dan bisa dimengerti oleh rakyat.
Para petinggi partai Golkar harus mau menyadari bahwa jabatan yang
mereka sandang merupakan salah satu amanah yang harus dilaksanakan dengan
program-program yang terukur untuk kepentingan rakyat banyak. Sebab
bagaimanapun masa depan partai Golkar akan sangat tergantung pada
kemampuan organisasi ini dalam merespon tuntutan rakyat. Tanpa dukungan
rakyat partai Golkar tidak akan punya arti apa-apa.
Untuk itu, partai Golkar harus dengan jelas merumuskan program-
programnya untuk kesejahteraan rakyat, misalnya menyangkut bidang
pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya. Dengan cara demikianlah
partai Golkar akan selalu eksis dalam setiap kesempatan.
Kini ajang pergantian kepemimpinan ditubuh partai Golkar lewat Munas
sudah selesai digelar. Figur yang tampil memimpin partai Golkar untuk lima
tahun kedepan sudah ditetapkan? Apakah pemimpin dan pengurus baru partai
Golkar akan mampu membawa partai Golkar sebagai partai yang menyuarakan
aspirasi rakyat? Yang jelas harapan kita, semoga partai Golkar akan selalu tetap
setia kepada tuntutan sejarah untuk mengukuhkan persatuan dan kesatuan
bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Dan ditangan pimpinan maupun pengurus baru-lah “masa depan” partai
Golkar akan dipertaruhkan. Berbagai tantangan harus dapat dijawab. Jika tidak,
cacimaki, cercaan, intimidasi bahkan perusakan citra organisasi akan selalu
menjadi rutinitas persoalan yang akan terus dihadapi organisasi dan pengurus
Golkar. Kita tentu tidak menginginkan hal itu bukan? Semoga.***

67
BAGIAN KETIGA

WAKIL RAKYAT
YANG BELUM MERAKYAT

1
68
Angin Segar Caleg Pilihan Rakyat

Koran Jakarta, 6-Januari-2009

Pada akhir Desember tahun 2008 ini, wacana mengenai penentuan calon
legislatif (caleg) terpilih pada pemilihan umum (pemilu) bukan berdasarkan nomor urut,
tetapi berdasarkan suara terbanyak, akhirnya menemui titik terang setelah Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang menganulir Pasal 214 huruf a,b,c,d dan e
dalam Undang-undang (UU) No. 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD
alias UU Pemilu.

Putusan berkekuatan hukum tetap ini sekaligus mengembalikan harapan akan


demokrasi seutuhnya yang tidak dibajak oleh kekuasaan partai politik yang oligarkis. Dan
juga putusan MK ini sekaligus menandai bahwa Indonesia memasuki pemilu yang
sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan kehendak rakyat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada pemilu Legislatif 2004 lalu kita
menggunakan sistem caleg terpilih ditentukan oleh nomor urut. Sistem ini diyakini tidak
fair bagi caleg yang berada dinomor ambang batas yang telah bekerja keras habis-
habisan mengeluarkan dana untuk mencari simpati rakyat. Akan tetapi dua calon di
atasnya tak perlu bekerja keras, artinya mereka bisa masuk tanpa melalui kerja keras,
asalkan calon di nomor ambang batas yaitu nomor tiga tersebut terangkat.

Disamping itu, menjadi keuntungan buat mereka yang berlindung di balik nama
pengurus partai. Mereka yang dekat dengan pengurus partai terutama dipusat hampir
dipastikan menduduki nomor calon jadi. Banyak partai menjadikan nomor urut kecil
sebagai barang dagangan untuk menarik caleg menghadapi pemilu 2009 dan sederet
partai mengandalkan nomor "jadi" untuk meloloskan orang-orang dekat mereka, seperti
anak, sanak-saudara, serta kerabat dan kenalan-menjadi wakil rakyat, padahal mereka
belum tentu dipilih oleh rakyat.

69
Dalam hal ini, partai memiliki otoritas untuk menentukan nama-nama yang akan
duduk pada nomor urut di suatu daerah pemilihan. Pendeknya, banyak nama caleg yang
perolehan suaranya mendekati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) tetapi bernomor urut
sepatu harus tersingkir oleh orang partai yang berpengaruh.

Lihat saja, selama ini begitu banyak caleg titipan dari Jakarta yang dipaksakan
oleh petinggi atau pengurus partai ditempat daerah pemilihan luar Jakarta. Aneh
memang, padahal masyarakat tidak mengenal caleg bersangkutan yang diuntungkan
oleh nomor urut sehingga otomatis peluangnya untuk menjadi lebih besar dari pada
caleg nomor urut di bawahnya. Jadi selama ini sistem penentuan caleg bukan lagi murni
pilihan rakyat.

Hemat penulis, tentu saja sistem rekrutmen dengan nomor urut semacam ini
tidak baik dalam memilih anggota DPR. Dan kita jelas tidak bisa membiarkan sistem
rekrutmen anggota DPR seperti itu berlangsung terus-menerus. Karena sistem pemilihan
seperti itu hanya menguntungkan segelintir orang di DPP yang menentukan orang-orang
masuk ke DPR lewat penempatan nomor urut jadi, padahal mayoritas pemilih belum
tentu menginginkan mereka.

Dengan demikian ada beberapa poin yang sangat positif dengan penentuan
caleg berdasarkan suara terbanyak ini. Pertama, dengan sistem perolehan suara
terbanyak, di mungkinkan tidak akan ada tempat bagi siapa pun di partai untuk
melakukan kecurangan atau kolusi. Artinya tidak akan ada lagi kader yang bergantung
pada pimpinan atau penentu kebijakan di partai. Karena semuanya diserahkan kepada
rakyat yang memiliki suara, serta kepintaran para caleg dalam mengambil hati para
calon pemilih. Kedua, para caleg atau kader yang ingin masuk ke DPR/DPRD tidak bisa
bersantai-santai lagi. Mereka harus bekerja lebih giat menyambangi daerah
pemilihannya. Karena tidak ada yang bisa menjamin seorang caleg akan terpilih jika
tidak punya mesin kampanye yang mumpuni untuk mendulang suara terbanyak. Ketiga,
jika penetapan caleg tanpa nomor urut telah disepakati, sudah pasti akan semakin
mendekatkan pilihan rakyat kepada para calon yang mereka inginkan. Artinya, sistem
pemilihan caleg dengan suara terbanyak diyakini akan mendekatkan pemilih dengan

70
wakil-wakil mereka di Senayan. Sehingga pada akhirnya, wakil rakyat nantinya benar-
benar memiliki kedekatan dengan pemilih.

Semua pihak hendaknya merespon putusan MK ini. Sehingga kita dapat


menemukan wakil rakyat terbaik pilihan rakyat. Dan bagi mereka yang terpilih jadi
anggota legislatif lewat suara terbanyak nantinya hendaknya bekerja untuk rakyat.

Karena tanpa dukungan penuh dari rakyat, mereka tidak akan duduk dilembaga
legislatif. Untuk itu, mari jalankan tugas dengan rasa tanggungjawab sesuai dengan
fungsi pokok lembaga legislatif yakni fungsi legislasi, fungsi budgeter, serta fungsi
kontrol. Selamat tinggal caleg tanpa nomor urut dan selamat datang caleg pilihan rakyat.
Semoga demokrasi bisa berjalan dengan seutuhnya di negeri ini. ***

71
2
Wakil Rakyat Terpilih Merenunglah

Bisnis Indonesia, 16 September 2004

Meskipun menuai kritikan dan penolakan dari berbagai elemen


masyarakat, di beberapa daerah wakil rakyat hasil pemilu legislatif 2004 sudah
dilakukan pelantikannya.
Dan jika tidak ada aral melintang, pada 1 Oktober mendatang wakil
rakyat untuk tingkat pusat juga akan dilantik.
Sebab sebagaimana kita ketahui bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sudah menetapkan 550 nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 128
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hasil pemilu legislatif 2004. Ke- 678
orang tersebut sekaligus merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Mereka semua, baik wakil rakyat didaerah atau dipusat tentu diharapkan
bisa mengembalikan kepercayaan rakyat yang selama ini telah tergadaikan akibat
citra buruk yang dipertontonkan. Sehingga nanti tidak ada lagi kritikan dan
hujatan atas keberadaan mereka.

72
Lalu apakah anggota dewan hasil pemilu legislatif 2004 ini akan mampu
menyuarakan aspirasi rakyat dan tidak berkelakuan buruk seperti masa lalu?
Jelas tidak mudah menjawab pertanyaan ini dengan ya atau tidak. Pasalnya
aroma kecurangan cukup santer menyengat.
Misalnya, memalsukan ijazah atau identitas diri. Bahkan proses pencalonan caleg
tersebut sering diwarnai bentrokan-bentrokan yang justru sebenarnya tidak
pantas terjadi. Disamping itu, pada saat pemungutan suara 5 April lalu banyak
calon wakil rakyat yang terindikasi melakukan praktik politik uang.
Akibat dari keadaan ini tidak salah keluhan dan kritikan dari berbagai
elemen masyarakat hampir selalu menyertai perjalanan tugasnya. Masyarakat
belum banyak melihat prestasi yang patut di banggakan. Singkatnya, wakil rakyat
yang dihasilkan dalam setiap pesta pemilu ternyata masih belum peduli pada
nasib rakyat.
Mereka lebih peduli kepada partai politik mereka masing-masing dan
terkadang juga hanya memikirkan kepentingan pribadi. Disamping itu, wakil
rakyat juga masih banyak menunjukkan tingkah laku yang tidak terpuji saat
bertugas.
Ada yang tertidur di kala sidang, tidak disiplin seperti datang telat saat
sidang, ada yang mangkir saat sidang, ada yang sibuk baca koran, ada yang asyik
ber-SMS ria pada saat sidang berlangsung. Bahkan yang lebih parah lagi wakil
rakyat juga banyak yang terlibat praktik-praktik korupsi.
Melihat kondisi ini, adalah sangat beralasan apabila rakyat tidak terlalu
yakin para elite partai yang berhasil menduduki kursi legislatif akan mampu
membawa perubahan yang lebih baik dimasa mendatang. Rakyat tidak yakin
mereka akan dengan sungguh-sungguh mau memperjuangkan aspirasi rakyat.
Lalu apakah ini cerminan wakil rakyat yang terhormat dengan gaji yang besar.
Kenapa mereka berkelakuan seperti itu, dan tidak memikirkan aspirasi rakyat.
Padahal seharusnya mereka bertanggung jawab terhadap pemilihnya. Mana janji
yang mereka gembar-gemborkan pada saat berkampanye.

73
Kenapa janji begitu gampang di ucapakan namun sangat sulit di
laksanakan. Menyikapi prilaku dan kinerja anggota dewan terhormat, wakil
rakyat hasil pemilu 2004 harus merenungkan citra-citra jelek sebelumnya.
Kedepan wakil rakyat hasil pemilu legislatif 2004 ini agar benar-benar
menunjukkan suatu sikap terpuji.
Wakil rakyat harus menyuarakan aspirasi rakyat. Rakyat menginginkan
bahwa apa yang sedang mereka hadapi atau alami dapat disuarakan oleh
wakilnya. Bagaimanapun para wakil rakyat sesuai dengan fungsinya mestilah
memihak kepada kehidupan rakyat. Mereka tidak boleh berdiam diri apabila
kepentingan rakyat terancam. Ini berguna agar kesejahteraan rakyat semakin
terjamin.
Sebagai masyarakat yang mencintai wakil rakyatnya, kita memang
sangat setuju apabila wakil rakyat yang ada di DPR benar-benar berfungsi secara
lebih efektif untuk menciptakan kesejahteraan di tengah rakyat. Kondisi ini dapat
dilakukan oleh wakil rakyat dengan cara menghayati bahwa keberadaan mereka
sebenarnya untuk rakyat. Sebab melalui suara rakyatlah mereka ada di dalam
lembaga legislatif. Untuk itu, pengalaman-pengalaman buruk para wakil rakyat
yang terdahulu jangan lagi terjadi pada wakil rakyat hasil pemilu 2004.
Wakil rakyat sebagai representasi rakyat sangat diharapkan mampu
menjadi ujung tombak untuk membawa perubahan yang lebih berarti bagi
kehidupan nasional. Sudah saatnya anggota dewan hasil pemilu legislatif 2004
mendukung upaya-upaya perbaikan fungsi legislatif. Apalagi mereka dipilih
secara langsung oleh rakyat, tentu sangat besar harapan rakyat kepada mereka
untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Sekali lagi , sebagai masyarakat yang mencintai kehidupan sosial, politik,
hukum dan ekonomi yang lebih baik di masa mendatang, semua pihak berharap
agar wakil rakyat yang dihasilkan dalam pemilu 2004 ini sudi mengemban fungsi
sebagai lembaga yang mewakili rakyat. Wakil rakyat harus peka untuk
menangkap masalah rakyat.

74
3
Menghapus Sisi Gelap

Kelakuan Wakil Rakyat

Harian Neraca, 24 Januari 2008


Kelakuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau wakil rakyat
ternyata memang tidak pernah berubah. Setelah sebelumnya menerima uang
sewa rumah Rp 13 juta per bulan. Senin tanggal 7/1 lalu kembali setiap anggota
DPR mendapat uang Rp 39 juta per orang. Pembagian uang itu merupakan
kebijakan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Perhitungannya, Rp 1 juta
untuk setiap undang-undang (UU) yang disahkan. Karena sepanjang tahun 2007
lalu ada 39 UU yang disahkan, maka setiap anggota DPR mengantongi Rp 39 juta.
Memang sebahagian anggota dewan sudah ada yang mengembalikan, namun
sebahagian belum terlihat niat untuk mengembalikannya.
Sungguh suatu tingkah laku yang mengewakan rakyat. Apalagi tidak
semua anggota DPR terlibat langsung dalam pembahasan dan penyusunan UU.
Kalaupun terlibat, pantaskan uang itu diterima? Tidakkah sebaiknya uang
tersebut diperuntukkan untuk membantu rakyat miskin?

75
Menyikapi hal tersebut, pantas dipertanyakan kredibilitas wakil rakyat
yang mengusung “suara rakyat”. Rakyat yang kelaparan dan ditimpa berbagai
macam musibah dan bencana tidak menjadi perhatian para wakil rakyat.
Sementara anggota DPR yang sudah mendapatkan gaji besar, hidup mewah
lengkap dengan segala fasilitas, malah sering pula menerima uang yang tidak
terduga sebelumnya.
Sungguh malang negeri ini. Lembaga yang terhormat itu, tercemar oleh
prilaku wakil rakyatnya yang serakah. Yang tidak sensitif pada penderitaan
rakyat. Sepertinya, lembaga DPR adalah lembaga tempat mencari nafkah
sebanyak-banyaknya. Bukan lembaga untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat. Akibatnya, rakyat menjadi marah. Betapa tidak, wakil rakyat hanya bisa
berjanji saat kampanye. Setelah duduk dikursi DPR semua janji itu lupa seketika.
Seakan wakil rakyat punya motto, setelah kampanye selesai dan mereka terpilih
menjadi anggota DPR, maka biarkanlah rakyat saja yang susah, sementara wakil
rakyat tetap harus hidup mewah dan jauh dari krisis. Begitu gambaran yang kita
lihat saat ini.
Buruknya kelakuan wakil rakyat tentu bukan cerita asing bagi kita. Kelakuan
buruk tersebut masih ditambah dengan kelakukan buruk lainnya. Masih ingat kasus vidio
mesum yang menimpa wakil rakyat Yahya Zaini dengan pasangan mesumnya Eva Maria?
Tentu saja kita semua belum lupa kejadian tersebut.

Kejadian tersebut telah mencoreng wibawa lembaga terhormat penyambung


suara rakyat. Rentetan peristiwa mesum terus saja menghinggapi wilayah anggota
legislatif kita. Kelakuan buruk itu juga terjadi didaerah. Tahun 2007, dua oknum anggota
legislatif dari DPRD Payakumbuh dan dari DPRD Limapuluh kota, tertangkap berdua-
duaan di kamar hotel pada saat bangsa ini memperingati Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan pada 17 Agustus 2007 lalu.

Selanjutnya seorang anggota DPRD Agam digerebek massa saat berduaan


dengan wanita yang diduga kekasih gelap atau wanita simpanannya di sebuah rumah di

76
Padang. Dan tentu saja banyak peristiwa tidak pantas lainnya yang dipertontonkan oleh
wakil rakyat kita. Misalnya bermain judi.

Mencermati fenomena diatas. Timbul pertanyaan, ada apa sesungguhnya


dengan moralitas oknum-oknum anggota legislatif di negeri ini? Dari beberapa kasus
yang terungkap, nampaknya persoalan tidak pedulinya wakil rakyat pada penderitaan
rakyat, soal perselingkuhan, bermain judi terus saja menjadi permasalahan yang paling
banyak menjangkiti oknum-oknum anggota legislatif. Semuanya karena uang. Kalau
uang sudah banyak, mereka doyan menghambur-hamburkannya, misalnya dengan
melakukan perselingkuhan atau bermain judi. Bahkan punya istri lagi.

Permasalahan diatas, hemat penulis tentu tidak terlepas dari kapasitas,


kapabilitas, integritas para anggota dewan terhormat. Kita tahu, kebanyakan anggota
legislatif yang dihasilkan sejak bergulirnya reformasi di negara ini adalah orang-orang
yang tidak kita kenal sebelumnya. Mereka banyak yang tidak jelas latar belakangnya,
tidak jelas track record karier politiknya. Sejatinya, banyak hal yang tidak diketahui dari
diri anggota-anggota legislatif tersebut. Bahkan ada diantara mereka yang ketahuan
memiliki ijazah palsu setelah terpilih jadi wakil rakyat. Parahnya untuk jadi anggota
dewan yang terhormat banyak diantara mereka telah mengeluarkan modal yang cukup
besar, sehingga pada akhirnya mereka terpilih dan duduk menjadi anggota legislatif.
Meskipun moralnya tidak terukur sama sekali.

Meskipun demikian tidaklah bisa dipungkiri, ada juga diantara anggota legislatif
negeri ini yang betul-betul bekerja untuk rakyat. Punya hati nurani. Tapi mungkin cuma
sedikit. Dan adalah kenyataan, kebanyakan dari anggota dewan larut dalam tingkah laku
yang tidak mengenakkan. Yang tidak peduli kepada rakyat. Dalam kondisi demikian, jelas
kita risau dan prihatin. Kedepan, perlu kiranya sisi gelap kelakuan wakil rakyat itu
dihapus atau dihilangkan. Caranya, kita sebagai rakyat diminta untuk hati-hati dalam
memilih seseorang untuk jadi calon anggota legislatif.

Disamping itu, peranan partai politik juga harus lebih berfungsi untuk menilai
dan menyeleksi moralitas dan jejak langkah seseorang untuk masuk partai politik.
Apalagi untuk menjadi wakil rakyat. Jadi, rakyat, partai politik dan pihak-pihak yang
berkompeten lainnya tidak boleh lengah. Kita harus hati-hati. Kalau tidak, akan

77
berakibat fatal terhadap lembaga DPR dan juga bagi kehidupan sosial kita selanjutnya.
Jelas kita tidak menginginkan hal itu bukan. ***

4
Wakil Rakyat, Tunjangan
dan Kurangnya Sensitivitas

Seputar Indonesia, 17 Desember 2007

Cerita tentang kelakuan wakil rakyat hampir tidak pernah habis untuk
dibicarakan. Bahkan cerita itu sudah ada sejak Orde Baru. Saat itu, wakil rakyat
tidak lebih dari tukang stempel setiap kebijakan Presiden Soeharto. Karena
dalam sistem otoriter, di mana tiap calon anggota dewan diseleksi sebelumnya
oleh rezim penguasa. Sehingga wajar jika kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
era Orde Baru lebih mengabdi kepada Soeharto ketimbang kepada rakyat.
Era Reformasi, kelakuan wakil rakyat semakin menjadi buruk dan
cenderung mengindahkan kepedulian sosial dan moralitas. Akibatnya, membuat
rakyat kecewa dan muak. Lihat saja, di tengah kebingungan dan kesusahan

78
rakyat menanggung beban hidup yang semakin sulit, wakil rakyat yang terhormat
justru kembali memperoleh tunjangan besar. Ini belum termasuk kelakuan buruk
lainnya, misalnya berjudi dan berzina.
Tunjangan kenaikan tersebut akan diberikan tahun 2008 mendatang. Hal
itu berkaitan dengan proyek renovasi perumahan anggota DPR di Kalibata.
Sebagai konpensasi maka setiap anggota akan mendapatkan Rp. 13 juta sebagai
uang sewa tinggal rumah sementara.
Tunjangan tersebut sekali lagi memperlihatkan bahwa wakil rakyat tidak
peka terhadap kesusahan rakyat. Inilah untuk kesekiankalinya DPR mengambil
kebijakan yang dinilai bertentangan dengan kondisi ekonomi rakyat. Jauh
sebelum ini kita juga pernah dihebohkan dengan permintaan kenaikan gaji,
kenaikan tunjangan, studi banding yang tidak membawa hasil, pembangunan
pagar dan lift dan pengadaan laptop untuk anggota dewan. Bahkan baru-baru ini
kita juga dikagetkan dengan beberapa angota dewan yang naik haji bersama
anggota keluarganya dengan biaya dinas.
Fenomena diatas memperlihatkan kepada kita bahwa anggota dewan
terlalu banyak menuntut. Mereka meminta terlalu banyak. Menghabiskan
anggaran negara. Bukankah sebaiknya dana itu diperuntukkan untuk biaya
pendidikan dan kesehatan untuk rakyat miskin?
Kelakuan wakil rakyat selama ini tidak sesuai dengan kapasitas mereka
sebagai penyampai amanat rakyat. Bukankah mereka sebaiknya berkonsentrasi
untuk memikirkan nasib rakyat kecil? Siapa lagi yang mempedulikan nasib rakyat,
jika bukan anggota dewan. Ironis memang, wakil rakyat yang dipilih rakyat dan
berjanji akan membela dan memperjuangkan nasib rakyat malah sibuk
memikirkan kekayaan pribadi dan keluarganya.
Mereka sangat “kurang sensitif” terhadap penderitaan rakyat. Timbul
pertanyaan, ada apa sesungguhnya dengan moralitas oknum-oknum anggota
legislatif di negeri ini? Mengapa mereka tidak peka dan peduli pada penderitaan
rakyat? Mengapa para anggota dewan yang terhormat yang sudah kaya raya

79
masih rakus dengan uang dan harta? Bukankah masih banyak rakyat yang harus
dibela dan diperhatikan kesejahteraannya. Mengapa wakil rakyat seakan lupa
akan janjinya untuk memperhatikan dan memperjuangkan rakyat?
Kiranya, beberapa pertanyaan diatas mesti ditindaklanjuti oleh wakil
rakyat di DPR. Karena ditengah setumpuk problem yang sedang dihadapi rakyat
saat ini, seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran dan lain sebagainya, maka
wakil rakyat tidak boleh lupa. Motto bahwa biarlah rakyat saja yang mengalami
kesusahan dan kemiskinan harus diakhiri. Rakyat yang mengalami kemiskinan,
seharusnya menjadi perhatian wakil rakyat. Wakil rakyat hendaknya
memperhatikan keadaan sosial dari penderitaan rakyat yang diwakilinya. Kalau
mau, banyak sekali yang bisa dilakukan oleh wakil rakyat terhadap rakyat yang
sedang terlilit berbagai persoalan. Misalnya, menyisihkan sebagian uang gaji
yang diperoleh untuk biaya pendidikan bagi rakyat yang tidak mampu. Atau
mungkin bisa juga dengan meningkatkan kepedulian bagi rakyat yang tertimpa
musibah. Misalnya musibah banjir, tanah longsor, gempa bumi dan lain-lain.
Namun sayang rasa kepedulian sosial dan empati wakil rakyat sungguh
sangat lemah. Wakil rakyat terkesan diam saja. Diamnya wakil rakyat dalam
menyikapi penderitaan rakyat setidaknya bisa kita lihat ketika warga Sidoarjo
tertimpa musibah lumpur Lapindo. Anggota DPRD Sidoarjo selama ini terkesan
tidak perduli terhadap kerugian dan penderitaan rakyatnya. Hal ini sangat patut
dipertanyakan. Apakah mereka telah menjalankan tugasnya sebagai wakil
rakyat? Bukankah wakil rakyat manusia-manusia pilihan, terbaik dan terhormat,
yang diharapkan menjadi tumpuan harapan dan masa depan rakyat.
Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republika dan Aristoteles ( 384-322
SM) dalam bukunya Politika mengatakan bahwa; para wakil rakyat adalah para
Aristokrat yaitu; pengelolaan negara atau orang-orang terbaik/pilihan yang
punya integritas moral, kapasitas intelektual dan bisa dipercaya untuk
kepentingan semua, yakni membawa seluruh rakyat dan negara mencapai cita-
cita hidup sejahtera dan bahagia.

80
Makna dari ungkapan buku Plato dan Aristoteles diatas dapat
disimpulkan bahwa wakil rakyat adalah orang pilihan yang dipilih dalam suatu
wilayah untuk menjadi wakil di daerah pilihan constituency. Mereka mempunyai
tanggungjawab yang penting yaitu menyuarakan masalah constituency serta
berperan dalam membawa perubahan agar rakyatnya sejahtera. Lebih dari itu,
Plato dan Aristoteles juga memiliki harapan kepada para wakil rakyat untuk
sungguh-sungguh berprilaku sebagai aristokrat dalam suatu masyarakat
demokratis. Untuk menghasilkan wakil rakyat seperti yang diungkapkan oleh
Plato diatas, maka wakil rakyat harus memiliki sensitivitas terhadap kesusahan
rakyat. Bukan wakil rakyat yang sibuk memikirkan diri sendiri dengan segala
fasilitas dan kemewahan. Untuk itu, pemberian tunjangan tersebut harus
dipikirkan lagi atau kalau perlu dibatalkan. Ini mengingat bahwa masalah atap
rumah bocor dan lain sebagainya sebenarnya para anggota dewan masih
sanggup memperbaiki dari kantong mereka sendiri. Tanpa membebankan
kepada negara.

81
5
Mengungkap Praktik Busuk di Senayan

Media Iindonesia, 22 Nov 2007

Bicara tentang korupsi memang tidak pernah ada habisnya. Korupsi merupakan
persoalan akut yang secara terus menerus terjadi di Indonesia. Ia telah menjadi isu yang
sangat populer dari tahun-ketahun.

Setiap tahun korupsi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Keadaan


ini sungguh sangat bertolak belakang dengan upaya-upaya pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mencegah praktik korupsi. Tetapi apa mau dikata, pemberitaan
mengenai banyaknya korupsi hampir seimbang dengan himbauan untuk tidak
melakukan korupsi.

Dalam kondisi seperti ini, supremasi hukum hanya menjadi isapan jempol
belaka. Apa yang diteriakkan oleh pemimpin untuk menciptakan supremasi hukum
ternyata baru sebatas wacana. Padahal kita tahu bahwa dalam era reformasi saat ini,
tegaknya supremasi hukum merupakan syarat utama untuk memberantas korupsi.
Tekad untuk memberantas korupsi tidak boleh “mengenyampingkan” adanya supremasi
hukum dalam kehidupan masyarakat. Sebab perhatian terhadap pemberantasan korupsi
hanya akan menjadi sia-sia apabila supremasi hukum tidak dijunjung tinggi

82
Dalam banyak kasus, korupsi sering dilakukan oleh pejabat pemerintah,
pengusaha, bankir bank dan elite partai politik termasuk anggota DPR. Dan ini telah
berlangsung dari zaman orde baru hingga sekarang.

Saat sekarang, lagi-lagi kita di hebohkan dengan berita korupsi dari pejabat BI ke
anggota DPR. Kasus tersebut sekarang sedang diselidiki oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Badan Kehormatan (BK) DPR. Kita sambut dengan gembira kerjasama
KPK dengan BK tersebut untuk mengusut dugaan suap Rp 31,5 miliar dari petinggi Bank
Indonesia (BI) kepada anggota Komisi IX (Bidang Perbankan) DPR periode 1999-2004.

Jika kita simak, langkah KPK dan BK DPR ini merupakan langkah tepat
sebagai upaya penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia yang sudah
memasuki tahap anti klimaks. Dikatakan anti klimaks karena banyak pelaku
korupsi di negeri ini kasusnya dihentikan, bahkan mendapatkan putusan bebas
dari aparat hukum.
Agar anti klimaks penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia tidak
berkepanjangan. Maka KPK dan BK harus melakukan upaya-upaya yang preventif
dan konprehensif dalam mengungkap kasus suap oleh pejabat BI kepada anggota
DPR tersebut. Jangan sampai KPK dan BK DPR gagal dalam mengungkap dugaan
korupsi dana BI ke anggota dewan.
Ini menjadi tugas penting KPK dan BK DPR. Karena selama ini kejahatan
korupsi seolah-olah tidak mampu untuk diungkap apalagi menuntaskan sesuai
dengan hukum yang berlaku. Kalaupun sampai pada tahap persidangan di
pengadilan, pada akhirnya banyak dari mereka yang lolos dari jeratan hukum.
Artinya, banyaknya pelaku korupsi yang diputus bebas. Akibatnya, berbagai
elemen masyarakat apakah itu mahasiswa, NGO, LSM dan penggiat anti korupsi
terus saja menyuarakan kekecewaannya atas kinerja aparat hukum. Jika
dicermati, maka aspirasi yang disuarakan jelas menunjukkan bahwa elemen
masyarakat tidak puas atas kinerja aparat hukum selama ini dalam memberantas
kejahatan korupsi.

83
Kembali ke cerita supa di DPR. Kalau kita berbicara mengenai suap
kepada anggota Dewan yang terhormat, maka tentu saja kasus suap dari BI
kepada anggota Dewan kali ini bukan hal yang baru atau aneh. Praktik pemberian
suap kepada anggota DPR oleh mitra kerjanya untuk meloloskan sebuah
kepentingan sudah menjadi pergunjingan publik sejak dahulu kala. Meskipun
demikian, wujud dari kegiatan suap itu tidak pernah kelihatan. Sehingga aparat
hukum sangat sulit mencari kebenaran telah terjadi suap, karena lemahnya data
dan barang bukti yang bisa dijadikan alat pembenar.
Berdasarkan uraiaan diatas, perlu di tegaskan bahwa penuntasan kasus
suap dari pejabat BI ke anggota DPR harus diusut sampaai keakar-akarnya.
Jangan sampai pengungkapan dan penanganan kasus suap tersebut di intervensi
dengan kepentingan politik. Untuk itu, KPK dan BK DPR jangan takut dan gamang
saat menangani kasus ini. KPK dan BK DPR harus bisa membuktikan kerjanya.
Apalagi ini menyangkut nama BI yang selama ini jarang tersangkut kasus korupsi.
Kalau pejabat BI terbukti melakukan korupsi dalam kasus suap ini, maka ini jelas
tamparan bagi dunia perbankan kita. Karena BI yang seharusnya melakukan
pengawasan terhadap lalu lintas keuangan negara, tapi malah ikut menciptakan
korupsi.
Akhirnya, pihak yang menyuap harus diungkap. Begitu juga pihak-pihak
yang menerima suap. Kemudian pihak-pihak tersebut diumumkan kehadapan
publik siapa-siapa saja orangnya.
Jika mereka terbukti melakukan kejahatan penyuapan, atau sebaliknya
menerima suap. Maka pelakunya harus ditindak tegas sesuai dengan hukum
yang berlaku. Lebih dari itu, mereka harus diberhentikan dari jabatannya
sekarang. Karena kalau dibiarkan bisa jadi mereka-mereka itu akan melakukan
kejahatan yang sama ditempat mereka bertugas. Jadi mereka tersebut tidak
boleh menjabat di lembaga manapun.
Sebagai masyarakat yang haus akan nuansa keadilan. Kita perlu
mendorong atau mendukung KPK dan BK DPR agar berani mengungkap tuntas

84
kasus aliran dana dari BI ke anggota Dewan. Semoga saja penanganan kasus ini
dapat dijadikan momentum untuk mengungkap praktik busuk yang selama ini
terjadi di Senayan. Semoga.***

6
Harapan Pada Wakil Rakyat Yang Baru

Sinah Harapan, 1 Oktober 2004

Hari ini tanggal 1 Oktober sebanyak 550 orang anggota legislatif tingkat pusat
yang baru dan 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dilantik. Ke- 678 orang
tersebut, sekaligus akan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
akan mempengaruhi proses kehidupan berbangsa dan bernegara kedepan.

Lalu apakah wakil rakyat yang baru ini akan mampu membawa setumpuk
harapan bagi perbaikan citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Dan sekaligus membawa
sebuah pembaruan dan perbaikan bagi kesejahteraan rakyat? Entahlah! Terlepas dari
segala macam harapan dan keraguan tersebut, yang jelas bagaimanapun sekarang kita
telah mendapatkan anggota parlemen yang baru. Kita harus menerima segala apa yang

85
sudah kita dapatkan. Karena memang mereka terpilih sesuai dengan keinginan rakyat
secara langsung.

Mempersoalkan wakil rakyat memang tidak pernah habisnya. Citra buruk yang
ditampilkan paling tidak menjadi penyebab mengapa persoalan wakil rakyat tidak
pernah usai untuk di kritisi. Persoalan tersebut misalnya tentang banyaknya wakil rakyat
yang terlibat kejahatan korupsi. Kelakuan wakil rakyat dalam kejahatan korupsi tersebut
telah membawa mereka kepada kehidupan yang serba mewah, glamor dan modern.
Sementara kesengsaraan terhadap rakyat terus mengikuti dari belakang. Fenomena ini
telah membuat citra wakil rakyat sebagai pembela kepentingan rakyat hilang ditelan
perbuatan korupsi yang dilakukan.

Ironis memang, sementara rakyat menderita dengan berbagai macam kesulitan


hidup. Namun wakil rakyat hidup dengan segala kemewahan. Ini membuktikan bahwa
besarnya gaji dan banyaknya fasilitas yang disediakan, ternyata tidak diiringi dengan
tingkah laku yang menyenangkan rakyat.

Semua fasilitas yang disediakan untuk anggota dewan yang terhormat tersebut
sama sekali tidak membuat mereka tambah giat dan gigih bekerja dalam
memperjuangkan nasib rakyat. Mereka belum sepenuhnya sadar bahwa mereka harus
bekerja untuk rakyat dengan sungguh-sungguh. Akibat keadaan ini maka kinerja wakil
rakyat hampir selalu diwarnai dengan kecaman dan unjuk rasa yang tiada hentinya.

Kalau kita perhatikan dinegara-negara maju, Inggris dan Amerika misalnya,


Rakyatnya tidak begitu berminat untuk melakukan aksi-aksi unjuk rasa. Karena memang
kebanyakan dari aspirasi mereka sudah tersalurkan lewat wakil-wakil mereka di lembaga
legislatif. Dan kalaupun ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah.

Rakyatnya pertama-pertama bukan langsung menyerang pemerintah. Justru


yang pertama di mintakan pertanggung-jawaban adalah wakil rakyat mereka. Begitupun
juga dengan kemungkinan terdapatnya fasilitas-fasilitas umum yang tidak terawat, maka
yang paling utama merasa malu adalah wakil rakyatnya.

86
Harapan Kedepan
Harapan kita kedepan tentu saja wakil rakyat yang dihasilkan dalam pemilu
legisltaif 2004 ini akan benar-benar mampu berkerja dengan komitmen yang sungguh-
sungguh. Jangan lagi janji yang di ucapkan hanya tinggal kenangan. Jika ini terjadi
sungguh merupakan bahaya yang mengkkhawatirkan. Untuk itu, janji omong kosong
dengan segala macam retorika jelas tidak boleh dibiarkan tumbuh dan berkembang
dalam perjalanan tugas anggota dewan kedepan. Kalau dibiarkan, maka itu berarti akan
menambah kesengsaraan rakyat.

Agar semua harapan rakyat dapat di penuhi, maka wakil rakyat seharusnya
memposisikan diri sebagai penyambung aspirasi rakyat. Anggota dewan yang baru
hendaknya memperhatikan aspirasi rill yang ada dalam kehidupan rakyat. Janganlah
mempertontonkan kelakuan yang tidak terpuji terus. Kasihan rakyat yang telah memilih
dengan bersusah payah.

Disamping itu, wakil rakyat yang baru harus dapat melaksanakan fungsi-fungsi
yang berkaitan dengan hak pengawasan dewan dengan sepenuh hati. Fungsi
pengawasan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai komoditas politik. Yang hanya
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.

Sebagai warga negara yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Tentu
harapan tersebut harus kita gantungkan kepada mereka yang baru saja kita pilih.

Kita berharap semoga anggota dewan mau untuk instropeksi diri. Mereka para
wakil rakyat harus sadar dan ingat, bahwa lembaga yang mereka tempati tersebut
bukanlah tempat bersenang-senang dengan berbuat segala sesuatu yang bertujuan
untuk memperkaya diri. Akan tetapi lembaga tersebut hanya boleh digunakan untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat.

Yang jelas, kedepan anggota dewan yang baru masih akan dihadapkan oleh
berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak. Ini adalah tantangan
yang harus dihadapi.

Bagaimana mereka secara lebih bertanggung-jawab memposisikan diri sebagai


wakil rakyat untuk bekerja secara serius. Alangkah memprihatinkan bila berbagai

87
persoalan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak tersebut tidak diperjuangkan oleh
wakil rakyat yang baru.

Semoga wakil rakyat yang terpilih pada pemilu legislatif tahun 2004 ini dan telah
dilantik pada hari ini mampu menciptakan iklim yang lebih baik bagi kemajuan
kehidupan rakyat kedepan.

Mereka para wakil rakyat hasil pemilu kali ini harus berbeda secara kwalitas dari
wakil rakyat sebelumnya. Mereka harus lebih berani untuk memperjuangan aspirasi
rakyat. Mereka harus mampu menjauhi segala perbuatan korupsi. Karena
bagaimanapun diluar sana rakyat menunggu dengan harapan besar akan janji mereka.

Jadi wakil rakyat hendaknya sadar, bahwa sekaranglah waktu yang tepat untuk
melakukan perubahan dan pembaruan dalam membenahi segala citra buruk lembaga
legislatif selama ini. Jadi jangan sia-siakan harapan rakyat tersebut. Semoga.***

88
7
Citra Wakil Rakyat Kian Memudar

Suara Karya, 8 Juli 2008

Kelakuan anggota DPR atau wakil rakyat ternyata memang tidak pernah
berubah. Setelah sebelumnya Al-Amin tertangkap tangan menerima suap, kini giliran
Bulyan Royan, anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi DPR, tertangkap tangan karena
diduga menerima suap terkait pengadaan kapal patroli di Direktorat Jenderal (Ditjen)
Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan.

Menyikapi hal tersebut, pantas dipertanyakan kredibilitas wakil rakyat yang


mengusung "suara rakyat". Rakyat yang kelaparan dan ditimpa berbagai macam
musibah dan bencana, ternyata tidak menjadi perhatian para wakil rakyat. Sementara
anggota DPR yang sudah mendapatkan gaji besar, hidup mewah lengkap dengan segala
fasilitas, malah sering menerima suap.

Sungguh malang negeri ini. Lembaga yang terhormat itu tercemar oleh perilaku
wakil rakyat yang serakah. Agaknya, bagi anggota Dewan, lembaga DPR merupakan
lembaga tempat mencari nafkah sebanyak-banyaknya, tempat mencari nafkah dengan
menerima suap dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan peran DPR. Memang agak
sulit untuk membuktikannya, namun sepertinya dalam setiap proyek yang ditangani

89
wakil rakyat ada jatah untuk mereka. Semakin besar proyek yang diberikan, semakin
besar pula jatah yang akan diperoleh wakil rakyat.

Para anggota Dewan ini sepertinya tidak punya sensitivitas dan kepedulian pada
rakyat. Akibatnya, rakyat menjadi marah. Betapa tidak, wakil rakyat hanya bisa berjanji
saat kampanye. Setelah duduk di kursi DPR semua janji itu dilupakan.

Ada kesan kuat, setelah kampanye pemilihan umum selesai, dan mereka terpilih
menjadi anggota DPR, rakyat yang sudah memilihnya dilupakan. Akhirnya rakyat tetap
saja susah, sementara wakil rakyat hidup mewah, dan jauh dari krisis.

Buruknya kelakuan beberapa orang wakil rakyat dalam menerima suap, sangat
mungkin bukan kali ini saja terjadi. Kelakuan buruk tersebut masih dilengkapi dengan
perbuatan asusila yang sebenarnya tidak pantas dilakukan oleh seorang anggota Dewan.
Masih ingat kasus video mesum yang menimpa anggota DPR dengan pasangan
mesumnya Eva Maria beberapa waktu lalu? Tentu saja kita semua belum lupa kejadian
tersebut.

Kejadian tersebut telah mencoreng wibawa lembaga terhormat yang konon


kabarnya penyambung suara rakyat. Rentetan peristiwa mesum terus saja menimpa
para anggota legislatif, tidak terkecuali di daerah.

Mencermati fenomena tersebut timbul pertanyaan, kenapa mereka tidak


menjaga citranya sebagai anggota DPR, citra sebagai wakil rakyat. Dari beberapa kasus
yang terungkap, tampaknya para wakil rakyat tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.

Bahkan, itu tadi: ada beberapa wakil rakyat yang tanpa malu-malu melakukan
perselingkuhan, terlibat narkoba, dan ada yang bermain judi. Semuanya itu tentu karena
uang. Kalau uang sudah banyak, mereka cenderung menghambur-hamburkannya,
misalnya dengan melakukan perselingkuhan atau bermain judi. Tingkah laku amoral
oknum-oknum anggota legislatif itulah yang menyebabkan citra lembaga wakil rakyat
kian memudar.

Permasalahan tersebut tentu juga tidak terlepas dari kapasitas, kapabilitas, dan
integritas para anggota Dewan. Kita tahu, kebanyakan anggota legislatif yang dihasilkan

90
sejak bergulirnya reformasi di negara ini adalah orang-orang yang tidak kita kenal
sebelumnya.

Mereka banyak yang tidak jelas latar belakangnya, tidak jelas track record karier
politiknya. Sejatinya, banyak hal yang tidak kita ketahui dari para anggota legislatif.
Bahkan ada di antara mereka yang ketahuan memiliki ijazah palsu setelah terpilih jadi
wakil rakyat.

Parahnya, untuk menjadi anggota DPR, banyak di antara mereka telah


mengeluarkan modal yang cukup besar. Dengan demikian, kalaupun mereka terpilih dan
duduk menjadi anggota legislatif, banyak di antara mereka yang secara moral tidak
terukur.

Meskipun demikian memang tidak bisa dimungkiri bahwa banyak atau bahkan
sebagian besar anggota legislatif di negeri ini betul-betul bekerja untuk rakyat. Banyak di
antara mereka yang masih punya hati nurani.

Menjadi anggota DPR itu konon ada (mendapat) uang hasil pembuatan undang-
undang yang besarnya mencapai Rp 39 juta. Ada juga uang-uang lelah lainnya. Tapi,
tidak tampak ada anggota Dewan yang menolak uang-uang tersebut. Tidak ada yang
mengatakan alangkah baiknya kalau uang itu kita berikan kepada rakyat yang sedang
kesusahan. Sepertinya semua merasa berhak untuk mendapatkannya, meskipun gaji
para anggota DPR itu relatif cukup besar.

Padahal, kita semua tahu, kini masyarakat kita sedang mengalami kesusahan.
Banyak anggota masyarakat yang tertimpa musibah. Sebagian besar rakyat kita kini
masih dilanda kemiskinan secara terus-menerus. Melihat kenyataan tersebut, para
anggota Dewan terkesan bersikap cuek dan masa bodoh.

Kita memang risau dan prihatin melihat keadaan masyarakat kita sekarang ini.
Kita juga sedih melihat tingkah laku para anggota Dewan tersebut. Ke depan, perlu
kiranya sisi gelap kelakuan wakil rakyat itu kita akhiri.

Karena itu pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 nanti, sebagai rakyat kita harus
hati-hati dalam memilih seseorang untuk menjadi calon anggota legislatif. Partai politik

91
juga harus lebih berfungsi untuk menilai dan melihat moralitas dan jejak langkah
seseorang untuk masuk partai politik.

Ke depan pun, rakyat, partai politik dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya,
tidak boleh lengah. Kita harus hati-hati dalam memberikan suara dalam pemilu. Kalau
tidak, akan berakibat fatal terhadap lembaga DPR, dan bagi kehidupan sosial kita
selanjutnya. Jelas kita tidak menginginkan hal itu terjadi.***

92
8
Saatnya Prilaku Elite Partai Berubah

Pikiran Rakyat, 18 Juli 2008

Beberapa waktu lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan


34 partai politik yang akan bertarung secara nasional pada pemilihan umum
2009. Saat ini partai tersebut memasuki tahap pelaksanaan kampanye.
Jika kita berbicara mengenai partai politik, tentu tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan para pengurusnya. Sejak reformasi kepartaian diluncurkan pada
tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang membuat
menjamurnya partai politik (181 parpol). Namun sayang, kinerja orang-orang
yang duduk dalam kepengurusan partai politik masih saja mengecewakan rakyat.
Ketika orang-orang partai mengecewakan rakyat, maka partai politik langsung
menjadi tidak berharga dimata rakyat. Akibatnya demokrasi menjadi tidak
berbentuk. Dengan alasan demokrasi, seseorang berhak menuding, menjelekkan
dan menjatuhkan seseorang.

93
Dari itu, yang harus dibenahi pertama adalah tingkah laku para pengurus
partai. Karena selama ini kemampuan partai dalam menerjemahkan kehendak
politik publik dan memberi pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat
seakan tumpu. Persoalan makin parah manakala perilaku anggota partai yang
sudah menjadi wakil rakyat tidak menunjukkan sikap sensitif pada rakyat. Seperti
misalnya, persoalani gaji, tunjangan, maupun uang reses. Bahkan para elite
partai sering terlibat dalam perdebatan dan konflik untuk memperebutkan
kekuasaan. Yang lebih parah lagi anggota partai politik yang ada di DPR banyak
yang terlibat praktik-praktik korupsi. Semua ini semakin menunjukkan bahwa
kader atau orang-orang yang duduk dikepengurusan partai belem memberikan
pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat. Hal ini telah memunculkan reaksi
negatif publik.
Menyimak keadaan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa peran partai politik
dianggap kurang serius menjalankan agenda reformasi untuk tujuan demokrasi. Partai
politik kehilangan peran ideologisnya bagi sebuah perubahan yang bermakna.

Hal ini menyebabkan logika politik yang demokratis seakan tidak berjalan
sebagaimana tuntutan ideal yang dikehendaki oleh rakyat. Demokrasi yang seharusnya
menjadi kunci sukses keberadaan sebuah partai di hati rakyat tidak berjalan sama sekali.
Demokrasi telah mati. Lihat saja misalnya ketika partai mengadakan kongres, proses
politik dalam kongres berubah menjadi arena adu jotos, arena saling menjatuhkan.
Bahkan banyak pengurus partai yang tidak terpilih bikin partai tandingan sebagai tindak
lanjut dari gagalnya tokoh partai tersebut menduduki kursi kepengurusan.

Kondisi diatas tentu saja semakin memperlihatkan kepada kita bahwa partai
politik telah gagal menghadirkan kehidupan yang demokratis di tengah rakyat. Gagalnya
partai politik membangun kehidupan yang demokratis merupakan tindak lanjut dari
gagalnya partai memberikan jaminan terciptanya kehidupan rakyat yang lebih baik
selama ini. Ini akibat dari ulah elite partai yang masih disibukkan dengan ambisinya
untuk mengapai kekuasaan, baik di kepengurusan partai maupun di legislatif.

94
Kondisi ini oleh sebagian kalangan sudah dianggap lazim, sebab tradisi
kepartaian di negara kita yang memang masih belum bisa dilepaskan dari tradisi
kekerasan, saling hujat, dan saling jatuh-menjatuhkan. Namun kejadian tersebut patut
disayangkan, karena elite partai adalah orang-orang pintar dan bukan para preman.

Sepantasnya partai politik mencermati aspirasi rakyat dan mengambil sebuah


keputusan yang nantinya benar-benar bermanfaat dalam kehidupan rakyat. Rakyat
sangat menaruh harapan yang cukup tinggi terhadap kehadiran partai politik, terutama
sekali setelah sebuah partai melakukan pembaharuan atau perubahan kepengurusan.
Tingginya harapan rakyat tersebut tentu saja bertujuan sebagai wahana untuk
mengartikulasikan kepentingan rakyat. Karena partai-lah yang dapat menyalurkan
aspirasi rakyat untuk melakukan perubahan-perubahan kearah kehidupan yang lebih
baik.

Menutup tulisan ini, maka bagi partai politik yang lolos untuk ikut pemilu 2009
semoga saja nanti dapat memberikan sebuah harapan baru bagi rakyat. Bagi partai
politik baru, kiranya dapat meberikan konstribusi yang berarti buat rakyat. Dan bagi
partai lama harus mengevaluasi kinerjanya yang terdahulu. Salah satu bahan evaluasi
yang penting dalam konteks ini adalah sejauh mana elite partai politik mampu
melakukan kontak atau komuniksi politik dengan rakyat. Harapan rakyat yang paling
penting, semua elite partai harus benar-benar hadir di tengah rakyat di manapun rakyat
berada. Terutama sekali ketika rakyat mengalami kesulitan dan kesusahan. Jadi kini
saatnya elite partai politik membawa makna perubahan dalam fungsi dan perannya
untuk masyarakat.

95
9
Pemilu, Kelakuan Elite, dan Golput

Media Indonesia, 7 Agustus 2008

Dalam setiap pesta demokrasi di Indonesia, apakah itu pemilihan kepala daerah
(pilkada) atau pemilihan umum (pemilu) kita mengenal kelompok atau individu yang
tidak mengambil bagian dalam pemungutan suara. Mereka ini kita kenal dengan istilah
golongan putih (golput). Golput telah menjadi masalah klasik dan universal dalam
kehidupan politik. Pembicaraan tentang golput selalu menjadi berita menarik menjelang
pemilu di negara mana pun.

Di Indonesia, istilah golput dalam peta politik pertama kali muncul pada 1971
terhadap mereka yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih. Mereka yang
tidak mengambil bagian tersebut undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi. Artinya,
secara hukum memang tidak ada satu kekuatan apa pun yang dapat menghalang-halangi
seseorang untuk bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya.

Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah tentu dengan semakin tingginya
angka golput dalam setiap pesta demokrasi, semakin rendah nilai legitimasi pemimpin

96
yang dihasilkan. Inilah konsekuensi logis dari kebebasan masyarakat untuk memilih atau
tidak.

Memasuki Pemilu 2009, wacana golput kembali mengemuka di hadapan kita.


Banyak pihak memperkirakan angka golput pada Pemilu 2009 akan meningkat tajam.
Peningkatan ini seiring dengan semakin tingginya pengkhianatan pemimpin dan wakil
rakyat terhadap konstitusi. Betapa tidak, pemilu yang digelar selama ini cenderung tidak
menghasilkan perubahan sebagaimana harapan rakyat. Rakyat menganggap, pemilu
hanya membuang-buang waktu, energi, dan biaya saja.

Setelah pemilu usai, rakyat dipertontonkan dengan kelakuan buruk para


pejabat, elite politik, dan wakil rakyat. Mereka banyak tersangkut kasus korupsi, bahkan
mereka juga terlibat perbuatan asusila, bermain judi, dan terlibat narkoba. Perbuatan
tersebut sangat tidak pantas dilakukan wakil rakyat. Sebab, mereka adalah orang-orang
terhormat yang seharusnya memberikan contoh teladan pada rakyat.

Fenomena ini membuat rakyat kecewa, sehingga akhirnya rakyat tidak lagi
percaya kepada wakil rakyat atau partai politik yang ada. Masyarakat merasa wakil
rakyat yang dihasilkan lewat pemilu belum mampu membawa makna yang cukup berarti
dalam menyalurkan aspirasinya. Ini ditambah lagi dengan tidak seriusnya wakil rakyat
dalam sidang-sidang membahas agenda penting bangsa.

Mencermati hal di atas, maka setidaknya secara umum ada beberapa faktor
yang cukup signifikan memengaruhi mengapa angka golput cenderung tinggi dalam
setiap pemilu. Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin menggunakan
hak pilihnya disebabkan beberapa kemungkinan, seperti rasa tidak percaya kepada
sistem pemilu. Kedua, ketidakpercayaan kepada partai politik. Mereka menganggap
bahwa tidak ada figur andalan yang dapat mewakili aspirasi mereka. Ini dibuktikan
dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan wakil rakyat yang
terpilih tidak dapat berfungsi mengemban aspirasi rakyat. Kondisi kehidupan politik yang
lebih baik setelah pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung di tengah kehidupan
rakyat.

97
Malah yang muncul justru tingkah laku buruk wakil rakyat. Dan juga yang
muncul konflik berkepanjangan antarelite politik atau partai politik. Pada tataran ini,
semua elite politik hendaknya belajar dari pemilu yang sudah lewat. Memahami bahwa
golput adalah instrumen politik rakyat untuk melakukan kritik. Kritik yang disampaikan
melalui golput hendaknya mampu dijadikan bahan renungan. Menutup tulisan ini, kita
sadar bahwa, keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil setelah
mengkaji berbagai alasan yang ada.

Untuk itu, menyambut pemilu 2009, yang harus dilakukan oleh semua elite
politik adalah; Pertama, hendaknya secara terus-menerus menyosialisasikan
pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Semua elite politik, baik
yang ada di pemerintahan, di kepengurusan partai, di KPU dan di gedung DPR secara
bersama-sama menegaskan bahwa golput tidak boleh terus terjadi dalam setiap pesta
demokrasi.

Para elite politik negeri ini harus mampu meyakinkan rakyat bahwa hanya
melalui pemilu-lah arah dan cita-cita bangsa ini bisa diwujudkan, yaitu dengan
terpilihnya pemimpin baru. Selanjutnya, bagi elite politik yang terpilih menjadi
pemimpin baru hendaknya bisa menjadi panutan, teladan, dan mampu menyalurkan
aspirasi rakyat, sehingga golput di masa-masa selanjutnya bisa berkurang. Kedua, semua
elite politik yang ada di KPU dan dibantu seluruh elemen masyarakat apakah itu
mahasiswa, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya harus
bekerja keras melakukan pendaftaran semua pemilih potensial. Mereka itu harus
dipastikan sudah terdaftar dalam setiap daerah pemilihan.

Semoga saja pemilu yang kita laksanakan kali ini tidak membuat masyarakat
menjadi golput, dan pemilu kali ini akan menghasilkan elite politik yang lebih baik
dimasa mendatang. Semoga.***

98
10
Wakil Rakyat dan Korupsi

Seputar Indonesia, 12 April 2008

Kembali kita disentakkan oleh berita buruk tentang prilaku anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) atau yang biasa kita kenal dengan wakil rakyat. Kali ini
menimpa anggota Komisi IV DPR, Al Amin Nur Nasution. Ia ditangkap di Hotel Ritz
Carlton atas dugaan tindak pidana korupsi alih fungsi hutan lindung di Riau.

Saat ini, Al Amin Nur Nasution memang belum dijadikan tersangka, karena
masih diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika nanti ia terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tentu saja perbuatan itu semakin menambah
daftar hitam kelakuan jelek wakil rakyat. Kita tahu, sebelumnya, wakil rakyat
diberitakan menerima aliran dana dari BI. Dan sampai saat ini proses pemeriksaan dan
penyidikannya masih terus berlangsung.

Menyikapi kasus korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat diatas, maka timbul
pertanyaan dibenak kita. Mengapa wakil rakyat yang sudah diberikan gaji besar dan
fasilitas yang baik masih suka melakukan perbuatan korupsi? Apakah gaji dan fasilitas

99
yang mereka terima belum cukup untuk memenuhi kesejahteraan hidup mereka?
Hemat penulis, apabila ada orang yang melakukan korupsi maka semua itu tidak lebih
dari sifat mereka yang serakah ditambah dengan moral yang buruk.

Betapa tidak, sebenarnya mereka yang melakukan korupsi sudah berpenghasilan


lebih dari cukup untuk memenuhi standar kesejahteraannya, akan tetapi nafsu
keserakahan menyebabkan mereka harus mencari penghasilan lebih secara ilegal,
termasuk dengan menerima suap.

Dari perspektif kriminologis, kejahatan korupsi tersebut hampir rata-rata


dilakukan oleh kelas elite negeri ini. Menurut Sutherland, kejahatan-kejahatan yang
dilakukan para elite tersebut berkaitan dengan profesinya. Karena itu, sifatnya eksklusif,
sistematis, berjangka lama, dan sulit dibuktikan.

Lihat saja, pelaku korupsi hampir semuanya mereka yang menduduki jabatan
terhormat yang sudah pasti tingkat kesejahteraannya relatif lebih baik. Kasus-kasus
korupsi yang melibatkan para oknum pejabat selama ini seperti kasus korupsi di Bank
Indonesia, Pertamina, Bank Mandiri, Bulog, menunjukkan secara riil kenyataan itu

Sebenarnya, sudah sejak lama bangsa ini merindukan pemimpinnya yang baik
dan tidak suka melakukan korupsi. Rakyat butuh pemimpin yang memperhatikan
kesejahteraannya.

Dalam rezim demokrasi langsung saat ini, sebenarnya keinginan rakyat untuk
mendapatkan pemimpin yang baik bisa diujudkan. Karena situasi politik kita telah
berubah dari rezim otoriter kepada era reformasi. Dimana pemimpin dipilih langsung
oleh rakyatnya. Pemimpin dipilih melalui proses politik yang bersih dan jujur.

Pemilu Legislatif dan Presiden 1999 dan 2004 merupakan tonggak awal dimana
seharusnya kita mendapatkan pemimpin yang baik dan mengabdi kepada rakyat. Baik
itu di eksekutif maupun di legislatif. Namun apa kenyataan yang kita lihat, elite politik
negeri ini masih suka menyengsarakan rakyat. Rakyat dibiarkan dengan masalahnya.
Sementara elite politiknya hidup senang dan kaya raya.

100
Jadi jika disimpulkan, dalam era reformasi, kelakuan wakil rakyat semakin
menjadi buruk dan cenderung mengindahkan kepedulian sosial dan moralitas.
Akibatnya, membuat rakyat kecewa dan muak. Lihat saja, di tengah kebingungan
dan kesusahan rakyat menanggung beban hidup yang semakin sulit, wakil rakyat
yang terhormat justru melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat rakyat
benci. Misalnya dengan melakukan perbuatan korupsi, bermain judi dan
menggunakan narkoba. Fenomena suap dan korupsi yang dilakukan oleh wakil
rakyat negeri ini menunjukkan bahwa mereka lupa kepada rakyat yang
memilihnya. Mereka melakukan korupsi tentu saja dengan tujuan untuk
memperkaya diri pribadi itu terjadi dalam banyak wajah.
Sekali lagi dalam kasus Al Amin, kejahatan korupsi yang dilakukannya tentu
sangat menyedihkan rakyat. Sebab masih begitu banyak persoalan rakyat yang harus
diselesaikan oleh wakil rakyat. Tapi malah wakil rakyatnya terindikasi melakukan korupsi
untuk keuntungan pribadi.

Kedepan kita tentu masih bisa berharap, persoalan-persoalan kemiskinan,


kelaparan, pelanggaran HAM, pendidikan hendaknya lebih menjadi perhatian wakil
rakyat. Karena sampai saat ini janji para wakil rakyat untuk mengatasi persoalan rakyat
masih belum terlaksana secara maksimal. Buktinya, masih begitu banyak rakyat yang
hidup dibawah garis kemiskinan atau tidak mampu untuk mengemyam pendidikan dan
lain sebagainya.

Semoga saja, KPK dapat membuktikan kinerjanya dalam menyeret siapa-siapa


pelaku korupsi dalam kasus Al Amin Nasution ini, dan jika nanti terbukti Al Amin
melakukan korupsi, hendaknya proses hukum dapat berlaku adil. Sehingga nantinya
dapat menjadi pelajaran bagi wakil rakyat lainnya. Semoga.***.

101
11
Krisis Moral Elite Politik

Koran Jakarta, 29 November 2008

Bangsa Indonesia tidak lama lagi akan mengelar pesta demokrasi terbesar
bernama Pemilihan umum (pemilu). Saat itu akan dipilih secara langsung anggota
legislatif serta dilanjutkan dengan pemilihan langsung Presiden dan wakil
Presiden. Berbagai persiapan telah dilakukan untuk menyambut pesta tersebut.
Pertanyaannya, apakah usai pesta pemilu nanti apa yang diharapkan oleh
seluruh rakyat akan tercapai, yaitu terciptanya pemimpin, penguasa, wakil rakyat
atau elite politik yang baik, bersih dan jauh dari segala perbuatan-perbuatan
yang mencoreng wibawa negara? Misalnya menjauhi perbuatan korupsi?
Entahlah! Semua masih serba teka-teki.
Pengalaman menunjukkan, usai pemilu digelar dan kita telah memilih
elite politik bangsa ini untuk masa bakti lima tahun kedepan, kondisi bangsa
seakan tidak bergeser kearah yang lebih baik (stag). Harapan akan datangnya
perubahan secara maksimal tidak berjalan sesuai yang kita dambakan.
Kehidupan berbangsa dan bernegara masih sering dilanda kekacauan, ribut dan
penuh konflik.

102
Parahnya, elite politik negeri ini yang seharusnya menciptakan
kedamaian, ketentraman dan mampu menjadi contoh tauladan bagi rakyat
seakan terjebak dengan tingkah laku yang tidak terpuji. Mereka sering ribut dan
bertikai memperebutkan kursi kekuasaan.
Mereka sibuk adu argumen di berbagai media cetak dan elektronik. Saling
lempar statement untuk mempertahankan tujuan dan kekuasaan. Rakyat
menjadi bingung melihat elite politik negeri ini. Bahkan rakyat juga menjadi
muak dengan tingkah polah mereka. Lalu salahkah jika rakyat menjadi benci dan
marah dengan kelakuan elite politik tersebut?
Jawabannya jelas tidak. Sebab, disaat rakyat membutuhkan perhatian
dan perlindungan dari elite politik negeri ini, tapi mereka justru bertikai dan
melakukan tindakan yang tidak terpuji. Dan parahnya elite politik negeri ini
begitu suka mengambil uang rakyat dengan melakukan tindakan korupsi. Budaya
korupsi di lingkungan elite politik boleh dibilang cukup akut. Elite politik yang
baru di dalam politik yang dulu kita harapkan bisa menjalankan agenda reformasi
ternyata kemudian menjadi bagian dari rezim korupsi itu sendiri, akibatnya
agenda pemberantasan korupsi menjadi macet. Tidak salah data Transparency
International tahun 2007, telah menempati Indonesia diperingkat 36 negara
paling korup di dunia.
Nilai indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan 0,1
poin dari tahun sebelumnya. Pada 2006, IPK Indonesia 2,4, sedangkan IPK pada
2007 adalah 2,3. IPK tersebut adalah persepsi korupsi di sektor publik pada 180
negara. Nilai IPK ini skalanya dari 0 sampai 10. 0 mengindikasikan persepsi
terhadap korupsi yang tinggi, sedangkan 10 mengindikasikan tingkat korupsi
yang rendah. Berselang beberapa waktu kemudian, survei Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) pada Januari– Februari 2008 di 13 negara di
Asia, telah menempatkan Indonesia berada di posisi ketiga negara terkorup
dengan nilai 7,98.

103
Merujuk paparan indeks korupsi diatas, sudah pasti bahwa tingginya peringkat
korupsi di Indonesia tidak terlepas dari prilaku elite politik yang suka korupsi. Korupsi
yang kian hari kian subur di lingkungan elite politik seolah-olah sudah terpatri dihati elite
politik. Tidak salah ada istilah bahwa elite politik yang emoh korupsi adalah elite politik
yang bodoh. Karena itu mereka suka berlomba-lomba masuk bui akibat tertangkap
basah melakukan tindak pidana korupsi.

Lalu mengapa mereka para elite politik tutup mata terhadap penderitaan rakyat
yang semakin terjepit akibat semakin beratnya beban hidup? Yang pasti pada tataran
nilai korupsi yang dilakukan oleh elite politik negeri ini dapat dilihat sebagai rusak atau
lemahnya moral para elite politik. Elite politik telah kehilangan kepekaan akan
penderitaan rakyat banyak yang sebenarnya lebih berhak atas uang yang dikorupsi oleh
para elite politik.

Rendahnya moral telah membuat elite politik tidak menyadari bahwa korupsi
selain berdampak pada kerugian keuangan negara, tapi juga menyebabkan hancurnya
social capital dan human capital. Jadi sekali lagi, elite politik yang telah dihasilkan lewat
pemilu ternyata memiliki kadar moral yang rendah. Mereka lebih suka memperkaya diri
sendiri dari pada memperhatikan penderitaan rakyat. Padahal bukankah mereka dipilih
oleh rakyat? Jika begitu seharusnya elite politik yang dipilih rakyat tadi memperhatikan
rakyat. Bukan malah melupakan rakyat.

Mumpung masih ada waktu, maka pada pemilu 2009 nanti adalah tugas kita
untuk mendapatkan elite politik yang baik, jujur, dan bersih dari perbuatan korupsi. Jika
kita tidak mendapatkan elite politik yang lebih baik dan bersih keadaan bangsa ini akan
tetap tidak berubah.

Stagnasi bangsa akan terus saja berlangsung. Oleh karena itu, rakyat nantinya
mesti tahu bahwa pilihan mereka dalam pemilu memiliki konsekuensi terhadap masa
depan bangsa. Kepada rakyat yang berkeinginan agar pada pemilu mendatang kita bisa
mendapatkan elite politik yang bersih dari korupsi, maka penting untuk dilakukan
adalah mempergunakan pemilu sebagai moment untuk mencari dan memilih elite
politik yang benar-benar bersih dan jelas track recordnya.

104
Kepada penyelenggara pemilu dimohon kesediaannya untuk memberikan
pemahaman kepada rakyat tentang konsekuensi pilihan mereka dalam pemilu. Artinya,
rakyat harus diberitahu jika mereka salah memilih elite politik maka keadaan bangsa
tidak akan pernah berubah.

Sekali lagi, pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu seperti


misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau juga pengawas pemilu, harus memberikan
pemahaman kepada rakyat bahwa elite politik yang punya pengalaman korup jangan
dipilih lagi. Kita harus sepakat bahwa elite-elite politik yang suka korupsi harus tergusur
dari jabatan politik. Kita harus merubah kondisi bangsa dan negara ini dengan
mendapatkan elite politik yang anti korupsi.

105
BAGIAN KEEMPAT

KEPEMIMPINAN NASIONAL,
PERSOALAN
YANG BELUM SELESAI

1
Kepemimpinan Nasional
Pasca Pemilu 2009

Batak Pos, 31 Desember 2008

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana demokrasi untuk


membentuk kepemimpinan nasional. Melalui pemilu rakyat diberi kesempatan
untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan nasional dalam periode

106
waktu tertentu. Melalui pemilu, kita menganti pemimpin lama yang tidak
dipercaya dengan pemimpin baru yang dapat lebih dipercaya.
Hal ini menjadi penting karena sebuah kepemimpinan yang lama tanpa
dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada kepemimpinan yang korup dan
sewenang- wenang.
Pertanyaannya apakah pasca pemilu 2009 nanti kita akan mendapatkan
pemimpin yang lebih baik, memperhatikan rakyatnya, punya integritas dan anti
korupsi? Lalu siapa yang mesti kita pilih? Itulah beberapa pertanyaan yang
sekiranya perlu kita carikan jawabannya. Karena jika kita salah, maka arah dan
cita-cita bangsa ini akan di bawa kearah yang lebih buruk lagi. Kita jelas tidak
menginginkan hal itu terjadi.

Persoalan Mendasar
Sebagaimana kita ketahui bersama, pada tanggal 9 April 2009 nanti,
Indonesia akan memasuki sebuah masa yang sangat menentukan perjalanan
bangsa ini ke arah yang lebih baik dan memiliki masa depan yang tidak suram.
Tepatnya Indonesia akan melaksanakan pemilu yang lebih demokratis untuk kali
yang ketiga, sejak era reformasi digulirkan.
Calon-calon pemimpin nasional yang diharapkan bisa membawa bangsa
ini ke arah yang lebih baik sudah banyak bermunculan lewat kampanye, debat
dan berbagai pidato di berbagai media cetak dan elektronik. Ada yang muda, tua,
muka baru dan muka lama. Calon pemimpin muda sempat menjadi perdebatan
dan wacana berbagai kalangan. Meski hemat penulis sebenarnya tidaklah terlalu
penting apakah pemimpin itu datang dari kalangan muda atau tua. Karena bagi
rakyat yang penting adalah bagaimana capaian dari suksesi kepemimpinan itu
diperoleh dengan mekanisme demokratisasi yang adil. Dan juga pemimpin
nasional yang dihasilkan mendapatkan dukungan yang luas dari hasil partispasi
seluruh rakyat. Artinya rakyat bebas mengekspresikan suara politiknya tanpa

107
intimidasi pihak lain. Atau dengan kata lain, rakyat tidak disubordinasi oleh
kepentingan kekuasaan semata.
Kemudian juga yang lebih penting, bagaimana nantinya pemimpin
tersebut sanggup membawa bangsa ini kedalam suasana yang lebih sejahtera,
damai, aman, tegak hukumnya, jauh dari konflik dan pertikaian. Sehingga
kebutuhan hidup riil masyarakat dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Untuk tercapainya semua itu, maka dengan demikian pemimpin masa
depan itu harus cakap moralnya, punya kemampuan pemimpin, pengetahuan
dan wawasan yang luas serta punya integritas yang tidak diragukan. Semua hal
tersebut bisa kita lihat dari track recordnya selama berkarier. Jika semua itu
terpenuhi maka semua “persoalan mendasar” yang dihadapi bangsa akan bisa
teratasi, misalnya, persoalan penegakan hukum, pertumbuhan ekonomi yang
baik, persoalan disintegrasi bangsa dan berbagai bentuk persoalan lainnya,
seperti masalah kemiskinan, pengangguran dan konflik sosial.

Janji Pemimpin
Dalam kenyataan sudah banyak calon pemimpin nasional yang unjuk gigi
tampil didepan publik menyampaikan visi dan misinya menyongsong pemilu
2009. Mereka berjanji kepada rakyat jika terpilih nanti akan menciptakan iklim
ekonomi yang lebih baik untuk rakyat, mewujudkan tegaknya hukum dan
berbagai janji lainnya. Janji tersebut dapat kita lihat di surat kabar dan televisi.
Mereka menyampaikan pesan-pesan manis dan gombal kepada rakyat.
Berjanji manis dalam politik tentu boleh saja. Karena itulah cara untuk
mengiklankan diri agar dipilih rakyat. Tapi tentu akan sangat disayangkan jika
janji itu hanya manis dimulut saja. Tapi sulit diimplementasikan ditengah rakyat.
Kenyataan yang kita lihat selama ini begitu banyak pemimpin negeri ini yang
hanya mampu berjanji tapi sulit mengujudkannya ditengah kehidupan rakyat.
Setelah mereka terpilih semua janji yang disampaikan dalam kampanye
hilang begitu saja. Para pemimpin yang terpilih sibuk dengan kursi kekuasaan.

108
Bahkan janji menumbuhkan iklim ekonomi kearah yang lebih baik sebagaimana
harapan rakyat tidak pernah terujud. Rakyat tetap saja dilanda kesusahan.
Pengangguran dan kemiskinan merajalela di bumi ini.
Parahnya mereka juga terlena dengan perbuatan korupsi dengan
mengerogoti uang rakyat. Sungguh suatu perbuatan yang tidak terpuji. Tidak
salah pada akhirnya rakyat benci dan marah kepada pemimpinnya. Dalam hal ini
terjadi krisis kepemimpinan nasional. Krisis ini merupakan satu pangkal dari
sekian akar krisis yang mendera bangsa ini selama era reformasi dimulai.

Catatan Penutup
Akhirnya kita sepakat bahwa kepemimpinan nasional yang pro rakyat,
punya integritas, punya jiwa kepemimpinan, cakap moralnya dan anti korupsi
akan menjadi harapan kita menuju perubahan bangsa kearah yang lebih baik
pasca pemilu 2009 nanti.
Untuk terujudnya semua itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang punya
visi guna memutuskan mau ke mana biduk bangsa ini akan didayung. Visi
tersebut juga bagaimana seorang pemimpin mampu mengelola seluruh potensi
yang dimiliki bangsa ini, termasuk mengelola kekayaan alam yang kita miliki dan
mengelola seluruh keanekaragaman kita sebagai bangsa yang majemuk.
Artinya, kemampuan menata dan mengelola keanekaragaman suku,
agama, budaya dan bahasa bangsa ini harus dimiliki pemimpin terpilih pada
pemilu 2009 nanti. Ini menjadi penting, karena selama ini begitu mudah
keanekaragaman yang kita miliki tersebut menjadi sebuah konflik dan pertikaian.
Munculnya gejolak, konflik dan kerusuhan antaretnis di sebagian wilayah
Indonesia merupakan sinyal nyata bahwa pemimpin yang pernah kita hasilkan
lewat beberapa kali pemilu memang belum sepenuhnya mampu mengendalikan
rakyat dari konflik dan permusuhan. Semoga saja pemimpin masa depan yang
dihasilkan pasca pemilu 2009 nanti mampu membawa perubahan dalam
kehidupan kita kearah yang lebih baik pada masa-masa mendatang. Mampu

109
mengelola bangsa menjadi sebuah bangsa yang memiliki kekuatan untuk
terujudnya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Semoga.***

2
Sultan HB X dan Kursi Presiden

Batak Pos, 1 November 2008

Selasa, tanggal 28 Oktober, menjelang berlangsungnya pisowanan ageng


di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X,
menyatakan siap maju sebagai calon Presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres)
2009. Sudah lama masyarakat ingin mendengar langsung kesediaan Sultan HB X
untuk dicalonkan sebagai pemimpin nasional. Bahkan beberapa partai-pun ada
yang meminang Sultan HB X untuk dicalonkan sebagai Presiden, tapi Sultan HB X
belum bereaksi. Kini semua masyarakat sudah mendengar langsung kesediaan
Sultan HB X untuk maju bertarung menuju kursi RI satu.
Hemat penulis ada beberapa pertimbangan mengapa masyarakat
menginginkan Sultan HB X mau dicalonkan sebagai Presiden. Pertama, Sultan HB
X dipandang sebagai tokoh yang dekat dengan rakyat, tidak saja rakyat

110
Yogyakarta, akan tetapi juga diluar Yogyakarta. Dalam pergaulan politik nasional-
pun, Sultan HB X bahkan diterima oleh semua kalangan. Sultan HB X bisa
bertemu dengan Presiden Yudhoyono, diterima keluarga Cendana, dekat dengan
Amien Rais dan Megawati, serta bercanda bersama Abdurrahman Wahid.
Dikalangan mahasiswa, aktifitas masyarakat madani atau organisasi masyarakat
lainnya, Sultan HB X kerap-kali diminta hadir dalam seminar atau berbagai diskusi
mengenai kepemimpinan dan kerakyatan.
Pemikirannya tentang kepemimpinan yang mengabdi kepada rakyat
membuat ia dikagumi oleh banyak kalangan termasuk elite politik negeri ini.
Begitu dekatnya Sultan HB X dengan rakyat, maka ketika kerusuhan melanda
Indonesia tahun 1998, dengan karisma yang besar, Sultan HB X mampu
mengendalikan Yogyakarta dari amuk massa. Padahal ssat itu Sultan HB X ada di
Ciganjur bersama Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno
Putri di depan para mahasiswa yang sedang marah.
Kedua, Sultan dipandang sebagai tokoh yang berani dan tidak
mementingkan kedudukan, buktinya dalam orasi budaya “Ruh Yogyakarta untuk
Indonesia”, April 2007, Sultan HB X tidak berkenan lagi menduduki kursi
gubernur Yogyakarta periode 2008-2013. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan
bagi Sultan HB X bukan segala-galanya yang dapat digunakan untuk menumpuk
harta dan kekayaan.
Ketiga, Sultan dianggap sebagai pendorong reformasi untuk mendorong
transisi Indonesia menuju negara yang demokratis. Saat gejolak reformasi
bergema, Sultan HB X menyikapi dengan pemikiran, pendirian dan tindakan
politik yang santun, dilengkapi dengan pertimbangan yang rasional dan hati yang
tajam. Sehingga perjuangan reformasi yang diagendakan itu tidak menjadi sia-
sia. Tetapi akan menghasilkan pemimpin yang memihak pada rakyat. Itulah
bentuk wujud kepedulian Sultan HB X pada reformasi.
Sultan HB X, alumnus Fakultas Hukum UGM ini dinobatkan sebagai raja di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X

111
pada tanggal 7 Maret 1989 mengantikan ayahnya, Sri Sultan HB IX yang wafat
Oktober 1988. Sejak 3 Oktober 1998 ia dinobatkan menjabat Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Selama memimpin Yogyakarta, Sultan HB X adalah raja
yang dikenal dekat dengan rakyatnya. Tidak salah di kalangan masyarakat
Yogyakarta, Sultan HB X-pun dipuja dan dihormati.
Kini nama Sultan HB X terlanjur diperhitungkan setelah ia menyatakan
tidak bersedia lagi menjabat lagi sebagai Gubernur Yogyakarta setelah periode
2003-2008 berakhir. Sultan HB X kemudian menyampaikan kesiapannya untuk
menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Tentu saja keinginan itu disambut dengan gembira oleh masyarakat Indonesia.
Sebab dalam wacana kehidupan politik nasional yang berkembang saat ini,
sebenarnya rakyat menginginkan calon Presiden diisi oleh muka-muka baru.
Untuk itulah, sosok Sultan HB X jelas penjelmaan dari semua harapan
tersebut. Karena sepanjang yang kita lihat selain Sultan HB X para kandidat yang
muncul selalu muka-muka lama, yang bagi masyarakat sudah terlihat
kegagalannya dalam memimpin negara. Berbeda dengan Sultan HB X, ia pernah
mengajarkan kepada kita bahwa, kekuasaan duniawi itu bukanlah apa-apa
dimatanya.
Amanah kepemimpinan itu bukanlah untuk memaksimalkan keuntungan
politik dan ekonomi, akan tetapi untuk memaksimalkan upaya menyejahterakan
rakyat. Kekuasaan, harta dan waktu cepat berlalu. Tetapi pertanggungjawaban
kekuasaan itu sangat melelahkan, dimulai ketika tidak lagi menjabat, hingga
kehadapan Tuhan. Ucapan Sultan HB X itu terbukti ketika ia memimpin
Yogyakarta. Sultan HB X dapat dikatakan berhasil membawa kemakmuran bagi
rakyat Yogyakarta.
Akhirnya, dalam konteks Indonesia kini, yang sudah carut-marut penuh
krisis, maka perlu kita beri kesempatan kepada Sultan HB X untuk maju sebagai
calon Presiden. Agar benar-benar terjadi perubahan di bumi pertiwi ini.
Semoga.***

112
3
Merindukan Kepemimpinan Negarawan, Bukan
Politisi

Seputar Indonesia, 29 Maret 2008

Mungkinkah Pemilu 2009 akan melahirkan pemimpin masa depan


visioner yang membuat bangsa ini bangkit dari keterpurukan? Pertanyaan
tersebut sangat layak diajukan, mengingat kondisi bangsa saat ini. Pemimpin
yang tampil memimpin Indonesia belum sepenuhnya mampu bekerja sesuai
harapan rakyat banyak. Sejatinya,pemimpin yang tampil hanya mampu berjanji
sebelum terpilih.
Setelah terpilih,mereka terlena dengan kekuasaan.Ini terjadi di hampir
semua level kepemimpinan, baik tingkat pusat maupun nasional.
Parahnya,kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak terpuji, misalnya melakukan korupsi.Sementara rakyat
terus saja menjerit.
Terimpit dalam kesulitan hidup. Kini,menjelang Pemilu 2009, situasi
politik mulai memanas.Para elite politik mulai sibuk memikirkan kursi
kekuasaan.Paling tidak,hal itu terlihat dengan ramainya bursa calon

113
presiden.Beberapa nama mulai dijagokan sebagai calon presiden. Dari sejumlah
kandidat yang muncul, terdapat muka-muka lama yang pernah memimpin negeri
ini.Sebut saja Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri,dan Susilo
BambangYudhoyono (SBY).
Di samping itu,terdapat juga nama sejumlah tokoh yang tidak asing bagi
masyarakat namun belum pernah memimpin negeri ini,misalnya Amin
Rais,Wiranto,Akbar Tanjung,Sri Sultan HB X,Probowo Subianto,Sutiyoso,Hidayat
Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra,Surya Paloh, Din Syamsuddin,Fadel
Muhammad, Ryamizard Ryacudu.
Dua Nama Dari semua kandidat yang ada, tentu saja mereka memiliki
track record dan perjalanan karier yang bagus. Sutiyoso,misalnya,selama
memimpin DKI Jakarta dua periode, telah banyak keberhasilan yang dicapai
Sutiyoso untuk memajukan Jakarta. Tidak salah namanya disebutsebut sebagai
kandidat terkuat yang akan menyaingi beberapa tokoh yang namanya sudah
malang-melintang dalam dunia politik Indonesia. Di samping Sutiyoso,nama Sri
Sultan HB X juga patut diperhitungkan sebagai calon presiden alternatif yang
dijagokan dan dielu-elukan masyarakat. Apalagi, selama memimpin Yogyakarta,
Sri Sultan adalah raja yang dikenal dekat dengan rakyatnya.
Tidak salah di kalangan masyarakat Yogyakarta,Sri Sultan dipuja dan
dihormati. Pemikirannya tentang kepemimpinan yang mengabdi kepada rakyat
membuat ia dikagumi oleh rakyat Yogyakarta,termasuk elite politik negeri
ini.Begitu dekatnya Sri Sultan dengan rakyat,ketika kerusuhan melanda Indonesia
pada 1998,dengan karisma yang besar,Sri Sultan mampu mengendalikan
Yogyakarta dari amuk massa.Padahal,saat itu Sri Sultan ada di Ciganjur bersama
Amien Rais,Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri di depan para
mahasiswa yang sedang marah. Dua nama di atas,Sutiyoso dan Sri
Sultan,merupakan putra terbaik bangsa ini yang memiliki peluang cukup besar
sebagai pemimpin negeri ini.

114
Pemimpin Negarawan Dalam wacana kehidupan politik nasional yang
berkembang saat ini, sebenarnya rakyat menginginkan calon presiden diisi muka-
muka baru. Untuk itulah,sosok Sri Sultan dan Sutiyoso jelas penjelmaan dari
semua harapan tersebut.Sebab,sepanjang yang kita lihat,para kandidat yang
muncul selalu muka-muka lama-yang bagi masyarakat sudah terlihat
kegagalannya dalam memimpin negara. Berpijak kepada persoalan itulah, Sri
Sultan dan Sutiyoso menjadi kuda hitam atau calon presiden alternatif yang layak
diperhitungkan dalam pemilihan presiden mendatang.Jika nanti mereka benar-
benar terpilih, masyarakat sudah pasti menginginkan Sutiyoso dan Sri Sultan bisa
menjadi pemimpin negarawan masa depan yang memikir rakyat.Bukan
pemimpin politisi.
Sebab,selama ini,pemimpin negarawan semakin berkurang.Atau boleh
dikatakan tidak ada sama sekali. Sementara pemimpin politisi membanjir seiring
dengan tampilnya politisi dadakan menjadi pengurus partai politik. Mengapa kita
tidak butuh pemimpin politisi.Sebab,pemimpin politisi hanya loyal kepada
kepentingan partai.Dalam hal ini kita bisa melihat contoh kecilnya saja,yaitu ada
sejumlah menteri yang diancam partainya akan ditarik kembali karena dinilai
kurang peduli dengan kepentingan politik partainya setelah duduk di
kabinet.Dengan demikian, pandangan pemimpin politisi lebih mementingkan
kepentingan politik atau kelompoknya. Lalu,mengapa kita butuh pemimpin
negarawan? Sebab,seorang pemimpin negarawan mempunyai pandangan-
pandangan yang berorientasi terhadap kepentingan rakyat,bangsa dan
negara,bukan untuk kepentingan partai politik.
Pemimpin negarawan lebih tegas dan berani mengambil keputusan
sekalipun tidak populer asal demi kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Catatan
Penutup Sebagai negara yang menerapkan sistem politik demokratis, keinginan
kita untuk mendapatkan pemimpin negarawan bukan pemimpin politisi sehingga
mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik,akan sangat ditentukan
dukungan yang luas dari para pemilih.

115
Dengan dukungan yang luas dari masyarakat,pada akhirnya sang
pemimpin yang tampil akan mampu melahirkan kebijakan yang berorientasi
pada kepentingan rakyat.Jadi,mari kita tunggu pemimpin negarawan yang akan
membawa rakyat Indonesia menuju kemakmuran,keadilan,dan kesejahteraan.
Semoga.

4
Mengakhiri Krisis Kepemimpinan

Seputar Indonesia, 14 Juni 2007

Pemimpin yang jujur, bersih, baik, kapabel, punya kredibilitas, dan


integritas sudah sangat lama dirindukan bangsa Indonesia. Kerinduan tersebut
setidaknya mulai bergelora pascatumbangnya rezim Orde Baru pada 1998. Mulai
saat itu, berbagai kekuatan politik tampil untuk menghadirkan pemimpin masa
depan.
Namun,apa hendak dikata,hingga saat ini belum ada pemimpin yang
mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk kesejahteraan
rakyat. Pemimpin yang ada masih rakus akan kekuasaan, kedudukan, dan materi.
Persoalan-persoalan yang mengimpit rakyat tidak terjamah oleh pemimpin,

116
misalnya persoalan kenaikan harga BBM, penggusuran, pengangguran,masalah
TKI, demokratisasi, lingkungan hidup, pendidikan, penegakan hukum, penegakan
hak asasi manusia (HAM).
Persoalan-persoalan di atas tersebut telah membuat keadaan bangsa ini
semakin kacau, amburadul, dan tidak berbentuk. Lihat saja, konflik dan
kekerasan berlangsung di mana-mana, baik di tempat-tempat umum, ruang-
ruang pengadilan, bahkan ruang kerja tempat wakil rakyat bersidang sekalipun.
Di samping itu, kriminalitas semakin hari semakin memprihatinkan dan
menakutkan, kantong-kantong kemiskinan tumbuh di mana-mana, rakyat banyak
yang kelaparan dan menderita akibat tingginya harga kebutuhan pokok.
Krisis kepemimpinan tersebut terjadi di semua lingkup kekuasaan,baik di
eksekutif, yudikatif, dan legislatif –baik yang ada di pusat atau daerah. Harapan
untuk mengakhiri krisis kepemimpinan dan pada akhirnya akan melahirkan
pemimpin yang dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat sudah dilakukan
dengan berbagai cara. Salah satunya adalah memilih pemimpin nasional secara
langsung pada perhelatan akbar Pemilu 2004.
Pemilu tersebut adalah sebuah fase demokrasi yang sangat menentukan
arah dan langkah bangsa ini ke depan untuk menciptakan pemimpin yang
demokratis. Bahkan,pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung
untuk memilih wali kota,bupati,dan gubernur.Ini penting dilakukan untuk
menghasilkan birokrasi yang memiliki kapasitas,kapabilitas,dan integritas.
Apalagi sudah jamak diketahui,ketika rezim Orde Baru berkuasa,
kepemimpinan dalam berbagai jabatan dan kedudukan banyak dihasilkan melalui
primodialisme ataupun patrimonial. Berbagai jabatan strategis di daerah
cenderung dipegang dan dipercayakan kepada figur-figur yang memiliki
kedekatan dengan penyelenggara pemerintah saat itu,tanpa mempertimbangkan
aspek kecakapan, keahlian dan pengalaman.
Pendeknya, persaingan yang muncul untuk mencapai karier sangat
ditentukan dari kelompok yang berkuasa.Pada akhirnya,birokrat yang berkuasa

117
telah mengalami perubahan fungsi dan peranan dari sekadar instrumen teknis
yang bersifat administrasi dan pelayanan,lalu berubah menjadi mesin politik
yang efektif dalam upaya rekayasa jabatan.
Ironisnya,fenomena ini terbangun dengan subur tanpa ada yang mampu
untuk mencegahnya. Semua itu telah mendorong perasaan antipati terhadap
kehidupan demokrasi yang sesungguhnya. Sebenarnya,dalam sistem pemilihan
presiden secara langsung tersebut kita berharap dapat menentukan pilihan
sesuai dengan hati nurani untuk memilih figur pemimpin nasional yang dianggap
jujur,bersih,dan mampu membawa perubahan bagi kehidupan rakyat.
Begitu juga dengan sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung.Harapan kita,semoga dengan sistem ini akan hadir pemimpin lokal yang
amanah,bertanggung jawab,dan benar-benar mampu memperhatikan
penderitaan rakyat. Namun,setelah mereka dipilih, hasilnya sama saja.Pemimpin
yang muncul justru masih haus kekuasaan dan doyan korupsi untuk kemudian
hidup mewah tanpa sedikit pun peduli atas penderitaan rakyat.
Memang pada saat kampanye,mereka tersebut berjanji akan memenuhi
keinginan dan harapan rakyat. Namun,janji-janji yang indah untuk rakyat tidak
dilaksanakan setelah mereka terpilih.Setelah mereka tampil memimpin,banyak
kita saksikan para pemimpin yang mengaku wakil rakyat ataupun pejabat
publik,justru tidak memiliki integritas sama sekali akan penderitaan dan kesulitan
rakyat.
Apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye tidak sama seperti
yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya.Pemimpin yang hadir
belum sepenuhnya melayani rakyat yang dipimpinnya,tapi justru malah masih
sibuk memikirkan kepentingan diri pribadi,kenaikan gaji, mempertahankan
kedudukan maupun golongannya,serta mengabaikan kepentingan publik yang
dipimpinnya. Ironis memang.
Padahal, bangsa Indonesia butuh pemimpin yang melayani rakyatnya
dengan penuh tanggung jawab, kasih sayang, perhatian,dan kepedulian.Itu

118
adalah tugas dan tanggung jawab pemimpin untuk menciptakan kesejahteraan
rakyat serta membuang penderitaan rakyat menuju rakyat yang lebih sejahtera.
Menyikapi berbagai persoalan yang menyelimuti bangsa Indonesia,kita
jelas membutuhkan sosok pimpinan nasional yang kapabel, akseptabel, memiliki
integritas untuk memikirkan nasib rakyat,dan yang utama mempunyai nilai-nilai
moral yang dapat dibanggakan rakyat.
Poin tersebut akan menjadi sebuah kekuatan bangsa Indonesia dalam
melangkah ke depan. Sebab,bagaimanapun,yang menentukan
hidup,tumbuh,atau nyamannya suatu bangsa adalah hadirnya seorang pemimpin
yang peduli akan nasib rakyat.Jadi,mari akhiri krisis kepemimpinan ini dengan
segera. Tentunya dengan format kepemimpinan yang kita harapkan mampu
memperbaiki keadaan yang sudah kacau-balau ini.Semuanya terpulang pada
bagaimana hati elite pemimpin negeri ini untuk mempunyai rasa memiliki (sense
of belonging)yang tinggi, tanggung jawab, dan peduli terhadap penderitaan
bangsa dan negara ini

119
5
SBY dan Kepemimpinan Nasional

Harian Jakarta, 24 September 2004

Meski penghitungan suara hasil pemilu Presiden putaran kedua belum


final, namun untuk sementara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melaju dalam
perolehan suara, meninggalkan lawannya Megawati Soekarno Putri. Keunggulan
SBY dalam Pilpres putaran kedua karena dia mencitrakan diri sebagai calon
pemimpin nasional yang akan membawa “suatu perubahan” dalam kehidupan
sosial, politik dan hukum dimasa mendatang.
Pencitraan tersebut sesuai dengan kerinduan pemilih untuk terciptanya
suatu perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat. Meskipun demikian
tentu saja kinerja Megawati selama memerintah tidaklah bisa dikatakan buruk-
buruk amat. Banyak juga keberhasilan pemerintahan Megawati yang tidak bisa
dilupakan begitu saja, misalnya dalam hal penciptaan kebebasan berdemokrasi
diruang-ruang publik. Tapi itu semua tampaknya belum cukup memberikan
kepuasan bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebab masyarakat selain butuh
adanya kebebasan yang teratur dan terarah secara demokratis, juga
menginginkan situasi keamanan dan hukum yang lebih baik dan kondusif.

120
Simbol Perubahan
Melonjaknya perolehan suara bagi pasangan SBY-Kalla tentu saja tidak
bisa dilepaskan dari sosok SBY yang kharismatik. SBY merupakan calon Presiden
baru yang lebih populer yang dapat mensinkronkan personalitasnya dengan
harapan yang tinggi dari pemilih. SBY dianggap masyarakat sebagai sosok
pemimpin yang berwibawa, bersih, cerdas dan disiplin. Masyarakat menilai
bahwa SBY memang pantas untuk dipilih menjadi pemimpin masa depan.
Sehingga tidak salah banyak rakyat yang mencintai dan mendukungnya. Faktor
inilah yang memudahkan SBY untuk melangkah menuju puncak pimpinan
nasional saat ini..

Mencermati keunggulan yang dimilki oleh SBY diatas, maka tidak salah
pakar politik dari Surabaya Daniel Sparingga mengatakan bahwa; fenomena
kemunculan SBY merupakan sebagai hal baru dalam panggung politik yang
bersifat langsung. Dan ini membuktikan bahwa politik aliran yang diwarnai
pertimbangan ideologis tidak berlaku dalam pemilihan Presiden, kecuali pemilu
legislatif. Disamping itu teori voting behavior (prilaku pemilih) tidak berlaku
untuk menjelaskan fenomena SBY. Tapi tesis yang dapat menjelaskanya adalah
bahwa di kalangan pemilih sejak awal memang ada ambivalensi afialiasi mereka
terhadap partai politik.
Realitas baru ini merupakan hasil depotiliasasi massa selama 30 tahun
lebih yang memaksa massa untuk kembali ke kandang ideologis dalam pemilu
legislatif. Namun begitu pemilu legislatif selesai, maka loyalitas mereka terhadap
partai politik-pun selesai. Paksaan ideologis tidak berlaku ketika pemilihan
Presiden. Karena massa justru kembali menjadi floating mass (massa
mengambang) seperti massa orde baru.
Berdasarkan hal diatas, maka politik aliran dalam pemilihan Presiden
secara langsung tidak terlalu bisa diharapkan. Justru yang paling signifikan di
lakukan adalah cara-cara simpatik yang mengundang kepercayaan rakyat dalam

121
membawa perubahan. Dan ini telah dilakukan oleh SBY sebagai calon pemimpin
masa depan.

Tantangan SBY
Melimpahnya dukungan pada SBY tentu saja menjadi batu ujian bagi SBY.

Betapa tidak, masalah yang akan dihadapi SBY memang luar biasa parahnya. Disamping

situasi keamanan yang masih carut-marut dengan ancaman bom dan terorisme.

Masalah supremasi hukum seperti kejahatan korupsi terus saja meningkat dari waktu-

kewaktu.

Kejahatan korupsi tersebut hampir terjadi disemua sektor, baik di legislatif,

eksekutif maupun yudikatif. Dan ini tidak saja terjadi di tingkat pusat. Pada level

pemerintah daerah-pun juga tidak mau ketinggalan. Korupsi hampir merata di semua lini

kehidupan. Agar dukungan pada SBY dapat abadi dan lestari maka SBY harus melakukan

langkah-langkah yang signifikan bagi terciptanya sabilitas politik, keamanan dan hukum

yang lebih baik dan kondusif.

Ini semua bisa dilakukan dengan kepemimpinan yang efektif. Karena

melimpahnya dukungan dari lapisan masyarakat jelas tidak akan bermanfaat jika

pemerintah tidak mampu secara efektif menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan

visi, misi dan program yang akan di bangun. Kepemimpinan SBY akan dapat berjalan

efektif dan tidak digoyang oleh lawan-lawan politiknya bilamana SBY bisa melakukan

langkah-langkah yang cermat. Misalnya, SBY harus dapat membentuk tim ekonomi,

hukum dan politik yang solid dalam pemerintahannya.

Tim ekonomi, hukum dan politik yang akan duduk pada pemerintahan SBY harus

dipilih sesuai dengan kemampuan dan kapasitas calon yang akan ditunjuk. Penempatan

122
orang-orang yang akan duduk pada tim ekonomi, hukum dan politik pada pemerintahan

SBY hendaknya jangan berdasarkan “partner koalisinya” semata atau berdasarkan

“pesanan dan titipan” dari orang-orang tertentu tanpa mengukur dan melihat

kemampuannya. Jika ini terjadi pemerintahan SBY akan mengalami kesulitan dalam

menjalankan roda pemerintahannya. Sebab SBY tidak didukung oleh orang-orang yang

profesional dibidangnya.

Seandainya tim ekonomi, hukum dan politik yang solid dan profesional dapat

diciptakan oleh SBY, mudah-mudahan nantinya akan tercipta teamwork yang tangguh

dan baik. Sebab bagaimanapun juga untuk membawa Indonesia keluar dari krisis yang

berkepanjangan ini, SBY harus mampu menciptakan stabilitas politik, keamanan dan

hukum yang baik. Semua itu tentu saja dapat dicapai hanya dengan memilih para

pembantunya (Menteri) yang tidak diragukan kredibilitas dan kapabilitasnya.

Tidak kalah pentingnya sebagai pemimpin baru nanti, SBY harus mampu belajar

dari kegagalan Presiden sebelumnya. Poin-poin terburuk yang harus segera dibenahi

oleh SBY adalah menuntaskan agenda-agenda yang belum terselesaikan. Misalnya

masalah korupsi dan pengadilan bagi kejahatan HAM. Sedangkan agenda-agenda

penting yang sudah berjalan dengan baik harus dapat dipertahankan oleh SBY, seperti

masalah kebebasan dalam berdemokrasi dan mengeluarkan pendapat.

Jika SBY tampil sebagai pemimpin nasional untuk lima tahun kedepan mudah-

mudahan dia mampu memecahkan seluruh persoalan bangsa. Tidak mudah memang,

tapi itulah tantangan yang harus dihadapi SBY. Dan kita tentu harus yakin bahwa SBY

akan mampu melakukan tugas berat dan mulia tersebut menuju Indonesia baru yang

lebih baik. Semoga.***

123
6
Calon Presiden vs Pemberantasan Korupsi

Bisnis Indonesia, 13 Juli 2004

Prestasi sebagai negara terkorup senantiasa diraih bangsa Indonesia.


Padahal upaya-upaya untuk memberantas kejahatan korupsi terus dilakukan
oleh pemerintah. Lihat saja, sudah banyak Peraturan dan UU di buat untuk
memberantas kejahatan korupsi tersebut. Peraturan atau UU tersebut misalnya,
Perpu No. 24/1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Pidana
Korupsi. UU No 3/1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.
11/1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Kemudian pada tahun 1998 juga
dikeluarkan TAP MPR No. 11/1998 bagi penyelenggara negara yang bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dan setahun berikutnya dihasilkan pula UU
No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. PP No. 19/2000 Tentang
Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi. UU No.
15/2002 Tentang Pencucian Uang. Dan terakhir yang baru disahkan yaitu UU
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2002.
Ini belum termasuk banyaknya komisi atau badan-badan yang dibentuk
untuk memberantas atau membendung tindak pidana korupsi. Namun praktik

124
korupsi di Indonesia justru semakin menganas dan merebak di berbagai sektor,
baik di Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Bahkan ini tidak saja terjadi di pusat
tetapi juga ke daerah-daerah. Dan parahnya kejahatan korupsi tersebut sudah di
lakukan secara terangan-terangan tanpa ada rasa malu sedikitpun. Ia bukan lagi
kejahatan bersifat personal. Akan tetapi sudah bersifat struktural bahkan kultural
sistemis.

Berbahaya
Mencermati hal ini, tidak salah sejak tahun 1995 lembaga riset
Transparency International telah melaporkan Indonesia berada di peringkat
pertama dalam urutan negara terkorup di dunia. Dan pada tahun 1998 Indonesia
berada pada posisi ke enam. Setahun kemudian menjadi negara ketiga terkorup
setelah Nigeria dan Kamerun. Lalu lima tahun setelah perjalanan reformasi,
tepatnya tahun 2003 Indonesia kembali menduduki urutan keenam negara
paling korup sedunia. Sedangkan tahun 2004 ini, hasil survei tahunan Political
and Economic Risck Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong kembali
menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia.
Mencermati fenomena ini, maka sudah jelas kejahatan korupsi akan
membahayakan kehidupan rakyat banyak. Kenapa berbahaya? Menjawab
pertanyaan ini perlu kita tinjau apa yang dimaksud dengan koupsi. Korupsi
berasal dalam bahasa Inggris berasal dari kata “coruption” yang pada gilirannya
berasal dari kata “corruption”. Dalam bahasa Latin yang berarti “merusak habis-
habisan”. Kata “corruptus” itu sendiri berasal dari kata “corrumpere” yang
tersusun dari kata “com” yang berarti menyeluruh dan “rumpere” yang berarti
“merusak” atau “menghancurkan”. Dalam arti yang harafiah “korupsi” bolehlah
diartikan sebagai “ulah laku amat tidak jujur yang akan merusak secara total
kepercayaan khalayak kepada sipelaku yang tak jujur itu, yang bahkan juga akan
bisa merusak seluruh sendi tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang ada”. (Wignjosoebroto, 2004)

125
Agar praktik korupsi tidak semakin membahayakan kehidupan
masyarakat. Maka usaha pemberantasan korupsi adalah suatu agenda penting
yang harus dilakukan oleh siapapun Presiden terpilih nanti. Apalagi sekarang kita
telah memiliki pengadilan khusus korupsi. Dimana pengadilan tersebut
merupakan amanat dari Pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Disamping itu pengadilan korupsi lahir dengan
pertimbangan bahwa untuk memproses suatu perkara korupsi yang selama ini
selalu mentah proses hukumnya di sidang pengadilan biasa. Maka diperlukan
adanya penanganan khusus yaitu melalui mekanisme yang berbeda dari yang ada
dalam pengadilan biasa.
Terbentuknya pengadilan khusus korupsi ini hendaknya dapat dijadikan
sebagai sebuah komitmen awal Presiden baru nanti untuk memberantas
kejahatan korupsi. Karena pengadilan khusus korupsi ini akan menangkal
berbagai kelemahan yang ada dalam sistem pemberantasan korupsi selama ini.
Misalnya, pengadilan khusus korupsi selain bertugas mengadili korupsi yang
diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi, juga berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara korupsi yang terjadi di negara lain, asalkan dilakukan oleh
orang Indonesia. Disamping itu para terdakwa yang sering kali memanfaatkan
surat sakit dari dokterpun juga tidak akan gampang lagi menghindar dari
pemeriksaan atau sidang. Karena pengadilan khusus korupsi nanti akan memiliki
tim dokter yang independen. Dan kesaksiannya bisa lewat teleconference. Jadi
meskipun saksi berada diluar negeri, tetap dibolehkan. Dan tidak ada alasan
menunda-menunda persidangan dengan dalih tersangka atau saksi berada diluar
negeri. Sehingga nantinya pengadilan ini bisa menghukum para koruptor dengan
hukuman yang pantas dan layak yang memenuhi unsur keadilan.

126
Catatan Penutup
Untuk memberantas korupsi, kita jelas tidak boleh bermain-
main lagi dengan berbagai macam retrorika. Sebab kita sudah bosan dengan
segala retrorika yang dipertontonkan. Untuk itulah penegasan dalam
memberantas korupsi tidak cukup hanya dilakukan secara seremonial saja atau
hanya dituangkan dalam suatu Undang-undang dan peraturan saja. Perang
melawan korupsi harus dilakukan dengan langkah-langkah nyata dan tindakan
tegas serta tidak pandang bulu. Sebab kalau kita berkaca pada pola-pola
penanganan kajahatan korupsi selama ini sangat banyak kasus-kasus korupsi
yang tidak jelas proses hukumnya. Kalaupun ada yang dibawa pengadilan,
banyak kasusnya yang berhenti atau diputuskan dengan hukuman ringan bahkan
bebas sama sekali. Semua ini disebabkan oleh tingkah laku para aparat
hukumnya yang masih gemar disuap dan di intervensi.
Sudah terlalu sering kita membiarkan para koruptor negeri ini bebas
dengan uang haramnya. Dan sudah terlalu sering pelecehan terhadap dunia
peradilan dalam memberantas korupsi terjadi. Untuk itu sebagai masyarakat
yang cinta akan pemerintahan yang bersih, kita sepakat kejahatan korupsi jelas
akan membawa dampak buruk bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dari itu, tekad dan niat yang serius serta sungguh-sungguh dari
Presiden baru nanti adalah harapan kita. Political will dan political action dari
Presiden terpilih harus ditegaskan. Persoalan ini tidak boleh dianggap enteng.
Inilah pekerjaan rumah bagi Presiden dan Wakil Presiden mendatang. Jika ini
tidak menjadi perhatian serius maka sampai kapanpun bangsa ini akan selalu
menjadi jawara dalam kejahatan korupsi. Dan itu berarti kesengsaraan dan
penderitaan masyarakat akan semakin menjadi-jadi pula. Kita tentu tidak
mengingkan hal itu terjadi bukan? ***

127
7
Calon Presiden dan Masalah TKI

Harian Republika, 25 Mai 2004

Tragedi kemanusiaan yang dialami Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Nirmala


Bonet di Malaysia menambah deretan panjang betapa beban penderitaan yang
dialami para TKI belum juga usai. Tragedi kemanusiaan yang dialami oleh para
TKI seakan begitu sulit untuk dihentikan. Dipukuli, ditendang, distrika tubuhnya,
diperkosa dan tidak dibayar gajinya sebagai hak pekerja merupakan cerita lama
yang terus saja berulang terjadi dari waktu-kewaktu. Tindakan yang dilakukan
oleh para majikan mereka tersebut sudah melampaui batas-batas kemanusiaan
yang sangat merendahkan martabat kamanusiaan. Dan tindakan tersebut seolah-
olah tidak sepenuhnya dapat tersentuh oleh hukum sedikitpun. Pendek kata,
para TKI tidak memiliki perlindungan untuk membela diri. Mencermati hal
tersebut, sudah jelas siapapun Presiden RI yang terpilih dalam pemilu Presiden
nanti akan dihadang dengan tugas berat untuk memberikan perlindungan
terhadap para TKI.

Krisis Ketenagakerjaan

128
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengiriman TKI keluar negeri
pada dasarnya diakibatkan adanya krisis ketenagakerjaan di Indonesia. Dan ini
memang menjadi persoalan serius bagi setiap pemerintahan dalam suatu negara
manapun. Di Indonesia sejak krisis ekonomi melanda negeri ini pada tahun 1997
sampai tahun 2002. Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia semakin memburuk.
Jumlah angkatan kerja Indonesia meningkat dari 87,79 juta orang, pada tahun
1997 dan menjadi 100,78 orang pada tahun 2002 dengan rata-rata peningkatan
sekitar 2 juta orang pertahun. Kondisi ini menurut Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional akan terus meningkat pada tahun 2004 yang akan
mencapai 102.88 juta orang termasuk angkatan kerja baru 2.10 juta orang.
Tingginya angka pertumbuhan angkatan kerja ini telah menyebabkan
tidak dapat diserapnya secara keseluruhan oleh lapangan kerja yang tersedia. Ini
akan menimbulkan melonjaknya jumlah penggangguran terbuka (open
unemployment) secara terus-menerus. Dan pengangguran terbuka pada tahun
2004 akan meningkat menjadi 10.83 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan
terus bertambah pada tahun 2005 menjadi 11.19 juta orang atau 10.45 persen
dari angkatan kerja. Akibat dari kondisi ini membuat sebagian tenaga kerja
tersebut menyerbu negara-negara tetangga terutama negara-negara dibagian
timur-tengah untuk mengadu peruntungan.
Menurut data Depnakertrans sampai dengan September 2003 lalu
tercatat sebanyak 178,867 TKI baik sektor formal maupun informal tersebar di
empat wilayah penempatan. Yakni Asia Pasifik (62.650 orang), Timur Tengah dan
Afrika (116.018), Amerika Serikat (168), dan Eropah (31). Jumlah tersebut
merupakan jumlah yang berangkat melalui jalur resmi dan belum termasuk yang
berangkat melalui jalur ilegal.
Sedangkan data yang dihimpun Atase Imigrasi KBRI di Malaysia selama 1-
16 Juni 2003 tercatat sedikitnya 3.255 TKI ilegal yang di deportasi petugas
Imigrasi Malaysia. Bahkan jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibanding Mei 2003
yakni 1.171 orang, Maret 2003 1.017 orang, April 2003 1.143 orang, Februari

129
2003 906 orang dan Januari 2003 ada 1.388 orang TKI Ilegal. Banyaknya jumlah
TKI yang berangkat secara ilegal tersebut jelas sangat rentan dengan sejumlah
persoalan. Sebab dengan keberangkatan secara resmi-pun TKI masih berpeluang
mengalami permasalahan yang sangat pelik. Apalagi melalui jalur yang tidak
resmi atau ilegal.

Undang-Undang Perlindungan TKI


Pengaturan penempatan TKI ke negara manapun memang sudah diatur
dalam beberapa peraturan atau Keputusan Menteri misalnya. Pertama,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 02/Men/1994 tentang penempatan tenaga
kerja didalam dan luar negeri. Kedua, Kepmenaker No 44/Men/1994 tentang
juklak penempatan naker didalam dan luar negeri. serta. Ketiga, Kepmenaker No
204/Men/1999 mengenai penempatan TKI diluar negeri. Keempat,
Kepmenakertrans No 104A/2003. Dari keempat ketentuan diatas jelas
menunjukkan banyak sekali peraturan atau Keputusan Menteri yang mengatur
tentang TKI. Namun demikian pengiriman tenaga kerja setiap tahunnya keluar
negeri masih saja menyisakan cerita duka.
Sejatinya semua peraturan atau Keputusan Menteri yang ada tersebut
kelihatannya sama sekali belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Padahal penempatan TKI keluar negeri merupakan salah satu pendorong bagi
terciptanya suatu “iklim ekonomi” yang baik di Indonesia. Penempatan ini bisa
mengurangi pengangguran serta dapat mendatangkan devisa yang cukup
banyak. Pada periode tahun 1999 sampai 2003 misalnya, telah diperoleh devisa
sebesar US$ 3,7 miliar. Maka dari itu tidak adil rasanya apabila pengiriman TKI
yang bisa mendatangkan devisa bagi negara tersebut tidak dipayungi dengan
suatu perangkat hukum yang memadai. Pengiriman TKI yang hanya dibekali
dengan Peraturan/Keputusan Menteri saja jelas bukan tindakan yang adil.

130
Meskipun negara diuntungkan oleh adanya perolehan devisa. Tapi
perlindungan dalam penempatan TKI keluar negeri masih banyak kelemahan
disana sini. Disamping masih banyak oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab dalam hal pengerahan TKI. Juga tidak terdapatnya suatu Undang-undang
(UU) yang ada dalam memberikan perlindungan yang memadai. Kebutuhan akan
UU sangat dibutuhkan dalam upaya menempatkan TKI diluar negeri. Program
perlindungan dan kesejahteraan bagi TKI harus terus diupayakan oleh
pemerintah. Selama pemerintah tidak berkeinginan untuk membuat suatu UU
yang baku. Sudah jelas tangisan para TKI akan terus saja membasahi bumi pertiwi
ini. Dari itu, penempatan TKI yang hanya mengacu kepada suatu
Peraturan/Keputusan Menteri saja jelas bukan tindakan yang adil. Sebab hal ini
belum mempunyai kekuatan hukum yang memadai bagi upaya perlindungan TKI
secara maksimal.
Disamping itu juga, selama ini jika ada masalah, TKI sangat sulit menuntut
upaya hukum. Karena ketentuan hukum yang berlaku masih menggunakan
hukum dinegara dimana TKI itu ditempatkan. Dari itu semua pihak harus saling
melakukan koordinasi. Misalnya Deplu, Imigrasi, Depdagri, Kepolisian dan
Depnakertrans. Niat ini harus di iringi dengan meningkatkan kerjasama bilateral
antara negara-negara penerima tenaga kerja. Apabila pihak-pihak berwenang
tidak segera menindaklanjuti hal ini sudah pasti penganiayaan, penyiksaan
terhadap para TKI akan terus-menerus terjadi.

Catatan Penutup

131
Sekali lagi, pemerintah harus mempunyai political will dan political action
yang sungguh-sungguh untuk memberikan proteksi bagi para TKI. Penindakan
calo-calo TKI dalam upaya penempatan TKI keluar negeri juga harus diberantas.
Dan yang tak kalah penting penempatan TKI keluar negeri hendaknya melalui
seleksi yang ketat tentunya dengan berbagai persyaratan yang diwajibkan. Sebab
semua kita harus sepakat bahwa penyelesaian masalah TKI harus merujuk
kepada tujuan pokok penempatannya yaitu memberikan pekerjaan yang layak
dan manusiawi.
Sekali lagi, kasus penyiksaan TKI Nirmala Bonet dan para TKI lainnya
tentu saja akan menjadi suatu ujian terhadap sensivitas Presiden terpilih nanti
untuk dengan sungguh-sungguh memberikan perlindungan bagi TKI, baik
sebelum diberangkatkan maupun nanti setelah mereka berada diluar negeri.
Kemauan politik yang jelas dari Presiden terpilih harus ditegaskan. Ini tidak boleh
dianggap enteng. Sudah terlalu sering kita membiarkan penderitaan mereka. Dan
sudah terlalu lama pelecehan terhadap bangsa ini dibiarkan dengan kasus-kasus
TKI-nya. Inilah pekerjaan rumah bagi Presiden mendatang. Apabila ini tidak
diperhatikan, dipastikan tragedi kemanusian yang dialami para TKI akan terus
saja terjadi. Dan kita tentu tidak menginginkan hal itu bukan? ***

132
8
Memilih Pemimpin Nasional

Harian Merdeka, 4 April 2004

133
Wacana tentang pemimpin nasional terus saja menjadi topik yang
menarik untuk dibicarakan. Apalagi menjelang diadakannya pemilu pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden. Lalu apakah pemilu Presiden dan Wakil Presiden
nanti akan dapat menghadirkan figur pimpinan nasional masa depan yang lebih
baik? Dan seperti apakah nasib Indonesia dimasa depan setelah tampilnya
pemimpin nasional melalui pemilu tersebut? Apakah akan sama dengan keadaan
yang sudah-sudah? Atau apakah akan ada perubahan yang lebih baik? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, jelas tidak mudah. Semuanya masih serba teka-
teki. Sebab selama ini sudah banyak kegagalan-kegagalan yang dipertontontan
oleh para pemimpin nasional negeri ini. Mereka hanya bisa berjanji sebelum
terpilih. Tapi setelah terpilih janji tinggal janji. Persoalan-persoalan besar negara
ini belum juga terpecahkan.
Sebagaimana kita ketahui pelaksanaan pemilu legislatif sudah kita
jalankan dengan aman dan jauh dari kekerasan. Dan jika tidak ada aral melintang
pada tanggal 5 Juli nanti kita akan melakukan pemilu Presiden dan Wakil
Presiden (putaran pertama) secara langsung untuk memilih pemimpin nasional.
Pembicaraan tentang siapa-siapa figur yang layak untuk menduduki posisi
tersebut sudah diusung oleh partai politik. Bahkan tokoh-tokoh yang diusung
tersebut sudah sering di bicarakan dan di diskusikan, baik melalui seminar, jajak
pendapat dan poling-poling yang diadakan oleh elemen-elemen yang ada dalam
masyarakat, misalnya LSM, media masa dan lain sebagainya.

Peran Strategis Pemimpin Mendatang

134
Berbicara tentang pemimpin jelas berbicara tentang masyarakat.
Pemimpin tanpa masyarakat tidak akan mempunyai arti apa-apa. Kedudukan
seorang pemimpin dalam suatu negara sangat signifikan sekali untuk
menciptakan keteraturan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Indonesia untuk
keluar dari krisis yang berkepanjangan ini, jelas membutuhkan pemimpin yang
cakap dan tegas. Meskipun di tengah krisis multidimensi bangsa yang berlarut-
larut saat ini tidak gampang mencari sosok yang ideal sebagai pemimpin
nasional.
Dikarenakan tugas-tugas pemimpin nasional yang akan datang tidaklah
ringan. Maka dari itu, pemimpin nasional yang akan datang jelas mempunyai
“peran yang sangat strategis” dalam mempertahankan citra Indonesia agar tidak
semakin terpuruk. Peran-peran tersebut misalnya, Pemimpin nasional harus
mampu menjaga kemajemukan masyarakat agar tidak terjadi perpecahan.
Pemimpin nasional harus mampu memainkan peranannya dalam
mensejahterakan masyarakat.
Pemimpin nasional masa depan juga harus berkarakter terpuji, memiliki
integritas iman dan akhlak yang bersih, berilmu tinggi dan berwawasan luas,
mempunyai pemikiran yang cemerlang agar mampu mengangkat derajat bangsa
ini kepada kondisi yang lebih baik, harus berani dan tegas, tidak serakah, tidak
suka mengumbar retrorika dengan janji-janji omong kosong, mampu untuk tidak
melakukan perbuatan tercela, memahami kehidupan masyarakatnya, terutama
masyarakat golongan menengah kebawah yang semakin hari semakin terlilit oleh
beban kehidupan yang sulit.

135
Pemimpin nasional harus berdiri sebagai panutan masyarakat, pemimpin
nasional harus mampu mengatasi gerakan separatisme yang mengakibatkan
Indonesia mengalami bahaya disintegrasi. Konflik-konflik yang berbau SARA
harus dapat dihentikan oleh pemimpin nasional. Masalah pelanggaran HAM
harus dengan sungguh-sungguh diperhatikan oleh pemimpin nasional. Dan luka-
luka pelanggaran HAM yang masih tersisa harus diselesaikan dengan sistem
hukum yang berlaku. Ini penting untuk memberikan penghormatan terhadap hak
asasi manusia dari segala macam intimidasi, kekerasan dan tindakan sewenang-
wenang. Karena bagaimanapun hak asasi adalah hak tertinggi masnusia yang
harus dilindungi dari segala macam ancaman yang membahayakan.
Disamping itu, peminpin nasional harus selalu berupaya menegakkan
demokrasi seiring dan sejalan dengan penegakan hukum. Hukum yang
diberlakukan jangan hanya untuk melegitimasi kekuasaan pemimpin yang
berkuasa. Hukum yang ada harus berpihak kepada kepentingan umum. Untuk
itu, reformasi hukum harus dilakukan dengan sepenuh hati. Jangan lagi reformasi
hukum dibenturkan oleh kepentingan politis. Dari itu, sistem hukum yang ada
haruslah sistem hukum yang responsif sebagaimana yang dicita-citakan oleh
tuntutan reformasi. Dan bukan sistem hukum yang represif.
Mengingat beratnya syarat-syarat yang harus di penuhi oleh pemimpin
masa depan diatas. Maka sudah saatnya pemimpin nasional menyadari arti
kepemimpinan yang mereka pikul.
Mereka harus sadar bahwa jabatan pemimpin yang disandangnya adalah
amanah (kepercayaan) yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa secara vertical. Dan kepada masyarakat yang dipimpinnya secara
horisontal. Jika seorang pemimpin sudah melaksanakan amanah yang
diembannya dan dapat dipertanggungjawabkan. Maka ia akan menjadi manusia
yang mulia dimata Sang Pencipta dan dihormati oleh masyarakatnya.

136
Dan jika ketentuan-ketentuan diatas tidak dihiraukan sudah pasti kondisi
stabilitas nasional negeri ini baik dibidang politik, ekonomi dan hukum akan terus
hancur berantakan. Dari itu jika pemimpin nasional masa depan masih sibuk
bermain dengan retrorika dan janji omong kosong terus. Sudah pasti kondisi
bangsa ini dimasa-masa mendatang masih akan diwarnai oleh kesedihan yang
berkepanjangan.

Catatan Penting
Untuk itu, semua komponen bangsa ini hendaknya bertekad secara arif
dan bijaksana untuk memilih pemimpinnya dengan baik. Kita harus mendapatkan
pemimpin nasional yang benar-benar mengabdi buat kepentingan masyarakat,
bangsa dan negara agar arah pembangunan bangsa selaras dengan prinsip good
governance.
Marilah kita bersikap jujur dan hati-hati dalam memilih pemimpin.
Jauhilah segala kecurangan-kecurangan atau pengaruh-pengaruh pihak lain.
Sebab itu hanya akan merugikan masyarakat banyak. Kalau kita gagal lagi dalam
memilih pemimpin nasional yang lebih baik. Maka jangan harap akan ada
perubahan yang berarti dimasa yang akan datang. Dan kalau itu terjadi sudah
pasti beban penderitaan rakyat akan semakin bertambah. Dan jangan salahkan,
jika dalam masyarakat akan selalu muncul gerakan-gerakan yang bisa
mengacaukan nilai persatuan dan kesatuan. Apapun alasannya pemimpin masa
depan harus lebih baik dari yang sebelumnya.

137
Sebentar lagi kita akan memilih pemimpin nasional (Presiden dan Wakil
Presiden) negeri ini. Dan pemilihan tersebut akan dilakukan secara langsung,
terbuka dan demokratis. Inilah kesempatan kita masyarakat untuk memilih
pemimpinnya dengan secermat dan seteliti mungkin, kita tidak boleh salah pilih.
Sehingga akhirnya apa yang kita harapkan dan cita-citakan yaitu keadaan bangsa
yang lebih baik dapat terujud. Tentunya dengan kehadiran seorang pemimpin
yang berakhlak baik, amanah dan bertanggungjawab.
Mudah-mudahan semua tokoh yang mempunyai ambisi untuk menjadi
pemimpin nasional dengan segala janji-janji dan program kerjanya benar-benar
akan membawa perubahan yang berarti bagi bangsa ini. Sejatinya, pimpinan
nasional yang dihasilkan nanti semoga mampu menciptakan Indonesia baru
dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Dan bukan janji-janji manis
dimulut saja tanpa ada tindak lanjut sesudah terpilih. Akhirnya kita sepakat,
seorang pemimpin harus menyadari bahwa faktor kepemimpinannya merupakan
fenomena kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap perkembangan corak
dan arah kehidupan masyarakat. Semoga.***

138
9
Megawati dan Kepemimpinan Nasional

Harian Umum Pelita, 17 Juli 2001

Bagaimana nasib Republik Indonesia seandainya terjadi pergantian


pimpinan nasional. Bila Megawati diperkirakan menjadi Presiden kelima RI,
apakah artinya bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh pertanyaan ini layak
diajukan dan dicari jawabannya.
Kepemimpinan nasional telah menjadi perbincangan yang melelahkan dalam
wacana politik nasional dewasa ini. Kita semua tentu menyadari kepemimpinan
merupakan fenomena kemasyarakatan yang berpegaruh terhadap perkem-
bangan corak dan arah kehidupan masyarakat, sehingga nantinya akan terujud
aspirasi, cita-cita dan nilai-nilai demi kemajuan di masa mendatang.

139
Gus Dur terpilih dengan alasan "asal bukan Mega", ditambah dengan arogansi
pendukung Mega yang menyulitkan terbentuknya koalisi, dan terjadilah hal yang
diluar dugaan, yaitu terpilihnya Gus Dur yang hanya memperoleh 11 persen kursi
di DPR. Padahal Mega memperoleh 34 persen kursi, perbedaan yang cukup
mencolok: sekali. Akibat kejadian ini timbuI berbagai pendapat dari pengamat
yang kesemuanya berdampak pada sisi-sisi kehidupan, dan sekali lagi "isu
kcpemirripinan nasional" menjadi cerita menarik yang tak berkesudahan.
Kemudian setelah Gus Dur terpilih semua masalah yang begitu besar melanda
negeri ini tidak juga "terselesaikan", kenyataannya, di sana-sini masyarakat terus
saja bergejolak, bahkan situasi politik yang masih panas dan semrawutnya
hukum membuat kekalutan yang mengerikan. Sekali lagi masalah kepemimpinan
nasional dibawah kendali Gus Dur tak kunjung habis dan selesai dipersoalkan.
Sekarang, jika tidak ada halangan, MPR akan menggelar sidang istimewa
untuk meminta pertanggung-jawaban Presiden Abdurrahman Wahid, itu berarti
soal kepemimpinan nasional kembali menjadi perbincangan di kalangan elite
politik. Kesepakatan yang telah dicapai pimpinan MPR bersama pimpinan 11
fraksi tentang sidang istimewa tersebut disepakati sesuai dengan konstitusi,
bahwa sidang istimewa diselenggarakan dua bulan setelah rekomendasi DPR,
tapi bisa dipercepat kalau kondisi negara tidak menentu.
Sidang dengan agenda utama meminta pertanggung-jawaban tersebut
menggunakan ketentuan pasal 5 ayat 2 dan pasal 7 ayat 4 TAP MPR Nomor 111/
1978 dan pasal 50 tata tertib MPR. Melihat perkembangan tentang kepe-
mimpinan Gus Dur selama menjalankan roda pemerintahan dan adanya tuntutan
dari berbagai kalangan agar Gus Dur mengundurkan diri dari kursi kepemimpinan
nasional, maka dapat diperkirakan bahwa MPR akan menolak
pertanggungjawaban Gus Dur. Seandainya hal ini teijadi, dan sesuai dengan
konstitusi, Megawati akan naik ke puncak kekuasaan sebagai pimpinan nasional,
peluang Megawati untuk naik menjadi Presiden semakin besar, hal ini terlihat

140
dengan dukungan kepada Megawati terus mengalir. Bahkan dari mereka yang
dulunya menentang dengan alasan "agama" atau persoalan "gender".
Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia memang luar biasa parahnya,
disamping situasi politik yang masih "carut-marut" juga belum terciptanya
supermasi hukum yang cukup signifikan, membuat masyarakat kehilangan
kepercayaan pada pemerintah, sebab selama ini pemerintah belum mampu
membawa perubahan yang berarti, baik dalam bidang politik, ekonomi dan
hukum. Lantas benarkah kunci dari solusi penyelesaian krisis ini ada pada
Megawati atau apakah Megawati mampu menjawab persoalan yang "sangat
komplik ini", tidak mudah menjawab pertanyaan ini dengan "iya atau tidak", dan
semuanya masih "serba teka-teki".
Sebagai Wapres, putri Bung Karno tersebut memang dianggap paling
"sah" menurrat "konstitusi" untuk naik menjacli orang nomor satu di negeri ini.
Hal ini masih ditambah dengan posisi PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu
1999. Akan tetapi masih banyak yang menyangsikan kemampuan dan kapabilitas
Megawati sebagai seorang politikus yang pada dasarnya belum teruji. Bahkan
Gus Dur pun pernah meragukan kemampuan Mega untuk menjalanan pemerin-
tahan sehari-hari. Pernyataan Gus Dur tersebut menunjuk cara Megawati dalam
menangani Kepres No. 121 tentang pemberian tugas teknis sehari-hari, menurut
Gus Dur, Mega selalu mengembalikan hal tersebut pada dirirya, hal inilah yang
dianggap sebagai bukti "ketidakmampuan" Megawati memimpin negara.
Terlepas dari pernyataan Gus Dur tersebut yang jelas semua itu tidak
akan mempunyai "implikasi" apapun terhadap konstalasi politik nasional, sebab
nasib Presiden Gus Dur apakah akan terus bertahan atau harus diberhentikan di
tengah jalan, semuanya ada di tangan MPR.

141
Lankah-Langkah Kedepan
Melimpahnya dukungan pada Megawati untuk menjadi
Presiden perlu ditelaah dengan "pengalaman dari pemimpin sebelumnya", du-
kungan dari berbagai pihak tidak akan abadi dan lestari jika Megawati tidak
melakukan langkah-langkah yang signifikan bagi terciptanya stabilitas politik yang
lebih kondusif. Berkaitan dengan ini semuanya tentu tidak terlepas dari pada
"misi dan visi" yang akan dikedepankan oleh Megawati. Selama ini visi dan misi
Mega dianggap kurang jelas dan ini masih menjadi pertanyaan banyak orang. Jika
Megawati tidak melihat sejarah kepemimpinan yang terdahulu dan tidak mau
memperbaiki kelemahannyai bukan tidak mungkin perjalanannya sebagai
pemimpin negara akan digoyang lawan politiknya. Sebab perlu diingat, politik
tetaplah politik dimana masalah "kepentingan" dan "kekuasaan" menjadi faktor
dominan. Bahkan temanpun bisa jadi lawan.
Sebagai pemimpin "kharismatik" Megawati memang memiliki sisi positif
sebab mempunyai "legitimasi" yang lebih kuat, namun perlu juga diperhittingkan
sisi negatifnya, karena kalau Mega digoyang oleh lawan politiknya, massa PDIP
kemungkinan besar tidak akan menerima. Ini dikarenakan masih kuatnya
pengkultusan individu yang dilakukan massanya. Kalau massanya (PDIP) marah
keadaan ini diperkirakan akan menimbulkan kekalutan bahkan bisa mengarah
pada perusakan pada fasilitas umum dan tempat-tempat lainnya. Jika hal ini
terjadi maka wibawa pemerintahan Mega akan luntur. Masih jelas dalam ingatan
kita bagaimana pendukung Presiden Gus Dur berusaha mempertahankan posisi
kepemimpinan Gus Dur dengan cara dan upaya apapun. Kejadian tersebut sem-
pat membuat panik warga terutama di Jakarta dan Jawa Timur. Kenapa pendu-
kung Gus Dur berusaha membela mati-matian, tidak lain disebabkan karena ku-
atnya pengaruh Gus Dur sebagai seorang pemimpin °kharismatik" terutama di
kalangan warga NU.
Pendukung Gus Dur tidak ingin Gus Dur digoyang terus apalagi mengarah
untuk diturunkan. Belajar dari pengalaman tersebut dan untuk menghindari agar

142
kepemimpinan Mega tidak digoyang oleh lawan-lawan politiknya, sehingga dapat
berjalan mulus, menurut penulis, Megawati perlu melakukan langkah-langkah
yang cermat. Pertama, Mega harus bisa memperhitungkan seluruh "kekuatan
politik" yang ada. Karena apa yang tengah dialami negara ini adalah "krisis berat"
di segala bidang. Sejarah mencatat pada pemilu 1999 harusnya Mega menjadi
Presiden, karena kurang membangun kebersamaan antara kekuatan politik
mengakibatkan posisi Presiden gagal diduduki Mega. Membangun kekuatan
politik yang etis dan berbudaya serta bermoral harus diciptakan oleh Mega.
Kalau Megawati dapat membentuk tim ekonomi, hukurn, dan politik yang solid
dengan kekuatan yang ada dapat dipastikan akan tercipta "team work" yang baik
pada pemerintahannya.
Kedua, Megawati harus berani mengambil sikap tegas untuk
menghambat dwifungsi TNI, ini sesuai dengan tuntutan reformasi yang tidak
membolehkan TNI untuk berpolitik, jika Mega tidak bisa "merespon" tuntutan ini
dikhawatirkan akan datang demo-demo menentang kehadiran TNI dalam kancah
politik nasional. Dan ini berdampak pada kinerja pemerintahannya. Ketiga,
Megawati tentu memaharni bahwa tanpa stabilitas politik dan keamanan, usaha
apapun akan sia-sia, sehingga perlu kondisi yang kondusif untuk mulai mem-
bangun Indonesia agar keluar dari krisis ini. Agar semuanya dapat, terwujud
Megawati harus menumbuhkan kepercayaan di tingkat elite politik serta
masyarakat secara umum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik adalah
kepentingan. Bertarung di arena politik sama saja dengan bertarung untuk
mewujudkan kepentingan, jadi mengutamakan kepentingan publik hendaknya
menjadi tujuan utama.
Dalam hal ini Mega dituntut segera berbuat sesuatu yang memberikan
keuntungan nyata bagi masyarakat. Sebab dimata masyarakat ada yang lebih
"berharga" dan "berarti" yailu perbaikan ekonomi, serta masalah lainnya. Khusus
masalah ekonomi kelihatanya cukup mempunyai pengaruh besar dalam ke-
langsungan hidup rakyat banyak. Seandainya Mega mampu mempertahankan

143
dan memperbaiki itu semua mudah-mudahan masyarakal tidak akan resah terus
dan ini akan mengurangi kekerasan dalam masyarakat, akhirnva tercipta situasi
yang kondusif, dan Mega pun dapat bekerja dengan baik.
Keempat, berkaca pada kasus-kasus yang dialami pemimpin nasional
terdahulu atau melihat kegagalan pemimpin dunia lainnya. Maka Mega harus
bertekad dan bertaruh untuh tidak melibatkan bisnis keluarga dalam
pengelolaan pemerintahannya. Sebagai contoh mantan Presiden HM Soeharto
yang cenderung melibatkan bisnis keluarganya ke dalam pemerintahan dengan
modal kekuasaan yang dimilikinya. Akhirnya beliau diturunkan dan sampai
sekarang tetap dikecam. Lalu kepemimpinan Gus Dur. Sebelum menjadi
Presiden, Gus Dur memperoleh dukungan yang sangat besar, berbagai kelompok
menganggap ialah tokoh pemersatu. Tapi kenyataan yang ada sekarang, Gus Dur
malah mengalami masalah yang diluar dugaan banyak orang, bahkan dihakimi
telah terlibat kasus Buloggate dan Bruneigate. melalui keputusan politik bukan
keputusan hukum. Contoh lain di negara Pakistan, kasus korupsi yang menimpa
mantan PM Pakistan' Benazir Buto, dua kali ia naik menjadi PM Pakistan dua kali
pula is dituduh terlibat korupsi sampai akhirnya ia diturunkan, dan tuduhan
tersebut bukan saja diarahkan pada dirinya tapi juga pada suaminya Asif Zardari,
karena sebagai anggota parlemen yang berpengaruh, suaminya sering menjadi
jembatan memuluskan bisnis konglomerat dan investor asing, dalam hal ini Be-
nazir tidak mampu menahan sepak terjang bisnis suaminya sehingga is terpaksa
diturunkan.
Sebagai pernimpin negeri dengan berbagai corak perbedaan yang ada,
Mega akan menghadapi persoalan yang serius pada pemerintahannya nanti.
Seandainya kinerja pemerintahan Mega nanti tidak lebih baik dari pemerintahan
Gus Dur. Tidak mustahil Mega juga akan diturunkan di tengah jalan, perlu di
ingat! yang menilai kinerja Mega bukan hanya DPR tapi juga para politikus.
mahasiswa, LSM-LSM yang ada serta masyarakat secara keseluruhan.

144
Apakah nanti Mega bakal jadi menduduki kursi Presiden! Atau apakah
akan terjadi bola liar yang bisa menghambatnya seperti tahun 1999, serta
bagaimana komitmen partai-partai politik untuk mendukung kepemimpinan
Mega sampai 2004, dan bagaimana meredam kemarahan pendukung Gus Dur.
Sekali lagi, semuanya masih dalam ketidakpastian.
Ke mana kita harus mengadu untuk memecahkan kemelut yang ada ini,
sudah terlalu banyak waktu, tenaga, pikiran, biaya yang terkuras hanya untuk
mengurus hal-hal sepele yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Kita
berharap stigma bahwa negara ini tidak "aman dan nyaman" akan hilang di
bawah kepemimpinan berikut. Dan kita tidak ingin berandai-andai, tapi
seandainya waktu bisa ditarik kebelakang di masa negeri ini bagaikan "ratna
mutu manikam" tentu negeri ini tidak akan "sekacau" ini. Dan bangsa Indonesia
akan mempunyai masa depan yang lebih cerah dengan kehidupan rakyatnya
yang damai. Seandainya Megawati jadi pemimpin nasional, tangan lbu kami
berharap tercipta kedamaian di negeri ini. Dan apa yang dijanjikan Wapres Me-
gawati tentang kemelut politik akan aman di Indonesia terhitung sejak tanggal 17
Agustus 2001 akan segera terwujud.'**

145
BAB KELIMA

BIROKRASI
DAN
MASALAHNYA

1
Begitu Beratkah Pejabat
untuk Hidup Sederhana?

Bisnis Indonesia, 28 Februari 2008

146
Awal Orde Baru, pemerintah meminta masyarakat hidup dengan pola
sederhana, mengingat negara belum mampu memberi kehidupan layak. Namun
demikian, kenyataan yang kita lihat, kaum elite tingkat atas apakah pejabat,
aparatur negara bahkan politisi berlomba hidup dalam kemewahan.
Mobil mewah, rumah mewah dan liburan ke luar negeri sudah menjadi
hal yang biasa dan wajar dalam kehidupan mereka. Itu semua bisa dilakukan
karena uang mereka melimpah baik yang didapat secara halal maupun haram.
Lalu siapa yang dimaksud dengan pejabat atau aparatur negara? Dalam
Tap MPR No. II/MR/1998 disebutkan bahwa aparatur negara adalah keseluruhan
lembaga dan pejabat negara serta pemerintahan negara yang meliputi aparatur
kenegaraan dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat;
bertugas dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan negara dan
pembangunan; serta senantiasa mengabdi dan setia kepada kepentingan, nilai-
nilai dan cita-cita perjuangan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Pola hidup mewah yang dipertontonkan kepada rakyat oleh pejabat atau
aparatur negara jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan cita-cita
perjuangan bangsa sebagaimana yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945,
khususnya nilai-nilai kemanusiaan.
Akibat kecanduan hidup mewah di kalangan pejabat atau aparatur negara
tersebut membuat mereka berlomba untuk mencapainya, termasuk dengan cara
yang tidak halal, yaitu melakukan korupsi terhadap uang negara.
Kita lihat saja kenyataannya, begitu banyak gubernur, bupati, wali kota
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik di pusat maupun di daerah
yang gemar melakukan korupsi terhadap uang negara yang dikelolanya.
Dalam hal penggunaan fasiltas negara pun para pejabat seakan lupa
kepada rakyatnya. Dalam penggunaan mobil dinas misalnya. Setiap tahunnya
mobil dinas berpelat merah yang digunakan pejabat selalu berganti mengikuti
tren.

147
Kemudian mobil dinas para pejabat yang lama dilelang dan dibeli oleh
para pejabat rendahan. Sementara itu, untuk mengganti mobil dinas yang telah
dilelang disediakan lagi dana yang diambil dari APBD/APBN. Padahal APBD/APBN
adalah uang tetesan keringat rakyat yang penggunaannya untuk kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat.
Tentu saja sangat banyak uang rakyat yang diambil untuk memberi mobil
dinas para pejabat tersebut. Karena mobilnya tergolong mobil mewah dan sudah
pasti harganya mahal. Yang lebih menyakitkan, karena tergolong mobil mewah
dan berharga jutaan rupiah sudah pasti mobil itu hanya bisa digunakan oleh
pejabat, artinya mobil itu tidak memiliki makna sosial yang bermanfaat untuk
rakyat.

Makna sosial
Di negara-negara lain, mobil dinas bagi pejabatnya terkesan sederhana
dan memiliki makna sosial untuk rakyat. Di Thailand mobil dinas para pejabatnya
berwujud pick-up, dengan harapan para pejabat yang mengendarai mobil dinas
bisa menolong masyarakat di jalan yang telah lama menunggu angkutan atau
tidak punya ongkos. Di Kuba, mobil dinas pejabat sekelas menteri merupakan
mobil keluaran 70-an dan 80-an.
Wilfred Hoffman, mantan Duta Besar Jerman di Aljazair dan Maroko,
bercerita bahwa istrinya merasa 'malu' setiap kali menghadiri acara pesta
kalangan diplomat atau para pejabat di kedua negara itu.
Karena istri Pak Hoffman tidak memiliki perhiasan dan baju yang
gemerlap, mahal dan mewah seperti yang biasa dikenakan para ibu-ibu pejabat.
Ironis memang, seorang istri duta besar dari negara kaya dan maju tapi mau
hidup sederhana. Ini sangat berbeda dengan negara kita, Indonesia. Meski baru
sebagai negara berkembang dan miskin, tapi pejabatnya cenderung bergaya
hidup mewah.

148
Akhirnya, perlu ditekankan bahwa pola hidup sederhana harus
diperlihatkan secara nyata oleh para pejabat, aparatur negara atau elite politik
negeri ini. Pejabat harus memberikan contoh pola hidup sederhana kepada
rakyat yang dipimpinnya. Dalam sejarah, Rasulullah SAW adalah satu teladan
mulia yang memperlihatkan sikap sederhana. Meskipun beliau memiliki
kedudukan terpandang di masyarakat, beliau sama sekali tidak terobsesi dan
berkeinginan untuk memamerkan kedudukannya.
Rumah beliau sangat sederhana, alas tidur pun hanya pelepah daun
kurma yang membekas di pipi beliau setiap kali bangun tidur. Sikap hidup
sederhana ini pulalah yang dibudayakan oleh para khalifah sepeninggal Nabi
Muhammad SAW.
Betapa pentingnya ajakan dan contoh hidup sederhana yang ditunjukkan
oleh Baginda Rasul di atas. Oleh karena itu, kesederhaan hidup merupakan
sebuah keindahan dari kekuatan mengendalikan diri dari hawa nafsu dan
keserakahan.
Agama mana pun memang tidak melarang seseorang untuk kaya raya,
punya mobil mewah, rumah mewah, perhiasan emas dan lain sebagainya. Asal
kekayaan itu diperoleh secara halal, dan tidak melalui korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Karena, pada dasarnya, timbulnya korupsi di negara kita salah satu
penyebab utamanya adalah karena kebiasaan hidup mewah padahal gaji pas-
pasan.
Di samping untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu pola hidup
sederhana di lingkungan pejabat juga bertujuan mewujudkan tata pemerintahan
yang baik dan bersih. Sehingga akan tercapai kesejahteraan dan kemakmuran
bagi rakyat. Permintaan rakyat hanya satu: hiduplah sederhana dan hentikan
korupsi.

149
2
Good Governance
dan Reformasi Birokrasi

Bisnis Indonesia, Jumat 23-9-2005

Reformasi birokrasi memiliki arti yang sangat penting dalam rangka


menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Dengan
reformasi birokrasi diharapkan akan ada perilaku aparatur negara yang jujur,
profesional, akuntabel dan bermoral, sehingga pelayanan kepada masyarakat
akan menjadi lebih baik.
Berbicara tentang birokrasi, pasti pikiran kita akan tertuju kepada
pegawai negeri sipil (PNS). Birokrasi identik dengan PNS. Birokrasi sangat
berhubungan dengan kualitas PNS. Melekatnya stigma birokrasi pada PNS,
sehingga ada yang beranggapan bahwa birokrasi sangat berhubungan dengan
kualitas pemerintah. Jadi, PNS adalah pemerintah dan pemerintah adalah pihak
yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan negara. Dengan demikian,
birokrasi, PNS dan pemerintah adalah setali tiga uang.
Artinya, jika kita bicara tentang birokrasi maka di dalamnya termasuk PNS
dan pemerintah. Birokrasi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan negara

150
tersebut hampir selalu menjadi pembicaraan banyak kalangan. Ini dikarenakan
aparat birokrasi tidak maksimal menjalankan fungsi pelayanan kepada
masyarakat. Padahal masyarakat butuh dan berhak dilayani secara maksimal
oleh birokrasi, mengingat semua dana untuk membayar gaji aparat birokrasi
berasal dari masyarakat.
Mungkin bukan rahasia lagi, stigma tidak ada pelayan tanpa uang pelicin
selalu melekat pada pelayanan birokrasi. Mentalitas birokrat yang dilumuri
korupsi tentu sudah tidak asing di telinga kita. Korupsi begitu membudaya di
tubuh birokrasi ketika berurusan dengan mereka. Membudayanya korupsi di
tubuh birokrasi bahkan mendapat pengakuan dari Bank Dunia dan survai
lembaga think-tank, Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
Laporan Bank Dunia tahun 2003 tentang Memerangi Korupsi di Indonesia:
Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan menyatakan, hampir separuh dari
seluruh pejabat di Indonesia menerima pungli. Sedangkan hasil survai lembaga
PERC mengatakan bahwa birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar
yang dihadapi negara-negara di kawasan Asia. Dari sejumlah negara yang diteliti,
Indonesia termasuk terburuk dan tak mengalami perbaikan.
Meskipun demikian, Indonesia masih lebih baik dibandingkan China,
Vietnam dan India. Indonesia memperoleh skor 8,0 dari kisaran skor nol untuk
terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini
didasarkan pada pertimbangan masih banyak pejabat tinggi pemerintah yang
memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan kroni mereka.
Akibat dari perilaku penyelenggara birokrasi tersebut, maka meski sudah
60 tahun merdeka, namun Indonesia masih belum dapat mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan sehat. Para birokrat malah semakin banyak yang
berperilaku tidak terpuji. Mereka melakukan korupsi secara terang-terangan.
Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sudah lama terjadi dalam sistem
pembinaan birokrasi. Buruknya pelayanan birokrasi itu paling tidak dapat kita

151
lihat dalam hal pengurusan KTP, SIM, pengurusan pajak, izin mendirikan
bangunan dan izin usaha lainnya.
Pelayanan publik yang seharusnya bisa dilaksanakan dalam beberapa jam
tapi bisa molor dalam beberapa hari. Kinerja aparat birokrasi begitu
menjengkelkan. Tidak ada kesadaran dari aparat birokrasi bahwa mereka dibiayai
dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Namun pelayanan yang diberikan
terkesan asal-asalan, berbelit-belit, lamban dan penuh aroma korupsi.

Tak Penuhi Standar


Buruknya kinerja birokrasi paling tidak disebabkan oleh sistem rekrutmen
dan promosi jabatan yang terkesan tidak memenuhi standar profesionalitas.
Penempatan orang-orang berkualitas rendah sering terjadi dalam birokrasi.
Misalnya saja, untuk jabatan kepala dinas atau kepala bagian, seseorang dengan
mudah diangkat oleh atasannya karena hubungan pertemanan atau kekerabatan
tanpa memperhatikan kualitas dan kemampuan orang tersebut.
Di samping itu, pola rekruitmen calon birokrasi untuk menjadi PNS juga
tidak terlepas dari unsur KKN. Kondisi ini telah berlangsung sejak Orde Baru,
yaitu dengan menempatkan atau memilih orang-orang yang sepaham atau
punya kedekatan dengan pemerintah atau pejabat yang berkuasa.
Untuk menghasilkan birokrasi yang baik, maka pemerintahan Yudhoyono
harus mereformasi birokrasi pada seluruh instansi pemerintah. Misalnya dengan
mengubah pola penempatan pejabat, baik itu kepala bagian, kepala dinas dan
lain sebagainya. Lalu menata kembali seluruh aparat birokrasi. Jika ada yang
tidak berfungsi atau tidak aktif dan produktif sebaiknya dikurangi atau
dipensiunkan.
Hal yang tidak kalah pentingnya apabila ada birokrat yang terindikasi
melakukan korupsi atau perbuatan yang merugikan masyarakat maka harus
dijatuhi hukuman, kalau perlu dipecat. Komitmen penegakan hukum sangat
penting sebab pembenahan total birokrasi harus dilakukan dengan tegas, tanpa

152
ragu untuk menindaknya. Yang jelas, pembenahan birokrasi tidak cukup hanya
sekedar retrorika atau janji-janji.
Pemerintahan sekarang harus melaksanakan apa yang menjadi harapan
masyarakat untuk terciptanya birokrasi yang benar-benar serius, sungguh-
sungguh melayani masyarakat dan tidak korupsi. Birokrasi yang korup, berbelit-
belit dan lamban bukan zamannya lagi diterapkan di era reformasi. Jika itu masih
terjadi, maka masyarakat tidak akan pernah percaya kepada para birokrat. Dan
pada akhirnya akan menjauhkan masyarakat dari pemerintah.

153
3
Birokrasi, Korupsi, dan
Fungsi Pelayanan

Sinar Harapan, 7 September 2005

Pemerintah berencana membentuk Satuan Tugas (Satgas) Reformasi


Birokrasi yang akan dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tugas utamanya membenahi pegawai negeri dan penyelenggara negara pada
umumnya. Misalnya, mengidentifikasi permasalahan sistemik yang terjadi dan
merencanakan pembenahan secara luas.
Lebih jauh, spektrum persoalan yang ditangani satgas adalah membenahi
sistem rekrutmen, pelatihan, perencanaan karier dan tunjangan hari tua sampai
sistem imbalan. Perbaikan sistem tersebut sangat penting mengingat birokrasi
pada hakikatnya berfungsi mengatur dan melayani masyarakat. Jika sistemnya,
proses rekrutmennya: perencanaan jenjang kariernya, pelatihannya, serta
tunjangan hari tuanya baik, maka tugas pelayanan kepada masyarakat juga akan
menjadi lebih baik.
Tugas birokrasi tidak hanya mengatur, tapi juga memberikan pelayan
kepada masyarakat. Kalau kita mau jujur, fungsi pelayan selama ini belum

154
mendapatkan perhatian utama dari para birokrasi. Sebab porsi mengaturnya
masih dominan ketimbang pemberian pelayanan. Kita tahu, bahwa pemberian
pelayanan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah urusan publik dan memberikan kekuasaan kepada publik.
Sedangkan fungsi mengatur lebih menekankan kepada kekuasaan yang
melekat pada posisi atau jabatan birokrasi. Kalau selama ini ada pelayanan yang
dilakukan oleh birokrasi kita, maka pelayanan itu cenderung bersifat monopoli
sehingga sangat jelek, sangat birokratis dan tidak mampu memberikan alternatif
pelayanan kepada publik.

Disogok Agar Cepat


Masyarakat sangat membutuhkan pelayanan birokrasi untuk urusan-
urusan yang berkaitan dengan misalnya, KTP, SIM, pajak, paspor, izin mendirikan
bangunan, pelayanan rumah sakit dan lain sebagainya. Untuk mengurus semua
itu masyarakat butuh birokrasi yang baik dan profesional, bukan yang
menyusahkan dan membingungkan masyarakat.
Akibat pelayan dari birokrasi yang kurang baik, pendekatan posisi
kekuasaan akan semakin kuat dan besar. Sehingga pada akhirnya birokrat
disogok agar semua prosedur yang dilalui oleh masyarakat cepat selesai
dikerjakan. Buruknya kinerja birokrasi menyebabkan melemahnya kepercayaan
masyarakat kepada birokrasi.
Birokrasi di konotasikan kepada proses pelayanan yang lamban, berbelit-
belit, penuh KKN, memakan waktu yang lama, mekanisme kerja yang tidak
efisien, kurang efektif dan sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang.
Mungkin kita pernah mendengar kata-kata ”birokrat bodoh” atau ”birokrat
korup”. Kata tersebut terucap apabila informasi ataupun urusan surat-menyurat
yang kita butuhkan tidak juga kita peroleh setelah ”dipingpong” dari meja yang
satu ke meja yang lainnya.

155
Akibatnya, kritik-kritik radikal terhadap birokrasi dalam masyarakat
cenderung menyalahkan lembaga-lembaga birokrasi atas segala kesengsaraan
yang telah ditimpakan kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan yang
baik. Di negara-negara maju, sistem birokrasinya tertata dengan baik sehingga
mampu memberikan pelayanan yang utama dan baik kepada masyarakat.
Hal ini ditunjang oleh aspek dan persyaratan yang diperlukan bagi
penetapan suatu jabatan, promosi dan karier di lingkup birokrasi serta tunjangan
jabatan yang diperoleh. Semuanya benar-benar didasarkan pada kapasitas,
kapabilitas dan integritas. Disamping itu juga didasarkan karena adanya
kecakapan atau keahlian, prestasi, golongan, pangkat dan pengalaman tugas.

Pembenahan
Yang harus dilakukan di Indonesia sekarang ini agar birokrasi dapat
bekerja dan memberikan pelayanan yang baik, bersih dan jauh dari praktik-
praktik korupsi adalah melakukan pembenahan sistem di seluruh instansi
pelayanan publik. Terutama sekali pembenahan sistem rekrutmen atau promosi
jabatan. Masalah ini harus menjadi perhatian serius pihak terkait. Jika tidak, akan
memunculkan peluang-peluang korupsi yang berkepanjangan.
Di samping itu, perlu juga dilakukan pendataan ulang bagi seluruh aparat
birokrasi. Dari pendataan ulang tersebut nantinya akan dapat diketahui siapa-
siapa birokrat yang tidak disiplin, suka melakukan korupsi dan lain sebagainya.
Dari uraian di atas, maka harapan kita ke depan adalah: Pertama, hendaknya
birokrasi bekerja dengan sungguh-sungguh dalam memberikan pelayanan yang
baik kepada masyarakat.
Kedua, birokrasi harus selalu menjadi penopang kelangsungan dan
kehidupan dari suatu sistem pemerintahan yang baik. Karena bagaimanapun
faktor keberhasilan suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh kualitas dan
kemampuan birokrasi. Ketiga, fungsi dan peran birokrasi harus diikuti dengan
tanggung jawab dan kemampuan yang memadai yaitu kualitas SDM birokrat

156
yang baik, punya integritas moral dan tidak suka disuap atau melakukan praktik-
praktik korupsi.
Hanya dengan mempunyai birokrasi yang cakap, jujur, punya integritas
serta mampu menjauhi perbuatan korupsi, maka upaya menciptakan pemerintah
yang bersih dan berwibawa bisa kita capai pada masa-masa mendatang.

157
4
Kepala Daerah dan
Reformasi Birokrasi Lokal

Bisnis Indonesia, 13 Agustus 2005

Meskipun hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di sejumlah


daerah mendapat penolakan dan gugatan dari berbagai kalangan, pilkada juga
berhasil memilih kepala daerah yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
Bahkan beberapa gubernur, bupati dan walikota hasil pilkada telah dilantik..
Sekarang banyak harapan digantungkan kepada gubernur, bupati dan walikota.
Salah satunya adalah pembenahan birokrasi pada tingkat lokal. Kepala daerah
hasil pilkada harus melakukan reformasi birokrasi secara keseluruhan. Sehingga
kedepan kinerja birokrasi dapat berjalan efektif dan baik sesuai dengan
kebutuhan dan cita-cita masyarakat.
Ini penting dilakukan untuk menghasilkan birokrasi yang memiliki
kapasitas, kapabilitas dan integritas, dalam berbagai jabatan dan kedudukan
yang selama ini banyak dihasilkan melalui primodialisme ataupun patrimonial
dalam banyak wajah. Berbagai jabatan strategis di daerah cenderung dipegang

158
dan dipercayakan kepada figur-figur yang memiliki kedekatan dengan
penyelenggara pemerintah saat itu, tanpa mempertimbangkan aspek kecakapan,
keahlian dan pengalaman. Pendeknya, persaingan yang muncul untuk mencapai
karier sangat ditentukan dari kelompok yang berkuasa.
Dengan demikian birokrat yang berkuasa telah mengalami perubahan
fungsi dan peranan dari sekedar instrument teknis yang bersifat administrasi dan
pelayanan lalu berubah menjadi mesin politik yang efektif dalam upaya rekayasa
jabatan. Ironisnya, fenomena ini terbangun dengan subur tanpa ada yang
mampu untuk mencegahnya. Semua itu telah mendorong perasaan antipati
terhadap kehidupan demokrasi yang sesungguhnya.
Indonesia sebagai negara berkembang, memang tidak bisa dilepaskan
dari realitas tersebut. Sebagaimana terlihat, birokrasi yang diterapkan di
Indonesia lebih mendekati pengertian dari Max Weber tentang birokrasi
patrimonial, dimana jabatan dan prilaku dalam keseluruhan hirarkhi birokrasi
lebih didasarkan pada hubungan familiar, hubungan kelompok, hubungan pribadi
dan hubungan bapak-anak buah (patron-client).
Hubungan patron-client lebih dikenal dengan nama bapakisme
(paternalisme). Ini banyak diwarnai oleh peninggalan masa lalu, yaitu konsep
politik kelompok etnis Jawa tradisional yang aristokrasi. Bentuk birokrasi ini
biasanya mempunyai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang
lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien, kurang efektif dan sumber
penyalahgunaan kedudukan dan wewenang. Semua prosedur kerja yang tidak
kondusif diatas disebabkan oleh karena birokrat yang terpilih tidaklah orang-
orang yang cakap dan cerdas di bidangnya.
Menurut sejarawan Prof. Sartono Kartodirjo, dimasa kolonial orang yang
diangkat menjadi birokrasi ialah pembeo dalam arti ia tidak perlu cerdas. Bila
terjadi chaostik, jangan harap ada ide apapun dari birokrat tersebut.

Peran Dominan

159
Jika kita tarik sejarah birokrasi secara nasional kebelakang, maka dimasa
Soekarno mesin birokrasi diberi akses ke tiga partai politik Nasakom, sehingga
menimbulkan kapling-kapling birokrasi. Sedangkan di masa Soeharto mesin
birokrasi sangat loyal pada Golkar untuk memompa energi kekuasaan yang
sangat absolut. Era kepemimpinan mantan Presiden kedua itu militer juga
mempunyai peran dominan dalam jabatan-jabatan eselon satu di departemen
seperti jabatan dirjen dan irjen bahkan jabatan bupati, walikota dan gubernur.
Akibatnya, ada hambatan karier bagi pegawai negeri sipil dilingkungan
departemen meskipun ia berprestasi. Tingginya KKN dalam prosedur
penempatan jabatan di level birokrasi pada masa Soeharto tersebut membuat
pelayanan dan kepedulian terhadap hak-hak publik kurang dihargai.
Kedepan, kita sepakat bahwa birokrasi dalam suatu pemerintahan
khususnya di daerah merupakan paru-paru yang akan selalu menopang
kelangsungan dan kehidupan dari suatu sistem pemerintahan. Peran birokrasi
dalam menjalankan pemerintahan jelas sangat besar sekali. Bagaimanapun
keberhasilan suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh kualitas dan
kemampuan birokrasi.
Masihkah kita dapat menaruh harapan untuk menjadikan birokrasi di
daerah lebih baik dimasa mendatang? Jawabannya sangat tergantung kepada
kepala daerah terpilih. Yaitu bagaimana kepala daerah memberikan jabatan
strategis kepada aparat yang berintegritas, baik, jujur, amanah dan cakap. Tak
kalah penting adalah kepala daerah perlu mendesain ulang struktur
kepegawaian. Ini penting untuk mengetahui kualitas dan kemampuan aparatur
pemerintahan.

160
5
Kasus KPU,
Jadi Reputasi KPK Bongkar Korupsi

Bisnis Indonesia, Selasa 19 April 2005

Kembali masyarakat di sentakkan oleh kasus korupsi. Kali ini kasus


tersebut menimpa anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W Kusumah.
Mulyana diduga terlibat melakukan penyuapan kepada anggota Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) berkaitan dengan audit lembaga tersebut terhadap
proyek-proyek KPU. Berkaitan dengan hal tersebut Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) langsung menetapkan Mulyana sebagai tersangka sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 31/1999.
Publikpun langsung terkejut mendengar kasus ini. Betapa tidak, Mulyana
W Kusuma merupakan publik figur yang selama ini banyak memberikan opini
tentang berbagai masalah yang sedang dihadapi bangsa. Baik masalah-masalah
yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, penegakan nilai-nilai
demokrasi maupun masalah-masalah tentang penegakan hukum. Melihat rekam
jejak dan jam terbangnya tersebut, rasanya tidak mungkin seorang Mulyana
melakukan perbuatan keji tersebut. Berbicara tentang kejahatan korupsi di

161
Indonesia, memang bukan persoalan baru bagi masyarakat kita. Baik kejahatan
korupsi yang dilakukan oleh pejabat, mantan pejabat, ataupun para pengusaha
yang dekat dengan pejabat. Tingginya kejahatan korupsi menunjukkan bahwa
orang Indonesia sangat “gemar” untuk melakukan kejahatan tersebut. Apalagi
jika ada peluang dan kesempatan.

162
Banyak pejabat, mantan pejabat ataupun pengusaha diduga atau terlibat
melakukan korupsi. Namun sayang proses hukum bagi mereka banyak yang tidak
memuaskan rasa keadilan masyarakat. Kondisi ini tentu saja sangat
mengenaskan bukan? Rasa keadilan terurik. Mereka yang seharusnya dapat
menjadi contoh dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran ataupun hukum dalam
masyarakat, malah ikut bermain dalam sebuah kejahatan bernama korupsi.
Gembar-gembor pemberantasan korupsi yang selalu dikumandangkan
seolah lips services belaka. Lalu buat apa semua peraturan/UU ataupun badan-
badan dan komisi pemberantasan korupsi dibentuk? Sungguh pertanyaan ini
layak diajukan dan dicermati.
Pasalnya kejahatan korupsi memberikan gambaran kepada publik bahwa
busuk tersebut memang sudah menjadi budaya di negeri ini. Lemahnya
penegakan hukum semakin memberikan peluang bagi pelaku korupsi. Akibatnya
pelakunya permisif terhadap tindakan moral. Keadaan ini tentu tidak boleh
dibiarkan terjadi berlarut-larut. Bangsa ini bisa hancur lebar akibat digerogoti
korupsi.
Lihat saaja banyak negara jatuh miskin karena korupsi merajalela, seperti
Meksiko, Brasil, Rusia Cina dan sebagainya. Namun demikian negara-negara
tersebut mampu bangkit dengan menghukum koruptor dengan hukuman yang
tegas.
Dinegara manapun, tentu saja kejahatan korupsi ini amat menakutkan,
mengingat praktek bisnis kotor itu mengambil hak-hak rakyat. Negara pun sangat
dirugikan. Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya sudah parah seperti
Indonesia, hukuman yang setengah-tengah jelas sudah tidak mempan lagi untuk
memberantas korupsi.

163
Menjadi Sia-Sia
Kedepan hendaknya upaya-upaya hukum bagi pelaku korupsi dibatasi
sedemikian rupa. Sehingga hukuman pengadilan tingkat pertama tidak menjadi
sia-sia di keluarkan. Selama ini banyak pelaku korupsi yang telah dijatuhi
hukuman oleh hakim pengadilan tingkat pertama, namun hukuman tersebut
dapat berubah pada pengadilan tingkat banding dengan pembebasan para
terdakwanya.
Karena itu, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan menjatuhkan
hukuman yang “ekstra keras” kepada para sang koruptor. Bila perlu dengan
hukuman mati. Ini harus dilakukan. Mengingat di Indonesia, naluri manusianya
untuk mengumpulkan harta kekayaan dengan cara yang tidak wajar semakin
meningkat. Bahkan dari waktu-kewaktu jumlah pelakunya semakin banyak.
Mereka para koruptor tetap saja bersemangat untuk melakukan korupsi.
Kenapa hal ini terus saja terjadi? Karena mereka pelaku korupsi tidak disentuh
dengan hukum yang tegas. Kalaupun di ajukan kemeja hijau paling-paling
hukumannya beberapa bulan atau beberapa tahun saja, bahkan ada yang bebas
sama sekali, baik pada pengadilan pertama atau pada pengadilan banding.
Penjatuhan hukuman seperti ini membuat rakyat muak terhadap penegakan
hukum kejahatan korupsi.
Agar kedepan penegakan hukum kasus korupsi benar-benar dapat
memenuhi rasa keadilan publik, maka, pemberantasan korupsi harus dilakukan
dengan sikap tegas. Ini hanya bisa dilakukan apabila orang yang
memberantasnya tidak terlibat atau memiliki kecendrungan untuk melakukan
korupsi. Selain itu, pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan apabila
pemerintah khususnya aparat hukum mempunyai mental yang tangguh dan
kebaranian. Tidak gampang disogok dan di iming-imingi dengan berapapun
banyaknya uang yang ditawarkan.

164
Mencermati kasus Mulyana W Kusumah saat ini, kita masyarakat tentu
berharap bahwa proses hukum dapat berjalan dengan jujur dan fair sesuai
dengan yang sebenarnya. Jika Mulyana benar terbukti menyuap anggota BPK
maka hukum bagi Mulyana harus ditegakkan. Namun jika Mulyana tidak terbukti
melakukan penyuapan maka nama baiknya harus dipulihkan dan proses hukum
bagi yang menyebarkan fitnah bagi Mulyana harus dilakukan.
Bagi anggota KPU yang lain. KPK hendaknya juga harus lebih bekerja keras
untuk memeriksa. KPK tentu tidak perlu takut, sebab KPK memiliki wewenang
yang sangat luar biasa disamping institusi-institusi penegak hukum lainnya dalam
melakukan penyelidikan maupun penyidikan. Kasus Mulyana seharusnya menjadi
ujung tombak bagi KPK untuk membongkar dugaan korupsi yang ada di KPU. Jika
memang ada anggota KPU lain yang terlibat, mereka harus diberhentikan dan
diproses sesuai hukum yang berlaku. Dan kedepan sungguh sangat perlu
dipertanyakan, masihkah keberadaan KPU diperlukan?
Yang jelas, korupsi di Indonesia memang “bukan dongeng” melainkan
adalah “fakta” yang ada di depan mata. Korupsi menjadi kegemaran mutlak
hampir setiap orang. Apakah Mulyana benar-benar akan terbukti melakukan
penyuapan. Atau apakah ia hanya korban jebakan atau konspirasi orang-orang
yang tidak bertanggung jawab sebagaimana yang di tudingkan banyak kalangan
selama ini? Semua ini akan terjawab dengan proses hukum yang benar dan
bersih.

165
BAB KEENAM

DINAMIKA PELAKSANAAN
PILKADA

1
Calon Perseorangan, Babak Baru

Pemilihan Kepala Daerah

Harian Neraca, 25 April 2008

166
Pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2008 memasuki babak baru, menyusul
revisi kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang membolehkan
keikutsertaan calon perseorangan. Babak baru ini merupakan perkembangan terbaik
dalam sejarah perpolitikan lokal di negeri ini. Karena; Pertama, ada kesempatan bagi
publik untuk mencalonkan diri dalam pilkada tanpa campur tangan partai politik. Dan
nantinya, pilkada akan semakin demokratis dan terhindar dari permainan partai politik
yang curang, misalnya politik uang.

Kedua, dibolehkannya calon perseorangan untuk berlaga di pilkada tentu saja


akan menciptakan kompetisi politik yang sehat dan bervariatif. Kita tahu, selama ini
mekanisme penentuan calon pejabat politik hanya ditentukan oleh partai politik.
Padahal banyak calon perseorangan yang berkualitas dan dianggap layak, namun karena
tidak didukung dan diusung oleh partai, maka kesempatan untuk calon perseorangan
menjadi kian sempit. Selama ini partai politik selalu mempunyai hak prerogatif untuk
mengantar seseorang menjadi pemimpin politik, mulai dari wali kota, bupati, gubernur,
bahkan Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan hak prerogatif yang dimiliki oleh partai politik tersebut, maka tidak ada
seseorang yang bisa menjadi pemimpin di Republik ini, sebelum melewati partai politik.
Inilah bentuk demokrasi yang tidak sehat. Karena rakyat tidak bisa memberikan
suaranya dengan murni dari lubuk hatinya kepada seseorang. Rakyat hanya bisa
memberikan suara kepada calon pemimpinnya setelah ditentukan oleh partai politik.

Sekarang dengan disetujuinya calon perseorangan oleh DPR, kedepan


diharapkan dapat mewujudkan demokrasi rakyat. Apalagi banyak rakyat yang sangat
setuju dengan calon perseorangan.

Lihat saja hasil penelitian yang dilakukan ICMI muda Makasar beberapa waktu
lalu yang menunjukkan angka 81,8% masyarakat setuju dengan calon perseorangan.
Begitu juga dengan survei yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia
(UI) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga memperlihatkan gejala positif dari
keinginan masyarakat akan tampilnya calon perseorangan.

167
Masyarakat tampaknya lebih menerima calon perseorangan dibandingkan calon
yang diusulkan atau dijagokan oleh partai politik. Realita ini menunjukkan bahwa ada
ketidakpercayaan masyarakat terhadap elite partai politik.

Kepada elite partai politik hendaknya dapat menyikapi keputusan DPR dengan
tulus dan siap bertarung dalam pilkada dengan calon perseorangan. Munculnya calon
perseorangan hendaknya diyakini oleh partai politik akan menjadi salah satu solusi yang
baik untuk menyalurkan aspirasi rakyat yang selama ini terpendam.

Yang tidak kalah pentingnya, dalam menyambut hadirnya calon perseorangan,


maka hendaknya partai politik melakukan koreksi atas keberadaan mereka. Masyarakat
menilai bahwa citra partai politik sangat buruk selama ini. Calon perseorangan yang
berasal dari partai politik cenderung memikirkan kekuasaan dan kedudukan semata
setelah terpilih. Dan kebanyakan mengabaikan penderitaan atau aspirasi rakyat.
Parahnya, kekuasaan dan kedudukan itu juga dimanfaatkan untuk kepentingan
kelompok. Sementara cita-cita untuk memperjuangkan aspirasi rakyat tenggelam
dengan nikmatnya kursi kekuasaan. Rakyat hidup dalam kesulitan dan kesusahan.
Sementara elite partai hidup tanpa krisis dan kesusahan.

Dinegara-negara yang sudah mapan dalam berpolitik, calon perseorangan


ditempatkan sebagai pendorong perubahan. Dari itu, ada baiknya keberadaan calon
perseorangan dipahami sebagai bagian dari proses pendewasaan tata cara berpolitik
menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik. Untuk itulah, partai politik harus melihat
calon perseorangan sebagai saingan yang sehat, kompetitif, fair dan variatif dalam
tatanan negara demokrasi.

Akhirnya, agar calon perseorangan tidak mengecewakan rakyat yang


memilihnya. Maka ada baiknya kemunculan calon perseorangan ini tidak cukup dengan
sambutan dan antusiasme publik semata. Diperlukan kesiapan diri yang baik dari calon
perseorangan. Sehingga calon perseorangan jika nanti tampil memimpin rakyat mampu
bekerja secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat.

Semoga saja kehadiran calon perseorangan menjadikan partai politik lebih


aspiratif kepada rakyat dan memperbaiki kinerjanya. Semoga saja dengan hadirnya

168
calon perseorangan akan terjadi perubahan kearah yang lebih baik dalam masyarakat.
Dan yang lebih penting, dengan kehadiran calon perseorangan semoga saja akan
memberikan nilai positif bagi kehidupan demokrasi rakyat yang sesungguhnya. Mari kita
sambut babak baru ini dengan pelaksanaan pilkada yang lebih punya arti untuk rakyat.
***

169
2
Pilkada, Upaya Menghasilkan
Pemimpin Yang Jujur

Suara karya, Kamis 11 Agustus 2005

Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di beberapa daerah


telah suskes dilaksanakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pilkada memiliki
makna yang sangat strategis dalam proses rekruitmen politik untuk memilih
calon pemimpin tingkat lokal yang lebih baik. Singkatnya, pilkada diharapkan
dapat menjadi salah pesta politik yang siginifikan dalam menghasilkan
pemerintahan daerah yang legitimate.
Bertolak dari hal tersebut, maka hadirnya pemerintahan yang baik dan
bersih di berbagai daerah harus dapat diwujudkan melalui pilkada. Pilkada harus
sukses menghasilkan pemimpin daerah yang jujur, bersih, baik, kapabel dan
punya kredibilitas dan integritas yang tidak diragukan. Hal ini dikarenakan bangsa
ini sedang mengalami krisis kepemimpinan baik krisis kepemimpinan pada
tingkat pusat maupun daerah.

170
Kita tahu, sejak era reformasi digulirkan, belum ada pemimpin negeri ini
yang mampu secara maksimal membawa perubahan kearah yang lebih baik
untuk kesejahteraan masyarakatnya, baik dibidang ekonomi, politik maupun
penegakan hukum. Parahnya, pemimpin tersebut ikut berlaku yang kurang baik
dengan melakukan kejahatan korupsi. Ironis memang, padahal kalau kita mau
jujur, masyarakat sudah rindu untuk memiliki seorang pemimpin yang betul-
betul mampu memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Namun sang pemimpin
seolah-olah bersikap acuh tanpa ada rasa kasihan kepada rakyat.
Krisis kepemimpinan baik pusat atau daerah selama ini telah
menyebabkan bangsa Indonesia semakin terpuruk kepada situasi yang
menakutkan. Pemimpin yang dihasilkan dalam proses pemilu pasca reformasi
digulirkan justru malah membuat keadaan bangsa ini semakin kacau dan tidak
berbentuk.
Lihat saja, di berbagai daerah gejolak dan konflik selalu muncul silih
berganti di tengah kehidupan masyarakat. Parahnya, kejahatan korupsi
berkembang dalam setiap nafas kehidupan. Baik di eksekutif, legislative dan
yudikatif. Akibatnya, kantong-kantong kemiskinan tumbuh di mana-mana.
Banyak yang kelaparan dan menderita. Dan yang sangat menyedihkan
penggangguran terus saja meningkat dari tahun-ketahun sebagai akibat sulitnya
lapangan pekerjaan. Sehingga dalam kehidupan masyarakat tingkat kriminalitas
semakin hari semakin memprihatinkan dan menakutkan.
Dalam pilkada kali ini rakyat harus dapat menentukan pilihannya sesuai
dengan hati nuraninya untuk memilih figur pemimpin daerah yang dianggap jujur
dan bersih. Jangan lagi kita mau dibodohi oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, seperti misalnya diiming-imingi dengan berbagai hadiah atau
uang untuk memilih orang-orang yang tidak kapabel dan amanah menjadi kepala
daerah.

171
Dengan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung seperti ini kita
harus mampu menghadirkan pemimpin lokal yang amanah, bertanggung jawab
dan benar-benar mampu memperhatikan penderitaan rakyatnya.
Untuk itu, semua komponen bangsa harus mau menciptakan
keberhasilan pilkada tersebut. Rakyat harus menjauhi segala bentuk kecurangan-
kecurangan maupun pelanggaran-pelanggaran dalam proses pilkada. Jika tidak,
maka seluruh tahapan pilkada tidak akan mempunyai arti dan makna apa-apa
bagi pembangunan politik daerah selanjutnya.
Pendeknya, menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama untuk
menjaga dan menciptakan pilkada yang jujur dan adil. Sebab, sebagai masyarakat
yang mendambakan hadirnya pemimpin daerah yang baik, maka kita harus
menjunjung hakekat demokrasi yang sebenarnya, yaitu adanya penghargaan
terhadap perbedaan pilihan. Artinya, kita harus melaksanakan setiap tahapan
pilkada dengan jujur, adil dan demokratis serta terhindar dari segala rekayasa
politik yang menyebabkan pengakutualisasian kedaulatan rakyat menjadi cacat.
Apabila pilkada dapat berlangsung dengan baik dan sukses. Sudah jelas

pemerintah daerah yang terbentuk nanti akan diakui keberadaannya oleh masyarakat.

Namun jika pilkada dilaksanakan dengan berbagai intrik-intrik politik yang penuh dengan

rekayasa bukan tidak mungkin kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara pemerintah

di daerah tidak akan tumbuh, akibatnya, apapun program yang diagendakan oleh

pemerintah pasti akan ditentang oleh rakyat. Kita jelas tidak menginginkan hal itu

bukan? Sekali lagi, kepada seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, KPUD, tokoh

partai politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan akademis dan LSM harus bahu-

membahu untuk menciptakan pilkada yang lebih santun yang mencerminkan kejujuran.

Kepada pihak-pihak yang nantinya kalah dalam pilkada harus legowo menerima

kekalahannya dan senantiasa mengakui kemenanggan pihak lain. Dan kedepannya selalu

bersama untuk membangun bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan

172
makmur. Kalau sikap ini ditanamkan, maka prinsip demokrasi dengan menerima segala

bentuk konsekwensinya, baik itu kekalahan maupun kemenangan dapat di catat sebagai

bentuk investasi jangka panjang yang mesti dipertahankan dimasa-masa mendatang.

Semoga.***

3
Demokrasi dan Kesiapan

Menerima Hasil Pilkada

Suara Karya 19-Juli-2005

Beberapa daerah telah selesai mengelar pemilihan kepala daerah (pilkada)


secara langsung. Bahkan beberapa Gubernur, Bupati dan Walikota telah dilakukan
pelantikannya. Namun, dibalik kegembiraan kemenangan pasangan pemimpin kepala
daerah beserta pendukungnya tersebut, masih banyak pihak-pihak yang menolak hasil
pilkada. Akibatnya, suhu politik disejumlah daerah cenderung memanas. Ini sebagai
akibat, sikap ketidakpuasan para pendukung tersebut sering dimplementasikan kedalam
bentuk tindakan yang anarkis dengan merusak berbagai bentuk fasilitas umum.

173
Di Surabaya misalnya, tanggal 12 Juli lalu, massa melakukan perusakan di
gedung DPRD. Massa juga memaksa anggota dewan untuk menandatangani pernyataan
yang menolak hasil penetapan pemilihan wali kota. Hal yang sama juga terjadi di
Sulawesi Selatan, dimana pendukung dari tiga gabungan pasangan calon Bupati yang
gagal dalam pemilihan sudah menduduki kantor Bupati Gowa sejak beberapa hari yang
lalu. Mereka menuntut hasil pemilihan dibatalkan karena dianggap tidak sah secara
hukum.

Mencermati peristiwa diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, masih


banyak pihak-pihak yang belum bisa menerima dengan lapang dada dan legowo dari
proses demokrasi yang ada. Kehidupan demokratis yang terbentang dihadapan kita
sekarang masih diwarnai dengan berbagai bentuk prilaku yang tidak santun dan tidak
terpuji. Padahal sudah semestinya keberhasilan proses pilkada dibeberapa daerah
disyukuri sebagai keberhasilan masyarakat secara keseluruhan untuk mendapatkan
pimpinan yang legimate, bersih, jujur dan amanah. Hasil akhir dari pilkada seharusnya
dapat dijadikan arena untuk saling membangun daerah secara bersama. Dan bukan
menjatuhkan dan menjelekkan pihak lain.

Adanya pihak-pihak yang tidak bisa menerima keunggulan pihak lain tersebut
membuat makna dan tujuan demokrasi serta demokratisasi yang sesungguhnya
diabaikan. Fenomena ini hampir sering terjadi dalam ranah politik Indonesia. Ketika apa
yang diinginkan dalam proses demokrasi tidak bisa dicapai sesuai dengan keinginan.
Maka segala macam cara dilakukan untuk menggugat dan menentang hasil tersebut.
Banyak pihak-pihak yang kalah tidak siap untuk menerima hasilnya dengan senang hati
dan gembira, sembari memberikan ucapan selamat kepada pihak yang menang.

Adanya kecendrungan untuk mengabaikan makna demokrasi yang


sesungguhnya ini menjadikan pesta demokrasi hanya dilihat sebagai suatu aturan main
yang hanya didistribusikan untuk merebut keunggulan ataupun kedudukan semata,
meskipun dengan cara-cara yang tidak sehat. Padahal demokrasi menurut Amartya Sen,
pemenang Nobel ekonomi dari India mengatakan bahwa demokrasi bukanlah semata-
mata soal keunggulan mayoritas. Demokrasi sangat kompleks, walaupun termasuk
didalamnya pemungutan suara untuk mencari yang mayoritas dan penghormatan pada

174
hasil pemilihan umum. Demokrasi juga memerlukan perlindungan atas kemerdekaan
dan kebebasan, penghormatan atas silang pendapat, dan bebasnya pers dari sensor.

Memang demokrasi melalui perjalanan yang panjang. Demokrasi tidak terjadi


sekaligus. Perjalanan cita-cita demokrasi mengalami pasang surut. Di Indonesia para
pendiri bangsa ini sudah lama bercita-cita akan adanya sebuah negara demokrasi dan
kesejahteraan rakyat. Lihat saja, demokrasi Liberal sudah dipraktekkan dari tahun 1945
sampai 1959. Kemudian tahun 1959 oleh Bung Karno diperkenankan sebuah demokrasi
yang dia sebut demokrasi Terpimpin. Di masa pemerintahan Soeharto, kita juga
mengenal demokrasi Pancasila. Bahkan pasca kejatuhan Soeharto kita memasuki alam
reformasi yang lebih mengutamakan demokrasi secara bebas. Sepanjang perjalanan
demokrasi tersebut kita terus saja belajar mempraktek demokrasi, namun kita tidak
pernah mempraktikkan demokrasi dengan benar. Bahkan tujuan dan makna demokrasi
disalah artikan dalam berbagai bentuknya.

Padahal sudah semestinya perubahan sistem politik seiring tumbuhnya


demokrasi dapat di respon secara benar, arif dan bijaksana. Dengan muculnya berbagai
macam bentuk demokrasi, sudah seharusnya kita lebih menghargai berbagai bentuk
ideologi, cita-cita. Dengan demokrasi kita semestinya lebih mampu menghargai berbagai
macam suku, bahasa maupun adat istiadat. Dengan demokrasi juga kita seharusnya
lebih bisa menghargai silang pendapat, menghargai perbedaan, bertukar fikiran dan
berdiskusi. Hal ini disebabkan karena demokrasi memiliki arti konstruktif yang sangat
penting dalam kehidupan setiap warga Negara. Sehingga nantinya akan muncul eforia
dan harapan-harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Memang, sejak kejatuhan rezim orde baru tahun 1998, Indonesia telah
melakukan banyak perubahan menuju demokrasi. Misalnya, adanya kebebasan pers,
amandemen terhadap konstitusi, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung
bahkan pemilihan kepala daerah lewat pilkada juga telah sukses menghasilkan
pemimpin daerah pilihan rakyat. Dari fenomena tersebut masyarakat Indonesia tidak
lagi mempelajari demokrasi melalui buku-buku. Akan tetapi demokrasi dipelajari
langsung dalam praktik kehidupan sehari-hari. Namun praktik demokrasi yang dipelajari
secara langsung tersebut masih saja tidak disikapi dengan kedewasaan bertindak dan

175
berfikir. Pihak-pihak yang kalah cenderung larut dalam ruang-ruang konflik dan
permusuhan. Mereka tidak menerima kekalahan sebagai alternative untuk memacu diri
agar lebih siap pada masa-masa mendatang.

Inilah semestinya yang harus di praktikkan ketika pesta politik usai dilaksanakan.
Penerimaan dan penghormatan terhadap pihak yang menang menjadi sangat penting di
laksanakan dalam masyarakat yang sangat prulalistik. Untuk itu, jika semua mekanisme
demokrasi lokal lewat pilkada dapat disepakati sebagai komitmen bersama, yaitu
siapapun yang menang dalam pilkada harus diterima dengan lapang dada. Bukan
mencari kesalahan pihak lain, maka itulah demokrasi sejati. Dengan demikian proses dan
tujuan demokrasi dapat dicapai sesuai dengan esensinya yaitu memahami dan dapat
menerima kekalahan.

Proses demokratisasi di Indonesia adalah sebuah proses panjang yang harus kita
lewati dengan kedewasaan berfikir, bersikap, bertindak dan mengakui keunggulan pihak
lain. Untuk itu perlu diingat bahwa kedewasaan berfikir, bersikap dan bertindak
merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi untuk mewujudkan agenda
demokrasi sejati. Khusus dalam pelaksanaa pilkada yang baru saja kita laksanakan, tentu
saja kepada semua pihak agar dapat menerima dengan legowo kemenangan pihak lain.
Dan mari membangun daerah masing-masing dengan satu tujuan yaitu demi
kesejahteraan rakyat. Semoga.***

176
4
Seleksi Kepala Daerah Lewat Kampanye

Suara Karya, 17 Juni 2005

Di beberapa daerah, pelaksanaan kampanye bagi calon kepala daerah telah


selesai dilakukan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kampanye merupakan salah satu
kegiatan penting untuk memperoleh dukungan dari calon pemilih. Begitu pentingnya
kegiatan tersebut, maka di sediakanlah waktu yang khusus untuk menggelarnya.

Dengan demikian akan ada kesempatan bagi pasangan calon kepala daerah
untuk “menjual” program kampanyenya kepada rakyat sebagai calon pemilih.
Pendeknya, kampanye di arahkan untuk memperoleh sebanyak mungkin pendukung.
Sehingga nantinya akan dapat membawa para calon menduduki kursi kekuasaan.

Dalam sejarah politik Indonesia, misalnya dalam pemilihan umum, pelaksanaan


kampanye menjelang pesta demokrasi telah diyakini memiliki tujuan penting bagi suatu
partai politik. Paling tidak, tujuan tersebut dapat kita lihat dalam beberapa hal yaitu;
Pertama, sebagai forum pembeberan program dan kebijaksanaan organisasi peserta

177
pemilu. Kedua, sebagai forum untuk pendidikan politik rakyat. Ketiga, sebagai pesta
demokrasi.

Semua tujuan tersebut sangat signifikan pengaruhnya dalam membangun


kehidupan politik yang demokratis. Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) saat ini,
tentu saja tujuan kampanye tidak jauh berbeda dengan tujuan kampanye ketika
pelaksanaan pemilu. Yaitu sama-sama mencari dukungan dan suara lewat program yang
ditawarkan kepada rakyat. Agar tujuan kampanye tersebut dapat dicapai, maka seorang
calon kepala daerah di tuntut tampil maksimal agar program yang ditawarkan bisa dilirik
rakyat. Dari itu, seorang calon kepala daerah harus bisa menarik simpatisan massa
pemilih dengan menyampaikan materi yang menarik dalam kehidupan sosial rakyat saat
ini.

Misalnya; menyangkut masalah pendidikan yaitu bagaimana meringankan biaya


pendidikan bagi rakyat. Atau juga menyangkut masalah kemiskinan yaitu bagaimana
memperbaiki kehidupan masyarakat miskin agar mereka tidak semakin terpuruk
kedalam kehidupan yang tidak menentu. Dan yang tidak kalah penting juga yaitu
masalah penegakan hukum yaitu bagaimana memberantas korupsi, kolusi dan
nepotisme.

Semua persoalan diatas, penulis yakin sangat berkaitan langsung dengan


kesejahteraan dan keadilan rakyat. Dari itu, sasaran kampanye harus lebih banyak di
tujukan kepada rakyat golongan menengah kebawah yang selama ini di himpit oleh
berbagai kesulitan hidup. Dalam hal, ini para calon kepala daerah hendaknya berupaya
tampil memberikan kesan yang baik kepada rakyat sebagai calon pemilih. Para calon
kepala daerah harus mempunyai konsep kepemimpinan yang terukur dan jelas. Para
calon kepala daerah harus mempunyai tekad bahwa jika mereka nanti dipilih dan duduk
di kursi kekuasaan benar-benar akan bekerja dan memperhatikan kesengsaaraan rakyat.

Dengan konsep peduli kepada rakyat, mudah-mudahan nantinya rakyat akan


bersimpati dan menjatuhkan pilihan kepada kepala daerah tersebut. Mencermati hal
tersebut diatas, tentu saja ini akan menjadi tantanggan yang harus di cermati oleh calon
kepala daerah. Singkatnya, calon kepala daerah sebagai calon pemimpin di daerah harus
bisa belajar dari pengalaman-pengalaman pemimpin sebelumnya.

178
Sebab selama lebih kurang 5 tahun ini atau sejak era reformasi digulirkan janji
pemimpin banyak yang dilupakan begitu saja. Bahkan parahnya banyak sekali diantara
mereka yang terlibat praktik-praktik KKN setelah duduk berkuasa. Mereka seakan lupa
akan rakyatnya. Agar di masa-masa mendatang kita mampu menghasilkan kepala daerah
yang amanah, jujur, bersih, bermoral, tidak serakah dan merakyat, maka sebagai rakyat
yang akan menggunakan hak pilih, tentu kita harus dapat menentukan pilihan
berdasarkan penilaian yang rasional.

Rakyat harus memperhatikan dengan secermat mungkin. Jangan lagi kita


memilih kucing dalam karung. Para calon kepala daerah yang memiliki track record jelek
jangan lagi dipilih. Anggap saja janji yang ditawarkan dalam kampanye tersebut sebagai
komoditas politik yang sudah basi tanpa makna apa-apa. Sebab, sebagai masyarakat
yang mencintai kehidupan masa depan yang lebih baik. Kita tidak boleh terjebak dalam
situasi kampanye tanpa makna.

Kalau kita terjebak sudah pasti apa yang kita harapkan akan datangnya suatu
perubahan yaitu tersalurnya aspirasi kita melalui orang-orang yang kita pilih tidak akan
pernah terujud. Untuk mengantisipasi agar kita jangan terjebak dengan pola-pola dan
janji kampanye yang tanpa makna tersebut, maka kita rakyat harus mewaspadai
berbagai kemungkinan munculnya tawaran-tawaran yang di lakukanoleh orang-orang
yang tidak bertanggun jawab.

Hal ini mengingat bahwa, sejauh ini dalam setiap pesta politik nasional banyak
sekali kecurangan-kecurangan yang terjadi. Kecurangan tersebut kelihatannya agak sulit
di hindari. Kejujuran dalam setiap hiruk-pikuk kegiatan politik masih berada pada kondisi
rawan. Jadi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan saat kampanye patut
di cermati. Kalau tidak akan sia-sialah usaha kita untuk mendapatkan orang-orang yang
jujur dan bersih. Jika kita lihat pelaksanaan kampanye pemilu legislatif kemaren banyak
ditemui pelanggaran yang dilakukan oleh massa partai politik. Misalnya praktik-praktik
politik uang ataupun manipulasi suara.

Kecurangan-kecurangan tersebut tentu sangat disayangkan. Karena serangkaian


peraturan yang berkenaan dengan kampanye telah di buat sedemikian rupa. Tentu saja
tujuan pembentukan peraturan tersebut untuk menciptakan kejujuran dan kebersihan

179
serta ketertiban dalam berkampanye. Namun sayang semua peraturan tersebut belum
di imbangi dengan usaha proposional yang mendukung proses peningkatan kualitas
prilaku masyarakat.

Masyarakat masih gampang diiming-imingi sesuatu hadiah yang bersifat


sementara. Sehingga cenderung mengorbankan hak-hak pilitik yang dimilikinya.
Berangkat dari pesta-pesta politik yang pernah kita lakukan selama ini. maka tidak
tertutup kemungkinan kampanye calon kepala daerah akan gampang di kacaukan atau
dicurangi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Disinilah peran semua elemen masyarakat untuk selama mewaspadai berbagai


kecurangan tersebut, agar nantinya kita tidak salah pilih dalam menentukan siapa kepala
daerah yang benar-benar jujur, bersih dan baik sesuai dengan keinginan rakyat.
Akhirnya, kita semua tentu menginginkan kampanye calon kepala daerah kali ini dapat
berjalan sampai pelaksanaannya nanti berakhir.

Dan sebagai rakyat yang mencintai kehidupan yang lebih baik mari kita salurkan
aspirasi kita melalui orang-orang yang baik, jujur dan bersih yang kita pilih dengan cara-
cara yang demokratis tentunya dengan menyeleksi calon kepala daerah yang
berintegritas terpuji di dalam masyarakat. Jangan lagi kita salah pilih dalam menentukan
siapa orang yang layak untuk menduduki kursi kekuasaan. Kita berharap apabila para
elite politik yang di jagokan sudah terpilih sebagai kepala daerah, agar “menepati janji”
yang ditawarkan untuk kepentingan rakyat. Inilah harapan rakyat yang harus di sikapi
oleh calon kepala daerah yang terpilih nanti. Jika tidak, semua keputusan yang akan di
buat tentu tidak akan pernah mendapat dukungan dari rakyat. Kita semua tentu tidak
menginginkan hal itu bukan?

180
5
Pemberdayaan Politik Perempuan

Lewat Pilkada

Bisnis Indonesia, 6 Juni 2005

Persoalan seputar peranan perempuan dalam arena politik selalu saja menjadi
perbincangan menarik dalam pentas politik nasional sejak beberapa tahun belakangan
ini. Selama 2001-2004, perdebatan itu bahkan turut mendominasi agenda politik
nasional, baik di kalangan anggota DPR, eksekutif, akademisi maupun LSM. Salah satu
perdebatan penting saat itu adalah kuota 30% perempuan di parlemen. Pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali memunculkan perdebatan mengenai
keberadaan perempuan dalam wilayah politik.

Minimnya calon perempuan dalam pemilihan kepala daerah ditingkat provinsi,


kota dan kabupaten setidaknya menjadi penyebab munculnya perdebatan tersebut.
Berbicara tentang peranan perempuan dalam ranah politik di Indonesia memang relatif
baru. Meski demikian, dalam sejarah kebangsaan banyak sekali tokoh perempuan yang

181
ikut terlibat dalam merebut kemerdekaan. Peranan perempuan dalam wilayah politik
semakin hangat mencuat pada pemilu legislatif 2004 lalu.

Dimana waktu itu, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif mencapai 11 %


dari 30% yang disyaratkan. Jumlah ini meningkat jika kita bandingkan dengan pemilu
tahun 1999 yang hanya mencapai 8,8 % dari 57% kursi yang di peruntukkan. Di tingkat
Provinsi dan kabupaten dan kota yang menjalani otonomi daerah, menunjukkan angka
yang lebih memprihatinkan lagi, yaitu di bawah 5% dan bahkan 0% di tingkat kabupaten
dan kota. Gambaran tentang rendahnya keterwakilan perempuan tersebut semakin
menegaskan bahwa sistem politik di Indonesia telah mengenyamping keberadaan
perempuan. Lalu mengapa keterwakilan perempuan dalam wilayah politik selalu saja
dikucilkan dan tidak dianggap begitu penting?

Padahal banyak pihak terutama kaum perempuan yang menghendaki peranan


perempuan lebih dikedepankan. Harapan ini tentu sah-sah saja, sebab sebagaimana kita
ketahui bahwa selama ini banyak sekali kasus-kasus yang menimpa perempuan yang
tidak pernah terselesaikan oleh kaum laki-laki sebagai pengambil kebijakan dan
keputusan. Misalnya, kekerasan terhadap perempuan (baik fisik, mental, seksual dan
perdangangan perempuan dan kesehatan reproduksi). Kasus-kasus tersebut
kelihatannya belum menjadi bagian penting untuk diperhatikan oleh pembuat kebijakan
dan keputusan. Berbagai kebijakan yang diskrimintif terhadap perempuan tentu saja
bisa dihilangkan apabila partisipasi keberadaan perempuan dalam ranah politik sama
dengan kaum laki-laki.

Selama lembaga pembuat kebijakan masih didominasi laki-laki, perjuangan


untuk mengubah kebijakan yang belum mengakomodasi kepentingan perempuan akan
sangat sulit diharapkan. Dengan memberikan kesempatan kepada perempuan seluas-
luasnya untuk bermain dan masuk dalam wilayah politik terutama di jajaran eksekutif,
maka mudah-mudahan berbagai kepentingan yang terkait dengan akses peningkatan
kualitas hidup perempuan akan bisa diupayakan.

Untuk itu, melalui pilkada, tampilnya perempuan menjadi gubernur, bupati dan
walikota diharapkan kebutuhan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan
kepentingan perempuan mudah-mudahan akan terlaksana di masa mendatang.

182
Pendeknya, meningkatnya keberadaan perempuan dalam arena politik melalui pilkada
akan semakin menunjukkan kepada kita adanya kesetaraan kaum perempuan dan laki-
laki dalam wilayah politik. Ini sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam GBHN 1999-
2004 yang mencakup TAP MPR No. IV/ MPR/1999 yang secara tegas menjamin
keterwakilan perempuan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berwawasan
keadilan. Di antara arah kebijakan dalam GBHN tersebut adalah pertama, meningkatkan
kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara melalui kebijakan nasional. Kedua, mengembangkan sistem politik nasional
yang berkedaulatan rakyat dan menerapkan prinsip persamaan dan antidiskriminasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Konvensi PBB
Apa yang ditegaskan dalam GBHN dan TAP MPR tersebut juga ditegaskan
dalam Konvensi PBB Tahun 1979 tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all
Forms of Discrimination against Women -CEDAW). Konvensi PBB tersebut
seharusnya dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan
laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan
kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Agar
keterwakilan perempuan dalam arena politik dapat terlaksana, maka masyarakat
sebagai pemilih harus mengetahui siapa-siapa calon kepala daerah perempuan
yang pantas untuk didukung. Siapa perempuan-perempuan Indonesia yang layak
diperhitungkan. Semua informasi mengenai perempuan yang memiliki potensi
untuk duduk sebagai kandidat kepala daerah harus digali sebanyak mungkin oleh
masyarakat di daerah.
Memberikan dorongan kepada perempuan yang ingin atau layak menjadi
pemimpin di daerah harus diutamakan, karena bagaimanapun untuk
membangun kesadaran politik bagi kaum perempuan harus didukung oleh

183
semua stakeholders yang ada termasuk Kantor Kementerian Pemberdayaan
Perempuan. Pemberdayaan perempuan dalam ranah politik harus diberdaya
gunakan untuk membangun kesadaran politik secara maksimal terhadap
perempuan. Sehingga peran politik perempuan mendapatkan tempat yang baik
dalam kehidupan politik.
Tak kalah penting, partai politik sebagai alat untuk mengartikulasikan
kepentingan masyarakat khususnya kaum perempuan juga dituntut memainkan
peranan dan fungsinya semaksimal mungkin. Bagaimanapun, kehidupan politik
akan menjadi lebih baik bila perempuan ambil bagian dalam arena politik.
Tingginya peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan baik pada
tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif akan memudahkan terakomodasinya
aspirasi perempuan dalam berbagai kesempatan. Sebab kaum perempuan akan
lebih mementingkan isu-isu kesejahteraan sosial, pendidikan, dan tentunya
kekerasan terhadap perempuan.
Sekali lagi, semangat menyuarakan aspirasi perempuan melalui pilkada
jelas tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sekaranglah saatnya perjuangan untuk
menegakkan hak-hak politik kaum perempuan dilaksanakan. Jangan lagi
pemberdayaan perempuan melalui arena politik hanya sebatas retrorika, wacana
dan diskusi saja. Jika itu terus terjadi, tidak mustahil berbagai kebijakan dan
keputusan yang dihasilkan akan terus mengabaikan suara perempuan. Kita
semua tentu tidak menginginkan hal itu bukan?

184
6
Membangun Demokrasi Lokal

dalam Pilkada

Bisnis Indonesia, 21 Mai 2005

Pesta demokrasi lokal bernama pemilihan kepala daerah langsung (pilkada)


sudah semakin dekat. Berbagai persiapan untuk menyambut pesta tersebut terus
dilakukan. Namun, ditengah semaraknya penyambutan pesta demokrasi lokal tersebut,
masih banyak kalangan yang meragukan pelaksanaan pilkada nanti akan berjalan
dengan baik jauh dari berbagai kecurangan.

Bertolak pada keraguan masyarakat di atas, tentu saja pihak-pihak yang


berkepentingan seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), panitia pengawas
pemilu (panwaslu), partai politik dan aparat keamanan, untuk berusaha mencegah
terjadinya berbagai kecurangan tersebut. Pendeknya, seluruh elemen masyarakat agar
berupaya dan bekerja keras menjunjung tinggi 'makna kejujuran' dan 'makna keadilan'
dalam mengikuti aturan main yang telah ditetapkan. Kecurangan-kecurangan dalam

185
pilkada harus dihindari secermat mungkin. Jika tidak, proses demokrasi lokal di berbagai
daerah tidak akan dapat di capai.

Dan itu berarti apa yang kita dambakan akan datangnya suatu perubahan,
baik perubahan perjalanan nasib maupun perubahan akan hari depan yang lebih
cerah dan lebih baik hanya akan menjadi angan-angan belaka. Dan pada akhirnya
akan mengancam seluruh proses demokrasi baik politik, ekonomi dan hukum.
Lalu apakah yang dimaksud dengan 'makna jujur dan adil' terutama jika
dikaitkan dengan pelaksanaan pilkada nantinya? Jika kita lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia, terbitan Balai pustaka tahun 1995. Kata jujur berarti; Pertama,
lurus hati, tidak berbohong atau berkata apa adanya. Kedua, tidak curang atau
mengikuti aturan yang berlaku. Ketiga, tulus, iklas. Sedangkan kata adil dapat
diartikan; Pertama, tidak berat sebelah, tidak memihak. Kedua, berpihak kepada
yang benar, berpegang pada kebenaran. Ketiga, sepatutnya dan tidak sewenang-
wenang.
Jika pelaksanaan pilkada yang 'jujur dan adil' dapat dilakukan maka empat
(4) asas resmi yang berlaku dalam pesta politik lokal akan semakin dapat
dipenuhi. Asas tersebut yaitu; Pertama, 'langsung' yang berarti rakyat pemilih
mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya, menurut hati
nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan. Kedua, 'umum' yang berarti
semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal sudah berusia 17
tahun atau lebih atau belum berumur 17 tahun tapi sudah/pernah menikah
berhak ikut memilih dalam pemilihan, dan yang telah berumur 21 tahun berhak
dipilih, dengan tidak dibeda-bedakan.
Ketiga, 'bebas' yang berarti bahwa setiap warga negara yang berhak
memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan
pemilihan sesuai dengan hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau
paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun. Keempat, 'rahasia' yang berarti
bahwa pemilih dijamin oleh peraturan dan tidak akan diketahui oleh pihak
manapun.

186
Jangan terulang
Berbicara tentang pesta politik yang jujur dan adil memang bukan topik
yang baru dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Karena dalam setiap pesta
politik seperti pemilu misalnya, baik menjelang atau pada saat pesta pemilu
dilakukan. Kata-kata jujur dan adil begitu gampang diucapakan namun sangat
sulit dilaksanakan. Ini dapat kita lihat pada pelaksanaan pesta politik bernama
pemilu di zaman Orde Baru.
Saat itu pelaksanaan pemilu sering diwarnai dengan prilaku curang,
tekanan, intimidasi yang dilakukan oleh Golkar, aparat keamanan serta birokrasi
dari pusat hingga daerah kepada masyarakat, aktivis dan kelompok-kelompok
yang dianggap menentang upaya pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam
pemilu. Pengalaman buruk pemilu seperti dicontohkan di atas, juga terjadi pada
pemilu tahun 1999 dan 2004.
Perilaku curang tersebut juga sering mewarnai perjalanan pesta politik
saat itu. Berkaca pada pengalaman tersebut maka permasalahan di atas
hendaknya dapat dijadikan pelajaran pada pesta politik pilkada nanti. Semua
pihak harus menyadari bahwa proses politik yang diselenggarakan atas dasar
aspirasi politik yang tidak jujur dan adil bukanlah tujuan yang dikehendaki. Pada
pilkada nanti partisipasi politik masyarakat daerah yang jauh dari kecurangan dan
ketidakadilan adalah sebuah proses politik lokal yang harus dilaksanakan dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Masyarakat harus diberikan peran yang aktif untuk menentukan sikap
politiknya yang jauh dari segala kecurangan, intimidasi dan tekanan. Dengan
memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersikap itulah kita akan bisa
melaksanakan proses pilkada yang jujur dan adil. Ini menjadi tugas dan tanggung
jawab seluruh elemen masyarakat untuk menjaga dan memelihara pesta pilkada
yang demokratis.

187
Manuver politik
Manuver-manuver politik yang menghalalkan segala cara untuk meraih
kekuasaan hanya akan menghasilkan kepala daerah yang tidak kapabel dan
berintegritas jelek. Lalu apakah pilkada Juni 2005 ini akan dapat dilaksanakan
dengan jujur dan adil serta jauh dari berbagai kecurangan? Mengingat selama ini
pada setiap pesta politik di negeri ini hampir selalu diwarnai berbagai
kecurangan yang justru dilakukan oleh elite politik negeri ini.
Misalnya mencuri star kampanye oleh partai politik, banyaknya praktik-
praktik money politic dan yang tak kalah pentingnya konflik internal partai politik
sering terjadi akibat ketidakpuasan masa pendukung terhadap politisi yang tidak
lolos seleksi, baik menjadi caleg ataupun menjadi anggota parlemen. Keadaan
tersebut berakibat terjadinya bentrokan-bentrokan di sejumlah daerah.
Untuk menjawab pertanyaan terebut, maka sebagai bangsa yang
menjunjung tinggi sikap demokrasi dan kejujuran sudah saatnya kita mendukung
upaya-upaya dalam menyukseskan pilkada yang jujur, adil dan demokratis.
Karena bagaimanapun Pilkada 2005 memiliki makna yang sangat strategis untuk
menciptakan pemimpin-pemimpin daerah yang jujur, bersih dan amanah.
Sehingga tatanan kehidupan yang lebih baik akan tercipta bagi
masyarakat di berbagai daerah. Untuk itu seluruh komponen bangsa, baik itu
pemerintah, NGO, LSM, tokoh agama, tokoh partai politik, tokoh masyarakat,
para akademisi, mahasiswa harus bergandengan tangan melawan seluruh
kecurangan-kecurangan pada pelaksanaan pilkada. Kehendak agar tercapainya
kesepakatan nasional untuk menciptakan pilkada jujur dan adil harus ditegaskan.
Tanpa itu jangan harap di masa-masa mendatang stabilitas politik
khususnya di daerah akan tercapai. Harapan kita semoga pesta politik daerah
bernama pilkada akan menghasilkan putra-putra daerah terbaik untuk
memimpin daerahnya dalam masa lima tahun kedepan. Kita juga berharap
semoga dengan proses pilkada yang jujur, bersih dan demokratis kita bisa
menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang dicintai rakyatnya.

188
7
Menyoal Keikutsertaan TNI Dalam Pilkada

Harian Merdeka, 14 Mai 2005

Di bolehkanya prajurit TNI untuk ikut pemilihan kepala daerah (pilkada)


asal terlebih dahulu harus non aktif dari dinas kemiliteran telah menimbulkan
perdebatan dari berbagai kalangan. Pasalnya, keikutsertaan prajurit TNI untuk
masuk dalam pilkada dan kembali bermain dalam kegiatan politik praktis tentu
akan mempengaruhi proses demokratisasi dan proses reformasi ditubuh institusi
TNI sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 39 UU Nomor 34/2004 tentang
TNI.
Lebih jauh UU tersebut melarang prajurit TNI untuk ikut terlibat dalam kegiatan
menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis dan kegiatan
untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.
Pelarangan prajurit TNI untuk dipilih dalam jabatan politis juga tertuang dalam pasal 64
UU pemilu yang menyebutkan bahwa calon Dewan Perwakilan Daerah dari
PNS,TNI/Polri harus mengundurkan diri sebagai PNS atau anggota TNI/Polri.

189
Mencermati ketentuan yang terdapat dalam UU diatas, maka secara
konstitusi sebenarnya prajurit TNI hanya dibolehkan memilih dan bukan dipilih.
Seandainya seorang prajurit TNI ingin mencalonkan diri harus terlebih dahulu
pensiun dari dinas kemiliteran. Dari itulah, jika kita melihat aturan yang ada,
maka keikutsertaan TNI dalam pilkada sangat bertentangan dengan ketentuan
UU TNI. Keputusan panglima TNI yang membolehkan prajurit TNI ikut dalam
pilkada akan membuka peluang lebih besar bagi TNI untuk bermain dalam politik
praktis. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Karena
sebelumnya telah ada kesepakatan sebagaimana yang dituangkan dalam
(Undang-undang) UU tentang TNI bahwa militer hanya akan memainkan peranan
sebagai militer profesioanal dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara
dan bangsa.
Sebenarnya kalau institusi TNI ingin benar-benar serius menjalankan semangat
perubahan hingga menjadi institusi yang profesional dalam menjalankan tugas pokoknya
yaitu menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa, maka prajurit TNI tidak perlu ikut serta
dalam pilkada. Kalaupun ingin mencalonkan diri sebaiknya harus mengundurkan diri
atau pensiun dini dari dinas dan jabatannya, bukan hanya non-aktif atau kalau tidak
terpilih dapat kembali menjadi anggota TNI. Pernyataan seperti itu menujukkan bahwa
petinggi TNI terkesan tidak serius menjalankan amanat reformasi ditubuh TNI.

Komitmen TNI untuk tidak terlibat dalam politik praktis melalui pilkada harus
ditegaskan oleh institusi TNI sebagaimana yang disyaratkan oleh UU. Institusi TNI jangan
menyamakan haknya dengan masyarakat secara umum yang mempunyai hak untuk
dipilih dan memilih.

Jika keterlibatan TNI dalam pilkada dipaksakan juga maka dikhawatirkan


dominasi peran militer dalam berbagai jabatan-jabatan strategis akan terjadi lagi
sebagaimana dahulu pada masa orde baru. Hal ini sudah dialami bangsa Indonesia
selama 32 tahun masa pemerintahan Presiden Soeharto. Indonesia memiliki trauma atas
keterlibatan TNI yang terlalu jauh dalam jagat politik nasional.

190
Di bawah rezim orde baru, peran TNI digiring ke semua sektor, seperti misalnya,
menjadi Walikota, Bupati, Gubernur, anggota DPR, pejabat setingkat Menteri, Duta
besar dan lain sebagainya. Ini belum termasuk betapa banyaknya militer yang bermain
dalam berbagai bidang usaha dan bisnis. Hal yang tidak kalah pentingnya besarnya
peran militer dalam kegiatan politik juga terlihat dari kuatnya keterlibatan militer dalam
membidani lahirnya partai golkar.

Sehingga tidak salah militer menjadi salah satu institusi penting dalam
keputusan-keputusan politik Golkar saat itu. Pendeknya, pada rezim orde baru berkuasa
kepemimpinan Soeharto dengan militer dan Golkarnya menjadi kekuatan yang sangat
menentukan negara ini. Akibatnya desain politik untuk mengujudkan stabilitas nasional
telah mengakibatkan suatu praktek politik yang tidak demokratis dan cenderung
otoritarianisme.

Keadaan ini jelas telah menimbulkan bencana politik karena adanya


kelanggengan kepemimpinan nasional yang didukung oleh mesin-mesin politik yang
tidak dapat atau pernah dikoreksi. Keadaan ini menyebabkan dikebirinya hak-hak politik
rakyat sehingga pemenjaraan, teror, penculikan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat saat itu.

Kuatnya keterlibatan militer dalam arena politik pada masa orde baru tersebut
tentu saja menjadi sejarah kelam bangsa ini. Jelas masa kelam itu tidak boleh terulang
lagi pada masa mendatang. Karena kondisi tersebut telah menyebabkan rasa trauma
bagi masyarakat akan peran dan kepemimpinan militer dalam berbagai bentuknya.
Karena kenyataannya selama rezim orde baru berkuasa dengan kendaraan militer dan
golkarnya telah memperlihatkan kepada kita bahwa suasana otoriter dan anti demkorasi
tercipta begitu saja tanpa ada yang berani dan mampu untuk menghentikannya.

Bagaimanapun kita sepakat, bahwa peran militer dalam kancah politik harus
benar-benar dapat dihilangkan. Karena pembentukan militer pada dasarnya bertujuan
untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara dan bangsa.

Untuk itu, peran politik TNI dalam pelaksanaan pilkada harus dihentikan dan
mengikuti persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Artinya, kalaupun ada

191
anggota TNI yang ingin mencalonkan atau dicalonkan sebagai kandidat Gubernur, Bupati
atau Walikota, hendaknya terlebih dahulu pensiun atau berhenti dari keanggotaan TNI.
Untuk dicalonkan dalam pilkada tidak-lah cukup dengan menonaktifkan.

Sepatantasnya-lah anggota TNI yang mencalonkan diri maju sebagai kepala


daerah untuk mematuhi aturan yang telah digariskan. Ini bertujuan agar apa-apa yang
telah disepakati dalam UU No. 34/2004 tidak semerta-merta dilanggar. Sehingga
keberadaan sebuah UU tidak menjadi hiasan diatas kertas saja yang tidak mempunyai
fungsi dan makna apa-apa dalam kelangsungan reformasi ditubuh TNI.

192
8
Mewaspadai Bahaya Politik Uang di Pilkada

Media Indonesia, 27 April 2005

Politik uang merupakan salah satu praktik busuk yang dikhawatirkan


banyak pihak dapat mengancam pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah
(pilkada) bulan Juni nanti. Begitu berbahayanya praktik politik uang tersebut
tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kemurnian dari proses
pelaksanaan pilkada. Lalu benarkah praktik politik uang akan mewarnai
perjalanan pesta pilkada nanti? Mengingat isu-isu tentang praktik politik uang
dalam setiap pesta politik di negeri ini selalu saja hampir terjadi, seperti misalnya
pada pesta pemilu. Pertanyaan diatas patut di cermati, jika tidak akan dapat
mengancam proses demokrasi yang sedang berlangsung.
Wacana tentang politik uang pada setiap pesta politik di Indonesia
memang selalu menjadi topik menarik untuk di bicarakan. Sebab memang
permainan politik uang akan menjurus kepada hasil yang tidak mempunyai
legitimasi bagi suatu pembentukan pemerintahan yang kuat dan dicintai rakyat.
Disamping itu, politik uang jelas akan menghancurkan sistem demokrasi yang
sedang giat-giatnya kita bangun.

193
Begitu berbahayanya praktik politik uang ini, memang telah merisaukan
sebahagian anak bangsa ini. Tidak salah beberapa tokoh dari kalangan LSM,
aktifis, para pengamat pernah mengeluarkan pernyataan akan buruknya bahaya
politik uang pada pemilu tahun lalu.
“Ambil saja uangnya dan jangan pilih mereka”, merupakan motto yang
mereka keluarkan sekedar mengingatkan masyarakat akan buruknya dampak
politik uang. Pendeknya, Motto dua musisi besar Franky Sahilatua dan (alm)
Harry Rusli tersebut ingin menegaskan kepada masyarakat supaya masyarakat
pada pemilu 2004 tidak memilih mereka para eleite politik yang terang-terangan
menggunakan uang untuk mencapai tujuan politiknya.
Lalu apakah yang dimaksud dengan politik uang tersebut? Sehingga
begitu hebat sekali pengaruhnya dalam membunuh kehidupan demokrasi.
Sampai saat ini memang tidak ada defenisi yang khusus mengenai apa itu politik
uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah politik uang
juga tidak ditemukan. Sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan untuk
kemudian diselesaikan secara hukum. Buktinya sampai sekarang belum ada
seorangpun yang diajukan ke meja hijau karena terlibat praktik politik uang.
Dibutuhkan bukti-bukti yang sangat konkrit untuk membuktikan kejahatan ini.

194
Meskipun demikian, dalam Undang-undang No 12 Tahun 2002 tentang
pemilu khususnya Pasal 110 telah menyebutkan, “bahwa suatu tindakan yang
dalam hal ini politik uang mencakup dua aspek”. Pertama, dari sisi pelaku;
pelakunya adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD Profinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota. Kedua, dari sisi bentuknya; berupa menjanjikan dan atau
memberikan uang dan atau materi lainya kepada pemilih. Berdasarkan
penjabaran UU tersebut, maka politik uang bisa dikategorikan kepada kejahatan
korupsi. Karena ia memberikan suap berupa uang kepada pihak lain untuk
mencapai tujuan politik. Dalam kaitan ini pemberi dan penerima dapat
dikategorikan sama-sama melakukan pelanggaran, sehingga kedua belah pihak
dapat dikenakan sanksi tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No 31/1999
Tentang Pemberantasan Korupsi.
Agar praktik-praktik politik uang dalam pilkada nanti tidak tumbuh dan
berkembang, maka pihak-pihak terkait dalam hal ini KPUD, partai politik, LSM,
mahasiswa, tokoh masyarakat dan elemen masyarakat lainnya yang berkeinginan
akan lahirnya pemerintahan daerah yang bersih, berwibawa, jujur dan adil
hendaknya perlu “mewaspadai praktik-praktik politik” uang tersebut. Jangan
sampai praktik politik uang berlangsung pada saat menjelang atau saat
pelaksanaan pilkada nanti. Cara mengantisipasi praktik politik uang ini bisa saja
dilakukan dengan mengawasi secara ketat pelaksanaan pilkada, mulai dari tahap
awal pendaftaran atau penyaringan nama-nama bakal calon kepala daerah
sampai saat pemilihan berlangsung. Jika ada yang terbukti melakukan praktik
politik uang, maka pihak-pihak yang berkepentingan harus dengan tegas
memberikan sanksi. Misalnya sanksi hukum dan calon tidak dibolehkan untuk
ikut dalam proses pilkada.

195
Jangan lagi KPUD, atau pihak-pihak yang berkepentingan main-main
dengan hal ini. KPUD dan pihak-pihak terkait tersebut harus mempunyai
ketegasan dan keberanian sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya menurut
Undang-Undang. Hal yang tidak kalah penting LSM dan masyarakat juga harus
turut secara aktif melakukan pengawasan terhadap jalannya proses pilkada.
Laporan dari masyarakat dan LSM yang melihat ada unsur-unsur pelanggaran
praktik politik uang harus ditindak-lanjuti dengan segera untuk kemudian
diteruskan kepada KPUD untuk diproses.
Disamping itu, suatu hal yang lebih penting adalah masyarakat harus
diberikan pengarahan bahwa politik uang akan sangat berbahaya bagi
perkembangan kehidupan demokrasi seutuhnya. Pengarahan secara maksimal
harus diberikan kepada seluruh masyarakat agar masyarakat semakin mengerti
tentang betapa besarnya bahaya politik uang bagi kehidupan dan masa depan
bangsa ini kedepannya. Sejatinya, masyarakat harus diingatkan bahwa
bagaimanapun dengan politik uang berarti kita telah melakukan rekruitmen
politik yang salah, dimana kita tidak memilih figur pemimpin kita melalui
kesadaran hati nurani. Melainkan memilih hanya berdasarkan pesan atau
pengaruh pihak lain dengan cara memberikan sejumlah uang sebagai imbalan.
Dan hasilnya sudah bisa ditebak, yaitu pilihan kita tidak sesuai dengan apa yang
kita kehendaki. Dan itu berarti apa yang kita cita-citakan untuk menemukan
pemimpin yang amanah, jujur dan bersih tidak akan pernah kita temukan. Kita
semua tentu tidak menginginkan hal tersebut bukan?

196
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, kita tentu harus sepakat.
Bagaimanapun kejahatan politik uang tidak boleh dibiarkan hidup dalam pesta
demokrasi bernama pilkada. Praktik politik uang sudah pasti akan menghasilkan
pemerintahan yang tidak amanah dan kapabel. Karena itu, jika kita
menginginkan pemimpin yang bersih, jujur dan punya integritas yang tidak
diragukan. Kita harus dapat menghindari praktik politik uang dalam pilkada nanti.
Dan hanya dengan melaksanakan pilkada yang jujur dan bersih dari praktik
politik uang kita akan bisa membawa perubahan yang berarti bagi kelangsungan
kehidupan demokrasi di tanah air tercinta ini. Semoga.***

197
BAB KETUJUH

DINAMIKA
PELAKSANAAN PEMILU

1
Uang, Pembunuh Demokrasi
Dalam Pemilu 2004

Sinar Harapan, 19 Februari 2004

Menteri Koodinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo


Bambang Yudhoyono mengingatkan setidaknya ada tiga musuh besar yang harus
diperangi dalam Pemilu 2004. Salah satu musuh besar tersebut adalah
merajalelanya politik uang selama pelaksanaan pemilu. Pernyataan Menko
Polkam tesebut patut dicermati. Jika tidak, dipastikan akan dapat menggagalkan

198
pesta demokrasi bangsa ini. Sebab pemilu yang bersih jelas akan menjamin
kualitas demokrasi. Dan sebaliknya pemilu yang dipenuhi dengan berbagai
kecurangan dipastikan akan mengorbankan demokrasi. Lalu apakah pemilu 2004
ini akan dapat terhindar dari praktik politik uang? Itulah pertanyaan yang harus
dicarikan jawabannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Politik uang hampir selalu terjadi dalam setiap pesta politik bernama
pemilu. Bahkan di negara-negara yang tingkat demokrasinya sudah maju dan
dilengkapi dengan sistem hukum yang keras dan tegas sekalipun, politik uang
juga pernah terjadi. Kita tentu masih ingat kisah pengusaha Indonesia James
Riady, yang rela membantu biaya hingga berjuta-juta dolar AS untuk dana
kampanye Bill Clinton dari partai Demokrat sebagai kandidat calon Presiden. Dari
kisah diatas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa praktik politik uang
bisa terjadi dimana saja. Termasuk dinegara yang sudah sangat maju tingkat
kedewasaannya berdemokrasi.
Lalu apakah yang dimaksud dengan politik uang tersebut? Sampai saat ini
memang tidak ada definis yang khusus mengenai apa itu politik uang. Dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) istilah politik uang juga tidak
ditemukan, sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan untuk kemudian
diselesaikan secara hukum. Lihatlah sampai sekarang sangat jarang atau bahkan
belum ada seorang pun yang diseret kemeja hijau karena terlibat praktik politik
uang. Untuk membuktikan kejahatan ini dibutuhkan bukti-bukti yang sangat
konkret.

199
Dalam dunia perpolitikan Indonesia, kejahatan politik uang seakan sangat
akrab di teliga kita. Lihat saja dalam pemilihan kepada daerah, baik pemilihan
Bupati, Walikota dan Gubernur acap kali diwarnai politik uang. Pada tingkat
kehidupan politik yang lebih besar seperti pelaksanaan pemilu. Politik uang juga
sangat rawan.
Pada Pemilu 1999, kejahatan politik uang juga meningkat. Hal ini dapat
kita lihat dari hasil temuan Panitia pengawas pemilu (Panwaslu) yang mencatat
sedikitnya 96 kasus politik uang. Kejahatan politik uang tersebut telah
diselesaikan sebanyak 83 kasus. Namun tidak jelas dalam bentuk apa. Dan 13
kasus telah dilimpahkan ke polisi. Akan tetapi hanya sampai disitu saja dan tidak
ada tindak lanjutnya setelah itu.

Perlu Langkah Strategis


Menyimak pesta-pesta politik di Indonesia, sepertinya kita dapat menarik
suatu kesimpulan bahwa pelaksanaannya masih sering diwarnai dengan berbagai
kecurangan. Khusus kecurangan yang berkaitan dengan politik uang dalam
pemilu. Maka perlu langkah-langlah strategis yang harus diperhatikan yaitu.
Pertama, pemerintah dan pihak-pihak terkait harus dengan tegas memberikan
sanksi kepada siapapun yang dengan terang-terangan melakukan praktik politik
uang. Tentunnya dengan ancaman hukuman yang berat. Sanksi hukum maupun
Undang-undang harus di tegaskan bagi yang memberi atau menerima suap. Jika
hukum atau Undang-undang tidak mampu mengatasinya, akan sulit
mengharapkan proses rekruitmen politik yang jujur.
Kedua, masyarakat harus disadarkan bahwa politik uang merupakan
kejahatan yang merugikan pelaksanaan demokrasi. Agar masyarakat semakin
mengerti tentang bahaya politik uang, perlu sosialisasi tentang pemilu.
Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertanggung jawab dalam proses
sosialisasi ini.

200
Masyarakat harus diberi arahan dalam proses politik yang baik. Ini
berguna agar masyarakat jangan mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu.
Sehingga nantinya pada saat pemilihan, baik pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD
maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, suara yang dihasilkan benar-
benar murni tanpa terpengaruh oleh kepentingan apapun. Jika sosialiasi ini tidak
diupayakan semaksimal mungkin dikhawatirkan pelaksanaan pemilu diwarnai
kecurangan.
Ketiga, pemerimtah atau pihak yang berwenang harus lebih sungguh-
sunggh mewajibkan partai politik untuk melaporkan daftar keuangannya kepada
suatu lembaga yang ditunjuk untuk itu, misalnya Mahkamah Agung (MA).
Kemudian daftar keuangan tersebut diaudit oleh sebuah akuntan publik yang
dapat dipercaya. Standar dan ukuran penting agar pihak akuntan tidak kesulitan
untuk memeriksanya. Dengan demikian pihak akuntan akan dapat menetapkan
hasil pemeriksaannya dan kemudian bisa menarik suatu kesimpulan tentang
keadaan keuangan suatu partai politik. Dan akhirnya masyarakat akan dapat
mengetahui dari mana saja sumber keuangan suatu partai politik. Jika ada yang
kurang beres harus diproses sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Keempat,
semua partai politik hendaknya tetap menjaga kemurnian pesta pemilu 2004 ini.
Untuk itu bagi partai politik dituntut untuk selalu mengedepankan pentingnya
“pendidikan politik” pada masyarakat sebagai tindak lanjut dari proses
demokrasi yang bersih. Partai politik sudah saatnya menghentikan segala omong
kosong yang selalu mengatasnamakan rakyat dengan memanipulasi suara rakyat.
Hanya dengan bersikap jujur, kita bisa membangun sebuah negara yang baik.
Akhirnya kita sepakat, bahwa praktik politik uang tidak boleh dibiarkan
tumbuh dalam sistem politik kita. Karena hal itu akan “membunuh”
perkembangan demokrasi dalam kehidupan politik Indonesia. Kejahatan politik
uang hanya akan menghasilkan pemerintahan yang tidak kapabel dan amanah.
Mari kita ciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa dengan menghapus

201
segala praktik politik uang dalam pesta pemilu yang sebentar lagi akan kita
laksanakan.
Sebagai negara yang menjujung tinggi demokrasi kita harus ingat bahwa
hanya melalui pemilu yang berlangsung bersih, bebas dan adil kita akhiri krisis
yang serba multidimensi ini. Segenap komponen bangsa ini harus menyadari
bahwa pemilu merupakan pesta demokrasi terbesar rakyat. Dengan
melaksanakan pemilu yang jujur, kita sekaligus telah menyukseskan pendidikan
politik bagi masyarakat. Dan mari kita juahkan segala musuh besar yang akan
menggagalkan pemilu.***

202
2
Urgensi Pengadilan Khusus Pemilu

Sinar Harapan, 15 November 2003

Gagasan untuk membentuk suatu peradilan khusus pemilu kembali


mencuat akhir-akhir ini. Diskursus ini paling tidak disebabkan adanya
kekhawatiran bahwa penyelenggaraan pemilu 2004 nanti akan mengalami
berbagai pelanggaran baik dalam bentuk kekerasan maupun kecurangan. Untuk
itu, adanya suatu pengadilan khusus pemilu perlu dicermati. Sehinga nantinya
kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran pemilu dapat dituntaskan
dengan cepat dan akhirnya pelaksanaan pemilu bisa dilaksanakan dengan baik.
Jika kita tinjau dalam UU No 12 tahun 2003 tentang pemilu sebenarnya
memang sudah diatur mengenai segala ketentuan mengenai tindak pidana
pemilu. UU tersebut sudah memuat secara tegas dan lengkap berbagai sanksi
serta ancaman bagi setiap pelanggaran pemilu. Ketentuan mengenai pengaturan
tindak pidana pemilu tersebut lebih jauh diatur dalam pasal 137 –141 UU No
12/2003 yang menerangkan bahwa tindak pidana pemilu merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan mengenai pemilu yang dapat terjadi pada
semua tahapan pemilu yaitu mulai dari pendaftaran pemilih, kampanye, saat
pemungutan suara hingga penetapan hasil pemilu.

203
Tindak pidana pemilu tersebut juga sudah diatur dalam KUHP yang
memberikan ancaman hukuman untuk kasus pemilu yaitu ancaman hukuman
sembilan bulan dan tertinggi dua tahun. Disamping itu juga ada ancaman denda
maksimal Rp. 4.500. Namun ancaman yang terdapat dalam KUHP tesebut
ternyata tidak menjamin penyelesaian sengketa yang terjadi. Sejatinya
peraturan yang ada tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi berbagai
persoalan seputar kekerasan dan pelanggaran pemilu. Pendek kata, peraturan
tersebut juga tidak mampu menjelaskan kualifikasi jenis pelanggaran dan potensi
perselisihan pemilu. Padahal pada waktu pelaksanaan pemilu pada tahun 1999
banyak sekali pengaduan dari masyarakat yang masuh ke KPU, Namun
pengaduan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti untuk diproses melalui
pengadilan yang ada.
Melihat pelaksanaan pemilu tahun 1955 atau tepatnya pada masa Orde
Lama dan pelaksanaan pemilu pada tahun 1999 atau pada masa Orde Baru
memang dinilai sebagai pemilu yang paling demokratis. Namun demikian
pelaksanaan pemilu tersebut masih saja diwarnai dengan berbagai pelanggaran.
Hal ini hampir sama dengan pelaksanaan pemilu tahun 1971 dan pemilu tahun
1997 yang juga sarat dengan berbagai bentuk pelanggaran. Hal ini hampir sama
dengan pelaksanaan pemilu tahun 1971 dan pemilu tahun 1997 yang juga sarat
dengan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi
dalam berbagai bentuk dan coraknya, misalnya intimidasi dan yang paling parah
yaitu adanya keharusan pegawai negeri untuk memilih satu partai politik
tertentu.
Meskipun pelaksanaan pemilu tahun 1999 dinilai cukup demokratis, akan
tetapi masih banyak diantara kontestan partai politik yang selalu
mengedepankan aksi-aksi yang kurang simpati terutama saat pesta kampanye
dilakukan. Bahkan saat sekarangpun partai politik yang ada telah menunjukkan
suatu sikap yang kurang terpuji yaitu telah mengibarkan bendera partai masing-
masing yang sebanarnya belum boleh dilakukan. Akibat perang bendera partai

204
tesebut justru akan mengakibatkan munculnya banyak konflik diantara para
pendukung partai.
Aksi-aksi yang kurang simpati oleh kontestan partai politik tersebut baru-
baru ini sudah terjadi menjelang pesta pemilu dilaksanakan. Ini dapat kita lihat
dalam peristiwa Bali yaitu telah terjadinya bentrokan antara masa PDIP dengan
masa partai Golkar. Meskipun konflik ini terjadi pada tataran tingkat bawah,
namun tidak tertutup kemungkinan nantinya akan menjalar pada tingkat elite
partai.
Peristiwa-peristiwa seperti diatas diprediksi akan terulang lagi pada
pemilu 2004 nanti. Apalagi pelaksanaan pemilu 2004 mempunyai banyak
perbedaan dengan pelaksanaan pemilu 1999. Pemilu 2004 akan menggunakan
sistem proposional terbuka. Disamping itu pemilu 2004 juga untuk pertama
kalinya rakyat memilih sendiri secara langsung presiden dan wakil Presiden.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan pelaksanaan pemilu akan diselenggarakan
sebanyak tiga kali yaitu pemilu legislatif tanggal 5 April 2003. Pemilu Presiden
putaran pertama tanggal 3 Juli 2004 dan pemilu Presiden puataran kedua tanggal
13 September 2004. Banyaknya perbedaan dan pelaksanaan tersebut
dikhawatirkan akan membuat pesta pemilu diwarnai dengan pelanggaran-
pelanggaran dan kecurangan-kecurangan, misalnya pelanggaran pada saat
pelaksanaan pemungutan suara atau pada saat penghitungan suara.
Mengingat tingginya tingkat pelanggaran yang pernah dilakukan oleh
partai-partai politik pada setiap pesta pemilu, maka adalah penting penegakan
hukum dan penyelesaian pelanggaran pemilu diatur sedemikian rupa. Karena
apabila kita gagal dalam menegakkan hukum selama pelaksanaan pemilu jelas
akan berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi yang dicita-citakan.

205
Untuk itu, pengadilan khusus pemilu nanti diharapkan dapat menerapkan
sanksi-sanksi dengan kualifikasi tertentu yang memang cukup berat. Sehingga
para pelanggar pemilu menjadi jera dan lebih berhati-hati serta dapat menjadi
contoh bagi pihak lain agar tidak melakukan pelanggaran pemilu selanjutnya. Hal
ini tentu harus diiringi dengan adanya sikap yang konsisten dari para penegak
hukum yang ada.
Jika sikap dan niat ini tidak diciptakan sudah pasti penegakan hukum
dalam kasus-kasus pelanggaran pemilu akan sulit untuk diproses dipengadilan.
Dan kalau ini terus terjadi maka nantinya akan dapat mempengaruhi
perkembangan pendidikan politik masyarakat sehingga kualitas hasil pemilu yang
dilaksanakan akan selalu menuai krisis kepercayaan. Itu berarti perujudan
kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan pemilu tidak akan menjamin prinsip
keterwakilan yang didambakan dan dicita-citakan.
Sekali lagi pekerjaan besar bangsa ini adalah menyiapkan
pelaksanaan pemilu yang bermanfaat, tentunya dengan pikiran yang sehat.
Sebab itu pemilu jangan hanya dilihat sebagai rutinita politik lima tahunan saja,
akan tetapi pemilu harus dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun
demokrasi yang lebih sehat. Pembangunan demokrasi yang sehat dapat
ditumbuhkan dengan budaya politik santun dengan selalu menjauhkan segala
kekerasan dan kecurangan-kecurangan dalam setiap kegiatan politik yang
disalaksanakan.

206
Bagaimanapun pelanggaran dan kecurangan pemilu jelas akan merugikan
rakyat banyak. Dari itulah agar pemilu dapat dijamin pelaksanaannya secara
bebas dan adil sehingga perlindungan bagi pemilih yang mengikuti pemilu dapat
bebas dari rasa takut, intimidasi maupun praktik-praktik curang lainnya, maka
kita sepakat bahwa pesta pemilu jelas tidak akan berjalan dengan sempurna dan
baik apabila tindakan-tindakan yang berupa kecurangan dan kekerasan serta
intimidasi terus saja berlangsung dalam pelaksanaan pemilu. Dengan demikian,
jelas sangat urgen diperlukan suatu rencana dibentuknya pengadilan khusus
pemilu. Ini harus dipersiapkan secara matang agar nantinya proses pemilu yang
kita dambakan akan berjalan dengan sukses serta bisa kita nikmati hasilnya
untuk menentukan nasib perjalanan bangsa dan negara ini selanjutnya.

207
3
Mewaspadai Kekerasan Politik

208
Republika, 11 Februari 2004

Dalam kehidupan sosial politik di Indonesia pemilu dan kekerasan adalah


dua topik yang selalu menarik untuk dibicarakan. Membicarakan pemilu seakan
tidak lengkap tanpa membicarakan kekerasan. Pendek kata, kekerasan seakan
begitu sulit untuk dipisahkan dari pesta pemilu. Di mana ada pesta pemilu,
kekerasan hampir selalu mengikutinya.
Dan biasanya kekerasan yang terjadi kebanyakan bersifat horizontal, yaitu
terjadi antara partisipan partai politik yang satu dengan partisipan partai politik
yang lainnya. Baik menjelang pemilu maupun pada saat diadakannya kampanye
pemilu.
Agar praktik kekerasan tidak semakin meluas dalam pesta pemilu. Maka
sudah semestinya pemerintah dan pihak-pihak terkait berusaha untuk
mencegahnya sedemikian rupa. Jika tidak, di pastikan akan dapat menggagalkan
pesta demokrasi bangsa ini. Sejatinya, pemilu yang jauh dari praktik kekerasan
jelas akan menjamin kualitas demokrasi. Dan sebaliknya pemilu yang dipenuhi
dengan berbagai kekerasan dipastikan akan mengorbankan demokrasi itu
sendiri. Lalu apakah pemilu 2004 ini akan dapat terhindar dari praktik kekerasan?
Itulah pertanyaan yang sekiranya harus dicarikan jawabannya oleh pihak-pihak
yang berkepentingan.

Defenisi Kekerasan.
Apakah yang dimaksud dengan kekerasan terseut. Dalam kamus umum
Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta, kekerasan diartikan sebagai “sifat
atau hal yang keras; kekuatan; paksaan”. Sedangkan “paksaan” berarti tekanan,
desakan yang keras. Kata-kata ini bersinomin dengan kata “memperkosa” yang
berarti menundukkan dengan kekerasan; menggagahi; memaksa dengan

209
kekerasan dan melanggar dengan kekerasan. Jadi, kekerasan berarti membawa
kekuatan, paksaan dan tekanan.
Sedangkan dalam kajian ilmu sosial, Ted Robert Gurr memberikan
pengertian tentang kekerasan. Ia lebih memusatkan pada “political violence”.
Menurut Gurr; semua tindak kekerasan kolektif di dalam suatu komunitas politik
dilakukan terhadap rezim politik, aktor-aktornya (termasuk kelompok-kelompok
di dalam maupun diluar pemerintah) atau kebijakannya. Konsep itu
menggambarkan serangkaian kejadian yang pokoknya adalah penggunaan atau
ancaman penggunaan tindak kekerasan. Yang termasuk dalam pengertian
konsep itu adalah revolusi, perang gerilya, kudeta dan kerusuhan.

Kekerasan Politik Era Orde Baru


Jika kita simak sejarah perjalanan pemilihan umum (pemilu) selama Orde
Baru, yaitu sejak 1971 hingga 1997. Maka secara substansi pelaksanaan pemilu
masa Orde Baru banyak menyisakan persoalan-persoalan. Seperti, banyaknya
kekerasan politik menjelang, selama dan sesudah diadakan pemungutan suara.
Kasus-kasus kekerasan politik pada masa Orde Baru tersebut cenderung
berkaitan dengan kekerasan sistemik struktur politik Orde Baru dari tingkat pusat
hingga daerah.
Kekerasan ini terjadi dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas politik
sebagai prasyarat pembangunan ekonomi akibat krisis ekonomi dan politik orde
baru. Pendek kata, sistem politik Orde Baru telah ikut menyumbang suatu
peluang munculnya kekerasan politik. Kekerasan itu bisa berupa teror, intimidasi
yang biasanya dilakukan oleh aparat keamanan, Golkar serta aparat birokrasi dari
pusat hingga kedaerah kepada; masyarakat, aktifis dan kelompok-kelompok yang
dianggap menentang upaya pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam
pemilu.
Banyaknya kekerasan dan tekanan-tekanan yang dilancarkan sehubungan
dengan penyelenggaraan pemilu masa Orde Baru tersebut tentu saja

210
berimplikasi buruk bagi masyarakat. Akhirnya masyarakat semakin hari semakin
trauma dan menjadi takut yang sangat berlebihan kepada negara. Akibatnya
masyarakat tidak sanggup untuk bersikap kritis untuk menentang kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah meskipun itu salah sekalipun.
Sejatinya, Orde Baru tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengkritik
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Bahkan rezim yang berkuasalah yang melakukan kekerasan terhadap
masyarakat sipil. Barulah era reformasi membuka ruang seluas-luasnya bagi
masyarakat untuk mengkritik kebijakan pemerintah atau rezim yang berkuasa.
Namun sayang, kebebasan tersebut banyak yang berujung kepada tindakan-
tindakan kekerasan atau sikap yang kurang santun. Padahal kekerasan
sesungguhnya merupakan hal yang bertolak belakang dengan hakekat politik.
Karena politik pada substansinya adalah aktivitas untuk mengompromikan
masalah (compromise) dan menyelesaikan perbedaan kepentingan (consensus)
secara damai dan terlembaga. (Heywood, 2002).

211
Peluang Kekerasan Pada Pemilu 2004
Lalu bagaimana dengan pemilu 2004 yang sebentar lagi akan kita
laksanakan? Apakah peluang kekerasan akan muncul pada pesta rakyat
tersebut? Melihat perkembangan situasi politik belakangan ini. Maka pemilu
2004 kelihatannya juga akan diwarnai dengan berbagai kekerasan politik, baik
selama kampanye, hingga pemungutan suara nanti. Karena selama ini aroma-
aroma kekerasan menjelang pemilu sudah tercium dalam kehidupan politik
nasional. Itu dapat dilihat dari bentrokan antara simpatisan partai Golkar dengan
PDIP di Bulelang Bali beberapa waktu lalu.
Disamping itu kita juga masih ingat protes beberapa simpatisan partai
politik ke KPU akibat partai mereka terancam tidak lolos dalam verifikasi di KPU.
Sehingga mereka menggugat dan memprotes KPU dengan alasan-alasan
pembenaran lainnya. Ini masih ditambah dengan adanya konflik internal partai
politik karena ketidakpuasan masa pendukung politisi didaerah yang tidak lolos
seleksi caleg. Akibatnya terjadi pembakaran-pembakaran atribut partai oleh
masa simpatisan.
Tingginya tingkat kekerasan politik menjelang pemilu diatas menunjukkan
masih lemahnya fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik bagi
masyarakat. Kelihatannya selama ini, partai politik hanya dijadikan sarana untuk
memperoleh kekuasaan oleh elite partai. Namun setelah elite partai tersebut
menduduki kursi kekuasaan, mereka lupa akan rakyat yang memilih mereka.
Disamping itu partai politik hanya mempunyai semangat untuk membela
masyarakat pada saat pesta pemilu saja. Tapi tidak mempunyai komitmen jangka
panjang untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Pendek kata, tidak ada
manfaat yang dapat diperoleh masyarakat setelah elite partai politik menduduki
posisi penting dalam lingkaran kekuasaan, baik dilembaga legislatif atau
eksekutif. Bahkan elite partai politik justru melakukan praktik korupsi untuk
memperkaya dirinya.

212
Catatan Penting
Menyusul akan diadakannya pesta pemilu 2004. Kelihatannya rasa cemas
masyarakat tak kalah ikut akan menyusul. Masyarakat membayangkan belum lagi
pemilu dilaksanakan namun gesekan-gesakan yang menakutkan sudah terjadi di
tengah kehidupannya. Bagaimana nanti kalau pesta rakyat itu sudah
dilaksanakan. Entah apalagi kekerasan politik yang akan terjadi. Meskipun
demikian sebagai bangsa yang masih mangakui pemilu sebagai salah satu sarana
utama menegakkan tatanan politik yang demokratis. Kita tentu belum terlambat
untuk memperbaikinya, masih ada waktu untuk mencegah kekerasan tersebut.
Sejatinya! Kita harus optimis untuk menyukseskan pemilu secara damai.
Pelaksanaan pemilu yang tidak sehat yang disertai dengan kekerasan harus
dikubur bersamaan dengan perkembangan sistem politik yang sehat.
Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan harus mewaspadai peluang-
peluang konflik yang akan terjadi. Agenda pemilu simpatik harus dicanangkan
dalam setiap proses pelaksanaannya. Sebab pemilu yang bermutu tidak semata-
mata tergantung “pada hasil”. Akan tetapi juga “bagaimana proses” pemilu itu
dilakukan. Jika proses pemilu dilakukan dengan berbagai kekerasan. Maka akan
pudarlah harapan kita untuk melakukan rekruitmen politik dalam pemilu. Dan
akhirnya cita-cita untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik tidak
akan pernah terujud.
Dari itu, aturan-aturan main yang tegas harus dilaksanakan dengan
hukum atau Undang-undang yang ada. Kepada mereka yang mencoba untuk
berbuat onar harus ditindak dengan tegas. Agar semua itu dapat diujudkan,
maka kerjasama antara penegak hukum, aparat keamanan, partai politik, para
tokoh-tokoh masyarakat, LSM-LSM yang ada, para mahasiswa, akademisi dan
tokoh-tokoh agama harus dilakukan. Pihak-pihak tersebut hendaknya dapat
menjadi tauladan dalam upaya menegakkan nilai-nilai demokrasi ditengah
kehidupan masyarakat. Sehingga nantinya diharapkan tingkat pendidikan politik
masyarakat akan menjadi lebih baik.

213
Tidak mudah memang mengujudkan semua itu. Namun kita tidak boleh
berhenti untuk menciptakan pemilu yang jauh dari kekerasan. Keyakinan bahwa
pemilu sebagai salah satu sarana untuk menciptakan suatu pemerintah yang
lebih baik harus ditanamkan. Dengan tekad dan niat yang sungguh-sungguh
tersebut mudah-mudahan bangsa ini akan dapat melaksanakan pesta demokrasi
bernama pemilu dengan baik dan lancar. Jadi mari sukseskan pemilu dengan
menjauhi segala bentuk kekerasan.**

214
4
Golput Dan Pentingnya
Pendidikan Politik

Media Indonesia, 17 September 2003

Presiden Megawati Soekarnoputri meminta seluruh pemilih pada pemilu


2004 menggunakan haknya, sehingga tidak ada orang yang secara sengaja tidak
menggunakan hak pilihnya atau “golput”. Himbauan Presiden tersebut
mengandung makna bahwa dengan menggunakan hak pilih berarti kita memiliki
sikap untuk menghargai sistem demokrasi. Sejatinya, berhasil tidaknya proses
pemilu yang dilaksanakan sangat tergantung pada jumlah suara yang dihasilkan.
Golput memang merupakan masalah klasik dan universal dalam
kehidupan politik. Pembicaraan tentang ini selalu menjadi berita menarik
menjelang pemilu dinegara manapun. Istilah golput dalam peta politik di
Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1971. Dimana pada saat itu ditujukan
kepada orang-orang yang tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih.
Secara hukum memang “tidak ada” satu kekuatan apapun yang dapat
menghalang-halangi seseorang “untuk bersikap” golput atau “tidak

215
menggunakan” hak pilihnya. Namun untuk menghilangkan golput barangkali
memang perlu dikaji lebih dalam kenapa sampai muncul orang-orang yang tidak
mempergunakan hak pilihnya sebagai wujud dari pada hak kedaulatan yang ada
pada dirinya.
Setidaknya secara umum ada beberapa faktor yang cukup signifikan
mempengaruhinya. Pertama, dengan kesadarannya sendiri memang tidak ingin
mengunakan hak pilihnya disebabkan oleh beberapa kemungkinan, seperti rasa
tidak percaya kepada sistem pemilu yang ada. Bagi masyarakat pelaksanaan
pemilu di Indonesia dinilai masih sekedar pesta yang tidak akan membawa
perubahan apa-apa dalam kehidupan politik selanjutnya. Kedua,
ketidakpercayaan kepada kontestan (partai poltik). Mereka menganggap bahwa
tidak ada figur yang dapat dihandalkan dan dapat mewakili aspirasi mereka. Ini
dibuktikan dengan beberapa kali penyelenggaraan pemilu. Para pemimpin dan
para wakil rakyat yang dihasilkan tidak dapat berfungsi mengemban aspirasi
politik mereka. Kondisi kehidupan politik yang lebih baik setelah adanya
pelaksanaan pemilu ternyata tidak berlangsung ditengah kehidupan masyarakat.
Malah yang muncul justru konflik yang berkepanjangan antara elite politik atau
parpol pemenang pemilu.
Melihat kondisi seperti itu maka jelas rakyat akan merasa semakin
kecewa. Sehingga akhirnya mereka tidak lagi percaya dengan elite politik dan
partai politik yang ada. Masyarakat merasa elite politik belum mampu membawa
makna yang cukup berarti dalam menyalurkan aspirasinya. Ini masih ditambah
dengan tidak seriusnya wakil rakyat dalam sidang-sidang dalam membahas
agenda penting bangsa. Akibatnya membuat dewan selalu lamban dalam
merespon suatu masalah. Dari kondisi ini, mereka menganggap bahwa
pelaksanaan pemilu tidak ada gunanya. Dan hanya akan membuang energi dan
waktu saja.
Jika kita perhatikan perhelatan pemilu tahun 1999. Antusias masyarakat
untuk ikut pemilu masih cukup besar. Sebab pada saat itu Indonesia memang

216
butuh sosok pimpinan nasional dan wakil rakyat yang mampu membawa
perubahan kearah yang lebih baik. Karena selama 32 tahun kita hidup dibawah
pemerintah Orde Baru, pelaksanaan pemilu tidak berjalan secara demokratis.
Para pemimpin dan wakil rakyat yang dihasilkan dari pemilu tidak sesuai dengan
harapan masyarakat. Mereka yang duduk di DPR dihasilkan dengan mekanisme
KKN. Untuk itu harapan akan adanya perubahan dalam menghasilkan wakil
rakyat yang lebih baik digantungkan pada pemilu tahun 1999. Namun harapan
itu masih sebatas angan belaka. Buktinya wakil rakyat masih tetap berprilaku
tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Melihat kenyataan ini, sepertinya masyarakat semakin “trauma” dengan
“janji gombal” partai politik peserta pemilu. Betapa tidak, pemilu 1999 yang
diikuti oleh multipartai dan “katanya” dilaksanakan paling demokratis dari
pemilu-pemilu sebelumnya, tetapi masih melahirkan para pemimpin dan wakil
rakyat yang haus akan jabatan dan kekuasaan. Lihatlah contohnya, para elite
politik negeri ini sering bertengkar untuk mempertahankan kedudukan. Mereka
masih berlomba-lomba dengan retrorika omong kosong atas “nama rakyat”.
Pendek kata, segala tindak tanduk para elite politik masih cenderung
mementingkan kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Bukan kepentingan
masyarakat banyak. Dan parahnya para elite politik tersebut banyak yang
tersangkut perkara korupsi.
Akhirnya rakyat berkesimpulan bahwa pelaksanaan pemilu sekarang ini
tidak akan mempunyai arti penting bagi mereka. Dan ujung-ujungnya rakyat akan
bersikap “skeptis dan apatis” untuk tidak menentukan hak pilihnya. Mereka
menganggap bahwa mengikuti pemilu atau memilih salah satu partai politik
dianggap bukanlah solusi yang tepat untuk menciptakan situasi dalam kehidupan
politik yang lebih baik. Artinya pelaksanaan pemilu tidak ada manfaat bagi
dirinya. Dan siapapun yang menang dalam pemilu tidak membawa konsekwensi
logis dalam aktifitas kehidupan nyata.

217
Keputusan seseorang untuk menjadi golput pada dasarnya diambil
setelah mengkaji berbagai alasan yang ada. Bagi masyarakat buat apa memilih
jika partai politik tidak memberikan kepuasan. Dan buat apa menyalurkan hak
pilih bila pemilu dinilai tidak bermakna bagi mereka. Artinya kekuatan politik di
DPR tidak bisa mewakili aspirasi mereka. Alasan ini seharusnya dapat dijadikan
suatu pemikiran oleh wakil rakyat atau elite politik agar kedepannya tidak
berbuat mengecewakan rakyat. Masalahnya sekarang adalah! Bagaimana para
elite politik negeri ini “mampu” menyakinkan masyarakat bahwa lembaga
perwakilan rakyat bisa berperan secara jujur dan wajar dalam “upaya
menyuarakan kepentingan rakyat”.
Dari itu kalau kita ingin menciptakan kehidupan politik yang demokratis
maka adalah tanggung jawab kita terutama penguasa negeri ini untuk
memberikan pendidikan politik yang lebih baik kepada masyarakat. Kegagalan
Indonesia dalam membangun pendidikan politik jelas merupakan kegagalan dari
elite politik dalam menyuarakan aspirsi rakyat. Untuk itu, pendidikan politik ini
dapat diberikan dengan mengemban amanat rakyat dan tidak menggorban
perasaan rakyat. Sehingga nantinya dapat ditekan jumlah golput sebagai wujud
pertanggung-jawaban masyarakat kepada sistem politik yang ada untuk ikut
ambil bagian dalam proses pemilu. Karena bagaimanapun Pemilu merupakan
bagian yang terpenting dari kehidupan politik dinegara Indonesia. Adalah
kewajiban kita untuk mengamalkannya. Karena dengan pemilu tersebutlah kita
dapat menentukan arah, cita-cita dan masa depan bangsa ini untuk melangkah
menuju hari esok yang penuh tantangan. Semoga..***

218
5
Janji Kampanye Untuk Rakyat

Media Indonesia, 6 Maret 2004

Mulai 11 Maret kampanye pemilu insya Allah di gelar. Sebagai bagian dari
kegiatan pemilu, kampanye memang menjadi persoalan yang sangat penting
untuk di laksanakan. Hal ini mengingat bahwa, kampanye adalah salah satu
sarana untuk menarik simpati rakyat dengan cara mentransfer pesan-pesan
politik. Sejatinya, pada saat itulah peserta kampanye dari masing-masing partai
politik akan melancarkan berbagai strategi untuk menawarkan programnya
kepada rakyat. Dan pada akhirnya rakyat akan memilih partai politik tersebut.
Sehingga nantinya akan bisa menambah perolehan suara bagi partai tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kampanye pemilu bertujuan untuk;
Pertama, sebagai forum pembeberan program dan kebijaksanaan organisasi
peserta pemilu. Kedua, sebagai forum untuk pendidikan politik rakyat. Ketiga,
sebagai pesta demokrasi. Ketiga tujuan tersebut sangat signifikan pengaruhnya
dalam membangun kehidupan politik yang lebih demokratis. Disamping itu,
kampanye seperti yang termaktub dalam Pasal 2 dan 3 Surat Keputusan (SK)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 701 adalah kegiatan parpol dan/atau calon
anggota DPR/DPRD untuk meyakinkan pemilih yang bukan anggotanya untuk

219
mendapatkan dukungan sebesar-besarnya. Dukungan itu tentu saja dapat
diperoleh dengan menawarkan program partai politik melalui media massa,
ruang terbuka atau gedung pertemuan pada waktu yang telah ditetapkan oleh
KPU. SK 701 tersebut adalah petunjuk pelaksana (juklak) yang dibuat KPU untuk
menjabarkan ketentuan Undang-Undang (UU) No 12/2003 tentang Pemilu
Legislatif
Lalu apakah manfaat kampanye tersebut bagi rakyat? Pertanyaan diatas
agaknya perlu direnungkan oleh elite partai yang ada. Sebab selama ini kalau kita
mau jujur, tema atau pesan-pesan yang ditawarkan dalam kampanye cenderung
hanya mengumbar janji-janji manis dimulut saja. Pesan-pesan manis yang
disampaikan saat kampanye hampir terlewatkan begitu saja setelah elite partai
menduduki kursi kekuasaan.
Biasanya janji-janji yang disampaikan dalam kampanye hampir selalu
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang muncul ditengah kehidupan rakyat.
Semuanya bertujuan untuk memperbaiki kwalitas hidup rakyat. Misalnya;
Pertama, masalah kemiskinan yaitu bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat
kecil agar tidak semakin terpuruk kedalam kehidupan yang tidak menentu.
Kedua, masalah penegakan hukum yaitu bagaimana memberantas korupsi, kolusi
dan nepotisme. Ketiga, masalah pendidikan yaitu bagaimana meringankan biaya
pendidikan bagi rakyat.
Namun setelah mereka para politisi dari elite partai tersebut menduduki
suatu jabatan baik di lembaga eksekutif ataupun di legislatif mereka seolah-olah
lupa akan janji-janji kampanye yang diteriakkan. Pendeknya, janji-janji dalam
kampanye pemilu hanyalah omong kosong berupa retrorika belaka. Janji-janji
tersebut tidak di wujudkan dalam membangun kehidupan rakyat, bangsa dan
negara secara konseptual dan terarah.
Karena itu, tidak heran dalam setiap pesta pemilu kesan yang dapat kita
tarik adalah bahwa semua partai politik pada saat kampanye hanya siap untuk
menang demi suatu kekuasaan. Kampanye hanya menjadi acara seremonial

220
belaka. Lihatlah, juru kampanye (jurkam) hanya mengobral janji manis saja.
Padahal janji-janji pada saat pemilu terdahulu belum dipenuhi. Dan tidak salah
banyak rakyat menilai bahwa kampanye hanya menjadi ajang bagi elite partai
untuk memperoleh kemenanggan, tanpa mau memperhatikan bagaimana
memberikan pendidikan politik bagi rakyatnya dalam proses kehidupan politik
selanjutnya.
Bertolak dari keadaan diatas dan agar kampanye pemilu mempunyai
makna bagi rakyat. Maka kepada para jurkam harus memberikan kedewasaan
politik bagi rakyat. Kecemasan rakyat dimasa-masa terdahulu tidak boleh
dianggap enteng. Para jurkam harus mencermati setiap program yang
ditawarkan kepada rakyat. Jangan lagi program yang ditawarkan tersebut hanya
berupa janji manis saja. Kampanye dengan janji-janji muluk sudah bukan saatnya
lagi. Karena rakyat sudah bosan dengan pengalaman pahit pada saat kampanye
sebelumnya. Dari itu, janji-janji yang disampaikan pada saat kampanye
hendaknya di realisasikan dalam kehidupan sosial politik selanjutnya.
Meski demikian, rakyat sebagai pemilih hendaknya pada saat pemilu
calon legislatif dan pemilu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden nanti harus
memilih partai dan elite partai yang punya track record yang tidak diragukan. Jika
partai dan elite partai yang menawarkan program pada saat kampanye
mempunyai track record yang jelek, anggap saja isu kampanye yang ditawarkan
sebagai komoditas politik yang sudah basi tanpa makna. Kita sebagai rakyat jelas
tidak boleh terjebak dalam situasi sulit ini. Kita harus mencermati secara
rasional. Kalau kita terjebak jelas nantinya rakyat secara keseluruhan tidak akan
bisa berharap banyak kepada elite partai tersebut untuk bisa memperjuangkan
aspirasi rakyat.
Sebagai rakyat pecinta kehidupan yang lebih baik, kita tentu berharap
agar para elite partai mau menyadari posisi mereka untuk membangun Indonesia
yang lebih baik. Elite partai yang telah dipilih oleh rakyat, nantinya agar benar-
benar dapat konsisten menepati janji-janji kampanyenya. Janji-janji tersebut

221
harus diujudkan dalam kehidupan nyata. Sehingga kedepannya dapat dibangun
sebuah kehidupan politik, ekonomi dan hukum yang lebih demokratis. Untuk itu,
kearifan dan keteladanan serta kejujuran untuk menepati janji kampanye oleh
elite partai setelah dipilih akan menjadi kunci utama sukses tidaknya
pelaksanaan pemilu dalam menyambut suatu pemerintahan yang ligitimate.
Kalau janji kampanye tidak diujudkan sudah pasti keadaan bangsa ini
tidak akan pernah berakhir dari penderitaan yang berkepanjangan. Jadi apapun
bentuknya program kampanye yang ditawarkan oleh partai politik. Yang jelas,
kampanye pemilu 2004 harus memiliki arti penting bagi rakyat sebagai pemilih
dimasa depan.
Sekali lagi, para elite partai harus berniat untuk menjadikan kampanye
sebagai sebuah forum pendewasaan dan pendidikan politik rakyat. Dari itu janji-
janji kampanye harus dilaksankan. Sebab rakyat sudah muak dengan segala janji
manis selama ini. Masyarakat tidak ingin lagi mendengar janji-janji manis.
Masyarakat hanya menginginkan para elite partai jika sudah duduk dalam suatu
jabatan baik di eksekutif atau legislatif supaya bisa bekerja sebaik-baiknya dalam
mengemban amanat rakyat. Sehingga nantinya akan tumbuh kepercayaan rakyat
terhadap penyelenggara pemerintah. Jika kepercayaan rakyat dapat di
tumbuhkan, maka apapun program yang diagendakan oleh pemerintah pasti
akan didukung oleh rakyat.**

222
6
Kampanye dan Komunikasi Politik

Harian Jakarta, 1 Juni 2004

Tahapan kampanye merupakan salah satu kegiatan penting sebelum


pelaksanaan pemilu Presiden dilakukan. Begitu pentingnya ritual kampanye
tesebut, maka di sediakanlah waktu yang khusus untuk menggelarnya. Dengan
demikian akan ada kesempatan bagi calon Presiden atau juru kampanye (jurkam)
untuk “menjual” program, visi dan misi-nya kepada rakyat sebagai calon pemilih.
Sehingga nantinya akan dapat mendongkrak perolehan suara pada saat pemilu.
Ada enam pasangan yang nantinya akan berlaga pada pemilu Presiden
dan Wakil Presiden 5 Juli nanti. Sukses tidaknya masing-masing pasangan
tersebut untuk meraih pendukung sebanyak mungkin jelas sangat tergantung
pada kemampuan mereka meraih dukungan masyarakat sebanyak mungkin
melalui ajang kampanye. Karena, hakekat kampanye yang sesungguhnya
merupakan suatu seni dalam meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Dukungan
publik tersebut akan muncul ketika program, visi dan misi yang ditawarkan dapat
di mengerti, diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Agar dukungan tersebut dapat diraih. Maka, hendaklah para Calon
Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) beserta tim sukses

223
kampanyenya menawarkan program, visi dan misi yang benar-benar bisa
membuat masyarakat yakin. Misalnya, ketika program pemberantasan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) di kemukakan, para kandidat Presiden dan Wakil
Presiden atau tim kampanye harus menjelaskan juga kepada masyarakat
bagaimana konkritnya memberantas KKN tersebut. Demikian juga dengan
masalah disintegrasi bangsa yang sudah tercabik-cabik saat ini. Mereka para
kandidat dan tim sukses kampanye Presiden harus menjelaskan kepada
masyarakat bagaimana mengatasi semua itu dengan visi dan misi yang
ditawarkan. Oleh karena itu, capres dan cawapres yang akan bersaing nanti
harus lebih jelas dan terbuka menjelaskan program, visi dan misinya dalam upaya
membangun Indonesia yang lebih baik.
Dengan demikian program yang ditawarkan tidak terkesan sebagai isu-isu
lama yang semuanya hanya diucapkan saat kampanye saja, tanpa ada tindak
lanjut setelah mereka terpilih. Masyarakat sekarang sudah tidak bisa lagi
menerima isu-isu kampanye yang hanya menawarkan program saja melalui
panggung-panggung kampanye atau iklan-iklan televisi tanpa jelas ukuran dan
metode apa yang akan dipakai dalam melaksanakan semua visi dan misi. Dari itu,
capres dan cawapres beserta tim sukses kampanye harus berupaya untuk
menyakinkan publik dengan menawarkan program yang benar-benar dapat
dimengerti dan dipahami oleh calon pemilih.
Untuk itu, pelaksanaan kampanye harus dilakukan dengan
mengedepankan komunikasi politik yang santun. Komunikasi politik yang santun
ini menjadi penting dan sangat bermanfaat kalau dilakukan oleh para capres dan
cawapres beserta tim sukses kampanyenya. Para komunikator politik harus bisa
melihat dengan cermat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Mereka
harus bisa membaca apa keinginan masyarakat yang sebenarnya. Apa masalah
dasar yang dihadapi masyarakat dalam kehidupannya, misalnya masalah
kenaikan harga-harga kebutuhan pokok atau mungkin tingginya biaya
pendidikan. Isu-isu seperti ini hendaknya menjadi prioritas utama bagi kandidat

224
Presiden bersama dengan tim suksesnya. Jangan lagi program, visi dan misi yang
ditawarkan hanya di ucapkan melalui panggung-panggung kampanye atau
melalui iklan-iklan televisi. Tapi capres dan cawapres hendaknya langsung turun
ketengah masyarakat dengan berusaha memahami segala permasalahan yang
ada dalam masyarakat.
Dengan berjalannya komunikasi politik yang baik antara calon Presiden
dengan masyarakat, para calon pemilih akahirnya makin memahami program,
visi dan misi para kandidat capres dan cawapres. Sehingga masyarakat akan
semakin yakin dengan pilihannya. Sejatinya, suatu program, visi dan misi yang
ditawarkan akan dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat apabila
komuniksi politik antara kandidat Presiden dengan masyarakat sebagai
konstituantenya berhasil dilakukan. Jangan lagi program yang ditawarkan
bersifat rayuan dan janji gombal semata diatas panggung kampanye. Ini
bukanlah cara komunikasi politik yang baik. Karena masyarakat kita sudah muak
dan bosan dengan cara-cara seperi itu.
Kita semua tentu mengharapkan peluang-peluang kampanye dengan
menampilkan komunikasi politik yang santun dapat terujudkan. Sehingga
gambaran makro dari reaksi publik terhadap keinginan akan adanya perubahan
dalam kehidupan masyarakat akan dapat dipenuhi oleh kandidat capres dan
cawapres jika terpilih nanti. Untuk itu, kepada capres dan cawapres beserta tim
sukses kampanyenya hendaknya selalu menawarkan program-programnya yang
mengandung pesan-pesan nyata akan perbaikan kehidupan masyarakat, bukan
janji-janji gombal yang selama ini ditancapkan. Dan nantinya masa pendukung
bertambah yakin akan pilihannya. Peranan tim sukses kampanye jelas akan
berpengaruh dalam menjaring masa pemilih. Karena capres dan cawapres tidak
akan mungkin bisa menjangkau para khalayak secara keseluruhan yang terdapat
diberbagai daerah.
Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah kepada pihak-pihak yang
nantinya kalah dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden hendaknya harus

225
legowo menerima kekalahan. Hal ini harus di tegaskan. Bila semua elemen
bangsa ini mau menyadari itu Maka kita percaya seluruh proses pemilu akan
berlangsung dengan sukses tanpa cacat. Dan ini akan dicatat dalam sejarah
perpolitikan Indonesia.
Kampanye pemilihan Presiden memang selalu menjadi agenda penting
dalam setiap pesta pemilu di negara manapun. Hal ini di karena kegiatan
kampanye memiliki makna dan ciri khas tersendiri untuk mempengaruhi masa
pendukung agar memilih calon atau kandidat dari figur-figur yang di jagokan
untuk tampil menjadi Presiden. Di Indonesia, meskipun baru untuk pertama
kalinya kita menyelenggarakan kampanye Presiden. Kita tentu berharap bahwa
kampanye perdana ini akan dapat menghasilkan sosok pemimpin yang dicintai
rakyatnya. Bukan lagi sosok pemimpin yang otoriter seperti zaman orde baru.
Atau sosok pemimpin yang tidak mampu menyelesaikan persoalan bangsa
seperti pemerintah zaman transisi setelah Presiden Soeharto jatuh.
Sebagai masyarakat yang mencintai kehidupan masa depan yang lebih baik. Kita
tentu tidak boleh terjebak dalam situasi kampanye tanpa makna. Kampanye
pemilu Presiden harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Karena
melaksanakan kampanye dengan baik berarti kita akan dapat memberikan
pendidikan politik bagi masyarakat. Kalau kita terjebak dengan kampanye tanpa
makna sudah pasti apa yang kita harapkan akan datangnya suatu perubahan
yaitu tersalurnya aspirasi kita melalui orang-orang yang kita pilih tidak akan
pernah terujud. Kita semua tentu tidak menginginkan hal itu bukan? Semoga
melalui ajang kampanye ini kita benar-benar dapat menemukan sosok pemimpin
yang berwibawa, tegas, jujur dan punya integritas moral yang tidak diragukan
lagi. ***

226
7
Menaati Aturan Berkampanye

Suara Karya, 29 Maret 2004

Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) telah menerima berbagai macam pengaduan


terkait dengan kasus pelanggaran kampanye. Bentuk pelanggaran yang terjadi terdiri-
dari berbagai macam jenis, misalnya, kasus pelanggaran kampanye yang melibatkan
anak-anak di bawah umur, menggunakan fasilitas negara, melanggar rambu-rambu lalu
lintas, tidak menggunakan helm, membawa senjata tajam, melakukan praktik politik
uang (money politics), memasang bendera atau atribut partai politik di tempat-tempat
terlarang dan yang tidak kalah pentingnya para pejabat negara yang masih aktif pun juga
turut meramaikan pelanggaran tersebut, seperti tidak mengantongi surat cuti -
sebagaimana yang disyaratkan. Mencermati fenomena ini, maka secara kualitas
penyelenggaraan kampanye tersebut telah menciptakan suatu preseden buruk dalam
perkembangan kehidupan demokrasi di tengah rakyat. Kehidupan demokrasi yang
diidam-idamkan dalam masa kampanye ternyata belum ditampilkan secara benar.
Padahal melaksanakan kampanye secara tertib dan damai yang jauh dari segala macam
pelanggaran adalah sesuatu yang diinginkan oleh khalayak rakyat.
Untuk itulah, agar sisa pelaksanaan kampanye ini dapat berjalan dengan tertib,
maka pihak terkait harus memberikan sanksi yang tegas kepada partai politik yang

227
melakukan pelanggaran. Sebab, terhindarnya pelaksanaan kampanye dari berbagai
pelanggaran merupakan sesuatu yang harus dikedepankan untuk menumbuhkan iklim
politik yang kondusif di tengah rakyat. Karena tahapan kampanye adalah pesta rakyat,
dan ini harus dilaksanakan secara baik dan benar. Kalau ini tidak dilakukan, maka sudah
sangat jelas dampaknya akan mengganggu kehidupan sosial rakyat. Sebab, tidak
tertutup kemungkinan, pelanggaran tersebut akan berdampak kepada kejadian-kejadian
yang lebih membahayakan.
Jika itu terjadi, maka kampanye akan selalu menjadi pesta yang menakutkan.
Oleh sebab itu, semua peraturan tentang kampanye harus dipatuhi. Kalau tidak, sia-
sialah semua usaha kita untuk menciptakan pemilu yang demokratis dan sukses.
Banyaknya kasus pelanggaran selama kampanye Pemilu 2004 hampir terjadi di
setiap propinsi. Dan, ini hampir dilakukan oleh seluruh partai politik. Fenomena ini
menunjukkan bahwa, ternyata pelaksanaan kampanye di Indonesia belum sepenuhnya
dilakukan secara tertib. Peserta kampanye seolah-olah tidak mau mematuhi peraturan
atau undang-undang yang berlaku.
Menurut catatan Mabes Polri, baru-baru ini, sedikitnya 286 kasus pelanggaran
hukum terjadi di seluruh Indonesia pada masa kampanye. Jenis pelanggaran tersebut,
antara lain mencakup: berkampanye tanpa pemberitahuan tercatat sebanyak 42 kasus,
tindakan merusak gambar tercatat 31 kasus, 26 kasus menyimpang dari pemberitahuan,
24 kasus pelanggaran juru kampanye, 21 kasus merusak alat peraga, seperti
pemancangan tiang-tiang bendera di jalan-jalan; penganiayaan masa kampanye tercatat
22 kasus dan penggunaan senjata tajam tercatat 27 kasus serta 42 kasus lainnya.
Sementara pelanggaran lalu lintas sendiri mencapai 1.430 kasus. Dari jumlah itu 645
telah ditilang, 725 ditegur, kendaraan yang disita dari mobil dan motor mencapai 60
buah. (Koran Tempo, 13 Maret 2004). Pelanggaran-pelanggaran kampanye tersebut
sudah barang tentu patut disayangkan dan dikecam. Apalagi, UU yang ada sudah
mensyaratkan soal aturan berkampanye dengan baik. Paling tidak, pengaturan soal
kampanye ini dilakukan agar pelanggaran kampanye bisa diminimalisir. Aturan tersebut,
misalnya, UU Pemilu No 12/2003 ditambah dengan aturan kampanye menurut SK
701/2003 yang ditetapkan oleh KPU. Bahkan kedua aturan itu telah memuat sanksi yang
lengkap. Namun demikian, partai politik belum menyadari hal ini sepenuhnya. Buktinya,
selengkap apa pun peraturan yang ada, partai politik tetap saja melakukan pelanggaran

228
selama kampanye. Gejala pelanggaran kampanye juga terlihat adanya indikasi buruk dari
pimpinan partai politik untuk memberikan contoh tauladan bagi massanya dalam
menciptakan kampanye tertib dan damai. Pimpinan partai kelihatannya masih kurang
serius terhadap kesepakatan yang telah disahkan. Singkatnya, pinpinan partai politik
seolah-olah tidak menunjukkan suatu itikad baik untuk memberikan pendidikan politik
bagi rakyat. Padahal, seharusnya pimpinan partai dapat memberikan contoh yang baik
kepada rakyat dengan cara mengajak massanya untuk tidak melakukan pelanggaran saat
kampanye. Pimpinan partai hendaknya memberikan contoh berkampanye yang sehat.
Dan, sudah seharusnya masalah ini harus disadari oleh ketua partai atau simpatisan
partai secara sungguh-sungguh. Sebab, kampanye yang dihiasi dengan pelanggaran atau
menyalahi aturan, akan berdampak negatif terhadap partainya. Karena itu nantinya,
sudah pasti rakyat sebagai pemilih tidak akan mau memilih partai yang penuh dengan
pelanggaran. Dan, akhirnya akan berpengaruh terhadap perolehan suara.

Keterlibatan Anak-anak
Banyaknya anak-anak yang diikutsertakan dalam kegiatan kampanye juga
membuat sedih berbagai kalangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir
seluruh partai peserta kampanye masih melibatkan anak-anak dalam kegiatan
kampanyenya. Padahal kalau kita lihat dalam UU No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, khususnya Pasal 87 sudah sangat jelas disebutkan bahwa
"penyalahgunaan anak dalam kegiatan atau peristiwa politik dapat di pidana dengan
hukuman penjara paling lama lima (5) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta".
Jika kita cermati UU di atas, maka definisi yang diberikan oleh UU tersebut sudah sangat
jelas melarang anak-anak diikutsertakan dalam kegiatan politik apa pun. Karena, anak-
anak belum dapat dikatakan sebagai pemilih, sebab belum berumur 17 tahun.
Mencermati hal ini, maka pimpinan partai politik harus secara sadar dan bijaksana
untuk mengajak massanya agar tidak mengorbankan anak-anak dalam kegiatan politik
apa pun. Sebab, mereka belum mempunyai hak untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Ini juga dimaksudkan agar kita tidak menunjukkan kepada anak-anak suatu tindakan
kekerasan atau anarkisme. Karena seperti kita ketahui bahwa kampanye pemilu hampir
selalu menunjukkan adu kekuatan antarpendukung partai. Keadaan ini tentu tidak baik
buat perkembangan jiwa anak.

229
Catatan Penutup
Jika kita ingin memberikan suatu kehidupan politik yang demokratis, maka KPU,
Panwaslu, aparat hukum, tokoh partai dan semua pihak hendaknya bisa mencermati hal
ini secara objektif. Aturan-aturan dalam berkampanye harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Meremehkan aturan dengan cara melanggarnya secara terus-menerus
akan berujung pada terciptanya situasi kacau. Dan, akhirnya pemilu yang dilaksanakan
tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa bagi kehidupan sosial politik selanjutnya.
Kita tentu tidak menginginkan hal itu terjadi, bukan? Oleh sebab itu,
kepada seluruh partai politik, marilah kita melakukan kampanye secara baik
dengan mematuhi aturan-aturan yang ada dalam kampanye. Dengan demikian,
pelaksanaan kampanye selanjutnya akan dapat berlangsung dengan tertib, aman
dan damai. Semoga.***

230
BAB PENUTUP

Proses reformasi dalam kancah politik Indonesia telah berjalan sejak 1998
dan telah menghasilkan banyak perubahan penting. Di antaranya adalah
pengurangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi 2 (dua) kali
masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun. Dan sejak tahun
2004 Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat.
Di beberapa daerah diadakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil
kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada. Sebelumnya, kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar
hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada (pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam rezim
pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni
2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi
bernama "pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah". Pilkada pertama
yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Yang tidak kalah penting pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945
mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga
dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Selanjutnya, beberapa Undang-
undangpun lahir sejak era reformasi. Salah satunya adalah Undang-undang tentang
kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik yang mendapatkan tempat sebesar
30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen sebagaimana yang termuat dalam
Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2
tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol). Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10
tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan

231
perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan
parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu.

Perubahan berikutnya, komitmen TNI untuk tidak terlibat dalam politik praktis
mulai diujudkan. Kalaupun ada anggota TNI yang ingin mencalonkan atau dicalonkan
sebagai kandidat Gubernur, Bupati atau Walikota, terlebih dahulu harus pensiun atau
berhenti dari keanggotaan TNI. Dahulu, di bawah rezim orde baru, peran TNI digiring ke
semua sektor, seperti misalnya, menjadi Walikota, Bupati, Gubernur, anggota DPR,
pejabat setingkat Menteri, Duta besar dan lain sebagainya. Ini belum termasuk betapa
banyaknya militer yang bermain dalam berbagai bidang usaha dan bisnis.

Dan yang lebih menarik, era reformasi telah melahirkan deretan partai politik
yang ingin menunjukkan diri sebagai partai yang terbaik. Apalagi waktu itu,
pemerintahan yang berkuasa sejak jatuhnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan
Soeharto yaitu Habibie tidak akan membatasi pembentukan partai politik. Siapa saja
boleh membentuk partai, asalkan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dari munculnya
banyak partai politik yang ikut dalam pemilu, maka muncullah nama-nama yang maju
sebagai calon pemimpin nasional, yang mana pada zaman orde baru hal itu belum
pernah terjadi.

Dari beberapa perubahan-perubahan yang terjadi dalam ranah politik Indonesia


sejak 1998 tersebut, begitu banyak sorotan dan kritikan dalam pelaksanaannya.
Misalnya, dalam pilkada dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu legislatif
begitu banyak kekerasan serta kecurangan yang muncul. Kemudian juga, wakil rakyat
yang dipilih secara langsung juga belum menunjukkan sensitifitas pada rakyat, parahnya
banyak diantara mereka yang terlibat praktik-praktik korupsi.

Disamping itu aksi nyata dari seluruh program yang ditawarkan partai politik
belum sepenuhnya di lakukan. Partai politik yang berhasil menduduki kursi di parlemen
belum memiliki sikap maksimal untuk memberikan program dan aksi yang konkret bagi
kehidupan rakyat yang lebih baik. Lihat saja, masih banyak persoalan-persoalan yang
menghimpit rakyat banyak tidak terjamah oleh partai politik. Misalnya, persoalan
kenaikan harga BBM, penggusuran, penggangguran, demokratisasi, lingkungan hidup,

232
pendidikan, penegakan hukum, penegakan hak asasi manusia (HAM) dan lain
sebagainya.

Di bidang birokrasi masih banyak para birokrat yang belum maksimal melayani
rakyat dengan sungguh-sungguh. Reformasi birokrasi yang dicanangkan masih buram.
Buktinya, birokrasi-pun tidak luput dari aroma korupsi. Dan yang tidak kalah penting,
persoalan kepemimpinan-pun masih menyedihkan. Krisis kepemimpinan hampir terjadi
di semua sektor. Pemimpin yang diharapkan dapat membawa perubahan belum muncul
ditengah-tengah masyarakat. Buktinya, masih banyak masyarakat yang kelaparan, tidak
mendapatkan pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan menghinggapi banyak warga
masyarakat, kejahatan merajalela dimana-mana. Pengangguran masih tinggi. Dan krisis
di bidang ekonomi dan hukum masih belum mau pergi dari bumi Indonesia.

Reformasi yang harusnya menjadi sebuah alternatif yang sangat penting


terhadap proses perbaikan melalui sebuah perubahan tidak terujud, yang terjadi secara
perlahan-lahan ataupun cepat dan tak terbendung adalah evolusi ataupun revolusi yang
cenderung kurang tepat dan terukur.

Lihat saja, dalam kenyataannya, reformasi yang diharapkan bisa merubah apa
yang diinginkan ternyata tidak terujud dalam kehidupan nyata. Kondisi politik, hukum,
ekonomi dan sosial secara umum terjadi kekacauan dimana-mana. Reformasi tidak
mengarahkan masyarakat Indonesia kearah yang lebih baik, namun sebaliknya reformasi
telah mengarahkan masyarakat kearah yang tidak menentu. Gerakan chaos yang liar tak
terkendali dan tanpa rencana muncul dalam banyak kasus.

Penyelewengan-penyelewengan kekuasaan terjadi dimana-mana, saat ini pun


kerap terdengar berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan segelintir
aparat pemerintahan, bentrok antar masayarakat muncul silih berganti seakan sulit
dihentikan. Para elite politik terus saja menciptakan gagasan-gagasan baru dalam
mencari solusi menghapus setiap tindakan penyelewengan-penyelewengan kekuasaan
yang terjadi.

Keadaan tersebut diatas tidak memberikan dampak positif terhadap kondisi


masa kini, padahal seharusnya reformasi merupakan sebuah gerakan yang terencana,

233
sistematis dan terukur serta memiliki parameter yang jelas terhadap perubahan yang
akan di lakukan dan ukuran yang jelas terhadap dampak yang ditimbulkannya. Lalu mau
dibawa kemana Negara kita tercinta ini? Entahlah! Hanya waktu yang bisa menjawab.
Namun sebagai warga Negara kita tentu tetap percaya bahwa suatu saat akan ada
keadaan yang lebih baik dari kondisi sekarang dengan munculnya para penguasa dan
pemimpin negeri ini untuk membawa Indonesia kearah yang lebih baik.

234

Anda mungkin juga menyukai