Anda di halaman 1dari 3

Susilo Bambang Yudhoyono

Salah satu karakter kepemimpinan SBY yang paling dominan adalah the golden middle
way: politik jalan tengah. Desain presidensial yang digabungkan dengan sistem multipartai
memang sebuah kombinasi ganjil, sehingga menuntut SBY melakukan konsensus dan harmoni
Scott Mainwaring (1993) mendeteksi tiga implikasi dari kombinasi sistem presidensial-
multipartai. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen
mengakibatkan deadlock. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang
mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Kedua, dibandingkan dengan sistem dua partai,
sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai
lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensialisme ketimbang parlementer.
Pada titik inilah, konsensus dan kompromi dalam sistem presidensial dengan citarasa
parlemen rentan mengarah pada model kepemimpinan transaksional. Yakni kepemimpinan yang
melibatkan hubungan pemimpin dengan elit politik lainnya maupun elit dengan pemilih yang
dibangun di atas pondasi pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan
balik negatif (Burns 1978).
Lihatlah hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi material,
bukan pertukaran gagasan. Lihat pula hubungan antarelit politik yang didominasi nafsu purba
Laswellian: “who gets what, when, and how.” Gaya politik transaksional bertumpu pada konsesi
politik. Profesionalisme dan meritokrasi tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi barang
mahal karena terlalu banyak pertimbangan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsideran.
Model kepemimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam sistem politik kartel di mana
APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi diperjualbelikan untuk mengikat loyalitas
politik. Rakyat menjadi yatim piatu. Yatim karena pemerintah jarang hadir dalam setiap
permasalahan yang dihadapi publik, tapi begitu sigap menarik pajak. Piatu karena partai-partai
politik hanya menyapa pemilih menjelang pemilu.
Rakyat dihadiahi surplus politisi, tapi defisit negarawan. Politisi-par-excellence yang
bersikap negarawan selalu memikirkan apa yang diwariskan bagi bangsanya ke depan. Politisi-
negarawan berani bertindak tidak populer asalkan berdampak positif bagi rakyatnya. Dalam studi
kepemimpinan, model transaksional selalu dibenturkan dengan kepemimpinan transformasional.
Politisi-negarawan pasti menerapkan model kepemimpinan transformasional yang punya visi
masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Tichy dan Devanna (1990)
menyatakan pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada
level individu dan organisasi. Bass dan Avolio (1994), dalam buku “Improving Organizational
Efectiveness through Transformasional Leadership,” kepemimpinan transformasional dicirikan
oleh “The four I’s (empat huruf ‘I’)”
Pertama, pemimpin transformasional memiliki “idealized influence,” rakyat dibuat
berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama
dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan politik kebohongan.
Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya percaya bahwa para pemimpinnya sedang tidak
bersandiwara.
Kedua, kepemimpinan transformasional mampu menggelorakan “inspirational
motivation,” menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan
harapan menjadi kenyataan. Pemimpin tak hanya mengaum di atas podium dan tak hanya pintar
berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja. Pemimpin yang tak hanya pintar bersolek di depan
kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilukada.
Ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformasional kaya ide-ide baru
dan terobosan. Pemimpin tak sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi hadir dalam setiap
percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak terjebak pada urusan business as
usual dan berpikir out of the box untuk mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut
dalam kompromi politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer. Dimensi terakhir adalah
“individualized consideration,” yang mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya
manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah
dengan rakyatnya.
Elit pemimpin kita tersandera kepemimpinan transaksional. Mereka lebih
mengedepankan konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan kepentingan jangka pendek
dan politik barter untuk mengamankan posisi masing-masing. Saatnya kita memperbaiki jalur
kaderisasi politik kita, menyiapkan supply-side politik yang bertumpu pada azas meritokrasi dan
kompetensi.

1. MENURUT ANDA KEPEMIMPINAN APA YANG DIANUT OLEH BPK.


SUSILO BAMBANG YUDHOYONO BERDASARKAN MATERI YANG ANDA
BACA PADA MATERI PERTEMUAN 13 ?

NB : JELASKAN DENGAN PENDAPAT ANDA SENDIRI.

Anda mungkin juga menyukai