Anda di halaman 1dari 12

LARANGAN RANGKAP JABATAN KETUA UMUM PARPOL DENGAN PEJABAT

NEGARA
PRO
Latar belakang:
Manuel Luis Quezón mantan Presiden Persemakmuran Filipina (1878) pernah
menyatakan “ loyality to party end when loyality to country begins” yang artinya, kesetiaan
kepada partai berakhir ketika kesetiaan kepada negara dimulai.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme memberikan makna istilah “pejabat negara” sebagai
pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dewasa ini dapat disaksikan bahwa banyak sekali pejabat-pejabat negara yang masih
aktif di partai politik dimana mereka bernaung sebelumnya, seperti seorang menteri, anggota
dewan perwakilan rakyat, dan pejabat-pejabat publik lainnya yang merangkap jabatan dengan
jabatan di partai politik. Rangkap jabatan dilihat perspektif apapun (moral, etika, asas-asas
umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik) pada dasarya dilarang. Adanya larangan
ketua partai politik menjadi pejabat negara sudah lama muncul. Pasal 23 UU No. 39 tahun
2008 melarang menteri untuk rangkap jabatan. Selama ini banyak pejabat negara yang juga
merangkap menjadi ketua partai politik misalnya Ketua PPP Suryadarma Ali merangkap
sebagai Menteri Agama dan Ketua PAN Hatta Rajasa merangkap sebagai Menteri Sekretaris
Negara.
Yuridis:
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Fajri Nursyamsi
mengatakan, larangan menteri merangkap jabatan terdapat pada Pasal 23 UU No. 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara. Khusus pada Pasal 23 huruf c disebutkan bahwa, menteri
dilarang rangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD.
Sedangkan apabila melihat Pasal 34 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, salah satu sumber keuangan parpol adalah bantuan
keuangan dari APBN/APBD.
.............................................
 Pada dasarnya Harus dipahami bahwa pejabat negara yang merangkap jabatan di
partai politik dapat menimbulkan berbagai stigma buruk yang akan melekat pada masyarakat
luas.Setidak-tidaknya ada beberapa titik rawan : menimbulkan konflik kepentingan (conflict
of interest), rawan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan rawan terjadi
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pengalaman semasa Orde Baru, di mana tidak ada
transparansi penggunaan fasilitasnegara/publik apakah untuk kepentingan publik atau Partai.
Kondisi seperti ini kembaliterulang pada masa Reformasi. Seorang pejabat publik sekaligus
pemimpin parpol menjadihal yang biasa di Indonesia. Dualisme kepemimpinan ini menjadi
salah satu faktor penyebab rumitnya transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia.
Kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai interaksi antaraindividu dengan anggota
kelompoknya. Kepemimpinan yang rangkap tentunya diharapkan dapat memperkuat
kekuasaan yang diraihnya demi untuk memperbesar kekuasaan itu sendiri. Artinya ketika
Jabatan ketua umum partai politik yang mempunyai kendali penuh terhadap partai dapat
menggunakan kedudukannya sebagai pejabat negara untuk memperkuat kedudukan
partainya
Menurut Miftah Thoha (birokrasi dan politik di Indonesia), selain kurang patut dan
tidak etis, rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau
berkecamuknya konflik kepentingan, seperti layaknya bercampurnya perkara yang hak dan
yang batil. Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindarkan oleh pejabat tersebut,
baik besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika pejabat tersebut melakukan tugas
aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara atau tugas partainya
Beberapa bentuk konflik kepentingan yang sering terjadi dan dihadapi oleh
Penyelenggara Negara salah satunya adalah adanya rangkap jabatan di beberapa lembaga/
instansi/ perusahaan yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung, sejenis atau tidak
sejenis, sehingga menyebabkan pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan
lainnya. (Komisi Pemberantasan Korupsi, Konflik Kepentingan. Halaman 3-4)
Di dalam literatur ilmu politik disebutkan bahwa partai politik merupakan suatu
organisasi sosial yang distinctive, yang tujuan utamanya adalah menempatkan calon-calon
pemimpinnya pada jabatan pemerintahan seperti presiden, menteri, gubernur, bupati dan wali
kota. Syarat minimal dari suatu parpol dilihat dari aspek peranan politiknya adalah
merancang caloncalon pejabat dari partainya untuk menduduki jabatan di dalam
pemerintahan, dan mendulang suara yang mendukungnya.
Menurut Philip Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya, Law and Society in
Transition, Toward Responsive Law, dominasi elit yang menguasai banyak kebijakan
tersebut, Ahli memandang kalau elit partai atau pimpinan partai ada di posisi menteri lalu dia
juga ada diposisi ketua partai, menurut Ahli itu akan terjadi dominasi elit. Yang disebut oleh
Nonet dan Selznick dominasi elit yang menguasai banyak kebijakan tersebut akan
menghasilkan dominasi represif.
Woodrow Wilson misalnya, dalam tulisannya yang berjudul The Study of
Administration, berpendapat bahwa politik dan administrasi seharusnya dipisah, karena
keduanya memiliki tugas yang berbeda.Pemisahan tersebut dimaksudkan agar birokrasi
publik dapat bekerja secara profesional melayani kepentingan umum (public interest) tanpa
dibebani isu-isu politik.
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gungun Heryantoadanya
pemisahan antara jabatan publik dengan jabatan politik dikhawatirkan akan menimbulkan
konflik kepentingan. sedikitnya ada dua konflik kepentingan yang bakal dihadapi seseorang
yang memegang jabatan publik dan politik. Pertama soal  waktu. Dalam konteks ini seorang
pejabat publik, menteri atau presiden, bisa kehilangan fokus kerja ketika masalah partai
berbarengan dengan penyelenggara negara. Kedua menyangkut kepentingan ekonomi.
pejabat publik dari partai politik sering kali tergoda untuk mengkapitalisasi jabatan mereka
untuk kepentingan partai.  Sumber-sumber keuangan di lembaga yang mereka pimpin
dimanfaatkan sedemikian rupa guna menghidupi partai.

KONTRA
Menurut penjelasan pada pasal 40 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 , telah
dijelaskan tentang berbagai larangan dalam partai politik, tetapi tidak ada satu ayat pun yang
menjelaskan mengenai larangan rangkap jabatan. Adapun pembahasan mengenai rangkap
jabatan dijelaskan pada Pasal 2 ayat (1b) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yakni:“Pendiri
dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam
setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara
proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa
partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu, partai merupakan
pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of
institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider
dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Nugroho dalam bukunya Public Policy, menyebutkan bahwa salah satu fungsi partai
politik adalah melakukan rekrutmen calon pemimpin untuk seluruh tingkatan, mulai dari
tingkat desa, bupati dan wali kota, gubernur, hingga presiden. Kepemimpinan bangsa ini
membutuhkan sosok yang memiliki integritas dalam membangun negeri, bukan mereka yang
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Kepemimpinan adalah isu abadi manusia dan
kemanusiaan, karena pemimpinlah yang pada akhirnya akan menentukan apakah sebuah
bangsa menjadi besar atau kerdil
Parpol harus bisa menjadi perantara masyarakat dengan institusi pemerintahan. Oleh
sebab itu, parpol harus terorganisir secara demokratis, memiliki akar yang kuat dalam
masyarakat sehingga mampu mereka rnenularkan demokrasi kepada masyarakat. parpol pada
dasarnya merupakan produsen pemimpin politik. Jadi secara geneologi, parpol memang
diplot sebagai salah satu bidan sekaligus rahim politik bagi kelahiran sang pemimpin.
PENGHAPUSAN FRASA “MEMPUNYAI WEWENANG LAINNYA YANG
DIBERIKAN OLEH UU” DALAM PASAL 24 A AYAT (1) UUD NRI TAHUN 1945
PRO
Pasal 24A UUD 1945 menyatakan bahwa wewenang Mahkamah Agung termasuk
untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
undang-undang.
Wewenang Mahkamah Agung lain tersebut salah satunya diberikan oleh Undang-
undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.
12/2011). Menurut UU No. 12/2011, peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Selain ketujuh instrumen hukum tersebut, UU No.
12/2011 lebih lanjut menyatakan bahwa instrumen lain yang diterima sebagai peraturan
perundang-undangan adalah peraturan yang ditetapkan oleh lembaga lain, termasuk
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana dirubah
dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 dan Undang-undang No. 3 tahun 2009 (UU MA)
menerangkan lebih lanjut mengenai wewenang Mahkamah Agung, termasuk dalam
pembentukan peraturan. Mahkamah Agung diberikan wewenang antara lain untuk meminta
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan
peradilan dan juga untuk memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu
kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Landasan-landasan hukum di ataslah yang digunakan oleh Mahkamah Agung sebagai
dasar bagi mereka dalam mengeluarkan berbagai produk hukum dalam bentuk Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Fatwa Mahkamah
Agung dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA).
Pada prakteknya, dalam pelaksanaan fungsi pengaturannya, Mahkamah Agung telah
melebihi batasan kekuasan mereka sebagai badan yudisial dan merambah ke pelaksanaan
fungsi legislatif. Menurut Alexander Hamilton dalam Federalist Paper 78 kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang paling “netral” dalam pengertian bahwa sesuai dengan
sifat dan fungsinya kekuasaan yudikatif berbeda dengan kekuasaan eksekutif yang memegang
kekuasaan pelaksana negara da cabang legislatif yang memegang kekuasaan penggunaan
keuangan negara dan menentukan Undang-Undang yang berlaku, maka kekuasaan yudikatif
tidak memegang salah satu pun dari kekuasaan tersebut (Thalib, 2006).
Keberadaan frasa “wewenang lainnya yang diberikan oleh UU telah menimbulkan
potensi kesewenang-wenangan dan melanggar prinsip supremasi konstitusi mengingat
peraturan tersebut tidak dapat menjadi objek pengujian di pengadilan. Tentu tidak mungkin
MA akan mengadili permohonan judicial review pengujian Peraturan MA apabila diajukan
oleh warga negara mengingat MA pula yang membentuk Peraturan MA tersebut. Selain MK
dan MA maka terdapat beberapa lembaga negara yang dari segi fungsi dan kewenangan yang
diberikan oleh UUD 1945 sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk membentuk
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan berlaku keluar. Diantara lembaga
negara yang dimaksud tersebut adalah MPR, DPR (sebatas membentuk UU dengan
persetujuan Presiden), DPD (hanya sebatas mengajukan rancangan undang-undang kepada
DPR), dan BPK yang hanya berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam
(Soeprapto, 2007).

KONTRA
Indonesia sebagai negara hukum yang hendak mewujudkannya dengan penegakan
hukum melalui lembaga peradilan yang mana Mahkamah Agung (MA) sebagai puncak
peradilan diharapkan bisa mewujudkan supremasi hukum. Bertolak pada hal tersebut, maka
subtansi pokok kekuasaan kehakiman itu telah beberapa kali dilakukan perubahan yakni,
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dan kemudian diberlakukannya Undang-undang Nomor. 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman.
             Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
tertinggi itu pun, kemudian telah dilakukan perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, dan terakhir diberlakukan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Sebagaimana
pengaturannyadijelaskan pada pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yakni “ Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh Undang-Undang”.
   Pemberian frasa mempunyai wewenang lainya yang diberikan oleh UU merupakan
langkah-langkah dalam mewujudkan supremasi hukum dengan pembentukan substansi
hukum, pembentukan struktur hukum, pengembangan sumber daya manusia di bidang
hukum, dan pengembangan budaya hukum. Ini selaras dengan teori sistem hukum dari
Lawrence Freidman yang menjabarkan bahwa sistem hukum, terdiri dari struktur hukum,
substansi hukum, dan budaya hukum.  Menurut Freidman Pertama-tama sistem hukum
mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah
dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu
lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan antara aspek sistem yang berada di
sini kemarin ( atau bahkan pada abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka
panjang. Inilah struktur sistem hukum yang merupakan kerangka atau rangkanya, bagian
yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan.
Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yaitu aturan, norma, dan pola prilaku
nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan
oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu. Keputusan yang mereka keluarkan, aturan
baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada hukum hukum yang hidup (Living
law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books). Komponen ketiga dari
sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum
– kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah
suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari atau disalah gunakan. Ketiga unsur ini sebagai suatu sistem mempunyai hubungan
yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur.
WEWENANG DPR DALAM MEMBERIKAN PERSETUJUAN ATAU
PERTIMBANGAN DALAM PENGANGKATAN PEJABAT PUBLIK

Latar Belakang
 Sebelum Perubahan UUD NRI Tahun 1945, tidak ditemukan satu pasal pun yang
mengatur kekuasaan DPR RI dalam pengisian pejabat negara. Hal ini disebabkan karena
desain ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan menempatkan
kekuasaan legislatif yang lemah dibandingkan kekuasaan eksekutif yang kuat dan besar.
Menurut Denny Indrayana (Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran ,
hlm.152) menyebutkan desain yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan
menempatkan posisi eksekutif (Presiden), pada posisi yang sangat kuat (executive heavy),
tanpa menyertakan kontrol konstitusional yang memadai. Berangkat dari dominasi
eksekutif dalam penyelenggaran ketatanegaraan Indonesia dan lemahnya lembaga
perwakilan rakyat, maka ketika terjadi Perubahan UUD NRI Tahun 1945, membawa
semangat untuk memperkuat derajat kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum
(nomokrasi). Salah satu bentuk konkretnya adalah dalam bentuk keterlibatan DPR dalam
pengisian pejabat negara.
 UUD 1945 mengenal 3 (tiga) bentuk pengangkatan pejabat publik yang melibatkan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni melalui Pertimbangan, Persetujuan, dan
Pemilihan yang diantaranya dapat dilihat pada ketentuan di bawah ini;
a) Pengangkatan pejabat publik dengan mekanisme pertimbangan terdapat dalam Pasal
13 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal mengangkat duta,
Presiden memperhatikan pertimbangan DewanPerwakilan Rakyat.”;
b) Pengangkatan pejabat publik dengan mekanisme pemilihan terdapat dalam Pasal 23F
ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah dan diresmikan oleh Presiden”.;
c) Pengangkatan pejabat publik dengan mekanisme persetujuan terdapat dalam Pasal
24A ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Calon hakim agung diusulkan
Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan
dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”;
 Kekuasaan tersebut semakin meluas tidak hanya terhadap pejabat-pejabat negara
sebagaimana disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, tetapi juga terhadap pejabat-
pejabat negara yang disebutkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti
Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri), Gubernur Bank Indonesia, KPU, Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Badan
Intelejen Negara (BIN), anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia, anggota Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lain-lain.

PRO
 Bagir Manan (Teori dan Politik Konstitusi, hlm.67) : Dalam negara hukum yang
demokratis sejatinya tidak boleh ada jabatan yang tidak dapat diawasi dan
dipertanggungjawabkan. Salah satu bentuk pengawasan dan pertanggungjawaban
terhadap rakyat yang berdaulat (baik langsung maupun tidak langsung) adalah dimulai
semenjak proses pengangkatannya. Oleh karena itu hal ini menegaskan keterlibatan DPR
dalam pengisian pejabat negara dilihat dari sudut pandang kedaulatan rakyat adalah tepat.
 Jimly Asshiddiqie (Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
hlm.163) : Kekuasaan DPR dalam pengisian pejabat negara merupakan salah satu tugas
DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan, yakni pengawasan dalam pengisian pejabat
publik (control of political appointment of public official) yang artinya pengisian pejabat
publik tidak boleh lepas dari pengawasan dan kontrol publik yang terjelmakan dalam
lembaga perwakilan rakyat dalam menjalankan right to confirm.
 Bentuk kewenangan yang diberikan kepada DPR terkait pengangkatan pejabat publik
sendiri dibagi menjadi 2 yakni
a. memberikan persetujuan. Dalam konteks ini maka dimaknainya pembenaran atau
perkenan DPR terhadap calon pejabat negara yang diajukan oleh Presiden atau
lembaga negara lainnya untuk dapat menduduki jabatan yang dituju. Pemberian
persetujuan menunjukkan posisi DPR sebagai lembaga yang lebih tinggi dari lembaga
yang meminta persetujuan karena dapat saja DPR tidak memberikan persetujuan yang
mengikat secara hukum sehingga calon pejabat tersebut tidak dapat diangkat menjadi
pejabat.
b. memberikan pertimbangan. Dalam konsep kekuasaan DPR dalam pengisian pejabat
publik dalam bentuk memberikan pertimbangan artinya menyerahkan suatu pendapat
atau penilaian mengenai baik atau buruk bila seseorang yang diajukan ditempatkan
sebagai pemangku jabatan pada lembaga negara tertentu. Karena merupakan
pemberian pertimbangan, maka secara hukum tidak memiliki daya ikat. Artinya pihak
yang akan mengangkat pejabat tersebut (dalam hal ini eksekutif), punya kebebasan
apakah akan menggunakan pertimbangan tersebut atau tidak.
 Dalam upaya reformasi untuk memperkuat kedaulatan rakyat melalui penegasan
pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances dikonkretisasi dalam bentuk
keterlibatan DPR dalam pengisian pejabat publik. Dalam konsep checks and balances ini,
menurut Ismail Sunny sebagaimana dikutip oleh Fachruddin (Pengawasan Peradilan
Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, hlm. 143) menyebutkan salah satu karakter
utama berjalannya prinsip check and balances ini adalah “apakah eksekutif atau legislatif
mengontrol atau mempengaruhi eksekutif atau legislatif?”. Sementara itu Goffrey
Marshal dalam Jazim Hamidi (Teori dan Politik Hukum Tata Negara, hlm.52) menyebut
“the checking and balancing of the branch of the government of the actions of another”.
Karakter mengontrol dan mempengaruhi kekuasaan eksekutif dan legislatif dapat
tercermin salah satunya dalam keterlibatan DPR dalam pengisian pejabat negara.
 Bagir Manan (Lembaga Kepresidenan, Hlm.47-48) menyebut keterlibatan badan
perwakilan memiliki dampak positif antara lain:
a. Terciptanya mekanisme checks dari badan perwakilan rakyat (sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat) terhadap Presiden. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan
terjadi spoil system dalam mengisi jabatan negara atau pemerintahan atau masuknya
orang- orang yang tidak pantas atau yang tidak dikehendaki politik dalam
pemerintahan;
b. Presiden “dibantu” oleh badan perwakilan untuk mendapatkan orang yang bermutu
dan handal dalam hal ideologi, kecakapan, integritas dan lain sebagainya.
c. Mereka yang hendak menjadi menteri atau menduduki jabatan lain yang memerlukan
konfirmasi tidak semata- mata “mengusahakan” dukungan Presiden, tetapi dukungan
masyarakat yang tercermin pada dukungan badan perwakilan. Dengan demikian,
sebagai orang yang akan diserahi tanggung jawab memimpin dan menyelenggarakan
urusan pemerintahan akan “dipaksa” berorientasi ke bawah, tidak hanya ke atas.
Secara sosiologis seorang pemimpin akan tumbuh dari masyarakat, bukan sekedar
diciptakan oleh pemimpin atau pemegang kekuasaan negara atau pemerintahan.
Seseorang akan menjadi pejabat bukan karena perkenan pemimpin, tetapi perkenan
yang dipimpin.
d. Sistem Konfirmasi ini menunjukkan pertanggungjawaban dalam pengisian jabatan
kepada rakyat (melalui badan perwakilan) sebagai yang berdaulat dan tempat setiap
pejabat bertanggungjawab.
 Pengangkatan pejabat negara yang harus melalui konfirmasi lembaga perwakilan juga
dipraktikkan di Amerika Serikat yang disandarkan pada Konstitusi Amerika, Article II,
Section 2, Butir 2, dimana ketentuan tersebut menisbatkan pengangkatan pejabat negara
dan seluruh pejabat publik di Amerika Serikat harus memperoleh pertimbangan dan
persetujuan dari Senat selaku salah satu kamar dalam lembaga perwakilan. Menurut
Connor dan Rangel (The Senate’s Role in Confirmation of Political Appointees)
menyatakan bahwa tugas senat hanya memberikan konfirmasi. Sementara itu, seleksi dan
nominasi dilakukan presiden. Perbedaan tegas kewenangan presiden dan senat dalam
pengisian pejabat publik itu menjadi gambaran bagaimana bekerjanya mekanisme checks
and balances.
 Oleh karena itu, model pengangkatan pejabat publik yang harus dengan pertimbangan dan
persetujuan DPR, setidaknya memberikan dua tujuan dan manfaat. Pertama,
pengangkatan pejabat negara melalui persetujuan badan perwakilan adalah suatu hal yang
wajar dalam konsep negara demokrasi yang menerapkan prinsip checks and balances.
Kedua, dalam proses pengangkatan tersebut, proses kepentingan politik dari badan
perwakilan tidaklah dapat dihindari. Hal tersebut dapat dilihat dari preferensi politik dari
Senat, sehingga jika pertimbangan dan persetujuan dari Senat tidak diperhatikan oleh
Presiden, maka dapat menimbulkan proses politik yang berkepanjangan.

KONTRA
 Pengangkatan pejabat publik yang memerlukan persetujuan / pertimbangan politik DPR
rentan dipengaruhi oleh anasir-anasir politis, yang erat dengan pola dan mekanisme
transaksional. Hal ini dapat dilihat dalam kasus hukum kongkrit, Miranda Swaray
Goeltom mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia yang terbukti secara hukum
melakukan tindak pidana penyuapan saat menjalankan fit and proper test di DPR. Ia
bersama-sama dengan 39 (tiga puluh sembilan) anggota DPR periode 1999-2004 ternyata
ditetapkan bersalah secara hukum atas perbuatan menyuap dan menerima suap sesuai
dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 545 K/Pid.Sus/2013.
 Secara etika sosial politik, pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945, terjadi pelonjakan
kewenangan parlemen secara luar biasa dimana pendulum kekuasaan kini bergeser kuat
ke arah parlemen. Hal ini juga diamini oleh Edward Aspinall dan Stephen Sherlock yang
menyatakan bahwa telah terjadi pembengkakan yang namanya parlement heavy yang
sangat luar biasa dalam pendulum kekuasaan parlemen.

Anda mungkin juga menyukai