4. Hak Komunal
- Pasal 3 UUPA : keberadaan masyarakay hukum adat atas tanah yang diakui oleh negara Permen ATR
10/2016
- Pengertian : hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hk. adat atau HM bersama atas tanah yang
diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu (hutan / perkebunan)
- Subyek : masyarakat hukum adat dan kelompok masyarakat dalam kawasan tertentu (koperasi, unit /
bagian dari desa / kelompok masyarakat yang telah memnuhi persyaratan untuk dapat diberikan HAT)
- Penetapan : pengajuan permohonan ke Bupati/Walikota/Gubernur pembentukan tim IPAT
identifikasi dan verifikasi berkas permohonan pemeriksaan lapangan analisis data fisik dan yuridis
penyampaian laporan HK pendaftaran HAT penyerahan sertifikat
- Kewajiban : penggunaan dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga sesuai kesepakatan para pihak, wajib
dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh MHA, harus memperhatikan kelestarian hutan sekitar
5. Pemberian HAT
- Pemberian HAT adalah penetapan pemerintah yang memberikan suatu HAT, termasuk perpanjangan
jangka waktu dan pembaharuan hak serta pemberian hak di atas Hak Pengelolaan (Ps. 1 Perka BPN RI
2/2013)
- Yang harus diperhatikan dalam pemberian HAT :
a) Status tanah tersedia (tanah negara, tanah dalam kawasan hutan, tanah bekas hak barat, tanah adat,
tanah ulayat)
b) Subyek hak yang memohon HAT (perseorangan/badan hukum/instansi pemerintahan)
c) Jenis hak yang dapat diberikan (disesuaikan dengan subyek HAT, penggunaan tanah dan RTRW)
d) Persetujuan penggunaan tanah dari pemegang Hak Pengelolaan (HGB/HP di atas HPL)
7. Terjadinya HAT
a. Menurut Hk. Adat : penegasan konversi dan pengakuan hak (Ps.2 UUPA
b. Penetapan pemerintah (beschikking) : tanah negara bekas hak ( bekas HGU, HGB, HP, bekas Tanah
Terlantar), tanah negara bebas (belum pernah dilekati sesuatu HAT), tanah negara bekas Kawasan Hutan
c. Diatas tanah HM / Hak Pengelolaan berdasarkan penetapan pemerintah (beschikking) atas usul pemegang
HM / Hak Pengelolaan
d. Pemberian HAT oleh Pemegang HM (Akta PPAT) (Ps. 23 (a) angka 2 UUPA)
Hukum Agraria sebelum UUPA : Agrarische Wet 1870, Hukum Adat (Ciptaan Pemerintah Hindia Belanda),
Hukum Adat (Ciptaan Swapraja)
Agrarische Wet 1870 : diberlakukan pada 1870 oleh Engelbertus de Waal (Menteri Jajahan)
HAT menurut BW :
Domeinverklaring : semua tanah yang bebas sama sekali daripada hak seseorang dianggap menjadi
vrij landsdamein (tanah dimiliki dan dikuasai negara)
Onvrij landsdomein : tanah negara yang di atasnya ada hak sesuai dengan ketentuan BW maupun
hukum adat setempat
Hak yang didaftarkan menurut Overschrijvings-ordonnantie :
1) Hak Eigendom : hak untuk menggunakan suatu benda dengan bebas sepenuhnya (Ps 674 ayat (1)
KUHPdt) tidak boleh bertentangan dengan UU dan mengganggu hak orang lain demi
kepentingan umum memungkinkan untuk dicabut revindikasi (hak menuntut di pengadilan dari
campur pihak ketiga)
2) Hak Erfpacht : hak untuk menarik penghasil seluas-luasnya untuk waktu lama dari sebidang tanah
milik orang lain dengan kewajiban membayar uang atau penghasilan tiap tahun yang dinamakan
“pacht” (Ps 720 KUHPdt) dapat diserahlepaskan dan dapat dibebani hipotek, dapat melakukan
perjanjian yang menyimpang dari ketentuan BW
3) Hak Opstal : hak untuk mempunyai bangunan, pekerjaan, atau tanaman di atas sebidang tanah lain
(Ps 711 KUHPdt) punya jangka waktu, dapat diserahlepaskan, tidak diberikan untuk
perusahaan pertanian
4) Hak Gebruik dan Vruchtgebruik : hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang untuk
mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya dan diatur melalui perjanjian atau
sesuai Ps 821 KUHPdt dikonversi menjadi Hak Pakai
Hak yang tidak didaftarkan menurut Overschrijvings-ordonnantie :
1) Hak Agrarisch Eigendom : hak eigendom yang diberikan kepada masyarakat asli Indonesia oleh
pemerintah Hindia Belanda disertai syarat pembatasan
2) Hak Gogolan, Pekulen atau Sanggan, Hak Concessie dan Sewa, Grant Controleur, Bruikleen,
Ganggam Bauntuik, Anggaduh, Bengkok, Lungguh, Pituwas
UU 5/1960 : Agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Ps. 1 ayat (4) UUPA = bumi mencakup permukaan, tubuh, dan di bawah bumi serta yang di
bawah air
Asas penyelenggaraan penataan ruang (Ps 2) : keterpaduan, keserasian, keselarasan, keseimbangan, keberlanjutan,
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan
umum, kepastian hukum dan keadilan, akuntabilitas
Tujuan : terwujudnya keharmonisan lingkungan alam dan buatan, keterpaduan dalam penggunaan SDA dan SDB
dengan memperhatikan SDM, perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang. Proses terdiri atas : pengaturan - pelaksanaan – pembinaan – pengawasan.
LANDREFORM
MISI
1. Menyelenggarakan Penataan Ruang dan Pengelolaan Pertanahan yang Produktif, Berkelanjutan dan
Berkeadilan;
2. Menyelenggarakan Pelayanan Pertanahan dan Penataan Ruang yang Berstandar Dunia.
MOTTO
Melayani, Profesional, Terpercaya
UU 27/2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK : memberikan jaminan kepastian
hukum dalam pengelolaan
Wilayah pesisir : daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi perubahan di darat dan
laut kea rah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari
garis pantai untuk provinsi
Pulau kecil : luas lebih kecil / sama dengan 2.000 km 2 beserta kesatuan ekosistemnya
Pengelolaan : perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian interaksi manusia dalam pemanfaatan
SDA pesisir dan PPK serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masy dan keutuhan NKRI (Ps. 5 UU 27/2007)
Pemanfaatan : Perairan pesisir, PPK dan perairan sekitar, Konservasi, Rehabilitasi, Reklamasi
Mekanisme : wajib memiliki izin lokasi sebagai dasar pemberian izin pengelolaan izin lokasi diberikan
berdasarkan Rencana Zonazsi WP dan PPK (wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan PPK,
masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai kapal asing
Kedudukan MHA dalam pemanfaatan : jika WP dan PPK dikuasai MHA maka pemanfaatannya menjadi
kewenangan MHA pembatasan (Ps 21 (2) UU 1/2014) : pemanfaatan dilakukan dengan
mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan PPU
Permen ATR/BPN 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di WP & PPK : status tanah di WP & PPK adalah
tanah negara
Pantai : diberikan kepada bangunan untuk pertanahan dan keamanan, pelabuhan/dermaga, tower penjaga
keselamatan pengunjung pantai, tempat tinggal MHA / anggota masy yang secara turun temurun sudah
bertempat tinggal di situ, pembangkit listrik
Perairan pesisir : bangunan yang harus ada di wilayah perairan pesisir (program strategis nasional,
kepentingan umum, permukiman di atas air bagi MHA, pariwisata)
WP : dilakukan sesuai PPU, mendapat rekomendasi, memenuhi ketentuan perizinan (dikecualikan untuk
MHA yang telah tinggal lama disitu)
PPK : paling banyak 70% dari luas pulau / sesuai arahan RTRW dan rencana zonasi PPK, sisa paling
sedikit 30% dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan
masyarakat, harus mengalokasikan 30% luas pulau untuk kawasan lindung, (apabila diperlukan)
pemerintah dapat menguasai PPK secara utuh, tidak boleh menutup akses publik
Tanah Reklamasi
Diatur dalam Ps. 34 UU 27/2007 Perpres 122/2012 : Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam
rangka meningkatkan manfaat SD lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurungan, pengeringan lahan / drainasi Permen ATR/BPN 17/2016
Dapat diberikan HAT
Tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut
Meliputi pesisir laut buatan, tepian sungai buatan, tepian danau buatan, pulau buatan
Perencanaan : dibuat oleh pihak yang akan melaksanakan reklamasi, penentuan lokasi Rencana Induk
Studi Kelayakan Rencana Detail
Perizinan : pihak yang akan melakukan reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan
diajukan ke Menteri (kawasan strategis nasional, lintas provinsi, pelabuhan perikanan yang dikelola
pemerintah), Gubernur, Walikota/Bupati (wilayah sesuai kewenangan, pelabuhan perikanan yang dikelola
Pemda)
Pelaksanaan : pengurugan, pengeringan lahan drainase
Tanah timbul (Permen ATR/BPN 17/2016) : tanah yang dikuasai langsung negara, meliputi tanah timbul pada
pesisir laut, tepian sungai, tepian danau, dan pulau luasan paling luas 100 m2 merupakan milik pemilik
tanah yang berbatasan langsung dengan tanah timbul tsb
Garis Pangkal (Baseline) UNCLOS 1982
Normal : cara penarikan garis mengikuti kontur pantai dengan kondisi wajar
Straight : digunakan negara yang kontur pantainya berbentuk “zig-zag” (banyak teluk / tanjung) / terdapat
banyak pulau di sepanjang pantai
Archipelagic : digunakan negara yang memenuh kriteria negara kepulauan (Indonesia, Filipina, dll)
Masalah yang kerap terjadi di pulau-pulau kecil:
a. Pertanahan dan keamanan negara, khususnya di pulau kecil dan terluar (PPKT)
b. Penjualan tanah / pulau kecil kepada WNA, misal : Pulau Maratua di Kab. Berau
c. Penguasaan pulau kecil secara privat oleh WNA dan WNI, seperti pulau Nikoi di T.Pinang, Pulau Bawah
di Anambas, P.Manis di Batam
d. Penggunaan nominee (perjanjian pinjam nama) dalam penguasaan tanah dan proses investasi, seperti di
Pulau Maratua, Kab. Berau, Pulau Bidadari, dan Labuan Baju
e. Isu okupansi / klaim kepemilikan pulau oleh WN lain, seperti di Pulau Manis Batam
f. Kerusakan lingkungan dan pencemaran pulau-pulau kecil, seperti Pulau Bangka di Minahasa Utara dan
pulau kecil di Bangka Belitung
g. Penutupan akses masyarakat dan nelayan lokal oleh investor di pulau kecil, seperti Gili Gede Lombok
Barat, Pulau Nikoi di Tanjung Pinang, dan Wakatobi
h. Konflik pemanfaatan tanah dan alih fungsi hutan di antara investor dan masyarakat, seperti di Pulau
Romang Maluku Barat Daya, Pulau Pari Kep. Seribu, dan Pulau Jemaja di Anambas
i. Aktivitas illegal di pulau kecil seperti penyelundupan orang dan barang, perbudakan, illegal fishing, illegal
logging, narkoba, seperti di Benjina Kep. Aru dan Pulau Bawah di Anambas
j. Pelanggaran peraturan pertanahan, pemberian HAT (SHM) secara perorangan yang mencapai 20 ha/orang
dalam satu hamparan, seperti di Pulau Maratua Berau
k. Pemanfaatan pulau kecil belum memberikan PNBP secara optimal bagi negara
Problematika Mengenai Tanah Eks Swapraja (Tanah Negara) di Indonesia
Swapraja ; wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri (zaman Belanda = zelfbestuur)
(Boedi Harsono) Swapraja = wilayah pemerintahan yang merupakan nagian dari daerah Hindia Belanda yang
kepala wilayahnya (Sultan, Sunan, Raja, atau nama adat lain), berdasarkan perjanjian dengan pemerintah HB
menyelenggarakan pemerintahan sendiri (Indische Staatsregeling 1855 Ps.21) di wilayah yang bersangkutan,
masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerah masing-masing yang beraneka ragam.
UUPA
Diktum IV (A) : Hak dan wewenang atas bumi dan air dari Swapraja / bekas Swapraja (kerajaan) yang
masih ada pada waktu mulai berlakunya UU ini hapus dan beralih ke negara = Tanah Negara
Diktum IV (B) : Hal-hal terkait dengan ketentuan dalam huruf A diatur lebih lanjut dengan PP
PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian
Ps. 4 : tanah swapraja dan bekas swapraja yang beralih ke negara, diberi peruntukan, sebagian untuk
pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya HAT tsb dan sebagian
untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan
Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria
Ps. 7 ayat (1) huruf k : objek redistribusi tanah yaitu tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, dan tanah
swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan PPU sebagai objek redistribusi
tanah
Konflik horizontal yang melibatkan masyarakat yang telah menempati tanah dan bangunan eks kerajaan
dengan pihak eks kerajaan yang berakhir sengketa Pengadilan. Warga menserifikatkan tanah eks swapraja
tanpa pelepasan hak dari pihak eks kerajaan, begitu pula pemerintah setempat
Pemaknaan atas tanah eks kerajaan yang berbeda antara pemda dan pihak eks kerajaan
Beberapa eks kerajaan (swapraja) : Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran Surakarta, Kerajaan Sumenep
Jatim, Kerajaan Denpasar dan Buleleng Singaraja Bali, Kasultanan Kotawaringin Kalteng
Tanah eks-swapraja : Publik, Perdata, Cagar Budaya (UU 11/2010)
Swapraja bukan masyarakat adat, tanag swapraja bukan tanah ulayat (adat) swapraja dalam UUPA dihapus
untuk menghapus hak yang bersifat feudal dan tidak sesuai dengan UUPA sebagai hukum tanah nasional
Istilah swapraja : Ps. 18 UUD 1945, Ps. 132 UUDS 1950, UU 22/1948 (Daerah Istimewa)
Hak konsensi untuk Perusahaan Kebun Besar : hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang diberikan oleh
kepala swapraja yang bentuknya sebagai yang ditetapkan dalam misal : Byblad 3381, 4350, 4770, 5707. Hak
konsensi ini tidak dapat dihipotekkan
Hak sewa untuk Perusahaan Kebun Besar : hak sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk
dipergunakan perkebunan yang luasnya 25 Ha / lebih sesuatu dengan batas yang ditentukan dalam pasal 28 (2)
UUPA.
PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL)
Pengertian : kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek
Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama
lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau
beberapa objek Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Membangun data bidang tanah baru dan sekaligus menjaga kualitas data bidang tanah yang ada agar seluruh
bidang tanah terdaftar lengkap dan akurat
Tahap :
Pendaftaran Tanah Kabupaten/Kota Lengkap (PTKL) : berbasis Desa/Kelurahan Lengkap yang jumlah
bidang tanah terdaftarnya diatas 80% dan bidang tanah belum terdaftarnya tersebar secara sporadic (diatur
lebih lanjut dalam Bab 15)
Pendaftaran Tanah Lintas Sektor : meliputi sertifikasi Nelayan Tangkap, Budidaya, UMK dan Petani
Sawit Mandiri yang berasal dari Perjanjian Kerja Sama antar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa
Sawit dan Kementerian ATR/BPN, yang obyeknya berada di dalam penetapan lokasi PTSL
Desa/Kelurahan dilaksanakan melalui mekanisme PTSL. Apabila obyeknya berada di luar penetapan
lokasi PTSL maka diselesaikan dengan PBT Mandiri dan SHAT mandiri. Untuk pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Lintas Sektor mengacu pada Juknis Pendaftaran Tanah Lintas Sektor yang berlaku
Ruang lingkup:
Kegiatan PTSL;
Tindak lanjut hasil PTSL;
Peningkatan kualitas data bidang tanah terdaftar;
Desa/Kelurahan Lengkap dan Kota/Kabupaten Lengkap;
Aplikasi Survey Tanahku; dan
Output, Eviden dan Anggaran.
Perencanaan : Kepala Kantor Pertanahan melakukan (1) Identifikasi Data Pertanahan, Penyelesaian K4 Studio
dan Reposisi, (2) Penyusunan roadmap dan Penentuan strategi PTSL.
Penetapan Lokasi : (1) Prioritas Penetapan Lokasi berdasarkan Kondisi Data Pertanahan, (2) Prosedur
Penetapan Lokasi
PENDAFTARAN TANAH
Dasar Hukum :
- Ps. 19 UUPA
- PP 24/1997
- Perka BPN 3/1997
- PP 46/2002
Pengertian : rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan sarusun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang tanah yang sudah ada hakanya dan HM atas sarusun serta hak tertentu yang
membebaninya
Asas (Ps. 2 PP 24/1997)
- Sederhana : ketentuan dan prosedur mudah dipahami
- Aman : diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasil menjamin kepastian hukum
- Terjangkau : oleh pihak yang memerlukan
- Mutakhir : kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan
data
- Terbuka : masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat
Obyek (Ps. 9 PP 24/2997)
- Bidang tanah : HM, HGU, HGB, HP
- Tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, tanah milik atas sarusun, hak tanggungan, tanah negara (dilakukan
dengan cara membukukan dalam daftar tanah)
Tujuan (UUPA jo. PP 24/2997)
- Memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak
- Menyediakan informasi kepada pihak berkepentingan agar mudah memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang tanah dan sarusun terdaftar
- Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
Tujuan secara teoritis : Recht Kadaster, Fiskal Kadaster, Land Information System/Multi Purpose Cadaster
(kepastian hukum, pajak, harga tanah, potensi tanah)
Sistem pendaftaran tanah : publikasi positif dan publikasi negatif
Obyek daftar : registration of titles (buku tanah/hak) dan registration of deeds (perbuatan hukum/akta)
UUPA jo. PP 24/2997 menganut : sistem pendaftaran hak yang terlihat dari adanya buku tanah dan sertifikat
sebagai bukti hak yang kuat, sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif
- (Ps. 32) sertipikat sbg surat tanda bukti hak yang berlaku sbg alat pembuktian yang kuat mengenai data
fisik dan yuridis didalamnya, sepanjang data fisik dan yuridis tsb sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan
- Pihak lain yang merasa mempunyai HAT itu tidak dapat lagi menuntur pelaksanaan hak tsb apabila dalam
5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertifikat dan Kepala Kantah yang bersangkutan / tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai
penguasaan tanah / penerbitan sertifikat tsb
Pelaksanaan
- Pendaftaran pertama kali
a) Pengumpulan dan pengolahan data fisik
b) Pembuktian hak dan pembukuan
c) Penerbitan sertifikat
d) Penyajian data fisik dan yuridis
e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen
- Pemeliharan pendaftaran
a) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak
b) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya
Pendaftaran tanah pertama kali
- Sistematik
a) Dilakukan serentak yang meliputi semua objek pendaftaran yang belum didaftar dalam wilayah /
bagian wilayah desa
b) Prakarsa pemerintah dengan penetapan menteri
- Sporadik
a) Dilakukan untuk satu/beberapa objek pendaftaran dalam satu wilayah / bagian wilayah secara
individual / massal
b) Atas permintaan yang berkepentingan
PPAT
PPAT = Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta pemindahan HAT dan akta
pembebanan HAT dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut PPU yang
berlaku (Pasal 1 angka (4) UU 4/1996)
Tugas : Melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilaksanakan suatu perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang kemudian akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum (PP 37/1998)
Fungsi (Penjelasan UU 4/1996 dan PP 37/1998)
- Membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta ppat.
- Meningkatkan sumber penerimaan negara dari pajak (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dari pemindahan hak atas tanah sebelum membuat akta.
PP 24/2016
- PPAT berwenang buat Akta Otentik perbuatan hukum tertentu
- Akta PPAT adalah sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Jenis :
- PPAT Sementara : Pejabat pemerintah (Camat) yang ditunjuk karena jabatannya untuk
melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta-akta di daerah yang belum cukup terdapat
PPAT
- PPAT Khusus : Kepala Kantor Pertanahan yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan
tugas PPAT dengan membuat akta ppat tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program-
program pelayanan masyarakat atau tugas pemerintah tertentu
Pembahasan Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI
1. Semboyan Kementerian ATR/BPN : Bhumibhakti Adhiguna = tanah didayagunakan untuk memberi manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2. Sejak 27 Juli 2016 Kementerian ATR/BPN dipimpin oleh Sofyan Djalil.
3. Kementerian ATR/BPN dibentuk pertama kali pada 12 Agustus 1955
4. Sebelum menjadi sebuah Kementerian, urusan agraria diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri.
5. Dasar hukum dibentuknya Kementerian ATR/BPN adalah PP Nomor 17 Tahun 2015.
6. Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September 1960. Pada hari itu, rancangan
UUPA disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
7. Dengan berlakunya UUPA yang menjadi produk hukum nasional yang bersumber dari hukum adat, maka
undang-undang sebelumnya yang dibuat oleh Belanda dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. UU yang dicabut
tersebut adalah Agrarische Wet. Agrarische Wet (S. 1870-55) adalah sebuah undang-undang yang dibuat di
Belanda yang kemudian diberlakukan di Indonesia sebagai ayat-ayat tambahan dari Pasal 62 Regerings
Reglement Hindia Belanda tahun 1854.
8. Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999, Kementerian Negara Agraria
dibubarkan melalui Kepres Nomor 154 Tahun 1999 tentang Perubahan Kepres Nomor 26 Tahun 1988. Kepala
BPN dirangkap oleh Mendagri RI. Pelaksanaan pengelolaan pertanahan sehari-harinya dilaksanakan Wakil
Kepala BPN.
9. Kedudukan BPN diperkuat pada masa Presiden SBY dengan menerbitkan PP 10/2006 tentang BPN dan
menempatkan BPN di bawah dan bertanggungjawab ke Presiden
10. Sumber-sumber hukum Agraria yang tidak tertulis terdiri dari:
Hukum adat yang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UUPA, yaitu yang: tidak bertentangan dengan
kepentingan Nasional dan Negara; berdasarkan atas persatuan bangsa; berdasarkan atas sosialisme
Indonesia; berdasarkan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan perundangan
lainnya; mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
Hukum kebiasaan yang timbul sesudah berlakunya UUPA, yaitu yurispundensi dan praktik administrasi.
11. Dalam sejarah penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria, pernah dibentuk Panitia Agraria Yogya yang
diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948
tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di Yogyakarta.
12. Di dalam usulannya, Panitia Agraria Yogya mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar
Hukum Agraria yang baru, yaitu sebagai berikut.
a. Meniadakan asa Domein dan Pengakuan hak ulayat
b. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang
dapat dibebani hak tanggungan
c. Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang-
orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah
d. Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar petani kecil dapat hidup layak dan untuk Jawa diusulkan
2 hektar
e. Mengadakan penetapan luas maksimum pemilik tanah dengan tidak memandang macam tanahnya dan
untuk Jawa diusulkan 10 hektar, fedangkan di luar Jawa masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut
f. Menganjurkan penerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan Panitia Agraria Yogya
g. Mengadakan pendaftaran tanah hak milik dan tanah-tanah menumpang yang penting
13. Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria Nasional dimuat dalam Penjelasan UUPA
sebagai berikut:
a. Meletakkan dasar-dasar penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan menjadi alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya
14. Tahapan-Tahapan dalam Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalaht:
a. Panitia Agraria Yogya
b. Panitia Agraria Jakarta
c. Panitia Soewahjo
d. Rancangan Soenarjo
e. Rancangan Sadjarwo