Anda di halaman 1dari 5

ESAI

Labirin Demokrasi:
Keterjebakan Partai Politik Di Indonesia
OLEH: HODARI MAHDAN ABDALLAH

Setelah 23 tahun reformasi, bangsa ini


masih dirundung berbagai macam persoalan
yang mengundang pertanyaan besar: Apa hasil
kita berdemokrasi selama ini? Korupsi,
terorisme, konflik kekerasan terbuka sektarian,
diskriminasi terhadap kelompok minoritas,
kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kriminalitas,
kejahatan seksual, dan yang semisalnya
merupakan sejumlah problem klasik yang
masih menjadi pekerjaan rumah bersama
hingga sekarang.

Demokrasi secara substantif diyakini merupakan sistem paling mungkin untuk


memecahkan persoalan-persoalan besar seperti di atas. Karena menurut Dahl (pada
bukunya, On Democracy: 1998) demokrasi dapat dimaknai sebagai political equality,
kesetaraan politik bagi semua warga negara. Dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa demokrasi lah satu-satunya sistem yang membuka peluang besar secara
terbuka bagi publik untuk turut terlibat dalam penetapan kebijakan, baik dalam bentuk
dukungan maupun protes.

Materi I Tadarus Esai, April 2021 | 1


Namun memang, "di mana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak
orang," tulis William Liddle pada paragraf pertama tulisannya, sebuah materi orasi
ilmiah berjudul "Marx atau Machiavelli?: Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan
Amerika" yang disampaikan pada acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML),
8 Desember 2011, di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta.
Ditinjau dari sudut pandang manapun demokrasi di Indonesia mengalami masalah
serius.
Richard Robison dan Vedi Hadiz (dalam tulisannya, Reorganising Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets terbit di London, 2004)
berhasil memotret bagaimana hubungan demokrasi dan oligarki bahkan setelah
reformasi. Oligarki adalah “A system of government in which virtually all political
power is held by a very small number of wealthy … people who shape public policy
primarily to benefit themselves financially … while displaying little or no concern for
the broader interests of the rest of the citizenry, (Robinson dan Hadiz: 2004)."
Menurut mereka, intervensi oligarki dalam setiap kebijakan publik terlalu dominan
sehingga merusak kualitas demokrasi itu sendiri. Ketimpangan ekonomi di Indonesia
merupakan dampak buruk yang tak terelakkan. Pandangan ini sejalan dengan Dahl
yang menyebut bahwa kapitalisme merupakan tantangan terbesar dalam upaya
peningkatan mutu demokrasi.
Di lain aspek, Sidney Jones melihat hubungan demokrasi dengan kasus kekerasan
sipil yang juga menjadi catatan hitam pasca-reformasi. Dia menyebutnya "sisi gelap
demokrasi". Selain dua laporan di atas masih banyak yang lain dengan tinjauan kasus
berbeda yang tak perlu penulis urai kembali di sini.
Faktisitas mengenai adanya rapor merah demokrasi kita itu tak lepas dari
ketiadaan kesetaraan politik; kembali kepada analisis Dahl. Ini dapat dipahami dengan
melihat kinerja partai politik sebagai tiang demokrasi: yang pertama (baru
diasumsikan) dapat menjadi wadah aspirasi dan kedua sekaligus (realitasnya) dapat
terlibat langsung dalam proses pengesahan kebijakan.

Terjebak Labirin
Sebagaimana diketahui secara luas, partai politik merupakan tiang penting
demokrasi. Tanpanya, susah dibayangkan bagaimana sistem tersebut dijalankan.
Namun problem yang saya temukan, partai politik di Indonesia justru menunjukkan
sikap ironis: di internal masing-masing praktik demokrasi hampir sama sekali tidak
diindahkan. Ini merupakan problem pertama yang bersifat kontra-produktif dengan
cita-cita demokrasi itu sendiri. Bagaimana sesuatu yang disebut tiang demokrasi dapat
menjadi tiang bilamana di dalam internal tubuh organisasinya saja tidak demokratis.
Hampir lenyapnya praktik demokrasi di internal partai politik ini lantaran demikian
kuatnya relasi patron-klien di dalamnya.

Materi I Tadarus Esai, April 2021 | 2


Kedua, kaderisasi berupa penyelenggaraan pendidikan politik (political literacy)
untuk para anggota dan simpatisan tidak berlangsung konsisten dan tidak dilakukan
secara berkala. Pendidikan politik yang diselenggarakan selama ini hanya berbentuk
kegiatan formalitas semata. Oleh karena itu tak heran bila bangsa ini menderita buta
politik yang akut. Jangankan publik luas, konstituennya saja (anggota dan simpatisan)
tidak diberi pendidikan politik yang layak. Problem inilah yang menyebabkan 1) di
internal, tunduk pada kejumudan relasi patron-klien di hampir setiap partai terjadi dan
2) di publik, masyarakat luas tidak mengetahui hak sebagai warga negara dan cara
memperjuangkannya (baca: buta politik).
Padahal, amanat UU No. 2 Tahun 2012 tentang Partai Politik (Pasal 34 Ayat 3a)
menyatakan, "Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik
dan masyarakat." Ini menunjukkan bahwa pendidikan politik sangat penting untuk
diselenggarakan oleh partai politik.
Namun kenapa partai politik tidak bersikap demikian? Nampaknya ini terjadi
karena satu sisi pendidikan politik secara berkala dan konsisten memakan biaya
mahal, di lain sisi dianggap tidak mempunyai dampak besar terhadap kerja
pemenangan. Daripada membelanjakan anggaran untuk sesuatu yang dianggap ideal
tapi tidak dapat memberi garansi kemenangan itu, dengan pertimbangan di atas,
partai pasti lebih memilih untuk menggunakannya sebagai persiapan political cost
(seperti dana saksi yang sering diprioritaskan) atau bahkan "money politics"
sebagaimana memang lumrah di Indonesia. Karena itu dianggap lebih realistis.
Sikap partai politik demikian tak lepas dari determinasi kultur politik di Indonesia
yang memang menghendaki "money politics". Ini merupakan konsekuensi logis dari
kebutaan masyarakat terhadap political literacy. Lantaran minimnya wawasan politik,
mereka rela menukar hak politiknya dengan nilai rupiah yang tak seberapa. Kebutaan
political literacy ini adalah dampak dari tidak adanya pendidikan politik.
Jadi, inilah kenapa penulis katakan "labirin". Masing-masing problem satu sama
lain saling terkait dan susah dilacak akar masalahnya. Sehingga yang terjadi, kita
menduga telah mengalami progresivitas padahal hanya stagnasi: "berputar-putar" di
tempat seperti terjebak dalam labirin.
Keterjebakan dalam labirin ini semakin jelas ketika melihat problem ketiga, yaitu
masalah pendanaan partai dan intervensi oligarki. Sumber dana partai berdasarkan
UU No. 2 Tahun 2012 itu ada tiga: iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum,
dan dari APBN/APBD. Untuk konteks kultur partai politik di Indonesia, iuran anggota
hanya berlaku bagi pengurus struktur yang menjadi anggota legislatif atau eksekutif
dan atau yang di jabatan strategis. Konsekuensinya, kekurangan dana sering terjadi,
sementara kebutuhan ongkos politik (political cost)--belum termasuk di luar itu
seperti biaya money politics--sangat besar.
Materi I Tadarus Esai, April 2021 | 3
Dari itu tumpuan pengembangan dana pada akhirnya adalah sumber kedua:
sumbangan. Di sini, oligarki sebagai pemilik modal memainkan peranan besar.
Ketergantungan kepada oligarki inilah kelak yang menyebabkan relasi patron-klien
dalam partai politik semakin menguat. Puncak terburuknya adalah kran demokrasi
untuk kalangan anggota biasa di dalam tubuh partai politik seringkali disumbat oleh
arogansi dan kepentingan-kepentingan elit.
Penyumbatan saluran hak-hak di internal partai politik ini bukan tanpa
konsekuensi. Kelak, institusi tersebut di mata publik semakin kehilangan kepercayaan
(trust). Alih-alih meyakini sebagai tiang demokrasi yang dapat menjadi rumah aspirasi
mereka, publik justru menganggap partai politik identik rumah kejahatan dan tipu-tipu
berlisensi. Tak heran bila distrust publik terhadap institusi tersebut terus meningkat.
Pada akhirnya, mereka yang bersedia mengurus struktur dan terlibat aktif dalam
partai politik adalah mereka yang bukan ingin memperjuangkan aspirasi publik
melainkan hanya karena kepentingan-kepentingan pribadi seperti mencalonkan diri
sebagai kandidat legislatif atau menjaga stabilitas bisnisnya, dan lain-lain.
Dari sinilah kemudian masalah keempat lahir, yaitu kohesivitas partai kerap
melemah. Penguatan kohesivitas mensyaratkan adanya kerja sama yang didasari
kesearahan cita-cita politik bersama: di dalam internal struktur partai sendiri,
pengurus struktur dan perwakilan di fraksi, dan hubungan struktur daerah dan pusat.
Namun bagaimana mungkin hal tersebut dapat terwujud, sementara di internal
struktur—jangankan cita-cita bersama—para pengurus justru sering berkonflik satu
sama lain, bahkan hanya mengenai persoalan penetapan nomor urut tiap menjelang
Pemilu. Ketika Pemilu selesai, hubungan mereka yang terpilih sebagai anggota
legislatif (baca: fraksi) dengan pengurus struktur pun renggang. Pasalnya, anggota
fraksi sering tidak melibatkan struktur ketika turun ke masyarakat.
Masalah ini hampir terjadi di semua partai. Tidak adanya upaya anggota fraksi
melibatkan struktur partai itu lebih banyak didasari masalah di atas tadi yakni
persaingan internal saat menghadapi Pemilu. Pada akhirnya, pola keorganisasian di
antara mereka didasari kesaling-curigaan bukan kesaling-percayaan.
Publik mengetahui problem yang suka tidak suka telah menjadi tontonan ini.
Sehingga, jarang sekali menemukan di antara mereka yang militansi dan motivasinya
adalah kesungguhan dalam memperjuangkan cita-cita partai yang kerap
dikampanyekan itu. Dengan kata lain, keterlibatan mereka sebenarnya setengah hati.
Bila menguntungkan kepentingan pribadi, terlibat secara all-out. Bila tidak, get out.
Karena, pola keorganisasian sejumlah partai politik di Indonesia rata-rata gagal
meyakinkan publik bahwa ia adalah wadah aspirasi dan benar-benar merupakan tiang
demokrasi.
Berangkat dari persoalan ini, tak heran bila kita menyaksikan hampir semua partai
politik mengalami kebangkrutan idealisme dan tidak adanya kerja-kerja politik di
dalamnya (baca: sebagai problem kelima). Sebab, idealisme (cita-cita besar) partai
Materi I Tadarus Esai, April 2021 | 4
politik tidak mungkin dapat terimplementasi tanpa kerja-kerja politik bukan hanya
kerja-kerja pemenangan. Sementara kerja politik mensyaratkan struktur partai yang
kohesif: antar pengurus internal struktur; struktur daerah dan pusat; dan antar struktur
dengan perwakilan di fraksi.
Tidak adanya kerja-kerja politik oleh partai politik ini nantinya sangat berdampak
buruk pada kebijakan publik yang notabene para pemangkunya adalah anggota partai.
Buruknya kebijakan publik ini kelak mempengaruhi cara pandang publik terhadap
politik dan bahkan terhadap partai politik itu sendiri (problems of political literacy).
Yang mana, sikap mereka ini nantinya juga sangat menentukan pola keorganisasian
partai politik di masa depan. Pola keorganisasian partai politik kelak pun
mempengaruhi warna kebijakan publik. Demikian seterusnya. Partai politik sebagai
tiang demokrasi pada akhirnya seperti terjebak dalam labirin.

Materi I Tadarus Esai, April 2021 | 5

Anda mungkin juga menyukai