Anda di halaman 1dari 4

http://lipi.go.

id/lipimedia/indria-samego:-ada-tiga-kelemahan-demokrasi-
indonesia/7773 diakses hari senin pukul 13.55 WITA

Anggota Majelis Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria


Samego mengatakan bahwa ada tiga kelemahan penerapan demokrasi di
Indonesia. Di negara ini, masih terdapat budaya politik feodalistik dan komunalisme,
demokrasi kita juga mengarah pada otoritarianisme mayoritas, dan kelemahan
terakhir demokrasi kita adalah absennya ideologi dari partai politik, kata Indria dalam
Forum Fasilitasi Daerah Dalam Rangka Penguatan Ketahanan Bangsa di Jakarta,
Jumat [02/03].

Kelemahan demokrasi Indonesia yang pertama, yaitu masih terdapatnya budaya


politik feodal dan komunalistik, menurut Indria, bisa dilihat dari berbagai macam
idiom-idiom yang digunakan partai politik dan tokohnya dalam berkampanye.
Akibatnya, usaha partai politik untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya
didasarkan pada penilaian yang subjektif ketimbang objektif, kata dia.

Indria mengatakan bahwa yang paling berbahaya dalam budaya politik feodal dan
komunal ini adalah potensi konflik-konflik yang akan muncul jika seseorang kalah
dalam kontestasi demokrasi.

Dalam berbagai kasus pemilihan kepala daerah, kita melihat kenyataan bahwa
perdamaian baru merupakan jalan yang dipilih hanya jika tuntutan suatu
kepentingan politik dipenuhi, kata dia.

Kelemahan kedua menurut Indria adalah munculnya otoritarianisme mayoritas akibat


terlalu liberalnya demokrasi Indonesia. Hal ini, menurut dia, membuat sulitnya
sebuah keputusan politik diambil secara mufakat.

Karena begitu sulitnya musyawarah dilakukan, maka setiap pembuatan keputusan


diserahkan ke mekanisme pasar politik, ini tentu saja mencederai sila keempat
Pancasila yang menyatakan bahwa demokrasi Indonesia berdasar pada
permusyawaratan perwakilan kata dia.
Kelemahan demokrasi yang ketiga dalam pandangan Indria adalah
dikesampingkannya ideologi dalam partai-partai di Indonesia karena partai politik
lebih mengutamakan pertimbangan pragmatis dan jangka pendek, yaitu
memenangkan kontes politik.

Kepentingan jangka pendek dan pragmatis inilah yang memunculkan politik uang,
hanya karena ingin memenangkan pemilu suatu partai atau calon kepala daerah
harus membayar rakyat untuk memilih gambar tertentu dalam lembar pencontrengan
saat pemilu, kata Indria.

Akibat selanjutnya, menurut Indria, adalah bergesernya fungsi ideal partai dari
penghubung antara negara dan rakyat menjadi sarana pengumpul suara dan dana.
Jika tujuan partai hanya memenangkan pemilu dan mengumpulkan dana, maka kita
sulit berharap partai menjadi lembaga demokrasi yang bisa diandalkan, kata dia.
(ant )
Sumber : Berita Sore, 2 Maret 2012 

Sejauh ini, praktik demokrasi di Indonesia dalam hal kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat secara statistik memang mengalami penurunan berdasarkan data yang
diperoleh dari BPS tentang Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada tahun 2016. Indikator kebebasan
sipil yang mencakup didalamnya kebebasan berpendapat dan berkumpul justru menurun akibat
adanya upaya represif atau ancaman baik dari masyarakat atau aparat yang menghambat kebebasan
berpendapat.

Umumnya, demokrasi malah tersandera oleh praktik-praktik represif aparat yang menghalang-
halangi atau bahkan “membubarkan” banyak kegiatan masyarakat yang seharusnya dilihat sebagai
bagian dari kebebasan berdemokrasi yang harus dijaga dan dihargai. Hal ini, saya kira, tepat rasanya
menilai reaksi aparat yang tampak represif membubarkan kegiatan pengajian yang dilakukan Ustadz
Felix Siauw di salah satu hotel di Malang, Jawa Timur.

Saya tidak begitu paham apakah sedemikian bahaya ancaman yang muncul dari sebuah pengajian
keagamaan yang dilakukan sekelompok masyarakat hingga aparat berinisiatif untuk
membubarkannya? Mungkin mereka sedang menyusun strategi untuk aksi terorisme yang sungguh
membahayakan atau akan berbuat makar terhadap pemerintahan yang sah? Sejauh ini belum ada
klarifikasi dari pihak aparat. Yang ada justru adalah klarifikasi dari sang Ustadz yang dilakukannya di
media sosial yang kemudian ramai menjadi perbincangan para netizen bahwa telah terjadi aksi
represif dari pihak aparat.

Karena membubarkan pengajian yang dipimpin oleh ustadz yang juga seorang muallaf ini. Bagi saya,
upaya apapun yang menghalang-halangi masyarakat dalam mengeluarkan pendapatnya di muka
umum, terlebih ini dalam sebuah kajian keagamaan adalah kontraproduktif dengan iklim
demokratisasi.

Kita sejauh ini sudah berhasil menata sistem demokrasi yang lahir justru akibat sikap aparatur yang
represif dari rezim terdahulu sehingga masyarakat merasa muak dan beramai-ramai sepakat
menggulingkan rezim untuk membentuk kekuatan reformasi. Banyak pihak yang mengklaim bahwa
reformasi yang lahir 19 tahun yang lalu justru akibat tekanan yang terlalu berat bagi kebebasan
politik masyarakat atau sikap aparat yang represif dan pemanjaan yang berlebih terhadap satu
kelompok tetapi tidak untuk kelompok tertentu yang pro-kekuasaan.

Sikap yang sama sekali tidak adil ini kemudian melahirkan gerakan reformis yang digulirkan oleh
seluruh kekuatan elemen bangsa yang pada akhirnya sukses menggulingkan rezim yang anti-
demokrasi. Saya kira, tidak mungkin kemudian harus muncul lagi “benih-benih” otoritarianisme yang
ditunjukkan oleh “pemihakan” kekuasaan, aparatur yang represif dan arogan atau apapun sikap
yang pada akhirnya menyandera kehidupan demokrasi di negeri ini.

Sejak reformasi hingga saat ini, bangsa ini sudah mulai terbuka, sadar dan paham akan hak dan
kewajiban mereka sebagai warga negara sehingga upaya-upaya apapun yang akan mengganggu
jalannya demokrasi sudah tentu akan dilawan oleh masyarakat. Demokrasi jelas menolak
absolutisme dan juga pemaksaan kehendak dari pihak-pihak yang berseberangan secara ideologis,
sehingga demokrasi semestinya dapat melihat secara lebih jauh bahwa perbedaan apapun
merupakan aset nasional yang harus sama-sama dipertahankan.

Oleh karenanya akan sangat mengherankan jika kebebasan berekspresi dan mengutarakan pendapat
justru dihalang-halangi, diintervensi atau dilarang. Padahal, kebebasan yang bertanggungjawab
dalam praktik demokrasi memiliki implikasi hukum yang jika ada pelanggaran mudah saja untuk
memprosesnya secara hukum tanpa melalui upaya represif yang berlebihan dari pihak-pihak yang
berkepentingan.

Kejadian yang menimpa Ustadz Felix saya kira harus menjadi pembelajaran yang penting dimana
prinsip-prinsip demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat sudah seharusnya dapat dijaga dan
dipertahankan bersama jika tidak ingin menimbulkan friksi dalam masyarakat yang semakin tajam.
Saat ini yang terjadi adalah seakan-akan, penguasa sedang mempraktikkan Islamopobia yang justru
akan menimbulkan resistensi dari sekelompok masyarakat muslim yang semakin besar. Sikap curiga
yang berlebihan yang ditunjukkan aparat terhadap kelompok agama tertentu justru menurut saya
akan membangkitkan benih-benih radikalisme yang padahal seharusnya sedang ditekan
penyebarannya sejauh ini.

Radikalisme dalam beberapa hal justru bisa tumbuh dan berkembang akibat sikap represif penguasa
yang terlampau berlebihan kepada kelompok tertentu di satu sisi, tetapi disisi lain pihak penguasa
sengaja memanjakan kelompok lainnya yang dianggap justru memiliki kesamaan ideologis. Upaya
yang dilakukan pihak kepolisian melawan ideologi radikal dengan ideologi lain yang dapat
menandingi merupakan gerakan soft power yang justru mampu menangkal pertumbuhan ideologi
radikal.

Bukankah melawan radikalisme dengan sinkretisme keagamaan yang pernah diajukan Kapolri
Jenderal Tito Karnavian dapat diterima oleh berbagai pihak? Dan menumbuhkembangkan ideologi
tandingan yang berasal dari nilai-nilai dalam masyarakat, baik itu tradisi keagamaan, kebhinekaan
atau keragaman serta nilai-nilai luhur yang terangkum dalam Pancasila akan lebih mudah menangkal
gerakan radikalisme daripada sekedar melakukan tekanan yang represif terhadap masyarakat yang
berbeda ideologinya. Saya kira, terbelahnya masyarakat belakangan ini akibat isu-isu keagamaan dan
politik yang kurang kondusif seharusnya dapat diredam dengan berbagai sikap aparatur yang lebih
adil dan tanpa memihak. Namun, jika adanya perbedaan pendapat atau ideologi dalam realitas
masyarakat kemudian malah diberangus atau dipaksa untuk “disesuaikan” dengan keinginan
penguasa malah semakin menjauh dari cara-cara demokratis.

Hal yang paling penting dalam sebuah iklim demokrasi adalah kesadaran bersama akan sebuah
aturan main (rule of game) dalam kehidupan berpolitik, termasuk kebebasan berpendapat dan
berkumpul dalam sebuah masyarakat. Lagi pula, demokrasi selalu bercirikan penegakan hukum
dalam mekanisme penyelesaian masalah-masalah sosial-politik, termasuk jika kebebasan
perpendapat masyarakat justru melanggar “aturan main” berdemokrasi. Kesadaran semua pihak—
masyarakat, aparat dan penguasa—merupakan prasyarat utama dalam membangun iklim demokrasi
yang sehat dan tentunya tidak memihak.

Wallahu a’lam bisshawab.

Ust Felix siauw


https://www.kompasiana.com/syahirulalimuzer/590735cf569773bb65a2c0b5/ustadz-felix-dan-
perihal-demokrasi-yang-tersandera diakses hari senin pukul 14:30

Anda mungkin juga menyukai