Anda di halaman 1dari 11

DINASTI POLITIK DALAM PERPEKTIF DEMOKRASI

Mega Lestari 1208030115


Program Studi Sosiologi C Semester 1
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Pengantar Ilmu Politik
Dosen Pengampu : Dr. Hasan Mustapa, S.Fil,M.Si

Abstrak

Dalam partai politik di Indonesia tidak dapat dipungkiri adanya oligarki yang
dapat mempengaruhi mekanisme pencalonan sehingga tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Pencalonan kandidat oleh partai politik seringkali berdasarkan keinginan elit
partai politik, bukan berdasarkan kualitas dan integritas calon.Konsep yang berkaitan
dengan penelitian ini adalah, demokrasi praktis, liberte, egalite, dan fraternite. Tujuan
penelitian ini, untuk mengungkap secara lebih rinci mengenai dinasti politik yang
berkembang di Indonesia. Metode Penelitian ini merupakan studi literature (kajian
pustaka), dengan menelusuri produk hukum, jurnal, artikel, dan dokumen-dokumen.

Jika praktik politik dinasti terus berjalan, hal ini jelas bertentangan dengan tujuan
dari politik hukum yang berlandaskan Pancasila dan norma-norma sosial karena
menyangkut pelanggaran etika politik dan dapat menghambat upaya merumuskan
konsepsi demokrasi yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme pada pemerintahan
guna mewujudkan tujuan politik hukum dan cita-cita bangsa Indonesia yang adil,
makmur dan sejahtera.

Kata Kunci: Politik Dinasti, Kandidat, Pelanggaran Etika Politik, politik hukum
PENDAHULUAN

Meluasnya praktik dinasti politik di daerah merupakan salah satu dampak dari
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Otonomi daerah yang seharusnya
memposisikan rakyat sebagai pihak yang diuntungkan, ternyata realitanya malah
dihadapkan dengan menguatnya arus kekuasaan oligarki dan dinasti politik, bahkan
sampai ranah partai politik yang dipraktikan oleh aktor-aktor politik di daerah.

Dalam negara demokrasi, dinasti politik telah berkembang dan muncul sejak lama.
Dinasti politik banyak menimbulkan kekhawatiran masyarakat mengenai adanya
ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan. Jika dinasti politik terus menerus terjadi
akan dapat mencerminkan ketidaksempurnaan dalam pereperesentasian demokrasi
politik yang sering disebut kekuasaan akan melahirkan kekuatan. Dinasti polititk
merupakan salah satu fenomena umum dan telah banyak lahir di negara-negara
demokrasi modern. Seperti hasil pemilihan paruh waktu di Filipina pada tahun 2013
menunjukkan bahwa dari 80 persen provinsi, yang keluarga politik ikut andil dalam
pemilihan, mencapai 74 persen anggota dewan wakil rakyat terpilih berasal dari keluarga
dinasti tersebut.

Negara demokrasi seharusnya dapat terbuka mengenai politik seluas mungkin


untuk memastikan rakyat terlibat aktif dalam proses politik. Namun faktanya, dengan
munculnya politik dinasti telah menghambat partisipasi masyarakat karena status atau
hak sosialnya yang jauh berbeda dengan keluarga petahana. Politik dinasti sudah
merusak makna demokrasi yang sejati, yaitu kekuasaan politik atau pemerintahan itu
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Politik dinasti juga memunculkan
pragmatisme politik dengan mendorong famili atau kerabat penguasa untuk menjadi
pejabat publik dan juga membuat masyarakat tidak bisa terlibat aktif dalam proses
politik karena status atau hak-hak sosialnya terhalang sebagai akibat dari adanya
fenomena dinasti politik.

Pada akhirnya kekuasaan yang berada di tangan keluarga ini, akan terus meluas
membentuk dinasti-dinasti politik lokal yang cukup sulit untuk dipensiunkan dalam
kontestasi politik.

Persoalan tersebut akan dikaji lebih lanjut melalui subtopic seperti: (1) mengapa
dinasti politik disebut sebagai sistem yang bertentangan dengan demokrasi? , (2)
bagaimana konsep familisme dalam dinasti politik?, (3) adakah bahaya yang ditimbulkan
jika dinasti politik terus berkembang di Indonesia?, (4) dan bagaimana solusinya agar
demokrasi di Indonesia berlangsung dengan seharusnya?.
METODOLOGI

Penelitian ini berfokus pada pembahasan politik dinasti di Indonesia sebagai


negara demokrasi. Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
model analisis isi. Penelitian ini merupakan studi literature review, dengan menelusuri,
jurnal, artikel, dan dokumen-dokumen yang terkait dengan fokus penelitian. Peneliti juga
menggunakan metode sosiologi interpretatif untuk mendapat pemahaman menyeluruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan politik agar memudahkan dalam melakukan
analisa.

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan data utama berupa konten-
konten disetiap dokumen yang sudah dipilih. Oleh karena itu, analisis data dalam
penelitian ini menggunakan model analisis isi. Peneliti menggunakan metode analisis isi
dengan urutan : perumusan konsep penelitian, penentuan unit analisis, koding dan
kategori data, kontruksi, uji validasi data, analisis data dan interpretasi data.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mencatat sumber literatur yang


meliputi peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum (pemilu) dan
pemilihan kepala daerah (pilkada), buku dan jurnal yang berkaitan dengan politik dinasti
dan pemilu dan pilkada, juga opini-opini dan berita di mediamedia massa. Ada beberapa
langkah dalam proses pengumpulan data, yaitu dengan melakukan observasi, yang
merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan dan
pengumpulan informasi mengenai kenyataan yang akan diteliti. Kemudian dilanjut
dengan pengumpulan data pustaka, metode ini berperan penting dalam menambah dan
mendukung proses pengumpulan data. Kemudian, data-data yang sudah terkumpul
diberi tanda untuk mempermudah proses pengidentifikasian sekaligus analisis data.
Pengidentifikasian data yang sudah terkumpul dibagi menjadi data primer dan data
sekunder. Peneliti merinci sebagai berikut.:

a) Data Primer; data yang berisi materi utama mengenai hal yang dibahas dalam
penelitian ini.

b) Data Sekunder; data pendukung materi utama yang terdiri dari buku, majalah, artikel
dan berita-berita media massa.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Demokrasi merupakan sebuah metode yang mempunyai prosedur kelembagaan


guna mencapai keputusan politik dan setiap orang dapat memperoleh kekuasaan untuk
membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut suara rakyat dalam pemilu.
(Schumpeter dalam Huntington : 1991)

Sementara menurut Diamond (2000) konsolidasi demokrasi adalah pembiasaan


terhadap norma-norma , prosedur-prosedur dan harapan-harapan untuk demokrasi
terhadap perilaku aktor-aktor politik. Proses tersebut harus melalui fase transisi
demokrasi terlebih dahulu yang menandai beralihnya sistem politik di sebuah negara
dari otoriter ke demokrasi.

Namun, situasi politik di Indonesia masih belum sesuai seperti yang dikemukakan
oleh Diamond yang seharusnya kekuataan konsolidasi demokrasi sangat ditentukan
bagaimana seluruh elemen masyarakat dapat memilih wakil rakyat dan kepala negara
atau daerah terbebas dari tekanan. Kasus-kasus seperti popularitas (keartisan) dapat
mendongkrak suara sehingga mereka melenggang dengan cepat ke parlemen atau
jabatan politik yang lain. Dan kasus yang terjadi dalam lingkungan keluarga besar
seorang tokoh politik. Popularitas sang tokoh politik telah membuat sanak familinya
menjadi orang yang dikenal di masyarakat.

Politik dinasti dan dinasti politik merupakan dua hal yang berbeda. Politik dinasti
merupakan proses berlangsungnya kelahiran kekuasaan baru oleh kaum oligarki dengan
tujuan untuk meraih atau terus melanggengkan kekuasaan. Sedangkan dinasti politik
adalah sistem menciptakan atau mengembangkan kekuasaan dengan mengandalkan
familisme atau hubungan kekerabatan. Kecenderungan politik dinasti cukup dikatakan
menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik politik dinasti akan tidak sehat
bagi negara yang menganut sistem demokrasi karena kontrol terhadap pemerintah yang
diperlukan dalam demokrasi seperti checks and balances akan menjadi lemah. (Marcus
Mietzner :2009)

Dinasti politik dalam dunia politik modern merupakan elit politik yang didasarkan
pada pertalian darah atau perkawinan sehingga para pengamat politik menyebutnya
sebagai oligarki politik. Di Indonesia, kelompok elit merupakan kelompok yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik. Sehingga
mereka kadang relatif lebih mudah untuk menjangkau kekuasaan ataupun bertarung
merperebutkan kekuasaan.

Terkait dinasti politik, peneliti akan banyak memaparkan pandangan-pandangan


secara deskriptif dari para ahli mengenai dinasti politik sekaligus akan menjawab
beberapa pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang perkembangan dinasti politik yang
terjadi di Indonesia.
Pertanyaan mendasar adalah mengapa dinasti politik disebut sebagai sistem yang
bertentangan dengan demokrasi, bagaimana konsep familisme dalam dinasti politik,
adakah bahaya yang ditimbulkan jika dinasti politik terus berkembang di Indonesia, dan
bagaimana solusinya agar demokrasi di Indonesia berlangsung dengan seharusnya.

Dinasti politik pada dasarnya tidak ada dalam demokrasi, walaupun sejarah
mencatat dalam negara-negara demokrasi modern pasti dinasti politik ditemukan.
Padahal kita ketahui bahwa Negara demokrasi menjunjung tinggi hak seluruh warga
negara untuk memilih dan dipilih. Tidak dibenarkan jika itu mengatasnamakan
konstitusi, kehidupan politik didominasi oleh sekelompok golongan tertentu, karena
negara adalah milik bersama dan setiap warga negara berhak menduduki jabatan politik
selama mendapat kepercayaan oleh rakyat. Pengawasan dan juga pembatasan yang
berjalan selama ini, hanya sekadar diserahkan kepada landasan etik terkait kepatutan
dan kepantasan. Fakta yang terjadi di lapangan justru memperlihatkan bahwa politik
dinasti berkembang dan subur dalam lingkup negara demokrasi kita. Sistem yang berlaku
di dalam dinasti politik bukan berdasarkan kualitas kandidat melainkan atas kedekatan
secara personal dan kekeluargaan.

Dinasti politik di Indonesia biasanya dilakukan dengan dua cara: by design dan by
accident. Dinasti politik by design terbentuk sudah sejak lama. Jejaring familisme dalam
pemerintahan juga sudah kuat, sehingga memungkinkan bagi kerabat yang masuk dalam
pemerintahan atau terjun dalam politik diatur sedemikian rupa dengan tujuan untuk
merekayasa keberhasilan. Dan lain halnya dengan dinasti politik by accident, terjadi
ditandai dengan pemerintahan yang secara tiba-tiba mencalonkan kerabat untuk
menggantikannya demi menjaga kekuasaan informal terhadap penggantinya jika
menang dalam pemilihan.

Disadari atau tidak, dinasti politik terus membangun jejaring power nya dengan
kokoh sehingga mampu mengambil alih dan membunuh demokrasi dalam partai politik.
Dinasti politik yang berkembang di Indonesia menjadi ancaman keberlangsungan dan
masa depan perpolitikan di Indonesia. Bukan hanya menghilangkan hak rakyat dalam
berdemokrasi tetapi juga akan melahirkan pemimpin yang tidak kompeten. Bukan hanya
berdampak pada politik, tumbuh dan berkembangnya dinasti politik juga sangat
merugikan secara ekonomi karena dapat mengganggu persaingan usaha yang sehat.

Fenomena dinasti politik pernah terjadi di Provinsi Banten, bahkan termasuk


yang paling berhasil dalam mewujudkan dinasti politik. Itu terjadi pada Keluarga mantan
gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang tercatat paling sering terpilih dalam pemilu
atau pilkada. Dinasti Ratu Atut dimulai dari ayahnya, Tubagus Chasan. Ratu Atut
menjabat sebagai wakil Gubernur Banten pada 2002, kemudian menang pada Pilkada
Banten pada 2006 dan 2011. Jejak politik Ratu Atut ini diikuti oleh anggota keluarganya,
dari saudaranya, suami, ipar, mertua, ibu tiri, hingga anak-anaknya.

Dinasti politik juga pernah terjadi di Kabupaten Purwakarta yang memiliki


dinamika politik lebih cenderung mengarah pada pelanggengan kekuasaan oleh keluarga.
Dimulai dari sosok Dedi Mulyadi sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode yaitu
2008-2013 dan 2013-2018. Dedi Mulyadi yang juga menjabat sebagai ketua DPD tingkat
I Partai Golkar Provinsi Jawa Barat periode periode 2016-2020, pernah juga
mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Barat pada tahun 2018. Meskipun kalah,
namun Dedi Mulyadi secara bersamaan membukakan jalan kepada istrinya yang
bernama Anne Ratna Mustika sebagai penerus dirinya sebagai calon bupati Purwakarta
pada periode 2018-2023, kemudian Anne pun dinyatakan menang dalam pilkada
tersebut. Munculnya Anne ini tidak serta merta menghentikan rekam jejak politik
seorang Dedi Mulyadi.

Fenomena dinasti politik yang dibentuk oleh Dedi Mulyadi menempatkan jabatan
jabatan strategis yang dikuasai oleh satu keluarga, tentu menumbuhkan rasa pesimistis
dalam pembentukan demokrasi yang substansial di daerah. Bisa jadi kedepannya,
jabatan-jaabatan dalam ruang eksekutif, legislatif, hingga partai politik pun bisa dikuasai
dengan sepenuhnya. Sesuatu hal yang sudah ditanam, akan menjadi sangat bagus apabila
dirawat dengan baik oleh sang penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya, dan
biasanya lebih mengarah pada dinasti politik di daerah yang lebih menghegemoni.

Dinasti politik dapat disebut sebagai sistem yang bertentangan dengan demokrasi
karena dengan adanya dinasti politik telah menciptakan pembatasan ruang lingkup
demokrasi yang sejatinya membuka peluang kepada siapapun dalam berpolitik seluas-
luasnya. Maka dari itu, dinasti politik ditentang di Indonesia karena tidak dibangun
berdasarkan sistem meritokrasi yang dinilai cocok dengan iklim politik di Indonesia.

Ada lima kriteria praktik dinasti politik yang menjadi tumpuan, yaitu: Pertama,
mempunyai dampak politik dari petahana. Kedua, memanfaatkan momentum agar bisa
masuk ke wilayah politik. Ketiga, calon tidak diuji kemampuan dan pengalamannya.
Kempat, memanfaatkan sesuatu yang dimiliki sebelumnya oleh keluarganya. Dan kelima,
adanya penggabungan kekuatan politisi antara penguasa.

Familisme merupakan keterikatan yang terlalu besar terhadap ikatan keluarga


yang kemudian melahirkan kebiasaan dan menjadi budaya menempatkan keluarga dan
ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya.

Politik dinasti seharusnya bisa lebih mengarah terhadap perilaku moral, bukan
hanya sekadar mengejar kekuasaan. Di Eropa atau Amerika Utara memiliki konsep
familisme yang dipahami sebagai cara dalam menumbuhkan sikap favoritisme,
nepotisme, seksionalisme, maupun regionalisme, berdasarkan pada sikap semangat
dalam upaya menjaga dan mewujudkan kepentingan secara kolektif. Namun demikian,
hubungan darah tidaklah menjadi patokan utama dalam mendorong kerabat untuk
terjun dalam dunia politik.

Terdapat tiga bentuk familisme dalam dinasti politik : pertama, Familisme


(familism), yaitu dinasti politik yang didasarkan kepada hubungan darah secara
(consanguinity) dan hubungan perkawinan (marriage); kedua, Quasi-familisme, yaitu
dinasti politik berdasarkan pada sikap keestiaan para anggota keluarga dalam struktur
kekuasaan; ketiga, Egoisme-familisme yaitu dinasti politik berdasarkan pada
pemenuhan aspek fungsionalisme.

Terdapat empat sudut pandang penting untuk menggambarkan bahayanya


dinasti politik jika terus terjadi di Indonesia: pertama, politik kekerabatan yang terjadi
di Indonesia akan menyulitkan masuknya kritik, pengawasan, maupun mekanisme
checks and balances. Jika hanya sebatas mengutamakan kekerabatan dikhawatirkan
dalam pengambilan kebijakan juga menguntungkan pihak tertentu saja; kedua,
berkembangnya politik dinasti menyebabkan playing field mengalami ketimpangan
karena politik dinasti dinilai sudah mampu mengakumulasi pengaruh, kekayaan, dan
penguasaan terhadap suatu wilayah maupun mengontrol ekonomi tertentu, sehingga
memungkinkan persentase kemenangan yang potensial dalam kontestasi politik
disebabkan karena banyaknya sumberdaya dan modal; ketiga, tumbuh suburnya politik
dinasti menunjukkan bahwa institusionalisasi kepartaian yang semakin buruk dan lemah
dalam menjalankan fungsinya dalam rekrutmen dan kaderisasi; keempat, kekuatan
partai politik semakin melemah karena kemenangan dalam kontestasi menjadi prioritas
utama partai politik, bukan lagi efektivitas kekuasaan dalam jangka menengah dan
panjang, sehingga berbagai cara dapat dilakukan oleh partai politik untuk memastikan
terjaminnya kemenangan; kelima, menurunnya partisipasi politik.

Praktik dinasti politik akan memberi pengaruh buruk pada pembangunan sosial-
politik dan sosial-ekonomi, karena peluang politik dan ekonomi setiap warga negara
menjadi amat terbatas sebab di monopoli oleh penguasa serta keluarga dan para
kerabatnya. (Agustino : 2014)

Menurut Turner ( dalam Fadhillah : 2007), suatu jaringan mempunyai banyak


pengaruh pentig terhadap dinamika jaringan tersebut. Jika hal itu terjadi, dikhawatirkan
akan menjadi budaya dalam perpolitikan di Indonesia sehingga dapat menganggu sistem
demokratisasi secara keseluruhan. Jika sudah begitu, persoalan konsolidasi demokrasi
di Indonesia boleh jadi hanya sekadar mimpi.

Menurut Karyudi Sutajah Putra (2013) dalam Suara Merdeka “Kompetisi Politik
Dinasti”, dinasti politik menyebar dikarenakan tiga faktor : pertama, kekuatan modal
financial; kedua, kekuatan jaringan; dan ketiga, posisi dalam partai. Sampai sekarang
masih belum juga ada pembatasan oleh undang-undang tentang berkembangnya dinasti
politik di satu wilayah ataupun dalam parpol, sehingga berkembangnya dinasti politik
sulit disalahkan.

Dinasti politik akan diterima dan tidak dipermasalhkan selama dalam


pelaksanaan sistem perekrutan dan pemilihan calonnya berjalan secara adil dan juga
profesional tidak memihak. Yang terpenting saat ingin memilih atau menentukan
kandidat untuk kontestasi politik harus didasarkan pada sistem meritokrasi, yaitu
memberikan hak kepada siapapun yang mempunyaii prestasi dan track record yang
cukup baik untuk menduduki kursi-kursi strategis dalam pemerintahan.

Sistem meritokrasi adalah pemberian privilege kepada siapapun yang memiliki


prestasi. Meritokrasi dianggap dapat mengikis sistem dinasti politik dan dianggap
sebagai sistem yang adil dengan memberikan hak lebih kepada individu-individu yang
berprestasi untuk menjadi pemimpin. Hal itu penting dalam upaya rekruitmen jajaran
pemerintah agar berada pada tempatnya secara profesional berdasarkan kemampuan,
kecakapan, dan prestasi yang dimiliki.

Apabila, dinasti politik tidak mampu dicegah, maka kejadian di Philipina bisa jadi
akan muncul di Indonesia, seperti yang dituturkan Ikrar (2010) demokrasi justru
menguatkan orang-orang kaya lama. Dan apabila bangsa ini tidak peduli, maka bisa jadi
hal seperti itu akan terjadi di negeri kita. Memunculkan kelas menengah yang kritis
adalah sarana ampuh menguatkan demokrasi. Hanya saja, kelas menengah hanya dapat
muncul ketika pendidikan yang berkualitas dan lapangan kerja sudah banyak tersedia.
Kedudukan struktur dan aktor politik secara teoritis memang memiliki perbedaan
dari segi sudut pandang, hal itu bisa dilihat dari yang lebih prioritas diantara keduanya
dalam menentukan tindakan. Dilihat dari konsepnya, struktur “ditakdirkan” sebagai
sebuah sistem yang difungsikan sebagai penentu dan juga pembatas gerak dari aktor dan
memiliki sifat mekanistik.

Proses demokrasi yang wajar menurut Robert A Dahl (dalam Gaffar : 2000) ;
Pertama, kontrol terhadap keputusan pemerintah tentang kebijakan secara
konstitusional yang diberikan kepada para pejabat terpilih. Kedua, melalui pemilihan
yang teliti dan jujur serta para pejabat dipilih tanpa paksaan dan rakyat memilih tanpa
adanya tekanan. Ketiga, semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam
pemilihan pejabat pemerintahan. Keempat, semua orang dewasa juga mempunyai juga
hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Kelima, rakyat
mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat tanpa adanya ancaman hukum yang
berat mengenai berbagai persoalan politik pada tataran yang luas lagi, termasuk juga
mengkritisi para pejabat, system pemerintahan, ideologi yang berlaku dan tatanan sosio-
ekonomi. Keenam, rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber informasi
cadangan yang ada dan dilindungi oleh hukum. Ketujuh, warga Negara mempunyai hak
dan kebebasan untuk membangun suatu lembaga atau organisasi yang relatif
independen.
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa pada dasarnya praktik


dinasti politik yang terjadi di Indonesia semakin meluas, bukan sekadar terjadi di dalam
ranah perpolitikan daerah namun sudah sampai ranah perpolitikan lokal. Penentuan
calon kandidat oleh partai politik akan menjadi pembahasan yang sangat penting, apalagi
ketika terjadi praktik dinasti politik di partai politik itu sendiri, seperti muncul calon dari
anggota keluarga tokoh partai politik. Jika hal itu benar terjadi, secara sadar atau tidak
praktik dinasti politik dalam partai politik itu tumbuh dan berkembang di dunia
perpolitikan negara kita.

Meskipun yang namanya demokrasi itu mengedepankan kesamaan hak, tetapi


demokrasi juga memang dirancang oleh para pengagasnya sejalan dengan ekonomi
liberal. Berarti, di negara-negara perintis demokrasi yang ada di barat, kesejahteraan
sudah terasa, sehingga timbul yang namanya kelas menengah yang independen, yang
akan mendukung demokrasi dengan sendirinya. Namun , resikonya ketika kesiapan kelas
menengah belum bisa merata, akan memunculkan fenomena dinasti politik.

Oleh karena itu, tugas yang harus segera dituntaskan oleh sistem perpolitikan di
Indonesia yaitu bisa memunculkan kelas menengah yang independen. Baik dari segi
perekrutan partai politik, pendidikan mengenai politik bagi masyarakat, dan juga
perundang-undangan. Agar nantinya keberadaan dinasti politik dapat dikritisi oleh
banyak kelompok yang sadar dan paham betul mengenai politik, dari segi ekonomi juga
mereka menjadi tidak mudah dipengaruhi. Bagaimanapun demokrasi itu adalah pilihan
yang paling memungkinkan bagi masyarakat untuk mendapat hak-hak kemanusiaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Gunanto, Djoni. (2020). “Tinjauan Kritis Politik Dinasti di Indonesia”. Jurnal Administrasi
Negara. Volume 8 Nomor 2 (2020). Halaman 177-191.

Bathoro, Alim. (2011). “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi”. Jurnal
FISIP Umrah. Vol 2. No 2 (2011). Halaman 115-125.

Mustapa, H., Bakti, Andi F.., et. all. (2020). “Good Governance and Corruption in the View
of Syafruddin Prawiranegara (1911-1989)”.24 (04): 5336–50.
https://doi.org/10.37200/IJPR/V24I4/PR201631

Mustapa, H., et. all.. (2020). “Civil Society Culture and Authority Systems in the
Perspectives on Waste Management in Tokyo”. Politicon, 2 (2): 191-209.

Mustapa, H., Syi’aruddin, M. A.. (2020). “Creative Understanding Dalam Progressivisme


Pemikiran Islam Politik Syafruddin Prawiranegara (1911-1989): Sebuah Pendekatan
Komunikasi”. Politea: Jurnal Politik Islam, 3, 1 (Januari-Juni): 134-172.

Mustapa, Hasan. (2019). “Political Regional Tourism in Civil Society Perspective (Profile
of Development Strategy of Situ Bagendit Tourism Object, Banyuresmi District, Garut
Regency, West Java Province)”. Politicon, 1 (1): 24–50.

Mietzner, M. (2009). “Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the


Consolidation of the Party System”. Lowy Institute: For International Policy. 1-22.

Nurhadi, Wahyu. (2020). “Dinasti Politik Dalam Demokrasi Lokal Era Desentralisasi”.
Jurnal FISIP UNPAD.(2020). Halaman 1-3.

Djuyandi, Yusa. Al-Banjari, H. & Dea Arsyad Mujtahid Shibgotulloh. (2020). “Peran Aktor
Dalam Proses Pembentukan Dinasti Politik (Studi Kasus Di Kabupaten Purwakarta”.
Jurnal FISIP UNPAD. Vol. 3 No. 1 (2020). Halaman 27-48

Fadhilah, Amir, 2007. “Budaya Politik: Studi Kasus Kyai Pesantran di Kabupaten
Pekalongan”. Jurnal Al Qalam, Vol. 24. No 1 Januari-April 2007, hal 38-54.

Creswell, John W. (2015). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset:Memilih di Antara Lima
Pendekatan. Penerjemah: Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Huntington, SP. (1991). Gelombang Demokratisasi ketiga. Jakarta, PT Intermasa

Diamond, L & Plattner MF. (2000). Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi.
Jakarta, Raja Grafindo Persada

Agustino, L. (2014). Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta. Halaman 209-
211.
Gaffar, Afan, 2000. Politik Indonesia Menuju Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.

Abdurrahman, Muhammad. (2015). Political: Ilmu Politik, Demokrasi, Partai Politik dan
Welfare State. Yogyakarta: Buku Litera.

Karyudi, S. P. (2013, 18 Oktober). “Kompetisi Politik Dinasti” . Diakses dari


http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/10/18/240351/Kom
ptetisi-Politik-Dinasti.

Ikrar Nusa Bhakti, Polemik Istri Pejabat Maju Pilkada, Seputar Indonesia, 1 juni 2010

Anda mungkin juga menyukai