Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS FENOMENA DEMOKRASI SAAT INI

DAN KAITANNYA DENGAN CIVIL SOCIETY


DI INDONESIA

Disusun Oleh Kelompok 4B :

1. Nabila Mutiara Damayanti (K6419047)


2. Putri Amelia N (K6419054)
3. Rima Mutmainah (K6419061)
4. Shafyna H Rahardhani (K6419068)
5. Sri Lidianingsih (K6419071)
6. Tofan Hambali (K6419074)
7. Wina Salsa Nabila (K6419079)
8. Yesita Amanda (K6419080)
9. Yhulita Kumala Pramurdya (K6419081)

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2020
A. HAKIKAT DEMOKRASI
Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (epistemologis) yaitu
“rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people” dan istilah (terminologis).
Secara epistemologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani
yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cretein” atau
“cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau
demos-cratos adalah keadaan Negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan
berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat,
rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh rakyat (Sulisworo, 2012). Demokrasi
sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas
bermasyarakat dan bernegara di beberapa Negara. Seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD,
ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara.
Pertama, hampir semua negara didunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang
fundamental. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah
memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai
organisasi tertingginya. Secara substantif, prinsip utama dalam demokrasi juga dibagi
menadi dua yaitu kebebasan atau persamaan (freedom/equality) dan kedaulatan rakyat
(people’s sovereighty).
Demokrasi pada dasarnya memiliki suatu proses dan tahapan penting yang harus
dilalui untuk mewujudkan makna sebenarnya dari demokrasi itu sendiri, salah satunya
melalui tahap konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan saran untuk
meningkatkan prinsip komitmen seluruh lapisan masyarakat, dalam prosesnya demokrasi
dapat terkonsolidasi apabila pemeran utama dalam bidang politik, ekonomi, negara, dan
masyarakat sipil dapat menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis sebagai alternatif untuk
mendapat kekuasaan. Hal tersebut juga berlaku di Indonesia, dimana konsolidasi
demokrasi Indonesia dipengaruhi oleh budaya politik/kekuatan-kekuatan politik. Kondisi
tersebut semakin lama, semakin mempengaruhi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Apalagi ketika masa pemilu datang, terdapat banyak persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan membangun kualitas politik, pendalaman demokrasi (deepening democracy), dan
konsolidasi demokrasi. Saat ini, Indonesia masih jauh dari harapan konsolidasi
demokrasi, dimana demokrasi Indonesia belum memenuhi ciri-ciri konsolidasi
demokrasi yaitu :
1. Demokrasi bisa berjalan dan berproses dalam masa waktu yang lama
2. Ada penegakan hukum berjalan baik
3. Pengadilan yang independen
4. Pemilu yang adil dan kompetitif
5. Civil society yang kuat
6. Terpenuhinya hak-hak sipi, ekonomi, dan budaya warga negara.
Sehingga dalam hal ini sebenarnya diperlukan pendalaman-pendalaman demokrasi dari
sisi negara maupun sisi masyarakat. Dari sisi negara pendalaman demokrasi tersebut
berupa :
1. Pengembangan pelembagaan mekanisme penciptaan kepercayaan seluruh aktor
politik
2. Pengembangan penguatan kapasitas administratif-teknokratik yang menyertai
pelembagaan.
Sedangkan dari sisi masyarakat, pendalaman demokrasi tersebut berupa pelembagaan
penguatan peran masyarakat dalam aktivitas politik formal di tingkat lokal.
Banyaknya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kualitas politik,
pendalaman demokrasi, dan konsolidasi demokrasi di Indonesia saat ini membuat
munculnya berbagai fenomena pula dalam pelaksanaan kehidupan demokrasi yang
diinginkan. Ditambah lagi dengan adanya berbagai kompromi-kompromi antara elite
penguasa dan elit masyarakat, yang semakin mempertanyakan bagaimana kemurnian
partisipasi masyarakat (political participation). Apakah benar-benar berasal dari hati
nurani serta keinginan masyarakat, atau hanya sekedar manipulasi?. Kemudian juga
timbul budaya kekerasan dan pemaksaan dalam praktik demokrasi, kurangnya
keterbukaan politik kepada masyarakat, kurangnya toleransi dalam berpendapat, masih
adanya budaya feodal, dan hal-hal yang berkaitan dengan HAM. Persoalan-persoalan
tersebut sampai saat ini masih sering terjadi dan menjadi boomerang tersendiri bagi
pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
B. FENOMENA DEMOKRASI SAAT INI
Perjalanan demokrasi Indonesia sendiri mengalami pasang-surut sejak awal
lahirnya Republik hingga sekarang. Secara singkat, pasang surut demokrasi di Indonesia
berkaitan erat dengan tingkah laku para elitnya, apakah mereka berhati lapang atau
malah mereka sangat picik dan tidak bertanggungjawab. Sikap miopik dan parokial ini
terutama bersumber pada kondisi lemahnya kultur kenegarawanan yang dianut oleh
sebagian besar politisi di Indonesia (Kartodirdjo, 1986: 28). Sebagai negara yang sudah
menerapkan sistem demokrasi, namun masih banyak penyimpangan dalam
pelaksanaannya seperti sistem pemerintahan yang berjalan tidak sesuai dengan struktur
yang disusun dan banyak anggota perwakilan rakyat yang menyalahgunakan jabatannya
untuk kepentingan dirinya sendiri yang berdampak negatif pada rakyat, maka secara
teoritis negara ini adalah negara yang demokratis tetapi dalam pelaksanaannya belum
sesuai dengan gambaran demokrasi yang sebenarnya. Masih terlihat fenomena
demokratis di Indonesia yang hanya sebagai formalitas saja dan menjadikan Indonesia
tidak mengimplementasikan sistem demokratis dengan baik. Kemudian pelaksanaan
demokrasi Indonesia di era reformasi juga tidak luput dari sejumlah hambatan. Hambatan
utama pelaksanaan demokrasi pada saat ini adalah sistem Kapitalisme yang dianut oleh
Indonesia. Kapitalisme menciptakan ketidaksetaraan dalam bidang ekonomi. Sejalan
dengan hal tersebut, ketidaksetaraan dalam akses politik juga terjadi pada masyarakat.
Sumber daya politik tidak dapat didistribusikan secara merata dalam sistem Kapitalisme.
Akses terhadap pemerintahan kini hanya dimiliki oleh orang-orang kaya yang memiliki
modal. Kebijakan yang muncul dalam sistem ini seringkali tidak mengindahkan
kepentingan rakyat banyak karena terfokus pada kepentingan para pemilik modal.
Singkatnya, penyelenggaran pemerintahan selama ini hanya didasarkan pada
kepentingan segelintir golongan elit. Sistem oligarki kompleks ini memperkuat jurang
ketidaksetaraan dalam masyarakat yang inheren dalam masyarakat kapitalis. Hak-hak
ekonomi dan politik rakyat banyak yang tidak terpenuhi. Golongan elit telah merampas
hak-hak rakyat tersebut. Kebijakan yang pro-rakyat semakin sulit terealisasikan.
Demokrasi sebagai sistem seolah tidak mampu memberikan tempat bagi rakyat
untuk merealisasikan keinginan mereka. Secara substantif, ketidaksetaraan ini jelas
sangat berlawanan dengan prinsip dasar demokrasi yang mengedepankan kesetaraan.
Paradoks inilah yang terjadi dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sehingga
Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi (AMUKK) menilai bahwa demokrasi
di Indonesia saat ini sedang mengalami kemunduran. Beberapa contoh yang
menggambarkan fenomena demokrasi Indonesia saat ini adalah sebagai berikut :
1. Masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil
yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi,
pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan
berita palsu, rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media dan kebebasan
berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi terhadap kelompok
minoritas. Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir
semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah
merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi
menghindari "stigma" berpihak kepada kelompok intoleran yang anti-Pancasila dan
anti-demokrasi. Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk
demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan.
Absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara
kritis kepada kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk
menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti. Pengawasan atau surveilance
atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala
penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari
kampus.
2. Persoalan demokrasi terbesar kita saat ini ada pada lemahnya partai politik, dimana
rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan. Tokoh masyarakat yang
berkualitas, dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun
legislatif. Dua dekade setelah Reformasi, partai belum mulai menunjukkan ikhtiar
yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan
pada masa menjelang pemilu. Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka
tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai
bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena
mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih masif. Akhirnya sistem politik
nasional diisi oleh kader-kader instan. Pemilu biaya tinggi karena masifnya praktik
politik uang. Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi
di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislatif
berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. Ditambah lagi
akhir-akhir ini terdapat pula fenomena politisasi agama, yang dianggap sebagai
"bentuk baru" untuk memikat hati masyarakat. Dibuktikan dengan banyaknya
kampanye yang memiliki substansi berkaitan dengan politik-agama seperti pada
Pilpres tahun 2019.
3. Lemahnya internalisasi keadaban sipil (civic virtue) di antara warga negara
sebagaimana tampak dalam perseteruan yang tajam, dangkal, dan kurang beradab
antara netizen di media sosial. Warga negara perlu belajar untuk berbeda pendapat
atau pilihan politik sambil tetap berteman, bersahabat, dan bersaudara sebagai sesama
anak bangsa. Maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan diskriminasi terhadap
minoritas agama dan suku merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Perbedaan
pilihan politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa
saling percaya, toleransi, saling tolong menolong, dan saling menghargai perbedaan.
Ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pemberangusan buku, pencekalan
diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwan dari luar yang melakukan
penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU ITE untuk
mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan
berekspresi.
4. Mengenai supremasi hukum, pemerintah Indonesia dinilai belum memiliki tekad kuat
untuk agenda reformasi di sektor keamanan. Karena terdapat fenomena dimana ketika
ada prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, tetapi diadili di peradilan militer
yang mana bisa mengakibatkan lahirnya rantai impunitas. Hal tersebut bertentangan
dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004. Peraturan itu, mengamanatkan reformasi peradilan militer agar anggota TNI
yang melakukan tindak pidana dapat diadili di peradilan umum. Sinkronisasi
peraturan perundang-undangan dengan instrumen HAM dinilai berjalan sangat lambat
5. Penegakan hak asasi manusia mengalami sedikit permasalaha yaitu Pemerintah tidak
menaruh perhatian serius terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Mengutip kerja penyelidikan pro justisia Komnas HAM, hingga saat ini terdapat
sembilan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menggantung di Kejaksaan Agung.
Hal itu juga berbuntut pada ketiadaan perlindungan dan jaminan hak asasi manusia
untuk saat ini. Dengan tidak selesainya hal itu, menjadikan pemerintah Indonesia
tidak akuntabel dan sangat permisif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi saat ini
seperti ada penyiksaan, eksekusi di luar putusan pengadilan, kriminalisasi terhadap
pembela HAM, serta berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya
6. Minimnya partisipasi publik atau masyarakat dalam merumuskan suatu kebijakan.
Skema perumusan legislasi di parlemen tidak partisipatif bahkan tertutup. Seperti
contohnys pembahasan revisi UU KPK yang tidak melibatkan KPK sama sekali.
Padahal dalam negara demokrasi, kunci negara demokrasi adalah kedaulatan di
tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal mutlak. Kemudian juga pemerintah
terlihat telah melakukan transparasi tentang kebijakan yang akan dibuat dengan
memaparkannya ke hadapan publik supaya masyarakat ikut serta mengawasi apa yang
akan terjadi dengan kebijakan tersebut, contoh kasus seperti RUU KUHP dan UU
KPK yang sempat kontroversial di kalangan mahasiswa dan juga masyarakat, dimana
UU KPK dapat melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi. Banyak elemen
masyarakat yang menolak disahkannya undang-undang tersebut hingga terjadi
demonstrasi besar-besaran yang mengakibatkan adanya korban meninggal dan luka-
luka dikarenakan mendapat tembakan dari aparat. Melihat kasus ini, sebenarnya telah
jelas bahwa dalam negara demokratis, rakyat berhak menyuarakan pendapatnya salah
satunya dengan demonstrasi. Tetapi kejadian tersebut terlihat bahwa kebebasan
masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya telah terpatahkan dengan terjadinya
korban jiwa dalam demonstrasi, yang mana pada dasarnya demonstran telah
mendapatkan hak perlindungan hukum yang tertulis dalam Undang-Undang.
7. Munculnya praktik politik dinasti yang pelaksanaannya lebih banyak mengakomodasi
kedekatan personal tanpa melihat kemampuannya, sehingga merusak sistem
demokrasi yang hendak kita bangun, Dinasti politik yang mulai mewabah Indonesia
merupakan sebuah ancaman. Disamping dapat menutup peluang lahirnya pemimpin
berkualitas, juga dapat melahirkan tirani dalam bentuk baru. "Politik dinasti, tidak
hanya merugikan secara politik, tapi juga secara ekonomi dapat merusak persaingan
usaha yang sehat, fakta membuktikan, bahwa setiap pemerintahan cenderung
melibatkan orang dekat dalam menopang kebijakan ekonominya.

C. KAITAN DENGAN CIVIL SOCIETY

Anda mungkin juga menyukai