Anda di halaman 1dari 12

Democracy Education in the Sociocultural Perspective of Indonesian

Society

Elly Hasan Sadeli1*, Zamroni2 dan Nasiwan3


*123
Department of Education, Yogyakarta State University, Indonesia
*1
Department of Pancasila and Civic Education, University of Muhammadiyah Purwokerto, Indonesia
*1ellyhasansadeli@ump.ac.id, 2zamronihardjowirono@yahoo.com, 3nasiwan@uny.ac.id

Abstrak
Praktik demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yang sebenarnya diawali dengan pemilihan
kepala desa secara langsung. Kemudian kebangkitan proses demokratisasi secara nasional dimulai pada era
reformasi, salah satunya dengan pemilihan pimpinan eksekutif, dari presiden hingga kepala daerah secara
langsung. Sehingga menjadi fondasi demokrasi di Indonesia dan memperkuat demokrasi di lingkungan lokal.
Terutama, di masyarakat lokal Banyumas di provinsi Jawa Tengah kehidupan demokrasi memiliki praktik
demokrasi yang unik dan menarik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data penelitian adalah hasil
pengamatan dan interview di masyarakat Banyumas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pendidikan
demokrasi masih terbatas pada definisi demokrasi, yaitu tentang pemilu. Namun, nilai-nilai demokrasi hadir
dalam kehidupan masyarakat. Mayoritas masyarakat cenderung puas dengan terwujudnya nilai-nilai demokrasi,
terutama dalam hal kebebasan, antara lain: kebebasan untuk menjalankan agama, kebebasan untuk berkumpul
dan mendirikan organisasi, kebebasan berbicara, dan kebebasan untuk memilih dalam pemilu. Keadaan ini
cukup menarik, walaupun pengetahuan tentang demokrasi sangat sederhana, namun masyarakat Banyumas
sudah memiliki landasan dasar dalam membangun kehidupan demokrasi. Implikasi penelitian adalah penguatan
dan pengembangan kegiatan kultural sebagai bentuk pendidikan demokrasi di masyarakat Banyumas. Hal ini
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai demokrasi yang tercermin dalam budaya dan
kebiasaan sehari-hari. Budaya Banyumas dapat memberikan akses yang lebih luas bagi masyarakat yang tidak
mengenyam pendidikan formal untuk memperoleh pemahaman tentang demokrasi.

Kata kunci: pendidikan demokrasi, komunitas lokal, budaya Banyumas

A. PENDAHULUAN
Praktik demokrasi di Indonesia masih mengalami berbagai kendala. Dilihat dari
perspektif sosiokultural, perkembangan demokrasi di Indonesia menggambarkan dinamika
yang unik dan bersemangat untuk dianalisis. Pembangunan mengalami tiga fase yang diawali
dengan penerapan sistem demokrasi liberal bersama dengan cabinet parlementer pada masa
awal kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1959, diikuti oleh langsung demokrasi pada masa
awal orde lama 1959-1966, dan yang terakhir adalah demokrasi Pancasila di bawah
pemerintahan orde lama 1966-1998 dan kemudian direformasi pada 1998 menjadi demokrasi
Pancasila orde reformasi.
Hatta (1997:121) melihat bahwa demokrasi di Indonesia adalah pendanaanmental
berdasarkan cita-cita perjuangan rakyat yang menciptakan implementasi landasan hak asasi
manusia dan persamaan sosial. Demokrasi politik belaka tidak dapat mewujudkan gagasan
kesetaraan dan persaudaraan. Seiring dengan demokrasi politik, ekonomi demokrasiharus
mengikuti. Jika tidak, akan ada penghentian kebebasan dan kesetaraan dan persahabatan
tidak dapat dicapai. Jadi itulah mengapa tujuan demokrasi Indonesia adalah demokrasi
sosial, mencakup semua aspek kehidupan yang menentukan nasib umat manusia.
Meskipun implementasinya memberikan ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat,
ada kekhawatiran tentangsistem demokrasi, bahkan sejak kemunculan pertamanya sekitar 5
abad sebelum tanggal Kristen di Zaman Kuno Yunani di kota Athena, salah satu filosop
terkenal, Socrates (Kleden, 2004: 3) yang cenderung menolaknya. Menurut Socrates,
demokrasi harus dicegah karena memberikan kemungkinan bahwa suatu negara akan
diperintah oleh orang-orang bodoh, yang kebetulan mendapatkan banyak suara untuk
mendukungnya. Socrates tentu paham betul bahwa orang tidak selalu memberikan dukungan
kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, melainkan kepada orang-orang yang
mereka sukai. Sayangnya, orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat, tidak selalu orang
yang kompeten untuk memprioritaskan kepentingannya.
Jika situasi seperti itu benar-benar terjadi, maka akan melemahkan esensi dari demokrasi
yang ideal. Nilai-nilai demokrasi yang seharusnya mencerminkan identitas bangsa akan
diabaikan oleh sistem demokrasi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai falsafah bangsa.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Latif (2015:5-7), tercapainya demokrasi deliberatif yang
menjadi sarana penguatan negara kesatuan (yang mengatasi kepentingan individu dan
kelompok) dan negara kesejahteraan (berorientasi pada keadilan sosial) dihadang oleh
beberapa hambatan, antara lain: Pada tingkat budaya, politik sebagai teknik berkembang,
namun politik sebagai etika mengalami penurunan. Meskipun prosedur demokrasi secara
kasat mata terlihat demokratis, namun budaya demokratis yang menjadi landasan masih
dipengaruhi oleh praktik nepotisme feodalistik. Pemerintahan demokratis tidak diiringi
dengan meritokrasi (pemerintahan yang berprestasi), melainkan cenderung menghasilkan
pemerintahan yang biasa-biasa saja. Perluasan partisipasi politik juga sejalan dengan
perluasan partisipasi korupsi. Pada tingkat kelembagaan, desain lembaga-lembaga demokratis
terlalu fokus pada alokasi kekuasaan (sumber dana) daripada pada kapasitas manusia. Pada
tataran struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model demokrasi liberal tanpa
melakukan penyesuaian dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat justru dapat merusak
demokrasi. Dalam ringkasan, kondisi seperti itu menggambarkan bahwa demokrasi yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa dapat merusak esensi dari demokrasi
itu sendiri. Hambatan yang terjadi pada tingkat budaya, kelembagaan, dan struktural perlu
diperhatikan dan diatasi agar demokrasi dapat berfungsi secara optimal dalam mewujudkan
negara yang kuat dan mensejahterakan masyarakat.
Kondisi-kondisi itu, secara konseptual, tidak ideal dalam praktik demokrasi, karena
telah lama dipahami bahwa etos demokrasi sebenarnya tidak diwariskan, tetapi diperoleh dan
dialami. Bagaimanapun, setiap generasi adalah masyarakat baru yang harus memperoleh
pengetahuan, mempelajari keterampilan, dan mengembangkan karakter publik atau pribadi
atau karakter yang sejalan dengan demokrasi konstitusional. Sikap mental ini harus dipelihara
dan dipelihara melalui kata-kata dan instruksi serta kekuatan teladan. Demokrasi
bukanlah mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya, tetapi harus selalu direproduksi
secara sadar dari satu generasi ke generasi berikutnya. Memang pandangan ini merupakan
cita-cita dalam membangun budaya demokrasi, namun di Banyumas masyarakat memiliki
cara yang sangat sederhana untuk memaknai demokrasi, cukup baik dalam pelaksanaannya,
walaupun masih diperlukan untuk membangun yang lengkap pemahaman, sehingga dapat
menjalankan sistem demokrasi yang ideal.
Berdasarkan pendapat yang disebutkan sebelumnya ada penggambaran bahwa untuk
membangun budaya demokrasi, diperlukan pendidikan demokratis yang dapat mengajarkan
apa dan bagaimana demokrasi itu berjalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Formula ini sesuai dengan rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan menjadi
salah satu stat dasar pada lima sila Pancasila, berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila, dan Undang-Undang Dasar yang berlaku di Indonesia, adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Untuk
hal ini, karakter kewarganegaraan menjadi acuan untuk menggambarkan kompetensi yang
harus dimiliki setiap warga negara/masyarakat. Kompetensi kewarganegaraan menurut
Branson (1998:16), terdiri dari tiga komponen penting, yaitu: 1) Civic knowledge
(pengetahuan tentang kewarganegaraan), terkait dengan isi atau apa yang harus diketahui
oleh warga negara; 2) Keterampilan kewarganegaraan, adalah keterampilan intelektual dan
partisipatif yang relevan; dan 3) Disposisi sipil yang menyiratkan karakter publik dan pribadi
yang penting untuk pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Untuk masalah ini, penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian pendidikan
demokrasi dalam perspektif sosiokultural implikasinya terhadap kompetensi
kewarganegaraan. Hal ini penting untuk mengeksplorasi, mengkaji, dan mengorganisasikan
informasi argumentatif dan teoritis-konseptual tentang: 1) pealitas pendidikan demokratis
dalam perspektif sosiokultural masyarakat Banyumas; 2) Peran pendidikan demokratis
dalam perspektif sosiokultural untuk menegakkan kompetensi kewarganegaraan masyarakat
Banyumas yang demokratis; 3) Pembangunan pendidikan demokratis dalam perspektif
sosiokultural diperlukan untuk pengembangan kompetensi kewarganegaraan masyarakat
Banyumas. Pentingnya penelitian penting untuk memberikan wawasan yang mendalam
tentang pendidikan demokrasi dalam perspektif sosiokultural dan implikasinya terhadap
kompetensi kewarganegaraan. Hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi yang berharga
bagi pengembangan pendidikan demokrasi yang lebih efektif dan relevan dalam masyarakat
Banyumas, serta dapat diaplikasikan secara lebih luas dalam konteks pendidikan demokrasi
di daerah lain.

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Urgensi Pendidikan Demokratis
Pada konsep demokrasi, argumen kekuasaan berada di tangan warga negara
masih diperdebatkan di kalangan para ahli politik di dunia. Schumpeter (2013:455)
menyatakan apa yang disebutnya "teori demokrasi lain". Menurutnya, "Metode demokrasi"
adalah prosedur institusional untuk mencapai keputusan politik di mana seorang individual
dapat memperoleh kekuasaan dengan membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif
untuk mendapatkan suara rakyat. "Dengan mengikuti tradisi Schumpertarian, studi ini
mempertimbangkan sistem politik pada abad ke-20 untuk menjadi cukup demokratisselama
para pengambil keputusan kolektif terkuat dalam sistem dipilih melalui pemilihan yang adil
dan jujur dan bertahap. Selain itu, dalam sistem ini, para kandidat bebas bersaing satu sama
lain untuk mengumpulkan suara dan sebagian besar warga negara memiliki hak untuk
memilih. Schumpeter yang mengatakan bahwa pemerintah menetapkan cara ini, memiliki
pemilihan yang adil, adalah definisi demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, berdasarkan
definisi tersebut, demokrasi terdiri dari dua dimensi, yaitu "kontes dan partisipasi", yang
menurut Robert Dahl (Huntington, 1997:5) merupakan unsur penentu demokrasi atau
poliarki. Demokrasi juga menyiratkan adanya kebebasan sipil dan politik, kebebasan
berbicara, kebebasan untuk menerbitkan, mengumpulkan, dan mendirikan sebuah organisasi,
yang dibutuhkan oleh debat politik dan pelaksanaan kampanye politik untuk pemilu.
Akibatnya, Mayo (1960:13) menyatakan pada karyanya yang berjudul Pengantar Teori
Demokrasi Demokratik, bahwa definisi demokrasi sebagai sistem politik sebagai berikut:
Sistem politik demokratis adalah sistem di mana kebijakan publik dibuat atas dasar
mayoritas, oleh perwakilan yang tunduk pada kontrol rakyat yang efektif pada pemilihan
berkala yang dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan politik dan dalam kondisi politik
kebebasan.
Sejalan dengan sudut pandang John Dewey (Zamroni 2002: 30), ia mengatakan
bahwa gagasan utama demokrasi adalah prinsip hidup yang tercermin dari kebutuhan
setiap warga negara yang matang berpartisipasi dalam upaya membangun nilai-nilai yang
mengendalikan aspek sosial kehidupan. Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi, kekuasaan
tertinggi berada dalam cengkeraman rakyat, dengan kata lain, itu adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang tidak akan pernah berhenti dari dunia ini.
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun bentuknya, demokrasi
akan selalu melibatkan manusia dalam setiap aspek kehidupan.
Akibatnya, untuk membangun tatanan demokrasi, prinsip demokrasi seperti
kebebasan politik, kebebasan intelektual, dan kebebasan berbicara harus diterapkan
dalam sosial dan sipil hidup.
Upaya membangun kehidupan demokrasi tidak semudah yang dikatakan.
Misalnya, hanya karena pemimpin bangsa sangat percaya pada ideologi demokrasi, itu tidak
membuat warga negara menjadi demokratis secara otomatis. Ini membutuhkan proses
pendidikan demokratis, Gandal dan Finn (1992) menyatakan bahwa demokrasi tidak
mengajarkan dirinya sendiri. Jika kekuatan, manfaat, dan tanggung jawab demokrasi tidak
dijelaskan kepada warga negara, mereka tidak akan diperlengkapi dengan baik untuk
mempertahankannya.
Perspektif di atas menggambarkan bahwa kehidupan sipil demokratis tidak akan
terjadi dengan sendirinya tetapi harus dipikirkan oleh generasi penerus. Winataputra (2001)
pada disertasinya menemukan bahwa pendidikan demokrasi adalah usaha sistematis yang
diselenggarakan oleh negara dan masyarakat untuk memfasilitasi rakyat memahami,
memahami, melaksanakan, dan mengembangkan konsep, prinsip, dan nilai-nilai demokrasi
sejalan dengan perannya dalam masyarakat.
Demokrasi adalah proses pendidikan, bukan sesuatu yang dapat diciptakan dalam
sekejap mata. Jadi itulah mengapa proses pendidikan sangat menentukan, praktik
pelaksanaan demokrasi di lembaga sosial, ekonomi, dan budaya, apalagi di lembaga politik.
Oleh karena itu, demokrasi hanya dapat tumbuh jika kesadaran demokratis, tanggung jawab
demokratis ada. Demokrasi bukan hanya cara untuk mencapai kekuasaan. Sayajuga
berfungsi sebagai instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dengan metode
demokrasi. Demokrasi bukanlah kebebasan tanpa batas. Kebebasan dalam demokrasi
dibatasi oleh tanggung jawab untuk kepentingan publik dan hanya dapat diwujudkan jika
implemented di bawah aturan hukum. Namun, kondisi objektif ini menunjukkan bahwa
proses pembelajaran yang sekarang sedang dipraktekkan belum kondusif bagi pengembangan
nilai-nilai.

2. Perspektif Sosial Budaya


Dalam konteks keragaman latar belakang sosial budaya, pelaksanaan demokrasi
seringkali menghadapi berbagai kendala yang tidak terduga, misalnya penggunaan bahasa,
simbol, nilai sosial, dll. Selain itu, Giddens (2010:250) menyatakan cukup mudah untuk
menyaksikan bahwa penerapan norma, istilah sosial memiliki dua definisi utama, pertama, itu
adalah konotasi asosiasi atau interaksi sosial; Definisi lainnya adalah masyarakat sebagai
kesatuan yang memiliki batas-batas yang membedakannya dari masyarakat sekitarnya
lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat adalah entitas yang relatif stabil di mana unsur-
unsur penyusunnya bergabung secara elaboratif.
Pada karyanya yang berjudul The Social System (1951) dan Toward a General
Theory of Action (1951), dikutip oleh Shils (Sutrisno dan Putranto, 2005:56), Parson melihat
bahwa isu sentral suatu masyarakat berkaitan dengan integrasi dan alokasi. Alokasi mengacu
pada distribusi gaji tertentu ke people. Di sisi lain, integrasi mengacu pada bagaimana kita
mengelola ketegangan yang muncul sebagai akibat dari alokasi sebelumnya. Untuk
menjelaskan masalah ini, Parson mengembangkan model masyarakat yang terdiri dari tiga
sistem; 1) sistem sosial yang dibentuk oleh interaksi sosial, 2) sistem kepribadian
(terinspirasi oleh model Freud) yang disusun oleh beberapa disposisi kebutuhan,
3) Sistem budaya, sistem ini memungkinkan umat manusia untuk berkomunikasi satu sama
lain dan mengoordinasikan tindakan mereka, beberapa di antaranya dengan melestarikan
peran harapan.
Oleh karena itu, masyarakat terintegrasi berdasarkan kesepakatan anggotanya masing-
masing terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang memiliki kemampuan untuk mengantisipasi
perbedaan sehingga masyarakat ini dianggap sebagai sistem yang seimbang dan terintegrasi
secara fungsional. Jadi, masyarakat adalah sekelompok sistem sosial yang saling terkait dan
bergantung satu sama lain
Berdasarkan teori sosiologi oleh Parsons, pendidikan demokratis sebagai bentuk
budaya, menyangkut perilaku manusia tentang bagaimana mereka membuat interaksi sosial
di lingkungannya sebagai sistem sosial, harus memenuhi beberapa aspek sebagai berikut:
a. Kegiatan pendidikan demokratis harus mampu menyesuaikan kondisi serta
situasi lingkungan pendidikan.
b. Kegiatan pendidikan demokratis harus mempertimbangkan institusi dan
instrumen yang diperlukan untuk mobilisasi.
c. Melakukan koordinasi dengan sub sistem lainnya dalam rangka mendukung
pelaksanaan kegiatan.
d. Menyiapkan konsep pendidikan demokratis yang berorientasi pada aspek
masyarakat berkelanjutan berdasarkan fakta sosial.

3. Kompetensi Sipil
Kompetensi kewarganegaraan secara formal dihasilkan dari pendidikan (khususnya,
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan), yang memberikan bekal kepada setiap warga
negara untuk menjadi warga negara yang baik. Oleh karena itu, kompetensi
kewarganegaraan adalah pengetahuan, nilai, sikap, dan kemampuan untuk mendukung
seseorang menjadi warga negara yang baik yang aktif dan partisipatif serta bertanggung
jawab kepada masyarakat dan bangsa.
Kompetensi kewarganegaraan menurut Branson (1998:16) terdiri dari tiga
komponen penting. 1) Pengetahuan kewarganegaraan, berkaitan dengan esensi dari apa yang
harus dipahami oleh orang-orang; 2) Keterampilan kewarganegaraan adalah kompetensi
intelektual dan partisipatif warga negara yang relevan; dan
3) disposisi sipil yang mengacu padapub lic atau karakter pribadi yang penting untuk
pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Harus disadari bahwa ini membutuhkan sosialisasi (publikasi) dan pendidikan
demokratis yang komprehensif terhadap masyarakat yang tidak hanya menaruh minat pada
kehidupan politik. Di atas segalanya menurut Habermas (Hefner, 2001, 30) kehidupan
demokratis tidak hanya mengandalkan otoritas, tetapi juga sumber daya manusia dan tradisi
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pendidikan demokrasi dalam perspektif
sosiokultural memegang peranan penting dan patut dipertimbangkan dalam membangun
kompetensi kewarganegaraan.
Berdasarkan sudut pandang tersebut dimana pengembangan kualifikasi kompetensi
kewarganegaraan yang bercirikan nilai demokrasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari upaya pengembangan kewarganegaraan demokratis, dan dapat diimplementasikan
melalui pendidikan dan sosialisasi. Jadi, pendidikan demokratis harus menjadi perhatian.
Tidak ada tugas yang lebih penting daripada mengembangkan warga negara yang
bertanggung jawab dan berpendidikan. Demokrasi dipertahankan oleh warga negara yang
memiliki pengetahuan, kemampuan, dan karakter. Tanpa komitmen dari warga negara
terhadap nilai fundamental dan prinsip demokrasi, kewarganegaraan bebas akan berhenti
menjadi nyata. Hal ini membutuhkan seorang pendidik yang bertanggung jawab untuk
membuat kebijakan, dan menjalankan kampanye untuk mempromosikan betapa pentingnya
pendidikan kewarganegaraan, terutama bagi masyarakat Banyumasan.

C. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan yang tidak
menggunakan kuantifikasi atau perhitungan statistik, melainkan menekankan studi
interpretatif. Sedangkan metode penelitian menggunakan studi kasus yang menekankan
fenomena aktual dalam kehidupan nyata, yang dibahas secara mendalam berdasarkan
pertanyaan mengapa dan bagaimana. Lebih eksplisit tentang studi kasus, Yin (2008: 1),
mengemukakan bahwa studi kasus adalah strategi yang lebih cocok jika subjek pertanyaan
menyangkut bagaimana atau mengapa, jika peneliti memiliki sedikit kesempatan untuk
mengendalikan peristiwa yang akan diselidiki, dan ketika fokus penelitiannya terletak pada
fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata.
Metode studi kasus lebih difokuskan pada suatu kasus, sedangkan kasus yang
dirujuk dalam penelitian ini adalah pendidikan demokrasi dalam perspektif sosiokultural ive
implikasinya terhadap kompetensi kewarganegaraan. Kasus ini terbatas dalam lingkup
hubungan masyarakat di Kabupaten Banyumas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan interpersonal. Artinya, selama proses
penelitian penulis akan lebih banyak berhubungan atau terhubung dengan orang-orang di
lingkungan setempat tempat penelitian dilakukan. Dengan demikian diharapkan peneliti
dapat lebih mencari informasi dan mendapatkan data yang lebih detail tentang berbagai hal
yang diperlukan untuk keperluan penelitian dan juga mendapatkan pandangan dari orang-
orang di luar sistem subjek penelitian, atau dari pengamat, untuk menjaga objektivitas hasil
penelitian.
Data yang akan diperoleh dari rencana penelitian ini bersifat kualitatif berupa
deskripsi suatu peristiwa yang diambil dari pengamatan sendiri dan wawancara terstruktur
secara mendalam. Selain itu, penelitian juga membutuhkan bantuan beberapa teknik koleksi
data terdapat dalam panduan wawancara, panduan observasi, studi dokumentasi, dan studi
literatur.

D. TEMUAN
Pendidikan Demokratis dalam Perspektif Sosial Budaya Masyarakat Banyumasan
Salah satu Identitas Indonesia adalah masyarakat Banyumasan, yang terletak di
bagian barat provinsi Jawa Tengah. Kondisi masyarakat Banyumasan sangat unik untuk
diteliti lebih lanjut dalam kajian yang ekstensif. Keunikan Banyumas ditunjukkan pada
bagaimana kehidupan masyarakatnya, perilaku sosialnya, bahasa, seni, dan pola interaksi
sosialnya.
Salah satu perilaku unik dalam masyarakat Banyumasan adalah sikap yang terkenal
sebagai "Cablaka". Berdasarkan temuan lapangan, cablaka secara kasar dapat diterjemahkan
sebagai "jujur", "lugas", dan "berani" dan jujur dalam menanggapi situasi. Banyumasan
dengan kepribadian "cablaka" mereka sering dicap sebagai tidak sopan dan kurang ajar
tentang bagaimana cara mereka menggunakan bahasa oleh orang Jawa lainnya (terutama
oleh tradisi istana, Keraton) karena gaya bicara mereka berani, jujur, dan tanpa filter, di
samping kecenderungan mereka untuk menggunakan intonasi tinggi saat berbicara dalam
dialek Banyumasan mereka (ngapak-ngapak). Sebenarnya struktur Dialek Jawa
Banyumasan mirip dengan dialek Jawa kuno yang tidak mengenal strata bahasa yang
dipandang sebagai bentuk sikap egaliter dalam budaya banyumasan.
Tidak hanya tentang bahasa, Banyumasan juga memiliki keunikan dalam seni dan
budaya mereka. Salah satu kesenian yang terkenal di Banyumas adalah tari gambyong.
Berdasarkan hasil penelitian, terungkap bahwa parameter keberhasilan kinerja Gambyong
didasarkanpada selera rakyat jelata bukan otoritas lokal. Ini benar-benar berbeda dengan
tradisi istana (Keraton), para bangsawan memutuskan apakah suatu seni pantas untuk
dilakukan. Mereka mengandalkan penilaian pada kerajaan. Raja (Sultan) memiliki otoritas
absolute untuk memutuskan kehalusan seni. Hal ini menunjukkan keunikan Masyarakat
Banyumasan pada bagaimana mereka memutuskan penilaian mereka terhadap nilai estetika
suatu seni (tari Gambyong). Hal ini juga mencerminkan bagaimana nilai demokrasi
diimplementasikan dalam masyarakat Banyumasany.
Keunikan sikap budaya dan sikap bahasa tentu saja mampu menggambar pola
interaksi sosial tertentu. Pola interaksi sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebiasaan
tertentu yang dipraktikkan oleh suatu kelompok sosial baik itu berupa perilaku, bahasa,
maupun yang sudah ada budaya dan seni. Keterusterangan dalam bahasa Banyumasan
yang ditunjukkan oleh bahasa mereka yang tidak mengenal stratifikasi sosial
memungkinkan pola interaksi sosial dalam masyarakat Banyumasan yang berorientasi pada
pertanian tradisional Populis. Pola agraria menyebabkan keunikan perilaku sosial
Banyumasan. Masyarakat Banyumas, dalam interaksi sosialnya , masih memegang dan
melestarikan budaya lama mereka terkait dengan nilai kerjasama yang disebut "Gotong
Royong" atau gotong royong Bantuan. Gotong Royong dalam masyarakat Banyumasan
dianggap sebagai nilai sakral. Nilai ini sudah ada sejak wilayah Banyumas masih berada
di bawah kekuasaan Keraton.
Selanjutnya, temuan penelitian mengungkapkan bahwa kehidupan sehari-hari
Banyumasan dalam istilah sosial ditandai dengan tradisi pertemuan yang disebut
"Selapanan". Pertemuan "selapanan" ini biasanya diadakan di balai desa secara terus-menerus
sebulan sekali membahas tentang isu-isu desa dan solusinya melalui metode discussion.
Selapanan biasanya dihadiri oleh kelompok pemimpin keluarga. Hasil diskusi dalam
selapanan misalnya dapat berupa keputusan masyarakat untuk membantu sesama tempat
tinggal mereka membangun rumah, membangun fasilitas umum seperti masjid dsatu secara
gotong royong dan secara sukarela tanpa mengharapkan honorarium atau biaya apapun.
Itulah bentuk partisipasi sosial yang digambarkan dalam masyarakat Banyumasan.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Banyumasan tidak meninggalkan
kearifan lokalnya. Spirit gotong royong terlihat pada kesediaan mereka untuk membantu
sesama saudara mereka yang membutuhkan menunjukkan etos kerja yang tinggi di
masyarakat ini. Ini adalah salah satu upaya yang dilakukan orang Banyumasan untuk
menghindari potensi, konflik, dan ketegangan yang muncul dalam kehidupan sosial.
Pola sosial dalam masyarakat Banyumasan tidak terlepas dari tradisi yang
dipraktikkan dalam keseharian. Masyarakat Banyumas yang cenderung memiliki sikap lugas
yang tercermin dalam gaya bahasa mereka memungkinkan mereka untuk mencapai
kehidupan yang harmonis. Tradisi mereka mampu menyatukan polarisasi sosial melalui
nilai-nilai pendidikan yang memelihara dan menjauhkan diridari kehidupan sosial budaya.
Keunikan masyarakat Banyumasan terdiri dari perilaku individu dan kolektif, bahasa,
seni, budaya dan kepercayaan yang dapat mencerminkan nilai-nilai orang, kebersamaan,
toleransi, rasa hormat, dll yang berkembang secara alami dalam masyarakat yang mampu
mengembangkan pola kehidupan sosial budaya yang harmonis di lingkungan sosial.
Perkembangan kehidupan sosial budaya Masyarakat Banyumasan yang masih
melestarikan nilai tradisional-agraria berkembang untuk mempertahankan kearifan lokal dan
nilai-nilai yang menekankan pada hidup rukun, jujur, egaliter, bebas, dan memiliki etika
kerja yang baik ditunjukkan pada pepatah Banyumasan "Ana ongkek bias nyekek" atau "ora
ongkek ora nyekek" pepatah ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Banyumas, untuk bisa
makan, kita perlu bergerak. Artinya, untuk mencapai sesuatu kita harus berusaha keras. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai demokrasi dalam Masyarakat Banyumasan telah lahir dan
berkembang secara alami melalui tradisi lokal, meskipun Banyumasan setempat tidak
menyadari hal ini secara sadar benih-benih pendidikan demokratis ini tumbuh kuat dan
diimplementasikan dalam kehidupan Masyarakat Banyumas.

E. Diskusi
1. Realitas Pendidikan Demokrasi dalam Masyarakat Banyumas dalam Perspektif
Sosial Budaya
Berdasarkan hasil penelitian mengungkapkan bahwa kehidupan sehari-hari
masyarakat Banyumas dalam membangun hubungan sosial ditandai dengan tradisi bertemu
atau gathering namely selapanan. Pertemuan ini diadakan di balai desa setiap satu bulan
sekali membahas isu-isu desa dan cara mengatasinya melalui proses musyawarah. Ini
dianggap sebagai salah satu bentuk demokrasi yang paling sederhana. Perwujudan kehidupan
demokrasi dalam kehidupan sosial masyarakat ditunjukkan oleh salah satu kegiatan
Selapanan yang terdiri dari RT dan RW, secara implisit bentuk-bentuk demokrasi dipahami
oleh masyarakat Banyumas, meskipun secara eksplisit mereka tidak mengatakan bahwa itu
adalah demokrasi. Melalui kegiatan ini, masyarakat Banyumas memperoleh pengetahuan
tentang pendidikan demokrasi.
Kehidupan pendidikan demokratis di masyarakat Banyumas juga telah dijalani salah
satunya melalui kerjasama dengan mengutamakan gotong royong dan saling membantu.
Misalnya, sebuah desa memulai untuk membantu masyarakat dengan membangun rumah
bagi orang-orang yang lemah dalamkondisi keuangan dan tempat ibadah (misalnya: masjid),
selalu dilakukan secara timbal balik sama sekali, tanpa mengharapkan pembayaran dalam
bentuk uang (amal sosial ), karena masyarakat Banyumas merupakan salah satu bentuk
partisipasi sosial. Namun, definisi partisipasi dan mobilisasi sangat berbeda. Jika mobilisasi
diperintahkan atau diperintahkan, misalnya "Anda harus berjaga-jaga untuk patroli
malam!" Ini adalah bujukan, tidak seperti " Saya berangkat patroli karena giliran saya,
jadi desa aman dan terjamin" adalah partisipasi.
Hatta (1997: 121) juga menganggap bahwa pandangan salah satu sumber yang
menjiwai cita-cita demokrasi sosial adalah pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia
didasarkan pada kolektivisme. Demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintahan Indonesia
di masa depan harus menjadi pembangunan daripada demokrasi asli yang berlaku di desa-
desa Indonesia.
Uraian Hatta memberikan angin segar, jika proses demokrasi dalam kehidupan politik
saat ini mulai menunjukkan ke arah yang lebih baik, salah satunya masyarakat dapat dengan
leluasa menyalurkan pendapatnya dan ikut serta salah satunya dalam kegiatan politik.
Lahirnya pilkada merupakan salah satu kemajuan proses demokrasi di Indonesia. Melalui
pemilihan kepala daerah secara langsung berarti memulihkan hak-hak dasar rakyat di daerah
untuk menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diinginkannya.
Secara politik, proses pemilihan langsung merupakan salah satu langkah maju dalam
mewujudkan demokrasi di tingkat lokal. Tip O'Neill, pada suatu kesempatan, menyatakan
bahwa “All Politicis Local” yang dapat dipahami sebagai demokrasi di tingkat lokal nilai-
nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Artinya, demokrasi di tingkat nasional
akan bergerak ke arah yang lebih baik jika tatanan, instrumen, dan konfigurasi politik dan
kearifan lokal pertama kali terbentuk (Agustino, 2008: 17). Ini berarti bahwa kebangkitan
demokrasi politik di Indonesia (pada kenyataannya) dimulai dengan pemilihan langsung,
asumsinya sebagai upaya untuk membangun fondasi demokrasi di Indonesia (memperkuat
demokrasi di ranah lokal).

2. Pendidikandemokrasi dalam perspektif sosiokultural untuk membangun


kompetensi kewarganegaraan masyarakat demokratis Banyumas
Pada dasarnya, dalam kehidupan sosial budaya banyumas dapat dikatakan cukup
demokratis. Melalui konsep makna dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang sering
dikatakan dengan istilah cablaka (straightfowardness), menunjukkan bahwa nilai-nilai
demokrasi telah hadir sosiokultural dalam masyarakat Banyumas , juga ditunjukkan oleh
budaya banyumas orientasi yang didasarkan pada aspek populis atau orientasi kepada
penonton. Hal ini tentu saja berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa atau wilayah
kerajaan yang sangat mengindikasikan kondisi elitis.
Dalam budayanya, masyarakat Banyumas juga menunjukkan nilai-nilai pendidikan
demokratis dalam seni aspect, misalnya: tari gambyong, tarian ini benar-benar berdasarkan
selera kolektif atau tergantung selera rakyat, sedangkan di keraton Solo dan Yogyakarta,
kualitas tari dinilai oleh keraton atau raja. Baik atau tidaknya pentas seni tari Gambyong
Banyumas tidak ditentukan oleh penilaian pimpinan daerah atau bupati, melainkan dinilai
langsung oleh banyak masyarakat sendiri.
Selain itu, dalam hal bentuk komunikasi atau penggunaan bahasa sehari-hari,
banyumasals o tidak memberikan pangkat atau kasta berdasarkan posisi struktural, melainkan
pada orientasi dan kepentingan rakyat, sehingga pidato yang Cepat dipahami oleh orang
banyak tidak canggih dikatakan hanya kepada kalangan atas atau tinggi (utilitarian) tetapi
sulit dipahami, tetapi lebih kepada kebermaknaan secara kolektif dan menyeluruh. Jadi
sebenarnya, dengan modal sosial budaya di masyarakat Banyumas yang tidak melihat status
manusia atas dasar keturunan, kekuasaan , dan kekuasaan melainkan pada kesetaraan
seperti yang dimiliki makhluk Tuhan Secara eksplisit menunjukkan dan menjalankan
pendidikan demokratis dalam kehidupan sederhana masyarakat dari perspektif sosiokultural.
Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian Chusmeru dan Santoso dalam jurnal
Acta Diurna (2012:8) menggambarkan bahwa meskipun masyarakat Banyumas
mendefinisikan demokrasi dalam perspektif klasik, seperti yang diajarkan di sekolah,
bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pendapat mayoritas
kedua mendefinisikan demokrasi sebagai kebebasan berekspresi. Secara keseluruhan,
mayoritas masyarakat dinilai puas dengan terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam hal
kebebasan beragama, kebebasan berserikat dan berorganisasi, kebebasan berbicara,
kebebasan memilih dalam pemilihan umum dan kesetaraan gender, bahkan dalam kehidupan
politik, masyarakat Banyumas tidak setuju dengan buaya politik (politik uang) untuk
menentukan pemimpin yang akan dipilih.
Maka tidak heran jika masyarakat Banyumas memiliki landasan yang kuat dalam
membangun kehidupan demokratis dengan ciri khas tersendiri. Sebagaimana Priyadi
(2008:167) temukan bahwa secara sosial masyarakat Banyumas memiliki kepribadian yang
kooperatif (tradisional), tetapi juga mandiri dan maju. Ciri-ciri tersebut merupakan bagian
dari nilai-nilai demokrasi masyarakat tradisional, meskipun tidak didukung oleh
pengetahuan demokrasi yang komprehensif, namun sebagian nilai-nilai demokrasi telah
hadir dalam kehidupan masyarakat Banyumas dan telah mengembangkan kompetensi civic
secara sederhana cara tetapi dengan landasan sosial budaya yang kuat.

3. Pembangunan pendidikan demokrasi dalam perspektif sosiokultural diperlukan


untuk pengembangan kompetensi kewarganegaraan masyarakat Banyumas
Secara riil, selain dari tradisi atau praktik yang telah diwariskan dari generasi ke
generasi, pendidikan demokrasi di masyarakat Banyumas juga diperoleh dari lembaga
pendidikan atau sekolah salah satunya melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan,
baik Di tingkat dasar, menengah dan universitas, masyarakat tahu secara teoritis tentang apa
itu demokrasi. Sementara itu, bagi masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan, mereka
mendapatkannya dari kumpulan kegiatan di masyarakat, namun kini persentase
masyarakat yang berpendidikan continue semakin meningkat, pendidikan demokratis
yang paling dominan berasal dari sekolah dan terkadang juga dari partai politik.
Menurut Huntington (1997:12) sistem politik demokratis tidak hanya hadir di zaman
modern. Di banyak bagian dunia , berabad-abad pemimpin suku selalu dipilih, dan di
beberapa tempat lembaga demokrasi telah lama didirikan di tingkat desa. Oleh karena itu,
Zamroni (2011:5) berpendapat bahwa, untuk membangun kehidupan demokrasi, setidaknya
mencakup dua hal: struktur dan budaya. Struktur adalah instrumen yang diperlukan untuk
menyediakan fasilitas untuk demokrasi , seperti hukum, keberadaan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), eksekutif (pemerintah), yudikatif, pemilu dan lain-lain. Struktur demokrasi
dapat dibuat dan disediakan dalam waktu yang relatif singkat dan diimpor. Sedangkan
budaya demokrasi tidak bisa diimpor atau diciptakan dalam waktu singkat. Budaya
demokrasi harus dikembangkan secara bertahap, perlahan selaras dengan kondisi dan
perkembangan masyarakat.
Menurut Huntington (1997: 12) sistem politik demokratis tidak hanya hadir di zaman
modern. Di banyak bagian dunia, berabad-abad pemimpin suku selalu dipilih, dan di
beberapa tempat lembaga demokrasi telah lama didirikan di tingkat desa. Oleh karena itu,
Zamroni (2011: 5) berpendapat bahwa, untuk membangun kehidupan demokrasi, setidaknya
mencakup dua hal: struktur dan budaya. Struktur merupakan instrumen yang diperlukan
untuk memberikanfasilitas bagi demokrasi, seperti hukum, keberadaan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), eksekutif (pemerintah), yudikatif, pemilu dan lain-lain. Struktur demokrasi
dapat dibuat dan disediakan dalam waktu yang relatif singkat dan diimpor. Sedangkan
budaya demokrasi tidak bisa diimpor atau diciptakan dalam waktu singkat. Budaya
demokrasi harus dikembangkan secara bertahap, perlahan selaras dengan kondisi dan
perkembangan masyarakat.
Maka tidak mengherankan, berdasarkan pandangan itu, dinamika budaya praktik
demokrasi di Indonesia pada masa transisi terus berkembang, Widodo (2009: 8)
menggambarkan bahwa Pelaksanaan kehidupan demokrasi saat ini lebih berorientasi pada
aspek prosedural, sehingga kebudayaan belum menunjukkan demokrasi yang ideal.
Prosedur, persyaratan, ketentuan sebagai aturan demokrasi prosedural, khususnya dalam
penyelenggaraan pemilu dirumuskan oleh dominasi kekuasaan partai. Apalagi ada juga
suara-suara sumbang yang banyak pihak tidak punya basis ideologis yang jelas, sangat
lemah atau kecil atas dasar coba-coba, sehingga tidak bisa memperjuangkan kadernya
sendiri. Selain itu, pelaksanaan demokrasi lebih didasarkan pada tahapan-tahapan, dan
aturan-aturan tersebut telah mendegradasi peran partai lebih sebagai penyewaan kendaraan
untuk perebutan kekuasaan.
Kondisi ini sebenarnya menunjukkan nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan
ideologi negara, sebagaimana Hatta (1998: 87) berpendapat bahwa demokrasi bangsa ini
konsisten dengan demokrasi berdasarkan demokrasi Pancasila berdasarkan asas
kekeluargaan dan gotong royong yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, yang
mengandung unsur kesadaran beragama, kebenaran, cinta kasih dan akhlak mulia,
kepribadian bangsa Indonesia dan berkelanjutan.
Berdasarkan ilustrasi yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dipahami bahwa
kekacauan praksis demokrasi secara umum di Indonesia, tidak terjadi secara substansial
dalam masyarakat Banyumas, bahkan dengan pemahaman masyarakat yang mendasar dan
sederhana, tetapi warna demokrasi begitu terang bagi generasi ke generasi dalam kehidupan
masyarakat. Menurut Jimly Assiddiqie (2006:1) memberikan pandangan bahwa dalam
mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, pemimpin formal dan nonformal bertanggung jawab
untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, baik organisasi negara, negara sipil, lembaga
pasar). Semua pejabat negara, pejabat pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
menjadikan posisinya sebagai pembelajaran pendidikan demokratis.
Berdasarkan ilustrasi yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dipahami bahwa
kekacauan praksis demokrasi secara umum di Indonesia, tidak terjadi secara substansial
dalam masyarakat Banyumas, bahkan dengan pemahaman dasar dan sederhana tentang
masyarakat, tetapi warna demokrasi begitu terang bagi generasi-generasi dalam kehidupan
masyarakat. Menurut Jimly Assiddiqie (2006:1) memberikan pandangan bahwa dalam
mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, pemimpin formal dan nonformal bertanggung jawab
untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, baik organisasi negara, negara sipil, lembaga
pasar). Semua pejabat negara, pejabat pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
menjadikan posisinya sebagai media pembelajaran pendidikan demokrasi.
Pendidikan demokratis adalah salah satu yang paling mendasar dalam membangun
tatanan demokrasi. Zamroni (2011: 24-25) menjelaskan bahwa, jika demokrasi memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil peran dan berperan secara parsial dalam
penentuan aturan atau pedoman bagi masyarakat. Namun karakter demokratis yang ada
dalam diri seseorang tidak tumbuh secara alami, melainkan sebagai hasil dari rekayasa sosial,
terutama melalui proses pendidikan.
Hal inidireinfo dengan dasar fundamental dan legitimasi konstitusional melalui UU
No. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah selanjutnya
memperluas cakupan makna dan isinya ke dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Bab II, pasal 3, menjelaskan bahwa: dan membentuk karakter
dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam Dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensipeserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan national di atas, maka pendidikan
demokrasi sangat penting dalam mempersiapkan warga negara yang demokratis serta
memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, demokrasi sosial yang komprehensif dan pendidikan
diperlukan pada masyarakat, masalah kehidupan politik. Bahkan menurut Habermas (Hefner,
2001: 30) bahwa kehidupan demokratis tidak hanya bergantung pada pemerintah tetapi juga
sumber daya dan kebiasaan masyarakat secara luas. Sehingga pendidikan demokratis dalam
perspektif sosiokultural memiliki peran strategis dan patut dipertimbangkan dalam
membangun kompetensi kewarganegaraan yang demokratis.
Berdasarkan perspektif yang telah disebutkan sebelumnya, pengembangan
kualifikasi kompetensi citvic yang ditandai dengan nilai demokrasi menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam upaya pengembangan warga negara yang demokratis, dan dapat
dilaksanakan melalui proses pendidikan dan sosialisasi. Oleh karena itu, pendidikan
demokratis harus menjadi perhatian utama. Tidak ada tugas yang lebih penting dari
pengembangan warga negara yang bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Demokrasi
dipelihara oleh warga negara yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan karakter yang
diperlukan. Tanpa komitmen sejati warga negara terhadap nilai-nilai fundamental dan
prinsip-prinsip demokrasi, masyarakat yang terbuka dan bebas tidak dapat diwujudkan. Oleh
karena itu, tugas pendidik, kebijakan, dan anggota masyarakat sipil lainnya, adalah
mengkampanyekan pentingnya pendidikan demokratis kepada semua lapisan masyarakat
dan semua lembaga dan tingkat pemerintahan, terutama kepada rakyat Banyumas.

F. KESIMPULAN
Dalam menjalankan kehidupan demokrasi di masyarakat Banyumas, terdapat
beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pendidikan demokrasi. Salah
satunya adalah melalui kegiatan Selapanan di tingkat desa, di mana masyarakat berkumpul
secara rutin di balai desa untuk membahas permasalahan desa dan mencari solusi melalui
musyawarah. Melalui kegiatan ini, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di
tingkat desa dapat ditingkatkan. Selain itu, nilai-nilai demokrasi juga tercermin dalam budaya
dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Banyumas. Konsep “cablaka” yang mengedepankan
prinsip kejujuran dan ketulusan, serta orientasi budaya yang fokus pada kepentingan publik
atau khalayak, menjadi bagian penting dari pendidikan demokrasi. Budaya masyarakat
Banyumas yang melibatkan aspek artistik, bahasa sehari-hari, dan kebiasaan sederhana juga
mendukung penanaman nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi juga berperan
penting dalam memberikan pendidikan demokrasi secara eksplisit melalui mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, untuk masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan
formal, nilai-nilai demokrasi dapat diperoleh melalui kegiatan masyarakat, partai politik, dan
lembaga pemerintah. Dalam hal ini, perlu adanya kolaborasi antara berbagai pihak, seperti
lembaga pendidikan, pemerintah, partai politik, dan organisasi masyarakat, untuk
memperluas akses dan memperkuat pendidikan demokrasi di Banyumas. Dengan
mengembangkan pendidikan demokrasi secara holistik dan terintegrasi, diharapkan
masyarakat Banyumas dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang demokrasi dan
aktif berpartisipasi dalam kehidupan demokratis.
Implikasi penelitian tersebut adalah memperkuat dan mengembangkan kegiatan
kultural sebagai bentuk pendidikan demokrasi di masyarakat Banyumas. Hal ini
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai demokrasi yang tercermin dalam
budaya dan kebiasaan sehari-hari. Budaya Banyumas dapat memberikan akses yang lebih
luas bagi masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan formal untuk memperoleh
pemahaman tentang demokrasi. Melalui penelitian ini, hasil penelitian dapat sebagai dasar
untuk merumuskan kebijakan publik yang mendukung pendidikan demokrasi di Banyumas.

G. REFERENSI
Agustino, Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Alfabeta: Bandung.
Assidiqie, Jimly. 2006. Demokrasi "Pendidikan dan Pemasyarakatan UUD 1945". Informasi,
Kajian Masalah Pendidikan dan Ilmu Sosial, No. I Tahun XXX, 2004.
Branson, MS 1998 . Peran Pendidikan Kewarganegaraan, Makalah Posisi Satuan Tugas
Kebijakan Pendidikan yang Akan Datang dari Jaringan Komunitarian.
Cogan, J.J. dan Derricott,R. (1998). Kewarganegaraan untuk Abad ke-21: Perspektif Internasional
tentang Pendidikan. London: Halaman Kogan.
Cresswell, JW 1998. Penyelidikan Kualitatif. Memilih di antara lima tradisi : Sage Publicatons
Chusmeru dan Santoso, Edi.2012. Persepsi Masyarakat Banyumas tentang Demokrasi. Jurnal
Acta Diura; Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Samratulangi. Vol 8 No 1 Tahun 2012.
Gandal, M., Finn, Jr. CE 1992. Freedom Papers: Teaching Democracy, AS: Badan Informasi Amerika
Serikat.
Giddens, Antonius. 2010. Teori Srtukturasi : Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat.
diterjemahkan oleh Maufur dan Daryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hatta, Muhammad. 1997. Edisi II ; Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. Jakarta
: UI Tekan
. 1998. Kebangsaan dan Kerakyatan. Jakarta: Penerbit LP3ES
Hefner, Robert W. 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta : Institut Studi
Arus Indormasi (ISAI)
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Diterjemahkan oleh Asril
Marjohan.Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
Kleden, Ignas. 2004. Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan. Magelang: Indonesia Tera Latif,
Yudi. 2015. Revolusi Pancasila. Bandung : Mizan
Mayo, Henry B. 1960. Pengantar Teori Demokrasi. New York: Oxford University Press
Priyadi Sugeng. 2008. Orientasi Nilai Budaya Banyumas: Antara Masyarakat Tradisional dan
Modern. UGM:Jurnal Humaniora Vol 20 No 2 Juni 2008
Schumpeter, Yusuf. Sebuah. 2013. Kapitalisme, Sosialisme &; Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Sutrisno dan Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta :D itjen Dikdasmen Depdiknas
Widodo, Sutejo K. 2009. Wajah Demokrasi di Indonesia. Makalah Disampaikan dalam Diskusi
Sejarah yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta,
Departemen Kebudayaandan Pariwisata, di LPMP Semarang, 30-31 Maret 2009.
Winataputra, Amerika Serikat 2001. Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik
Pendidikan Demokrasi. Bandung: PPS UPI (Disertasi).
Yin, K.R. 2008.Penelitian Studi Kasus: Perancangan dan Metode (Metode Penelitian Sosial
Terapan). Illinois: Publikasi Sage, Inc.
Zamroni.2001, Pendidikan untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil Society. Jogja : Bigraf
Publishing
. 2011.Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta : Gavin Kalam
Utama.

Anda mungkin juga menyukai