Anda di halaman 1dari 14

LATAR BELAKANG

Sejak digulirkannya reformasi tahun 1998, wacana dan gerakan reformasi terjadi secara masif dan luas di Indonesia. Hasil penelitian menyatakan mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dikatakan nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh para pendukungnya yang berpengaruh (UNESCO 1949) Hampir semua Negara di dunia meyakini demokrasi sebagai tolak ukur yang tidak terbantahkan dari keabsahan politik. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik demokrasi. Awal abad ini pun kita akan terus menyaksikan gelombang aneksasi paham demokrasi mewabah ke seluruh Negara berbarengan dengan isu-isu global lainnya seperti hak asasi manusia, keadilan, masalah gender, dan persoalan lingkungan hidup. Pada saat ini hampir semua Negara mengakui bahwa sistem pemerintahannya adalah demokrasi. Hal itu menunjukkan bahwa rakyat diletakkan pada posisi penting walaupun secara operasional implikasinya di berbagai Negara tidak selalu di sana. Tidak ada Negara yang ingin dikatakan sebagai Negara yang tidak demokratis atau Negara otoriter. Dalam demokrasi, kekuasaan pemerintahan di Negara itu berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang tertinggi atau kedaulatan di Negara tersebut. Pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi disebut pemerintahan demokrasi. Yang secara substansi dipahami bahwa prinsip demokrasi ada dua, yaitu kebebasan dan persamaan yang menjadi fondasi demokrasi serta persamaan yang merupakan sarana penting untuk kemajuan setiap orang. Demokrasi pada masa lalu dipahami hanya sebagai bentuk pemerintahan. Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan. Akan tetapi, sekarang ini demokrasi dipahami lebih luas lagi sebagai sistem pemerintahan atau politik. Pada masa sekarang demokrasi dipahami tidak semata untuk bentuk pemerintahan tetapi sebagai sistem politik. Sistem politik yang cangkupannya lebih luas dari sekedar bentuk pemerintahan.

Perkembangan baru menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya dipahami sebagai bentuk pemerintahan dan sistem politik, tetapi demokrasi dipahami sebagai sikap hidup atau pandangan hidup demokratis. Pemerintahan atau sistem politik demokrasi tidak datang, tumbuh, berkembang dengan sendirinya. Demokrasi bukanlah sesuatu yang taken for

granted. Demokrasi membutuhkan usaha nyata dari setiap warga maupun penyelenggara
Negara untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga mendukung pemerintahan atau sistem politik demokrasi. Perilaku yang mendukung tersebut tentu saja merupakan perilaku yang demokratis. Perilaku demokrasi terkait dengan nilai-nilai demokrasi. Perilaku yang senantiasa bersandar pada nilai-nilai demokrasi akan membentuk budaya atau kultur demokrasi. Pemerintahan demokrasi membutuhkan kultur demokrasi untuk membuatnya performed (eksis dan tegak). Perilaku demokrasi ada pada manusia itu sendiri, baik selaku warga negara maupun pejabat negara Demokrasi juga berarti proses menegakkan nilai-nilai demokrasi sehingga sistem politik demokratis dapat dibentuk secara bertahap. Nilai-nilai demokkrasi dianggap baik dan positif bagi setiap warga. Nilai-nilai demokrasi merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis. Nilai-nilai tersebut antara lain, kebebasan berkelompok, berpendapat, berpartisipasi, menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerja sama, persaingan dan kepercayaan. Di samping adanya nilai-nilai demokrasi, untuk terwujudnya sistem politik demokrasi dibutuhkan lembaga-lembaga demokrasi yang menopang sistem politik tersebut. Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa sistem politik demokrasi suatu negara berkaitan dengan dua hal yaitu institusi (struktur) demokrasi dan perilaku (kultur) demokrasi. Meminjam analisis Almond dan Sidney Verba, bahwa kematangan budaya politik akan tercapai bila ada keserasian antara struktur dengan kultur, maka membangun masyarakat demokratis berarti usaha menciptakan keserasian antara struktur yang demokratis dengan kultur yang demokratis.

Jadi, demokrasi tidak hanya memerlukan institusi, hukum, aturan ataupun lembaga-lembaga negara lainnya. Demokrasi sejati memerlukan sikap dan perilaku hidup demokratis masyarakatnya. Demokrasi ternyata memerlukan syarat hidupnya yaitu warga Negara yang memiliki dan menegakkan nila-nilai demokrasinya. Tersedianya kondisi ini memerlukan waktu yang lama, berat dan sulit. Oleh Karena itu, secara substantife berdimensi jangka panjang, guna mewujudkan masyarakat demokratis, pendidikan demokrasi mutlak diperlukan. Pendidikan demokrasi pada hakikatnya adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi supaya bisa diterima dan dijalankan oleh warga Negara. Dan di Indonesia pendidikan demokrasi dimuat dalam pendidikan kewarganegaraan. Di Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan yang searti dengan Civic Education itu dijadikan sebagai salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa di Perguruan Tinggi untuk program diploma/politeknik dan program Sarjana (SI), baik negeri maupun swasta. Di dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dipakai sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat a) Pendidikan Pancasila, b) Pendidikan Agama, dan c) Pendidikan Kewarganegaraan yang mencakup Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Pendidikan Kewarganegaraan yang dijadikan salah satu mata kuliah inti sebagaimana

tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberi pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga Negara dengan negara, serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (SK Dirjen DIKTI no.267/DIKTI/Kep/2000 Pasal 3). Melihat begitu pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan atau Civics Education ini bagi suatu Negara maka hampir di semua Negara di dunia memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan yang mereka selenggarakan. Bahkan Kongres Internasional Commission of

Jurist yang berlangsung di Bangkok pada tahun 1965, mensyaratkan bahwa pemerintahan

suatu negara baru dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis manakala ada jaminan secara tegas terhadap hak-hak asasi manusia, yang salah satu di antaranya adalah Pendidikan Kewarganegaraan atau Civic Education.

RUMUSAN MASALAH
Seberapa jauh peran pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dalam mewujudkan mahasiswa yang mempunyai jiwa demokratis sehingga mampu menghadapi perkembangan dinamika kehidupan dengan menerapkan nilai-nilai demokratis ?

PEMBAHASAN
Pengertian Kewarganegaran Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan Civis, selanjutnya dari kata Civis ini dalam bahasa Inggris timbul kata Civic artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata Civic lahir kata Civics, ilmu kewarganegaraan dan Civic

Education, Pendidikan Kewarganegaraan.


Pelajaran Civics mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka mengamerikakan bangsa Amerika atau yang terkenal dengan nama Theory of

Americanization. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa
yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics membicarakan masalah government, hak dan kewajiban warga negara dan Civics merupakan bagian dari ilmu politik. Mengenal civic education Dalam buku Belajar Civic Education dari Amerika, dijelaskan bahwa Civic Education adalah pendidikan- untuk mengembangkan dan memperkuat dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain. Yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warganegara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya Dalam demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural,

memerlukan

empati

yang

memungkinkan

kita

mendengar

dan

oleh

karenanya

mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai (Benjamin Barber, 1992) Ace Suryadi mengatakan bahwa Civic Education menekankan pada empat hal : Pertama, Civic Education bukan sebagai Indoktrinasi politik, Civic Education sebaiknya tidak menjadi alat indoktrinasi politik dari pemerintahan yang berkuasa. Civic Education seharusnya menjadi bidang kajian kewarganegaraan serta disiplin lainnya yang berkaitan secara langung dengan proses pengembangan warga negara yang demokratis sebagai pelaku-pelaku pembangunan bangsa yang bertanggung jawab. Kedua, Civic Education mengembangkan state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan karakter mahasisa sebagai warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi. Civic education memusatkan perhatian pada pembentukan kecerdasan (civic intelligence), tanggung jawab (civic responbility), dan partisipasi (civic participation) mahasiswa selaku warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Ketiga, Civic Education adalah suatu proses pencerdasan, pendekatan mengajar yang selama ini seperti menuangkan air kedalam gelas (watering down) seharusnya diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dengan menekankan pada latihan penggunaan nalar dan logika. Civic education membelajarkan mahasiswa memiliki kepekaan sosial dan memahami permasalahan yang terjadi dilingkungan secara cerdas. Dari proses itu mahasiswa dapat juga diharapkan memiliki kecakapan atau kecerdasan rasional, emosional, sosial dan spiritual yang tinggi dalam pemecahan permasalahan sosial dalam masyarakat.

Keempat, Civic Education sebagai lab demokrasi, sikap dan perilaku demokratis perlu berkembang bukan melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), akan tetapi melalui penerapan cara hidup berdemokrasi (doing democracy) sebagai modus

pembelajaran. Melalui penerapan demokrasi, mahasiswa diharapkan akan secepatnya memahami bahwa demokrasi itu penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan akan peran mahasiswa dalam masyarakat demokratis. Pendidikan Demokrasi Di Perguruan Tinggi Pendidikan dinilai banyak pakar demokrasi merupakan media paling tepat untuk mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Menengok pengalaman beberapa negara Barat yang telah maju dalam berdemokrasi, kepedulian terhadap masa depan demokrasi mereka diwujudkan melalui program pengintegrasian pendidikan demokrasi ke dalam pelajaran pendidikan kewargaan (civic education) dalam pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi. Inggris misalnya sejak 1997 telah melakukan program pendidikan kewargaan yang mereka namakan democratic citizenship yang diadakan oleh lembaga pendidikan warga negara demokratis, the Education for Democratic Citizenship (EDC). Program serupa dijumpai pula di Amerika, Kanada, Australia dan sejumlah negara Eropa dengan nama yang berbeda namun memiliki kesamaan tujuan yakni bagaimana menjadikan demokrasi sebagai kultur dan mekanisme bermasyarakat warganegara mereka. Civic education bukanlah

sesuatu yang baru di Indonesia. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pendidikan demokrasi Indonesia itu dirumuskan dalam bermacam model dan nama. Model pertama dikenal dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan sejak 1975. Mata pelajaran ini kemudian pada 1994 diganti dengan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan untuk jenjang perguruan tinggi pendidikan kewargaan tersebut di kenal dengan nama mata kuliah pendidikan Kewiraan dan Pancasila. Sayangnya bila dikaitkan dengan realitas sosial-politik sekarang ini, agenda nasional pendidikan kewarganegaraan itu lebih tepat dikatakan telah mengalami kegagalan. Tindakan tidak demokratis dengan cara kekerasan masih banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Politik pengerahan massa akar rumput masih dominan dijadikan modus politik oleh sebagian elit politik. Perilaku serupa terjadi pula di kalangan generasi muda dalam bentuk tawuran sesama pelajar dan bentrokan fisik antara aparat keamanan dengan mahasiswa. Kenyataan seperti ini merupakan salah satu indikator kegagalan dari pendidikan kewarganegaraan yang selama ini dilakukan. Bertolak dari kenyataan tersebut dan peluang memanfaatkan era transisi menuju demokrasi seperti saat ini, reformasi pendidikan kewargaan nasional sudah mendesak dilakukan. Sebagaimana banyak kalangan menilai, bahwa dalam konteks wacana global tentang demokrasi dan trend civic education serta semangat reformasi di Indonesia, kedua model pendidikan kewarganegaraan nasional di atas dianggap kurang sejalan lagi dengan dua tuntutan refromasi yakni penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Mempertimbangkan peran strategis mahasiswa sebagai penggerak demokratisasi, reformasi

substantif dan metodologis pendidikan kewarganegaraan mendesak dilakukan tarhadap mata kuliah pendidikan Kewiraan dan Pancasila di perguruan tinggi. Hal ini penting dilakukan mengingat mahasiswa sebagai komponen vital dari gerakan reformasi merupakan aset paling potensial dan strategis bagi proses transformasi demokrasi Indonesia kini dan mendatang. Menurut Azyumardi Azra (2001), setidaknya terdapat tiga faktor mengapa pendidikan kewarganegaraan nasional dalam beragam bentuknya mengalami kegagalan. Pertama, menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewargaan. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis daripada praksis. Walhasil hasil pembelajaran ketiga model pendidikan kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat dianalogikan dengan ungkapan klasik jauh panggang dari api ; kurang menyentuh realitas yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional. Kebijakan Baru Semangat Lama Kebijakan nasional terbaru tentang pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas N0. 267/DIKTI/Kep/2000. Keputusan ini lahir sebagai respon pemerintah terhadap perkembangan situasi politik pasca kejatuhan Orde Baru. Namun patut disayangkan, sekalipun keputusan ini lahir di era reformasi, tetapi secara substansial belum menampakkan pergeseran paradigma hubungan antara negara dan

warganegara secara signifikan. Masih kuatnya semangat pendekatan keamanan (security approach) dapat dicermati pada bunyi pasal 5 keputusan tersebut. Menurut pasal tersebut materi pendidikan kewarganegaraan meliputi empat pokok bahasan yaitu: pengantar pendidikan kewarganegaraan, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan politik dan strategi nasional. Sekalipun materi demokrasi dan HAM dijadikan salah satu unusr dari pokok bahasan yang pertama, nampaknya sampai saat ini pihak pemerintah belum merealisasikannya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk kurikulum yang sejalan dengan tuntutan reformasi dan penegakan HAM. Kuatnya paradigma lama yang lebih mengedapankan kontrol negara (state) atas warga negara dalam keputusan itu dapat pula dicermati pada pernyataan pasal 7 tentang evaluasi belajar MKDU yang sudah diperbaharui itu. Menurut pasal tersebut, evaluasi belajar dinyatakan dengan kalimat, dilakukan dengan cara yang memungkinkan terdeteksinya perkembangan sikap tingkah laku mahasiswa. Dari redaksi pasal ini nampaknya nuansa militeritsik masih begitu kental bersembunyi dibalik kebijakan tersebut.

Pendidikan Kewarganegaraan Model Baru Usaha sosialisasi demokrasi di Indonesia melalui jalur pendidikan formal nampaknya masih membutuhkan jalan panjang. Reformasi orientasi pendidikan kewarganegaran sudah semestinya dilakukan baik peraturan, paradigma, materi maupun pelaksanannya di lapangan. Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang bertujuan untuk mengembangkan sikap demokratis dan daya kritis peserta didik selayaknya di jadikan common plat-form para pengambil kebijakan pendidikan nasional. Kesamaan pandangan ini selanjutnya dapat dituangkan ke dalam penyusunan kurikulum yang sejalan dengan semangat dan tuntutan demokrasi.

Dalam tataran reformasi metodologi pengajarannya, pendekatan belajar yang berpusat pada mahasiswa (learner-centered) sudah waktunya di terapkan pada perkuliahan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan mendatang. Menurut Jhon Dewey, tokoh pendekatan belajar ini, mazhab pendekatan ini memusatkan perhatian pada kemampuan analisis mahasiswa terhadap pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki, dan (dosen) mengarahkannya untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari. Sealur dengan pendekatan ini, pembelajaran pendidikan kewargaanegaraan mestilah berlangsung dalam suasana demokratis. Selama perkuliahan berlangsung dosen dituntut mampu menciptakan suasana kelas yang dinamis, kritis dan menyenangkan. Pandangan selama ini bahwa dosen sebagai satu-satunya sumber pengetahuan sudah waktunya ditinggalkan. Pemahaman kadaluarsa ini harus segera diubah melalui pembelajaran yang demokratis dimana dosen berperan sebagai fasilitator dan pemacu atau motivator dinamika kelas. Untuk mewujudkan ini semua, rasa empati terhadap beragam pandangan mahasiswa merupakan sesuatu yang harus dimiliki dosen atau siapa saja yang peduli dengan pendidikan demokrasi. Bersandar pada pendekatan pengajaran di atas, pengembangan pendidikan

kewarganegaraan di tingkat perguruan tinggi mendatang diharapkan mampu menjadikan kampus sebagai rahim bagi lahirnya civic cultur dan persemaian masyarakat beradab (civilized citizen). Tentunya semangat ini harus diawali oleh keprihatinan semua pihak, khususnya praktisi pendidikan akan nasib dan masa depan demokrasi di negeri ini.

KESIMPULAN Pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya merupakann pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga Negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan dialogial. Dengan kata lain pendidian kewarganegaraan di perguruan tinggi bertujuan membangunan karakter bangsa melalui proses pembentukan karakter mahasiswa sebagai warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi. Pendidikan kewarganegaraan memusatkan perhatian pada pembentukan kecerdasan (civic intelligence), tanggung jawab (civic responbility), dan partisipasi (civic participation) mahasiswa selaku warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Namun dalam prosesnya, pendidikan kewarganegaraan mengalami beberapa kegagalan karena; Pertama, menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewargaan. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis daripada praksis. Walhasil hasil pembelajaran ketiga model pendidikan kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat dianalogikan dengan ungkapan klasik jauh panggang dari api ; kurang menyentuh realitas yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional. Sehingga sara akan politik penguasa dimana kontrol pemerintah terhadap wara negara sangat kuat, artinya bahwa kurikulum pendidikan kewarganegaraan belum menyentuh dalam membentuk karakter mahasiswa untuk berperilaku demokratis. Kemudian dalam proses penanaman nilai demokrasi terutama dalam hal proses perkuliahan bahwa dosen masih sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Pemahaman kadaluarsa ini harus segera diubah melalui pembelajaran yang demokratis dimana dosen berperan sebagai fasilitator dan pemacu atau motivator dinamika kelas. Untuk mewujudkan ini semua, rasa empati terhadap beragam pandangan mahasiswa merupakan sesuatu yang harus dimiliki dosen atau siapa saja yang peduli dengan pendidikan demokrasi. Sehingga pendidikan kewarganegaraan yang diharapkan dapat menanamkan nilai demokrasi serta membentuk karakter mahasiswa yang demokratis sama sekali belum menyetuh. Pendidikan kewarganegaraan hanya sebagai suatu tuntutan pembelajaran dan penambahan wawasan pengetahuan mahasiswa dalam hal nilai demokrasi belum menyentuh pada pembentukan karakter mahasiswa sebagai generasi intelektual bangsa yang seharusnya menjiwai nilainilai demokrasi untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Pendidikan demokrasi dalam mebentuk mahasiswa demokratis

OLEH FEBRI YOGA PERDANA D0110042

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Anda mungkin juga menyukai