Anda di halaman 1dari 10

Nama : Kurnia Wibisana Prabowo NIM : 10/300847/TP/09885

ESAI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

I.

PENDAHULUAN
Pendidikan kewarganegaraan adalah sesuatu yang asasi dan tentunya wajib untuk

dipelajari tidak hanya oleh mahasiswa tetapi juga oleh setiap warga negara. Pendidikan kewarganegaraan mempunyai fungsi yaitu untuk membekali setiap warga negara khususnya mahasiswa dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara serta pendahuluan bela negara agar menjadi warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara, dan untuk mendorong berkembangnya gagasan-gagasan alternatif dalam usaha mengembangkan pengertian, peran, kedudukan, hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah masyarakat, bangsa dan warga dunia. Selain itu juga pendidikan kewarganegaraan di arahkan untuk mengenali berbagai karakteristik dan implikasi dari tiap warga negara khususnya di Indonesia, pemdidikan kewarganegaraan juga didesain untuk membekali tiap warga negara dengan kemampuan kritis dalam melihat berbagai masalah kewarganegaraan dengan merujuk pada sejumlah idea dan wacana dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Pendidikan kewarganegaraan dibagi dalam tiga tujuan. Pada tujuan yang pertama ialah agar dapat memahamami berbagai karakteristik, segi, dan implikasi dari pendidikan kewarganeraan. Pada tujuan yang ke dua ialah agar dapat mengembangkan pemahaman secara kritis atas sejumlah konsep atau ajaran seperti Wasantara, Tannas dan Polstranas dengan rujukan khusus pada ideologi Pancasila. Pada tujuan yang terakhir atau tujuan yang ke tiga ialah dapat mengeksplorasi masa depan pendidikan kewarganegaraan dan esensi warga negara dengan mencoba menempatkannya dalam konteks perkembangan pandangan dan realitas yang lebih luas. Terkhususkan untuk mahasiswa dalam mempelajari pendidikan kewarganegaraan minimal harus Mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis, komprehensif terhadap berbagai

masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta mempunyai pemahaman dan kemampuan untuk hidup berdemokrasi, mengembangkan demokrasi dalam situasi dan kondisi yang demokratis. Dengan belajar pendidikan kewarganegaraan, suatu saat nanti masyarakat muda khususnya mahasiswa akan menjadi pemimpin masa depan yang harus memberikan kontribusi solusi pemecahan masalah, bukan menjadi bagian dari problem itu sendiri. Selain itu juga mampu membentuk warganegara yang memiiliki wawasan, sikap dan perilaku yang berparadigma Pancasila, nasionalisme Indonesia yang tepat, berindentitas nasional, memberikan konstributif bagi pembangunan bangsa dan negara dalam konsep negara bangsa Indonesia. Dengan mempelajari pendidikan kewarganegaraan tentunya juga akan dapat memahami sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia yang konstitusional sehingga mampu memberikan arti penting setiap warganegara dalam kehidupan politik dan bernegara bangsa yang konstitusional. mampu membentuk sikap dan perilaku yang mengerti dan mengargai Hak Asasi Manusia, dalam koridor penunai hak dan kewajiban seseorang sebagai warganegara Indonesia sebagai masyarakat madani (civil society) yang demokratis.

II.

PEMBAHASAN
Pada pembahasan atau isi dalam essai kali ini, saya sebagai mahasiswa Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada akan membahas topik atau tema yang berkenaan dengan DEMOKRASI. Sebelum membahas lebih lanjut terkait demokrasi tentunya saya harus terlebih dahulu mengulas apa yang telah dipresentasikan oleh kelompok demokrasi yang beranggotakan Ade Bachtiar, Carlos Aprilio Diarizona, Tunjung Bayu Hernawan, Lantip Priyaji Saputra, Wahyu Satria, dan yang terakhir ialah Lydia Sinaga. Pada presentasi yang telah dilakukan oleh kelompok demokrasi tersebut dikatakan bahwa demokrasi menurut etomologi atau bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu demos dan cratos (cratein). Demos berarti rakyat dan cratos atau cratein berarti pemerintahan atau kekuasaan. Demokrasi berarti pemerintahan yang sepenuhnya dikendalikan oleh rakyat atau kekuasaan berada di tangan rakyat. Jika diambil kesimpulan secara umum dari kelompok ini, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Oleh karena itu dalam sistem demokrasi rakyat mendapat kedudukan penting didasarkan adanya rakyat memegang

kedaulatan atau dengan kata lain demokrasi berarti pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Kelompok ini membagi demokrasi menjadi lima macam. Yang pertama ialah demokrasi langsung, maksudnya ialah demokrasi yang mengikutsertakan setiap warganegaranya dan permusyawaratan untuk menentukan kebijakan umum. Yang ke dua ialah demokrasi tidak langsung, maksudnya ialah demokrasi yang dilaksanakannya tidak melalui sistem melainkan melalui umum. Yang ketiga ialah, demokrasi terpimpin, demokrasi yang berpedoman pada kekuatan pemimpin yang bisa menjadikan suatu negara feodal. Yang ke empat ialah demokrasi liberal, adalah demokrasi yang mendorong munculnya banyak partai politik dan mengharuskan rakyat memiliki kesadaran politik yang tinggi. Yang terakhir ialah demokrasi perlementer, yaitu demokrasi yang pengawasannya dilakukan oleh parlemen serta menyiraktan bahwa kekuasaan sebuah pemerintahan sangat bergantung pada kepercayaan parlemen. Ciri-ciri yang demokrasi yang dipaparkan oleh kelompok ini ialah adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik baik langsung maupun tidak langsung, adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara, dan yang terakhir adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lebaga perwakilan rakyat. Realitas demokrasi yang juga ikut dipaparkan oleh kelompok ini terdiri atas lima realitas. Realitas yang pertama ialah keadilan demokrasi, maksudnya ialah keadilan yang bersifat absurd karena makna keadilan adalah apa kata penguasa yang pada praktiknya mengarah pada keadilan demokrasi dimana yang kuat bisa mendominasi yang lemah.realitas yang ke dua ialah klaim sebagai sistem yang sesuai dengan aspirasi rakyat, maksudnya adalah setiap warga negara atau rakyat seolah-olah telah merasa memberikan pengaruhnya ke dalam proses politik yang sedang berlangsung. Realitas yang ke tiga ialah demokrasi tidak otoriter, yang tentunya akan membawa rakyat melahirkan kekuasaan yang absolut yaitu kekuasaan yang sewenang-wenangnya (kediktatoran), realitas yang ke empat ialah demokrasi menciptakan pemerintahan yang kuat, sebenarnya ini hanya sebatas teori karena penguasa dipilih dan diberhentikan oleh rakyat, maka dalam prakteknya, ketika rakyat tidak lagi menyukai seorang pemimpin, rakyat dapat menuntut agar pemimpin tersebut dapat diganti. Realitas yang terakhir ialah demokrasi menjamin kebebasan beragama berpendapat dan berserikat serta kebebasan-kebebasan individu lainnya, ang pada prakteknya justru dapat menjerumuskan manusia ke tingkat kehinaan seperti hewan.

Pada halaman ke dua dan ke tiga saya telah sedikit memaparkan apa yang telah disampaikan atau dipresentasikan oleh kelompok demokrasi. Setelah saya menanalisis dan berfikir terkait pengertian demokrasi yang telah dipresentasikan oleh kelompok tersebut saya tidak setuju, karena di dalam pengertian demokrasi tersebut mengandung unsur yang berarti demokrasi adalah segala hal yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, padahal jika ditelusuk lebih dalam bahwasanya segala sesuatu yang telah ada di seluruh negara baik itu dari segi politik, SDA, pemerintahan, SDM, dan lain lain tentunya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan bukan dari sesuatu yang bernama rakyat atau dengan kata lain disebut sebagai manusia. Kelompok demokrasi juga telah menjelaskan bahwasanya sistem demokrasi merupakan satu-satunya sistem yang dapat menjamin terpeliharanya ruang publik atau dengan kata lain yaitu adanya kebebasan berpendapat khususnya di Indonesia. Pendapat saya tentunya sangatlah bertentangan dengan apa yang telah dipaparkan oleh kelompok ini, sabab suatu sistem atau mekanisme demokrasi sangat mungkin untuk disalahgunakan oleh kekuatan-kekuatan yang memiliki paham antidemokrasi. Karena iu mekanisme demokrasi haruslah didampingi parameter lain, yakni konsesus dasar bangsa Indonesia yang telah disepakati pada tahun 1945. Semua kekuatan politik di Indonesia harus menerima konsesus dasar itu. Inilah harga minimal kebersatuan kita di dalam rumah yang bernama Indonesia. Konsesus yang dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945 itu menyediakan seperangkat nilai yang kompatibel dengan semangat demokratisasi. Konstitusi sangat menekankan kehidupan politik yang mencerminkan semangat kedaulatan rakyat. Institusi-institusi politik termasuk lembaga perwakilan rakyat, seharusnya mampu menggodok sejumlah kebijakan demi kemaslahatan rakyat. Indikator kemaslahatan adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat, hadirnya keadilan politik dan keadilan sosial, kuatnya solidaritas sosial kebersamaan dan kesetiakawanan sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, dan yang terakhir ialah negara yang berketuhanan. Empat indikator tersebut semestinya menjadi wacana utama demokrasi, apa pun bentuknya. Demokrasi yang dibangun harus diabdikan untuk dua tujuan, yakni terciptanya kekokohan masyarakat bangsa yang berdaulat dan mandiri serta terwujudnya satu masyarakat bangsa berciri tegaknya keadilan di bidang kesejahteraan sosial ekonomi politik dan kemakmuran rakyat. Bagaimanapun juga, dua tujuan ganda tersebut harus tercermin dalam setiap

kebijakan politik, ekonomi, dan sosial pemerintahan. Hanya di dalam arti itu kita dapat mengontekstualisasi semangat dasar negara pancasila secara benar. Untuk menguatkan hal itu, pemahaman terhadap demokrasi dan pancasila pada level infrastruktur politik juga harus mendalam. Artinya, kehidupan masyarakat keindonesiaan harus terus-menerus didorong memperkuat nilai nilai pancasila. Untuk itu ada sebuah agenda sangat penting, yakni bagaimana menumbuhkan semangat berdemokrasi dan multikulturalisme yang bertumpu pada ketergantungan sebuah komunitas dengan komunitas lain, kesadaran bahwa suatu komunitas tidak bisa hidup tanpa komunitas lainnya. Interdepedensi itu sudah mutlak dikembangkan agar tidak muncul superioritas kebudayaan satu terhadap kebudayaan lain. Dari sikap itu dapat dilahirkan toleransi, kerukunan, dan saling menghargai secara lebih genuine tanpa paksaan karena sangat penting dan esensial dalam menjaga integrasi bangsa. Sebenarnya, saya mempunyai pertanyaan besar untuk kelompok demokrasi, namun ketika saya tunjuk tangan, saya tidak diberi kesempatan untuk bertanya. Pertanyaan saya tersebut ialah bagaimana membangun demokrasi di Indonesia?. pertanyaan yang sebenarnya hampir sama dan mengandung makna yang sama juga terlontar dari teman saya, namun jawaban yang ditanggapi oleh kelompok demokrasi tidak lamtas membuat diri saya puas karena saya ingin terus menganalisis serta mengeksplore lagi terkait jawaban dari pertanyaan tersebut. Bahkan bisa dikatakan bahwasanya jawaban pertanyaan dari kelompok demokrasi membuat diri saya bingung karena jawaban tersebut terlalu sederhana dan terkesan memutar serta tidak ada pengeksplorasian dari jawaban tersebut. Maka dari itu pada esai ini saya ingin menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh teman saya di paragraf selanjutnya. Palajaran penting pertama yang harus dicamkan adalah jangan tergesa gesa mencap buruk demokrasi. Dalam masa transisi yang biasanya ditandai instabilitas politik, godaan untuk mengubur demokrasi pasti ada. Masalah itu akan semakin krusial bila praktik awal demokrasi berlangsung di tengah masyarakat yang memiliki fragmentasi sosial budaya cukup tajam. Contohnya, pengalaman Indonesia pada dasawarsa 1950-an. Demokrasi pasti menunjukkan gejala ketidakcocokan yang ditandai dengan menajamnya perbedaan politik menurut etnik, agama, atau aliran. Masalahpun menjadi tumpang tindih antara kepentingan politik dan konflik budaya. Dapat dimaklumi dalam suasana pancaroba ini banyak kekuatan yang mengambil jalan pintas dengan mencoba mengubur demokrasi dan menawarkan stabilitas politik baru. Akan tetapi, stabilitas yang dijanjikan harus dibayar mahal, yaitu tercabutnya aspirasi rakyat dan

terbelenggunya dinamika politik. Semua dikendalikan pemerintah atas nama pengamanan ideologi negara. Tanpa harus mengulang, karena studi tentang masalah tersebut sudah cukup banyak, sejarah politik Indonesia selama tiga dekade memberi pelajaran berharga bagaimana demokrasi jatuh terjerembab di penghujung tahun 1950-an dan bagaimana negara otoritarian hadir dengan segala risikonya sejak pertengahan tahun 1960-an hingga akhir dasawarsa 1990-an. Pada masa reformasi sekarang pun mulai muncul antipati terhadap proses demokrasiyang tak kunjung menghasilkan kesejahteraan yang lebih baik, bahkan muncul gejala separatisme. Rasa kecewa terhadap proses demokrasi memang hal lumrah. Sebagaimana demokrasi yang telah berlangsung di tengah pluralitas masyarakat umumnya menghadirkan gejala ketidakcocokan. Untuk mengatasinya bukan dengan mengubur demokrasi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh rezim-rezim terdahulu, namun bagaimana kita menyelamatkan demokrasi, dan mengapa demokrasi harus diselamatkan ? Karena saya menilai bahwa demokrasi yang sekarang berlangsung berdasarkan amandemen konstitusi 1945 telah kebablasan atau terlalu liberal. Penilaian tersebut buat saya mungkin benar bila kita semua mencermati liberalisasi politik yang sedang terjadi. Namun demikian, kadar liberalnya masih jauh di bawah praktik demokrasi tahun 1950-an. Setidaknya, pembukaan UUD 1945 tetap dipertahankan secara utuh. Artinya, kita dapat menilai proses demokrasi yang sekarang berjalan dengan menggunakan panduan nilai dan norma-norma ketika pembukaan UUD 1945 dirumuskan. Sebagaimana telah disinggung, konstitusi 1945 tidak mengharuskan model demokrasi apa yang hendak diterapkan. Konstitusi itu hanya menekankan kehidupan politik yang mencerminkan semangat kedaulatan rakyat. Institusi-institusi politik seperti lembaga perwakilan rakyat harus menjadi wadah yang mampu menggodok kebijakankebijakan demi kemaslahatan rakyat. Indikator kemaslahatan yang dimaksud adalah, pertama, meningkatkan kesejahteraan rakyat atau meminjam bahasa sukarno, tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Kedua, hadirnyakeadilan politik dan keadilan sosial. Ketiga, menguatnya solidaritas sosial, kebersamaan atau kesetiakawanan sebagai satu bangsa. Keempat, negara yang berketuhanan. Empat karakter itu semestinya menjadi wacana utama demokrasi apa pun bentuknya. Ukuran yang dipakai selama ini untuk menilai sejauh mana sebuah pemerintahan menjalankan pesan undang-undang dasar adalah sistem yang digunakan. Sistem liberal dinilai

salah, sistem terpimpin dianggap melenceng, dan seterusnya. Ukuran-ukuran itu tidak salah, namun mudah tergelincir pada generalisasi berlebihan tanpa melihat lebih dahulu fakta obyektifnya. Contohnya Orde Baru yang serta merta menghakimi Demokrasi Terpimpin sebagai era penyelewengan Pancasila hanya karena Soekarno menerjemahkan Pancasila dengan perspektif Manipol-USDEK. Gejala serupa muncul pada masa awal reformasi. Segala sesuatu bernuansa Orde Baru dijauhi seakan semuanya adalah produk gagal. Sejarah republik ini sudah membuktikan bahwa pengenalan instrumen demokrasi liberal tahun 1950-an yang tidak disertai upaya sungguh-sungguh memperkuat proses integrasi menjadi satu masyarakat berciri nilai-nilai kebersamaan, keadilan sosial politik, dan ekonomi justru menggiring proses demokrasi ke dalam iklim yang berbahaya. Alih-alih mengintegrasikan bangsa yang terjadi justru demokrasi terperangkap dalam serangkaian konflik primordial dan ideologis. Jebakan seperti ini bisa terulang apabila kita gagal mengelola proses demokratisasi. Peringatan tersebut perlu diberikan sehubungan tekad kita untuk kembali menghadirkan demokratisasi pada masa reformasi sekarang. Demokratisasi yang sedang berlangsung harus disertai upaya lain, yakni memperkuat ikatan sebagai satu bangsa dan satu negara serta mewujudkan semangat kebersamaan dan solidaritas sosial dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Kelihatannya klise, tetapi percayalah demokratisasi hanya bisa diselamatkan apabila semangat pancasila dan dasar negara kembali dihadirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, kontekstualisasi semangat Pancasila dan dasar negara harus dilakukan sungguh-sungguh untuk menyelamatkan proses demokratisasi itu sendiri. Ada beberapa alasan penting yang mendukung kontekstualisasi semangat Pancasila dan dasar negara dalam era demokratisasi sekarang. Pada dasarnya, norma dan nilai-nilai yang dikandung Pancasila dan dasar negara bisa diterapkan dengan baik apabila lingkungan politiknya demokratis. Prinsip kedaulatan rakyat, umpamanya, tidak mungkin bisa diaplikasikan di luar sistem demokrasi. Semngat kedaulatan rakyat hanya compatible dengan sistem politik yang demikratis. Begitu pula norma-norma kemerdekaan rakyat dan bangsa.sulit dibayangkan kemerdekaan rakyat dapat ditegakkan dalam sistem politik yang otoriter. Bagaimanapun juga, semangat kedaulatan rakyat tentu menghendaki demokrasi yang bertujuan mewujudkan negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Tujuan seperti itu juga bisa dicapai oleh sistem politik otoritarian, namun hasilnya adalah semu.

Karena itu, jalan satu-satunya mewujudkan semangat dasar konstitusi adalah melalui sistem demokrasi. Akan tetapi, demokrasi yang dibangun harus dapat mewujudkan dua tujuan, yakni terciptanya kekokohan masyarakat-masyarakat yang berdaulat, mandiri, dan setia kawan. Tujuan kedua adalah terwujudnya satu masyarakat bangsa yang dicirikan oleh tegaknya keadilan soaial ekonomi politik serta kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kedua tujuan itu harus tercermin dalam setiap kebijakan politik, ekonomi, dan sosial yang disusun dan dilaksanakan oleh pemerintah yang demokratis. Dalam arti itulah kita dapat melakukan kontekstualisasi semangat Pancasila dan dasar negara secara benar. Gagasan itu bisa dielaborasi lebih lanjut, tetapi kita di sini ingin menekankan dua hal. Pertama, semangat Pancasila dan dasar negara hanya bisa diwujudkan dalam suatu sistem politik demokratis. Kedua, demokrasi yang dibangun harus diabdikan untuk mewujudkan tujuan masyarakat bangsa dan negara, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dari semangat itu dapat diturunkan dalam operasionalisasi kekuasaan dan pemerintahan. Sayangnya, kita sering kali kedodoran dalam aspek-aspeki itu. Pancasila yang sekarang hendaknya ditetapkan sebagai konsensus dasar kebangsaan dan kenegaraan. Sebagai konsensus, Pancasila merupakan milik bersama dan tidak bisa dimonopoli satu golongan. Dengan kata lain pancasila memuatseperangkat nilai dan norma yang layak dijadikan visi masa depan bangsa dan negara. Visi tersebut dapat disebut sebagai ideologi denga catatan keberlakuannya hanya terbatas di ruang publik dan dijadikan sebagai ideologi terbuka. Seluruh elemen bangsa bisa terus-menerus memperkaya gagasannya. Pandangan tersebut akan menjadi operasional bila aktor-aktor demokrasi dapat memahami sepenuhnya pesan-pesan konstitusi. Setidaknya, kesadaran bahwa apa yang diperjuangkan partai politik dan kekuatan poltik lainnya berada di dalam kerangka mewujudkan pesan dasar negara dan konstitusi. Masalah itu perlu ditekankan karena harus diakui tidak seluruh kekuatan politik dapat memahami pesan-pesan konstitusi secara proporsional dan kontekstual. Buktinya, sebagaimana telah ditunjukkan, dasar pemikiran yang diajukan untuk menyusun undang-undang baru yang mengatur mekanisme demokrasi masih sangat kurang mencerminkan semangat dasar negara. Penekanannya tetap berkutat pada mekanisme demokrasi sebagai instrumen kebebasan. Hal itu tidak salah, namun, sebagaimana telah disinggung, mengandalkan mekanisme demokrasi tidak akan mungkin bisa menyelesaikan aneka persoalan kenegaraan dan kebangsaan. Contoh lain pembatalan UU ketenagalistrikan oleh Mahkamah

Konstitusi yang dengan jelas menunjukkan kegagalan aktor-aktor demokrasi menerjemahkan semangat konstitusi menjadi kebijakan strategis, khususnya di bidang perundang-undangan.

III.

KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa demokrasi adalah sebuah substansi, yaitu

upaya menegakkan keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Substansi tersebut diwujudkan dalam sebuah sistem yang menjadi alat bagi rakyat dalam menciptakan dan meraih kesejahteraan, rakyat ditempatkan sebagai subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika selama ini kita senantiasa dilanda kebingungan dan kesimpangsiuran tentang bagaimana menyelengarakan demokrasi yang tepat bagi bangsa Indonesia, maka sudah saatnya kita menjadikan dasar negara pancasila sebagai parameter demokratisasi di Indonesia.

IV.

BIBLIOGRAFI

Ideologi dalam www.wikipedia.com. Priyono, Herry. 2006.Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan. Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 10 November. Social Democracy dalam www.wikipedia.com.

Tim Penulis Demos. 2005. Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta : Demos. Yudhoyono, Susilo Bambang. 2006.Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila, Pidato Peringatan Ke-61 Hari Lahir Pancasila, 1 Juni.

Anda mungkin juga menyukai