Anda di halaman 1dari 20

Pembelajaran Berwawasan Demokrasi dan Hak Asasi

Manusia
I. Paradigma Pendidikan Demokrasi dan HAM
a. Posisi Pendidikan Demokrasi
Menurut Gandal dan Finn (1992) terutama di negara berkembang,
pendidikan demokrasi sering dianggap taken for granted or ignored, yakni
dianggap sebagai hal yang akan terjadi dengan sendirinya atau malah
dilupakan. Sesungguhnya, pendidikan demokrasi seyogianya ditempatkan
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Oleh
karena

itu

pendidikan

demokrasi

perlu

dilihat

dalam

dua

konteks/keseluruhan, yakni school-based democracy education, yakni


pendidikan demokrasi dalam konteks pendidikan formal, dan society-based
democracy education, yakni pendidikan demokrasi dalam konteks
kehidupan masyarakat.
Secara instrumental, pendidikan demokrasi di Indonesia

sudah

digariskan dalam berbagai peraturan perundangan. Misalnya, dalam usulan


BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa Pendidikan dan
pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warganegara yang
mempunyai rasa tanggung jawab, yang kemudian oleh Kementerian PDK
dirumuskan dalam tujuan pendidikan: untuk mendidik warganegara yang
sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan
masyarakat dengan ciri-cirinya sebagai berikut.
Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa; Perasaan cinta kepada
negara; Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; Perasaan berhak dan
wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya;
Keyakinan bahwa orang menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga dan
masyarakat; Keyakinan bahwa orang yang hidup bermasyarakat harus
tunduk pada tata tertib; Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama
derajatnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati,

berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri; dan
Keyakinan bahwa negara memerlukan warganegara yang rajin bekerja,
mengetahui

kewajiban,

dan

jujur

dalam

pikiran

dan

tindakan

(Djojonegoro,1996:75-76).
Dari kutipan tersebut di atas dapat dilihat bahwa semua ide yang
terkandung

dalam

butir-butir

rumusan

tujuan

pendidikan

nasional

sesungguhnya merupakan inti pendidikan demokrasi dan HAM. Artinya


sejak tahun 1945 pemerintah sudah menyadari dan menunjukkan
komitmennya terhadap pendidikan demokrasi dan HAM. Selanjutnya dalam
UU No 4 tahun 1950, dalam Bab II Pasal 3 (Djojonegoro,1996:76)
dirumuskan secara lebih eksplisit menjadi: membentuk manusia susila yang
cakap dan warganegara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air, dan dalam UU No.12 Tahun 1954
yang dilengkapi dengan Keputusan Presiden RI No 145 tahun 1965,
rumusannya diubah menjadi: melahirkan warganegara sosialis, yang
bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia,
adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa
Pancasila. Kemudian dalam UU No.2 tahun 1989 tentang Sisdiknas,
dirumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah: mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yang
dicirikan dengan beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4,UU No 2/1989).
Walaupun dalam rumusan tujuan itu tidak terdapat kata demokrasi, tapi
makna dari kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan

dan

kebangsaan,

sesungguhnya

merupakan

esensi

pendidikan demokrasi. Dengan kata lain sejak tahun 1945 sampai sekarang
instrumen perundangan sedang menempatkan pendidikan demokrasi dan
HAM, sebagai bagian integral dari pendidikan nasional.

b. Tantangan Pendidikan Demokrasi dan HAM


Sejak munculnya gerakan reformasi di Indonesia, yang berujung dengan
lengsernya Presiden Soeharto selaku penguasa Orde Baru, dan naiknya
Presiden Habibie yang berhasil memancangkan tonggak awal demokratisasi
berupa kebebasan pers yang bertambah luas, Pemilu yang jujur, adil, dan
transparan, serta terpilihnya Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri oleh MPR secara demokratis. Sejak
saat itu gerakan demokrasi di Indonesia semakin luas jangkauannya dan
semakin tinggi intensitasnya. Namun demikian, dalam per-kembangannya
ternyata tidak semudah yang diduga kebanyakan orang, karena memang
kehidupan demokrasi tidak dapat dibangun seketika atau dalam waktu
singkat.

Sangat

banyak

faktor

yang

mempengaruhi

tumbuh

dan

berkembangnya demokrasi dalam suatu negara.


Bahmuller (1996:216-221) mengidentifikasi sejumlah faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi suatu negara, yaitu: the
degree of economic development; a sense of national identity; historical
experience and elements of civic culture. Maksudnya, adalah bahwa tingkat
perkembangan ekonomi, kesadaran akan identitas nasional, dan pengalaman
sejarah serta budaya kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan demokrasi suatu negara. Salah satu unsur dari
budaya kewarganegaraan adalah civic virtue atau kebajikan atau akhlak
kewarganegaraan yang mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan
kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif,
solidaritas sosial dan semangat kemasyarakatan.
Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling mengisi
dengan kehidupan civic community atau civil society atau masyarakat
madani untuk Indonesia. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya
masyarakat madani bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya
akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari
budaya kewarganegaraan (civic culture). Oleh karena itu diperlukan adanya
dan berperannya pendidikan demokrasi yang mampu mengembangkan

akhlak kewarganegaraan, yang dalam waktu bersamaan mampu memberi


kontribusi terhadap berkembangnya budaya kewarganegaraan yang menjadi
inti dari masyarakat madani. Inilah tantangan konseptual dan operasional
bagi pendidikan demokrasi dan HAM di Indonesia.
Masyarakat madani atau Civic Community atau civil society yang
ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar
organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial,
perlu dipatri oleh kualitas pribadi true belief and sacrifice for God, respect
for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of
citizens in public decision making at various levels, and implementation of
the new form of civic education to develop smart and good citizens.
(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat
madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi
warganegara yang luas dalam penetapan kebijakan publik dalam berbagai
tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan
untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik. Dari
situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi dan HAM di
Indonesia adalah sinergi antara pendidikan demokrasi dengan keseluruhan
upaya pengembangan kualitas

warganegara dan kualitas kehidupan

masyarakat.
Tantangan

konseptual

tersebut

mengimplikasi

terhadap

perlu

dibangunnya paradigma pendidikan demokrasi dan HAM yang merupakan


bagian integral dari proses pendidikan secara keseluruhan dan proses
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai suatu keutuhan.
Oleh karena itu pada tataran instrumental makro school-based democracy
education dan society-based democracy education seyogianya dirancang
secara sistemik dengan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan, dan
secara praksis seyogianya diciptakan jaringan dan iklim sosial kultural yang

memungkinkan terjadinya interaksi fungsional pedagogis kegiatan-kegiatan


di sekolah dan di luar sekolah.
c. Paradigma Baru Pendidikan Demokrasi dan HAM
Menyadari pentingnya pendidikan demokrasi dalam pembangunan
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, Center for Indonesian Civic
Education (CICED) bekerja sama dengan USIS Jakarta, Balitbang Dikbud,
dan IKIP Bandung pada tanggal 16-17 Maret 1999, telah mengadakan
Conference on Civic Education for Civil Society dengan mengambil tema
Democratic Citizens in a Civil Society: Building Rationales for the 21 st
Centurys Civic Education. Secara konseptual pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis diterima sebagai dasar pertimbangan utama
bagi pendidikan di Indonesia. Ikhtiar kependidikan ini pada dasarnya harus
ditujukan untuk mengembangan kecerdasan sipritual, rasional, emosional,
dan sosial warganegara baik sebagai aktor sosial maupun sebagai
pemimpin/khalifah pada hari ini dan hari esok.
Sementara itu mengenai karakter utama warganegara yang cerdas dan
baik adalah mereka yang secara ajeg memelihara, dan mengembangkan
cita-cita dan nilai demokrasi sesuai perkembangan zaman, dan secara efektif
dan langgeng menangani dan mengelola krisis yang selalu muncul untuk
kemaslahatan masyarakat Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat
global yang damai dan sejahtera. Dari kedua konsep dasar tersebut dapat
dikemukakan bahwa paradigma pendidikan demokrasi yang digagaskan
adalah

pendidikan

multidimensional

demokrasi
citizenship

multidimensionalitasnya

itu

yang

bersifat multidimensional

education
terletak

dalam

(Cogan:1998).
asumsi

positif

atau
Sifat
dan

programatiknya yang menyangkut individu, negara, dan masyarakat global;


tujuannya yang diarahkan pada semua dimensi kecerdasan (spiritual,
rasional, emosional, dan sosial); latarnya (setting) yang mencakup seluruh
jalur dan jenjang pendidikan; dan pengalaman belajarnya yang terbuka,
fleksibel, dan bervariasi merujuk kepada dimensi tujuannya. Paradigma ini

berbeda dengan paradigma pendidikan demokrasi yang pernah ada sampai


saat ini, yang didasarkan pada asumsi normatif kepentingan politik, tujuan
yang monodimensional dan atomistik, tidak ada interaksi antarlatar
pendidikan, serta pengalaman belajar yang serba terbatas, antara lain bersifat
test-driven atau hanya digiring untuk lulus tes dan bukan untuk mampu
hidup yang demokratis di masyarakat.
Bila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini
menuntut hal-hal sebagai berikut. (Gandal dan Finn:1992; Bahmuller:1996;
Winataputra;1999) Pertama, memberikan perhatian yang yang cermat dan
usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian tentang the
root and branches of democratic ideas, yakni hakikat dan karakteristik
aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia.
Kedua, mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja
dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi how the
ideas of democracy have been translated into institutions and practices
around the world and through the ages, yakni bagaimana cita-cita demokrasi
telah diterjemahkan ke dalam kelembagaan dan Praktik di berbagai belahan
bumi dan dalam berbagai kurun waktu. Ketiga, tersedianya sumber belajar
yang memungkinkan siswa mampu mengeksplorasi sejarah demokrasi di
negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan
demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih. Keempat,
tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami
penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan
yang luas tentang ragam ide dan sisten demokrasi dalam berbagai konteks.
Kelima, dikembangkannya kelas sebagai democratic laboratory, lingkungan
sekolah/kampus sebagai micro cosmos of democracy, dan masyarakat luas
sebagai open global classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar
demokrasi dalam situasi berdemokrasi, dan untuk tujuan melatih diri sebagai
warganegara yang demokratis atau learning democracy, in democracy, and
for democracy.

d. Gerakan Pendidikan Demokrasi Dan HAM


Segera setelah runtuhnya hegemoni pesekutuan negara-negara sosialis
yang diikuti dengan berdirinya negara-negara merdeka baru di bekas
wilayah USSR, Yugoslavia, Chekoslovakia dan bersatunya Jerman Barat dan
Timur, proses demokratisasi di negara-negara itu berkembang pesat menjadi
gerakan sosial, politik, dan kultural. Kemudian gerakan ini diikuti pula oleh
negara-negara di Afrika seperti Nigeria dan Mesir, di Asia seperti Philippina,
Hongkong, dan Korea Selatan, dan Amerika Latin seperti Columbia, yang
bermaksud untuk memperbaiki kehidupan demokrasi yang telah dirintisnya
selama ini. Sementara itu berbagai civic education centers di Amerika
Serikat, baik yang merupakan NGO maupun yang berafiliasi di Perguruan
Tinggi,

yang

selama

ini

sudah

aktif

melakukan

penelitian

dan

pengembangan model-model pendidikan demokrasi untuk dunia pendidikan


di Amerika Serikat, kemudian memperluas daerah diseminasinya ke negaranegara yang termasuk emerging democracies. Sebagai dampaknya, di
negara-negara tersebut berdiri juga sejenis center for civic education dalam
berbagai versi, yang berperan sebagai initiator, promotor atau katalisator
gerakan demokratisasi melalui wahana pendidikan, yang pada tahun 1995
dikordinasikan oleh suatu konsorsium yang diberi nama CIVITAS
International dengan program jaringannya CIVITAS: An International Civic
Education Exchange Program, yang secara teknis diorganisasikan oleh
Center for Civic Education (CCE), Calabasas, California.
Sampai saat ini CIVITAS International telah mempunyai anggota di 60
negara, termasuk CICED di Indonesia. Sedang di region Asia-Pacific,
secara embrional telah berdiri Asia-Pacific Civic Educators Consortium
(APCEC). Dikembangkannya jaringan internasional pendidikan demokrasi
ini bertujuan untuk saling memperkenalkan program pendidikan demokrasi
dimasing-masing negara; saling membantu/memfasilitasi pengadaan sumber
belajar pendidikan demokrasi; mengembangkan bahan belajar yang cocok
untuk masing-masing negara; saling memfasilitasi pertukaran ide dan
pengalaman dalam pendidikan demokrasi; dan saling mendorong dan

memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan pendidikan demokrasi


yang bermanfaat untuk masing-masing negara.
e. Alternatif Metodologi Pendidikan Demokrasi dan HAM
Secara tradisional, khususnya di Indonesia baik dalam rangka mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)

atau

sebelumnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun dalam rangka


Penataran P-4, demokrasi terkesan lebih banyak diajarkan atau taught
dengan peran guru/dosen/penatar/manggala yang lebih dominan, dan bukan
dipelajari atau learned. Karena itu situasi kelasnya pun, dengan meminjam
istilah Flanders (1972) lebih bersifat dominative dan bukan integrative.
Dampak instruksional dan pengiringnya pun tentu tak bisa dielakkan lagi
lebih bersifat pengetahuan atau knowledge oriented. Oleh karena itu dapat
dipahami mengapa bangsa Indonesia dalam berbagai lapisan sosial terkesan
belum bisa menjalankan cita-cita, nilai, dan prinsip demokrasi (Asia
Foundation:1998).
Keadaan itulah yang ingin diatasi melalui upaya dikembangkannya
paradigma baru pendidikan kewarganegaraan yang urgensinya tampak
begitu kuat, sebagaimana ditemukan dalam National Survey; NeedsAssessment for New Indonesian Civic Education (CICED: 1999).
Sebagaimana dirumuskan sebelumnya, paradigma baru pendidikan
kewarganegaraan, yang didalamnya tercakup pendidikan demokrasi dan
HAM, secara metodologis menuntut perbaikan dalam ketiga dimensinya,
yakni dalam curriculum content and instructional strategies; civic education
classroom; and learning environment (CICED:1999a). Pertama, diyakini
bahwa isi kurikulum dan strategi pembelajarannya ditekankan bahwa for all
levels of schools should be carefully selected and dynamically organized
integratedly upon the bases of democratic ideals, values, norms, and moral;
psychologically relevant to individual development, contextually relevant to
various learning environment, and scientifically sound (CICED,1999a:6).
Implikasi dari semua prinsip tersebut adalah bahwa kurikulum dan strategi

pembelajaran pendidikan demokrasi seyogianya dikembangkan secara


sistemik (lintas jenjang, jalur, dan bidang), dengan konsep dasar demokrasi
yang komprehensif (utuh dan lengkap), dan dengan organisasi kurikulum
yang berdiversifikasi merujuk kepada life cycle (perkembangan kognitif,
afektif, sosial-moral, dan skill); serta lingkungan belajar setempat (desa,
kota). Dengan kata lain, kurikulum pendidikan demokrasi seyogianya
mengandung aspek ideal yang bersifat nasional, aspek instrumental yang
bercorak ragam, dan aspek praksis yang adaptif terhadap lingkungan
setempat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dan strategi
pembelajaran pendidikan demokrasi dan HAM, seyogianya melibatkan para
ahli dan praktisi pendidikan kewarganegaraan; para ahli dan praktisi disiplin
sosial terkait seperti: politik, hukum, sejarah, sosiologi, antropologi,
geografi; dan wakil birokrat pemerintahan daerah dan tokoh masyarakat
setempat dan LSM terkait. Isi inti kurikulum seyogianya mengandung
muatan nasional, muatan regional, dan muatan lokal.

II. Pendidikan Demokrasi dan HAM melalui Proses Pembelajaran yang


Demokratis
a. Profil Dasar Model Pembelajaran Demokrasi dan HAM
Model PKKBI diadaptasi dari model We the People. Project
Citizen yang dikembangkan oleh Center for Civic Education (CCE), yang
dalam 15 tahun terakhir ini telah diadaptasi di sekirar 50 negara di dunia,
termasuk Indonesia. Model ini bersifat generik atau umum dan mendasar
yang dapat dimuati materi yang relevan di masing-masing negara. Sebagai
model dipilih topik generik Public Policy (Kebijakan Publik), yang
memang berlaku di negara mana pun. Misi dari model ini adalah mendidik
para siswa agar mampu untuk menganalisis berbagai dimensi kebijakan
publik, kemudian dengan kapasitasnya sebagai young citizen atau
warganegara muda mencoba memberi masukan terhadap kebijakan publik

di lingkungannya. Hasil yang diharapkan adalah kualitas warganegara


yang cerdas, kreatif, partisipatif, prospektif, dan bertanggung jawab
Model pembelajaran yang Praktik-Belajar Kewarganegaraan Kami
Bangsa Indonesia (PKKBI) yang memiliki karakteristik substantif dan
psiko-pedagogis sebagai berikut.
1. Bergerak dalam konteks substantif dan sosial-kultural kebijakan
publik sebagai salah satu koridor demokrasi yang berfungsi sebagai
wahana interaksi warganegara dengan negara dalam melaksanakan
hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sebagai warganegara
Indonesia yang cerdas, partisipatif dan bertanggung jawab, yang secara
kurikuler

dan

pedagogis

merupakan

misi

utama

pendidikan

kewarganegaraan.
2. Menerapkan model portfolio-based learning atau model belajar yang
berbasis pengalaman utuh peserta didik dan portfolio-assissted
assessment atau penilaian berbantuan hasil belajar utuh peserta didik
yang dirancang dalam disain pembelajaran yang memadukan secara
sinergis model-model social problem solving (pemecahan masalah),
social inquiry (penelitian sosial), social involvement (perlibatan
sosial), cooperative learning (belajar bersama), simulated hearing
(simulasi dengar pendapat), deep-dialogue and critical thinking (dialog
mendalam dan berpikir kritis), value clarification (klarifikasi nilai),
democratic teaching (pembelajaran demokratis). Dengan demikian
model ini potensial menghasilkan powerful learning atau belajar yang
berbobot dan bermakna yang secara pedagogis bercirikan prinsip
meaningful (bermakna), integrative (terpadu), value-based (berbasis
nilai), challenging (menantang), activating (mengaktifkan), and joyfull
(menyenangkan).
3. Kerangka operasional pedagogis dasar yang digunakan adalah
modifikasi langkah strategi pemecahan masalah dengan langkahlangkah, identifikasi masalah, pemilihan masalah, pengumpulan data,
pembuatan portofolio, show case, dan refleksi. sedangkan kemasan

portofolionya mencakup panel sajian/file dokumentasi dikemas dengan


menggunakan

sistematika

identifikasi

dan pemilihan

masalah,

alternatif kebijakan, usulan kebijakan, dan rencana tindakan.


Sementara itu kegiatan Show Case didesain sebagai forum dengar
pendapat (simulated public hearing).
Fokus perhatian dari model ini adalah pengembangan civic
konowledge
(kebajikan

(pengetahuan

kewarganegaraan),

kewarganegaraan),

civic

civic

skills

dispossitions
(keterampilan

kewarganegaraan), civic confidence (kepercayaan diri kewarganegaraan),


civic commitment (komitmen kewarganegaraan), civic competence
(kompetensi kewarganegaraan) yang bermuara pada berkembangnya wellinformed, reasoned, and responsible decision making (kemampuan
mengambil keputusan berwawasan, bernalar, dan bertanggung jawab).
Strategi instruksional yang digunakan dalam model ini, pada
dasarnya bertolak dari strategi inquiry learning, discovery learning,
problem solving learning, research-oriented learning (belajar melalui
penelitian, penyingkapan, pemecahan masalah) yang dikemas dalam
model Project ala John Dewey.

b. Profil Utuh Model PKKBI


Model

pembelajaran

demokrasi

dan

HAM

yang

kini

dikembangkan di sekolah-sekolah rintisan Ditjen Dikdasmen dan Center


for Civic Education Indonesia (CCEI) di seluruh Indonesia adalah model
Praktik-Belajar Kewarganegaraan Kami Bangsa Indonesia yang secara
pedagogis dan sosial kultural diadaptasi dari We the People Project
Citizen. Secara utuh dalam modul ini disajikan profil pedagogis dari model
tersebut yang di adaptasi dari Buku Panduan Guru untuk model tersebut
yang diterbitkan oleh CCEI bekerjasama dengan Depdiknas (2002).

1. Maksud dan Tujuan PKKBI


Dalam pelajaran PPKn khususnya dalam pembahasan tentang
tatanegara Republik Indonesia telah disebutkan bahwa negara kita
termasuk negara demokrasi pada dasarnya merupakan negara yang
pemerintahannya didasarkan pada konsep pemerintahan dari rakyat
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini berarti bahwa rakyat memiliki
hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan Hak tersebut antara lain
meliputi partisipasi dalam melindungi hak-hak mereka dan partisipasi
dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Hak berpartisipasi ini
membawa tanggung jawab tertentu. Di antara tanggung jawab
tersebut adalah tanggung jawab untuk mendapatkan pengetahuan dan
sejumlah keterampilan berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab
untuk membantu meningkatkan kebebasan dan keadilan bagi semua
orang.
Tujuan yang akan dicapai
Secara pedagogis model Praktik-Belajar Kewarganegaraan ....
kami Bangsa Indonesia dirancang untuk memberikan pengalaman
belajar kepada para peserta didik, langkah-langkah dan metode yang
digunakan di dalam proses politik. Secara khusus kegiatan ini
bertujuan untuk mengembangkan komitmen peserta didik terhadap
kewarganegaraan dan pemerintahan dengan cara:
1.

memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan


ddan keterampilan yang diperlukan agar dapat berpartisipasi secara

2.

efektif dan bermakna;


memberikan pengalaman praktis yang dirancang untuk

mengembangkan kompetensi kewarganegaraan yang demokratis;


3.
mengembangkan pemahaman tentang pentingnya partisipasi
warganegara secara demokratis.
Program pembelajaran diyakini akan menambah pengetahuan
siswa, meningkatkan keterampilan, dan memperdalam pengertian dan

hakikat rakyat sehingga dapat bekerja bersama-sama menciptakan


masyarakat Indonesia yang lebih baik.
2. Persiapan Kelas
Gunakanlah langkah-langkah berikut ini untuk mempersiapkan
kelas yang partisipatif. Siswa diminta membaca dan mendiskusikan halhal sebagai berikut:
a. Memahami Arti Kebijakan Publik
Kegiatan

ini

berfokus

pada

pengembangan

pengertian

kebijakan publik dalam menghadapi masalah-masalah tertentu yang


selama ini ditemukan dalam masyarakat. Pengembangan kebijakan
menjadi bahan yang dapat diusulkan kepada pemerintahan atau wakil
pemerintahan setempat. Oleh karena itu, siswa harus sungguh-sungguh
memahami apa yang dimaksud dengan kebijakan publik itu.
Kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan yang dibuat
pemerintah berbagai tingkat pemerintahan (pusat, propinsi, kabupaten,
kota dan desa) dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk memberi
perlindungan atas hak-hak individu serta tanggung jawabnya untuk
meningkatkan kesejahteraan semua orang. Beberapa kebijakan publik
dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah oleh
badan legislatif (DPR atau DPRD). Kebijakan lainnya yang bersifat
operasional dituangkan dalam peraturan perundangan yang dibuat oleh
badan-badan pemerintahan eksekutif (pemerintah pusat, pemerintah
propinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota dan pemerintah
desa). Selain ini ada juga yang dibuat oleh badan-badan yang
bertanggung jawab untuk menyelenggarakan undang-undang lainnya,
seperti departemen pemerintahan dan lembaga negara non departemen.
Karena salah satu tujuan program ini adalah membantu para
peserta didik untuk belajar tentang cara mereka dapat berpartisipasi
dalam pemerintahan, maka kita harus meminta mereka untuk mengkaji
permasalahan yang berkaitan sepenuhnya atau berkaitan sebagian

dengan pemerintahan. Pemecahan yang dikembangkan terhadap


permasalahan yang dikaji seyogianya juga terdiri atas saran-saran atas
kebijakan-kebijakan yang pelaksanaannya merupakan tanggung jawab
pemerintah. Kebijakan yang mereka anjurkan juga dapat meliputi
rekomendasi-rekomendasi yang berkaitan dengan tanggung jawab
bersama dari warga masyarakat.
b. Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Pemahaman peserta didik atas peran sentral pemerintahan
(desa, kabupaten, kota, propinsi, dan pusat) dalam merumuskan
kebijakan publik merupakan hal yang penting. Namun, para peserta
didik juga harus memahami bahwa peranan pemerintah itu hanyalah
merupakan salah satu bagian dari suatu proses saja. Proses yang
dimaksud adalah suatu proses di mana semua warganegara hendaknya
tergugah dan terdorong untuk berpartisipasi dalam merumuskan
kebijakan. Maka pengambilan keputusan yang demokratis adalah suatu
proses di mana selain memerlukan persetujuan dari warganegara yang
diperintah, juga memerlukan partisipasi dari warganegara itu sendiri.
Proses

pembuatan

keputusan

dimulai

ketika

warga

mengganggap bahwa dalam masyarakat telah muncul suatu masalah.


Kebutuhan ini timbul dari beberapa pemberitaan media, dari
pernyataan-pernyataan para politikus, kelompok masyarakat, atau
lembaga-lembaga

pemerintahan

lainnya.

Kemudian

warga

merumuskan pemikiran-pemikiran mereka untuk mendapatkan cara


terbaik dalam memecahkan masalah itu. Dengan pemikiran-pemikiran
itu, masyarakat mencoba meyakinkan pemerintah agar menyetujui dan
menerapkan pemecahan yang ditawarkan. Dalam proses ini, tentu akan
muncul perbedaan-perbedaan pendapat tentang apa yang harus
dilakukan dan siapa yang harus melakukannya.

Berikut ini adalah garis pedoman bagi para sukarelawan.


Saran-saran bagi para sukarelawan dalam membantu para peserta didik
1.

Mengkaji tugas dan prosedur. Bantulah para para peserta didik


memahami langkah-langkah yang harus mereka lakukan dalam

mengembangkan portofolio.
2.
Mengumpulkan informasi.

Bantulah

para

peserta

didik

menemukan sumber-sumber informasi. Jelaskan bagaimana cara


mengumpulkan

informasi.

Contohnya

adalah

penjelasan

bagaimana cara:
a. mencari informasi di perpustakaan;
b. menggunakan buku telepon untuk menemukan kantor-kantor
lembaga pemerintahan dan organisasi swasta lain yang
diprediksi memiliki informasi-informasi yang dibutuhkan
berkaitan masalah yang sedang dikaji;
c. menggunakan komputer untuk memasuki jaringan informasi
elektronik (misalnya internet) yang mungkin mempunyai
informasi on-line tentang permasalahan yang sedang dikaji;
d. menghubungi warga masyarakat yang bisa menjadi nara
sumber yang baik sehubungan dengan permasalahan yang
sedang dikaji;
e. menulis surat untuk mendapat informasi;
f. mempersiapkan wawancara dengan narasumber melalui
telepon atau tatap muka; dan
g. mengunjungi sumber-sumber wawancara dan tempat-tempat
lainnya yang memungkinkan perolehan informasi.
3.

Mempersiapkan presentasi. Latihlah para siswa


membuat presentasi tentang portofolio mereka. Bantulah mereka
mempersiapkan presentasi mereka sebelum berhadapan dengan

kelompok-kelompok masyarakat yang sebenarnya.


4.
Melakukan refleksi pengalaman. Bantulah siswa
mempersiapkan pernyataan tertulis tentang hal-hal yang telah
dipelajari selama melakukan kegiatan partisipasi, masalah-masalah

yang telah mereka hadapi, dan apakah mereka akan melakukan hal
yang berbeda jika mereka nantinya akan mengembangkan
5.

portofolio lainnya.
Membatasi bantuan sukarelawan
a. Pengumpulan
informasi.
Guru
hendaknya

tidak

mengumpulkan informasi bagi para siswa dengan cara:


-

menuliskan surat atau menelponkan nara sumber;


atau

melakukan penelitian yang diperlukan

b. Persiapan portofolio. Guru hendaknya tidak membantu siswa


dengan cara:
- menuliskan bahan-bahan yang akan dimasukkan dalam
portofolio;
- membuatkan ilustrasi atau grafik lainnya; atau
- memilihkan bahan-bahan yang akan dimasukkan dalam
portofolio
c. Persiapan presentasi. Guru hendaknya tidak mempersiapkan
presentasi para siswa.
6.
7.

Menyelenggarakan sebuah kompetisi.


Menilai portofolio atau menilai suatu kompetisi.
Perlu disiapkan lembar penilaian yang akan digunakan oleh

guru untuk evaluasi portofolio, atau oleh juri sebagai evaluasi


keseluruhan. guru-guru dianjurkan menggunakan lembar penilaian
sebagai alat untuk menilai apakah dengan penempilan para siswa itu
meeka dapat menyelenggarakan sebuah kompetisi atau tidak.
3. Catatan tentang Portofolio:
Portofolio adalah sebuah kumpulan pekerjaan peserta didik
yang bermanfaat, terintegrasi dan diseleksi menurut garis panduan
yang ditetapkan. Garis panduan ini beragam tergantung pada subjek
atau disiplin dan tujuan penilaian portofolio.

Portofolio biasanya merupakan karya peserta didik perorangan


yang diseleksi. Namun dalam Praktik-Belajar Kewarganegaraan ...
kami Bangsa Indonesia, masing-masing portofolio berisi karya pilihan
dari keseluruhan kelas yang bekerja secara kooperatif untuk
mengembangkan kebijakan publik yang terpusat pada masalah
kemasyarakatan. Dalam menilai beberapa portofolio Praktik-Belajar
Kewarganegaraan Kami Bangsa Indonesia, kata karya-karya terpilih
merupakan istilah yang sensitif. Bagian Tayangan maupun Bagian
Dokumentasi dalam portofolio kelas bukanlah semata-mata sebuah
kumpulan materi yang dikumpulkan oleh siswa menurut topik yang
dikaji. Sebaliknya, portofolio tersebut haruslah berisi bahan-bahan
yang mencerminkan usaha keras para siswa dalam mengerjakan tugastugas yang telah ditetapkan, serta merupakan pemikiran terbaik mereka
dalam mempertimbangkan bahan-bahan mana yang paling penting
untuk dimasukkan dalam portofolio kelas.
4. Spesifikasi Portofolio
Karya yang ditayangkan dalam portofolio kelas merupakan
karya dari masing-masing keempat kelompok. Portofolio ini terdiri
dari dua bagian yaitu, bagian tayangan dan bagian dokumentasi.
Bacalah spesifikasi kedua bagian tersebut secara seksama.
a. Bagian Tayangan
Bagian tayangan harus terdiri dari empat panel papan poster atau
papan busa, atau yang sejenis. Masing-masing dari keempat panel
tersebut luas dan tingginya tidak lebih dari 40 cm dan 60 cm. Karya
masing-masing dari keempat kelompok dalam bagian ini hendaknya
ditempatkan pada satu panel masing-masing, dari keempat lembaran
tayangan. Empat panel tayangan ini hendaknya dikembangkan
sedemikian rupa sehingga dapat diletakkan di atas meja maupun
ditempelkan pada papan buletin.

Untuk pengiriman pos, keempat panel tayangan tersebut


hendaknya tidak lebih besar dari 40 cm dan tidak lebih tinggi dari 60
cm, dengan ketebalan tidak lebih dari 2 cm. Bahan-bahan yang
ditayangkan dapat meliputi pernyataan-pernyataan tertulis, daftar
sumber informasi, peta, grafik, foto-foto, hasil karya sendiri, dan
sebagainya.
b. Bagian Dokumentasi
Masing-masing dari keempat kelompok tersebut harus memilih
bahan yang terdokumentasi paling baik dan/atau yang dapat
membuktikan penelitian mereka. Bahan-bahan ini harus ditempatkan
pada sebuah folder yang tebalnya tidak lebih dari 2 cm. Keempat
bagian dokumentasi untuk keempat kelompok dibedakan oleh warna.
Folder tersebut harus memiliki satu daftar isi keseluruhan Bagian
Dokumentasi dan empat daftar isi yang dimasukkan pada masingmasing bagian.
Bagian kelima dari bagian dokumentasi ini hendaknya berisi
bahan-bahan yang disarankan dalam langkah VI, yaitu Merefleksi
Pengalaman Belajar. Bagian ini juga dipisahkan oleh warna.
Catatan: Spesifikasi ini hanya berlaku dalam rangka kompetisi.
Jika tidak bermaksud menyelenggarakan kompetisi, Anda boleh
mengembangkan garis panduan Anda sendiri.
c. Strategi Implementasi di Daerah
Inovasi pendidikan yang bersifat top-down turun dari atas (Pusat) ke
bawah (sekolah) tidak lagi cocok dengan semangat desentralisasi dan
kerangka kerja manajemen berbasis sekolah yang sekarang ini sedang
digerakkan. Oleh karena itu penyebaran

inovasi yang seyogianya

digunakan adalah yang bersifat empowering atau pemberdayaan menuju


sekolah dan guru yang berkarakter self-renewal atau selalu berusaha untuk
memperbaharui dirinya dan sekolahnya sehingga para gurunya semakin

profesional dan sekolahnya semakin menampakkan dirinya sebagai selfrenewing school. Berkaitan dengan hal tersebut, maka strategi perluasan
implementasi model PKKBI yang relevan dengan etos baru itu antara lain
sebagai berikut.
1.

Membangun kelompok guru pionir dan


memantapkannya secara sinambung sehingga menjadi guru model.

2.

Kelompok ini di samping menjadi early


adopters (pengadopsi terdini) di sekolahnya, juga menjadi civic
education opinion leaders (nara sumber) bagi sekolah yang lain.

3.

Memantapkan beberapa sekolah dalam


satu wilayah sebagai sekolah pionir PKKBI yang dibina secara
kolaboratif oleh kadin Depdiknas setempat. Sekolah tersebut secara
bertahap dikembangkan menjadi center of excellence PKn yang
secara terpadu mewujudkan PKn inovatif mewadahi pelaksanaan
model-model PKKBI, pendidikan budi pekerti, dan pembangunan
karakter bangsa. Sekolah model tersebut dikembangkan menjadi
Laboratorium Demokrasi.

4.

Sambil terus memantapkan sekolahnya


masing-masing, sekolah pioner ditugasi untuk mengembangkan
jaringan

kerja

PKKBI

yang

melibatkan

SD/SLTP/SMU

di

lingkungannya. Misalnya kecamatan dengan SLTP/SMU pionir itu


sebagai sentrumnya. Pengimbasan PKKBI dilakukan melalui
workshop PKKBI di jaringan kerjanya yang diintergrasikan dengan
kegiatan KKG (SD), MGMP (SLTP/SMU) setempat.
5.

Bila

memungkinkan,

sekolah

pionir

tersebut dapat merintis jaringan sister school atau sekolah sahabat,


yakni sebuah SD/SLTP/SMU lain yang ada di luar gugus atau
lingkungan kecamatan. Secara perlahan tapi terencana sekolah
sahabat ini belajar dari sekolah pionir bagaimana melaksanaakan
PKKBI, kemudian mencobanya secara terbatas. Pada satu saat
diharapkan sekolah sahabat ini dapat menjadi center of excellence

baru dalam PKKBI di lingkungannya. Kalau sudah sampai ke tahap


itu, ia dapat mengembangkan pengimbasan ke SLTP/SMU di
lingkungannya.
6.

Sekolah pionir, sekolah imbas, sekolah


sahabat, setiap tahun diusahakan untuk bertemu dalam satu
Konferensi Daerah PKKBI untuk secara bersama membahas
berbagai persoalan tentang pelaksanaan dan pengembangan lebih
lanjut dari PKKBI. Selain itu dapat juga dilakukan Gelar
Kemampuan atau Show Case bersama. Dalam event ini dihadirkan
pula unsur kadin Diknas, MGMP, dan CICED.
Bila seluruh tahapan tersebut dilakukan dengan baik, artinya

profesional, dan visioner, penyebarluasan berbagai model PKKBI di


masing-masing propinsi akan berjalan lebih cepat. Satu hal yang tidak
boleh dilupakan adalah harus dikembangkannya sinergi antara LPTK,
CICED, Kanind Diknas, MGMP, LSM Daerah (bila sudah ada). Dalam
konteks ini Kanind Diknas seyogianya menjadi fasilitator kordinasi, dan
dan CICED menjadi out-sourcing agent bagi semua sekolah.

Anda mungkin juga menyukai