Disusun oleh :
JAKARTA
2024
Abstrak
Pendidikan Kewarganegaraan, yang juga dikenal sebagai Civic Education, merupakan cabang
ilmu yang mendalami dinamika hubungan antara individu dalam konteks perkumpulan
terorganisasi dan interaksi dengan entitas negara. Sasarannya adalah untuk membentuk
karakteristik warga negara yang tidak hanya aktif secara partisipatif dalam kehidupan
masyarakat, tetapi juga memiliki kemampuan kritis dan pemahaman yang mendalam tentang
prinsip-prinsip demokrasi. Konsekuensinya, sebagai sistem pemerintahan yang mendasarkan
keabsahannya pada kehendak rakyat, demokrasi menegaskan perlunya perlindungan dan
promosi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pilar utama dalam menjaga kesejahteraan sosial.
Namun, meskipun Indonesia telah memperjuangkan agenda HAM, perjalanan menuju
pembentukan masyarakat madani yang inklusif dan beradab masih dihadapkan pada berbagai
tantangan, termasuk tetapi tidak terbatas pada pengembangan infrastruktur politik yang inklusif
dan keterlibatan aktif serta berkelanjutan dari seluruh warga negara.
Abstract
Civic Education, also known as Civic Education, is a branch of knowledge that delves into the
dynamics of the relationship between individuals in the context of organized groups and
interaction with the state entity. Its aim is to shape the characteristics of citizens who are not
only actively participatory in community life but also possess critical abilities and a deep
understanding of democratic principles. Consequently, as a governance system based on the
will of the people, democracy emphasizes the necessity of protecting and promoting Human
Rights (HAM) as a primary pillar in maintaining social welfare. However, despite Indonesia's
efforts to advocate for the HAM agenda, the journey towards the formation of an inclusive and
civilized civil society still faces various challenges, including but not limited to the development
of inclusive political infrastructure and the active and sustainable involvement of all citizens.
Reformasi sudah bergulir lebih dari dua dasa warsa lamanya, namun tidak sedikit dari
cita-cita reformasi yang sulit dicapai. Terbukti dengan masih banyaknya persoalan serius yang
membebani perjalanan bangsa dan negara kita (Wicaksono, P. & Hantoro, J, 2018). Sebut saja
misalnya terkait lonjakan demokratisasi yang sangat tinggi, revolusi teknologi informasi dan
komunikasi yang membuka hampir seluruh keran transparansi dan liberalisasi yang
berkelindan dengan demokratisasi politik, sistem multi partai yang tidak efisien dan tidak
efektif, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang sangat dinamis oleh
berbagai kepentingan, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang kadang kontroversial,
penegakan hukum yang kontroversial arah ketajamannya, pemberantasan korupsi yang
semakin rumit, spirit primordialisme yang masih menjadi ancaman disintegrasi, angka
pengangguran yang berdampak pada angka kemiskinan yang tinggi, pembangunan yang
kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, serbuan paham-paham dan produk-produk
kebudayaan asing yang mengancam kepribadian bangsa, tantangan globalisme yang
melemahkan konsep kebangsaan, dan sebagainya (Sulaiman, A.I, 2013: 119-122).
Fenomena kebangsaan yang perlu mendapat perhatian pada era globalisme adalah
komitmen masyarakat terhadap konsensus nasional berupa nilai-nilai dasar yang disepakati
sebagai sebagai dasar dan bahkan pandangan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama karena globalisasi telah menyebabkan negeri ini kebanjiran berbagai macam paham
asing seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan sebagainya yang lambat laun dapat
mempengaruhi kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya bangsa Indonesia. Faktanya,
paham-paham tersebut dapat menyusup dan mempengaruhi kehidupan setiap bangsa di dunia
internasional, oleh karenanya tidak tertutup kemungkinan dapat mempengaruhi Pancasila
sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Dalam hubungan ini Irianto Widisuseno
(2004: 4) mencatat bahwa saat ini kehidupan setiap bangsa diwarnai oleh ketegangan yang
disebabkan oleh tarik ulur sistem nilai yang dianut oleh setiap warga bangsa. Sebagian tetap
berkomitmen untuk mempertahankan sistem nilai yang telah menjadi identitas kebangsaan.
Sementara sebagian yang lainnya ingin menjalani kehidupan secara pragmatis dan larut dalam
paham-paham asing dari manapun asalnya (Widisuseno, I, et.al, 2007).
Sejarah mencatat adanya perbedaan perspektif tentang Pancasila. Ada pemahaman
Pancasila ala regim Orde Lama yang khas sehingga dikoreksi oleh regim Orde Baru. Sementara
pada saat reformasi berkembang anggapan bahwa Pancasila tidak lebih sebagai alat legitimasi
kekuasaan regim Orde Baru. Setelah era reformasi, cara pandang terhadap Pancasila pun
terkesan mengalami pergeseran oleh dari statusnya sebagai dasar negara menjadi salah satu
dari empat pilar negara. Fenomena seperti ini mengindikasikan adanya pergeseran pemahaman
(epistemology) terhadap Pancasila, sehingga diperlukan penguatan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terdapat tiga hal penting yang perlu digarisbawahi dari penelitian Michael J. Chandler
dan Christopher Lalonde, yakni: (1) tentang bagaimana langkah-langkah proses kontinuitas
suatu masyarakat tradisional terhadap kebudayaan modern, (2) tentang bagaimana menandai
kelangsungan budaya yang terjadi dalam kehidupan nyata mereka, dan (3) tentang bagaimana
upaya merekonseptualisasi kemungkinan makna keberlanjutan masyarakat tradisional ketika
memutuskan untuk beradaptasi dengan masyarakat modern.
Melalui Prinsip Tri-Kon tersebut diharapkan bangsa Indonesia dapat membangun sikap
yang tepat, pada satu sisi tetap komitmen mempertahankan karakter kebangsaan, namun pada
sisi yang lain juga dapat menyesuikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Prinsip TriKon tersebut dapat menjadi pedoman agar kita tidak terkooptasi sistem nilai
asing akibat sikap pragmatis yang rentan menggeser prinsip-pinsip dasar dalam Pancasila.
Pendidikan Kewarganegaraan dapat menjadi sarana pertemuan beragam nilai dan prinsip yang
bersumber dari luar dan khazanah pemikiran dan nilai-nilai Indonesia. Untuk menjadi sebuah
negara yang matang berdemokrasi, demokrasi Indonesia dapat seiring dan sejalan dengan
koridor penguatan wawasan kebangsaan.