Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 4

PERTEMUAN MINGGU KE-4


PENGANTAR ILMU SOSIAL
RANGKUMAN TERTULIS
KAJIAN DASAR KEWARGANEGARAAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si
Dede Iswandi, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
Laila Puspita Anggraeni (2203989)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN


KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022
A. Pendahuluan
Secara historis dan sosio-kultural pembangunan bangsa dan
pembangunan karakter (nation and character building) merupakan
komitmen nasional yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Kata-kata mutiara
yang tertuang dalam berbagai dokumen sejarah politik dan ketatanegaraan,
seperti dalam naskah Sumpah Pemuda, Proklamasi, Pembukaan UUD
1945, serta yang tercermin dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya dan
lagu-lagu perjuangan lainnya merupakan bukti yang tak terbantahkan
bahwa pembangunan bangsa dan pembangunan karakter merupakan
komitmen bangsa Indonesia yang harus diwujudkan sepanjang hayat.
Di lain pihak, di era „transisi demokrasi‟ bangsa Indonesia justru
dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi
kewarganegaraannya, seperti nasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh
globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme
demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut
belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitalisasi cita sipil,
khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya menjadi
perhatian utama. Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan
warga negara yang bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Demokrasi
dipelihara oleh warganegara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan
dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari
warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka
masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud.
B. Masalah Lama, Tantangan Baru
Pada situasi reformasi terdapat beberapa gejala sosiologis
fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam
masyarakat kita saat ini. Pertama, setelah tumbangnya struktur kekuasaan
“otokrasi” pada Rezim Orde Baru kita memperoleh oligarki dimana
kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar
rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang,
uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya). Kedua, sumber
terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini adalah akibat
munculnya kebencian sosial budaya terselubung (socio-cultural
animosity). Pada pasca runtuhnya rezim Orde Baru konflik yang dihadapi
sifatnya horizontal, antarsesama rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi
bersifat destruktif (disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa
yang menghancurkan dirinya sendiri (self destroying nation). Ciri lain dari
konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik yang tersembunyi (latent
conflict) antara berbagai golongan.
Era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang amat pesat, terutama teknologi informasi dan
komunikasi. Dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas negara.
Kondisi yang demikian itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, dapat pula
mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak seluruh masyarakat
Indonesia. Fenomena globalisasi telah menantang kekuatan penerapan
unsur-unsur karakter bangsa.
C. Membangun Karakter Ke-Indonesiaan
Ketidakterpisahan antara individu dan lingkungannya memberikan
individu perasaan aman (security feeling), perasaan kebersatuan
(belongingness) dan perasaan bahwa ia mengakar (rooted) pada sesuatu.
Diperolehnya kebebasan oleh individu itu berarti hilangnya ketiga tali-tali
individu yang berganti dengan kekhawatiran (anxiety), ketidakberdayaan
(powerless), kemenyendirian (aloneless), keterombang-ambingan
(uprootedness), keraguan (doubt) yang kesemuanya itu bermuara pada
sikap permusuhan (hostility). Siklus individuasi itu terjadi pada setiap
individu, pada setiap saat, dan di setiap tempat.
Konsep karakter ke-Indonesiaan mengacu pada sikap moral
komunitarian yang bercorak kepribadian Indonesia yang dijiwai oleh nilai-
nilai Pancasila dan norma yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Membangun karakter
keIndonesiaan dapat menjadikan warga negara yang lebih mandiri
terhadap negara, membina etos demokrasi yang menekankan pada
pembenahan moral hubungan antarwarganegara itu sendiri, penanaman
nilai kerukunan yang menghasilkan kepedulian terhadap semua
warganegara dan nasib seluruh bangsa.
D. Identitas Manusia Sebagai Makhluk Sosial-Politik
Kewarganegaraan (citizenship) adalah bentuk identitas sosial
politik. Kita dapat membedakan lima bentuk identitas utama yang
mungkin dialami oleh setiap orang dalam kapasitasnya sebagai makhluk
sosial politik. Kelima bentuk identitas utama tersebut ada pada sistem
feodal, kerajaan, tirani, nasional, dan kewarganegaraan secara berurutan
(Heater, 2004:1).
Dalam hal Kewarganegaraan, didefinisikan hubungan individu
dengan gagasan mengenai negara. Identitas kewarganegaraan dilindungi
dalam bentuk hak-hak yang dijamin oleh negara dan kewajiban yang
dilaksanakan oleh warga negara secara individu, yang semuanya
merupakan orang-orang yang mandiri, tidak membedakan mereka satu
sama lain.
Identitas manusia sebagai makhluk sosial politik, juga disebabkan
oleh adanya usaha mewujudkan orde sosial yang baik dan diharapkan
(desirable) melalui penguatan nilai-nilai dalam masyarakat.
E. Pola-pola Sejarah Kewarganegaraan
Pola-pola sejarah kewarganegaraan dibedakan dalam karya T.H.
Marshall yang berjudul Citizenship and Social Class. Dalam ceramah-
ceramahnya yang disampaikan pada tahun 1941, T.H Marshall
mengenalkan tiga bentuk hak kewarganegaraan, yaitu hak sipil (misalnya
persamaan di mata hukum), hak politik (misalnya, hak suara) dan hak
sosial (misalnya keadaan sejahtera), yang, dia nyatakan, berkembang
secara historis pada urutan itu.
F. Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
Secara historis-epistemologis, Amerika Serikat (USA) dapat dicatat
sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam
pengembangan konsep dan paradigma "citizenship education". Untuk
pertama kalinya, yakni pada pertengahan tahun 1880-an di USA mulai
diperkenalkan mata pelajaran "Civics" sebagai mata pelajaran di sekolah
yang berisikan materi mengenai pemerintahan (Allen:1960). Selanjutnya
pada tahun 1900-an, berkembang mata pelajaran "Civics" yang diisi
dengan materi mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federal
(Gross dan Zeleny:1958). Berikutnya, Dunn (1915) mengembangkan
gagasan "new Civics" yang menitikberatkan pada "community living" atau
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, sampai tahun 1920-an istilah
"Civics" telah digunakan untuk menunjukkan bidang pengajaran yang
lebih khusus, yakni "vocational civics, community civics dan economic
civics" (Gross dan Zeleny:1958).
G. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia mulai
dari secara formal munculnya mata pelajaran "civics" dalam kurikulum
SMA tahun 1962. Dalam kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran
pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan
mengenai pemerintahan. Di dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah
"civics' dan pendidikan kewargaan negara digunakan secara bertukar-
pakai. Selanjutnya, Di dalam kurikulum SPG 1969 mata pelajaran
pendidikan kewargaan negara terutama berkenaan dengan sejarah
Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia
(Dept. P&K 1968a; 1968b; 1968c;1969). Kemudian dalam Kurikulum
1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana
diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau
P4.
Mata pelajaran PMP terus dipertahankan baik istilah maupun
isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasamya
merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b,
c, dan 1976). Selanjutnya pengembangan Kurikulum 2004, yang ciri
paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan
silabus dan sistem penilaiannya.
H. ANALISIS DAN KOMENTAR
Karakter keindonesiaan Pancasila dimaksudkan pada cara berpikir,
pola sikap dan perilaku warga negara Indonesia yang berlandaskan nilai-
nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian pembangunan
karakter bangsa keindonesiaan juga dimaknai sebagai proses terus-
menerus dalam membina, memperbaiki dan mewariskan konsep dan nilai-
nilai luhur budaya Indonesia yang dijiwai nilai-nilai Pancasila dan norma
yang berlandaskan UUD 1945. Sehingga nilai-nilai itu mempribadi
(internalized, personalized) ke dalam diri individu maupun bangsa
Indonesia. (Erlina, 2019: 153-162)
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) berperan penting dalam
menyiapkan warga negara muda untuk menghadapi perubahan zaman.
Pembelajaran PKn perlu dikonstruksi secara humanis, dialogis, kritis, dan
mengedepankan budi pekerti untuk membangun kemampuan berpikir
kritis peserta didik dalam kehidupan masyarakat demokratis. (Setiarsih,
2017: 76-85)
Giroux (1980: 331) berpendapat bahwa jika ingin menciptakan
masyarakat yang lebih baik melalui revitalisasi PKn maka esensi PKn
harus terbebas dari beban intelektual dan sejarah ideologi agar dapat
dikembangkan rasionalitas baru untuk meneliti hubungan sekolah dan
masyarakat yang lebih luas. (Setiarsih, 2017: 76-85)
Setelah membuat rangkuman di atas dapat diketahui bahwa
Pendidikan Kewarganegaraan sangat dibutuhkan untuk mendudukung
pengembangan warga negara yang bertanggung jawab, efektif dan
terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warga negara yang mempunyai
pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Secara
keseluruhan penyajian materi ini sudah jelas, lengkap, memerinci dan
dapat dipahami. Sumber-sumber dari materi yang disediakan pun jelas dan
terpercaya. Materi ini pun membuka pikiran kita tentang bagaimana
sejarah dan pentingnya peran Pendidikan Kewarganegaraan untuk
kelanjutan pembangunan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Erlina, T. (2019). Membangun Karakter Ke-Indonesiaan Pancasila Melalui
Pendidikan Kewarganegaraan Di Era Global. Factum: Jurnal Sejarah dan
Pendidikan Sejarah, 8(2), 153-162.
Setiarsih, A. (2017). Diskursus pendidikan kritis (critical pedagogy) dalam kajian
pendidikan kewarganegaraan. Citizenship Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan, 5(2), 76-85.

Anda mungkin juga menyukai