Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia begitu lama berjuang untuk suku atau daerahnya

masing-masing. Mereka belum terbuka, bahwa perjuangan melawan cengkeraman

penjajah asing selama berpuluh bahkan beratus tahun. Jika dianalisis secara

mendalam, maka penyebab utama dari kelemahan bangsa Indonesia, adalah

bersumber pada rendahnya tingkat pendidikan bangsa Indonesia pada masa itu.

Pendidikan yang rendah menyebabkan kemampuan mengembangkan

teknologi persenjataan pun lemah, sehingga kalah jauh dari persenjataan

milik penjajah. Pendidikan yang rendah, juga menyebabkan kepemimpinan

perjuangan hanya bergantung pada kharisma seorang pemimpin, yang

ketika ia meninggal perjuangan pun terputus karena tidak ada kader yang

melanjutkan perjuangannya. Pendidikan yang rendah, menyebabkan

wawasan berfikir pun menjadi sempit. Wawasan yang sempit menjadi

penyebab para pejuang hanya berfikir dapat dilakukan secara bersama-sama.

Rasa kebangsaan atau nasionalisme sampai akhir abad ke-19 masih belum tumbuh.

Ketika sebagian kecil bangsa Indonesia sudah mulai bersentuhan dengan

pendidikan modern pada pertengahan abad ke-19, sedikit demi sedikit, terbuka

wawasan berfikir bangsa Indonesia. Dari kalangan rakyat Indonesia terdidik yang

1
jumlahnya masih terbatas itu rasa kebangsaan atau nasionalisme

dankesadaran untuk bersatu dalam perjuangan mulai muncul dandisebarluaskan.

Pendidikan ternyata begitu besar pengaruhnya untuk membuka fikiran dan

kesadaran akan rasa persatuan, rasa kebangsaan, dan rasa kecintaan pada tanah

air. Kalangan terdidiklah yang mampu merintis rasa kebangsaan atau nasionalisme

ini pada masa Kebangkitan Nasional 1908. Di awal abad ke-20, dapat dikatakan

fase pertama tumbuhnya nasionalisme bangsa Indonesia, kaum terdidik lebih

menegaskan rasa nasionalisme itu pada Sumpah Pemuda 1928, serta semakin

mengukuhkannya melalui Proklamasi Kemerdekaan 1945. Saat-saat yang sangat

penting di sekitar Proklamasi Kemerdekaan, adalah ditetapkannya Pancasila

sebagai dasar negara bagi negara kebangsaan Republik Indonesia. Pancasila

yang saat itu merupakan kesepakatan politik yang luhur dari berbagai

komponen bangsa mampu mewadahi nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme

dan nilai-nilai dasar lainnya.

Di era global sekarang ini, ketika kita sekarang sudah

memasuki seratus tahun Kebangkitan Nasional dan enam puluh delapan tahun

merdeka, beberapa pertanyaan pun muncul, apakah pendidikan masih relevan

untuk menjaga perannya dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dasar

Pancasila? Apakah Pancasila dapat menumbuhkan, memelihara, dan

meningkatkan rasa kebangsaan atau nasionalisme? Dan strategi apakah yang tepat

untuk menginternalisasikan nilai-nilai dasar Pancasila dan nasionalisme pada

masa sekarang ini?

Setelah enam puluh delapan tahun merdeka dan seratus tahun

kebangkitan nasional saat ini, kita masih menghadapi berbagai tantangan yang

2
berkaitan dengan upaya implementasi nilai-nilai dasar Pancasila dan

nasionalisme pada bangsa Indonesia.

Pertama, nilai-nilai Pancasila sepertinya masih belum membumi, masih belum

diamalkan secara baik oleh bangsa Indonesia. Pancasila seakan hanya

menjadi simbol saja, tanpa terimplementasi secara nyata baik pada tataran

kehidupan kenegaraan maupun pada tataran kehidupan masyarakat. Kedua,

kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda pada era globalisasi

ini mendapat pengaruh yang sangat kuat dari nilai-nilai budaya luar, sehingga

mulai banyak sikap dan perilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Ketiga, nilai-nilai nasionalisme pun oleh sebagian pihak dipandang

mengalami erosi pada saat ini, terutama di kalangan generasi muda (Triantoro,

2008). Keempat, berkembangnya paham keagamaan yang tidak memandang

penting nasionalisme

Dalam pertimbangan tentang perlunya kebijakan nasional

pembangunan karakter bangsa didasarkan adanya permasalahan yang sedang

dihadapi bangsa saat ini yaitu : (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai

Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa,(2) Keterbatasan perangkat kebijakan

terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila. (3) Bergesernya nilai-nilai

etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (4) Memudarnya kesadaran

terhadap nilai-nilai budaya bangsa. (5) Ancaman disintegrasi bangsa. (6)

Melemahnya kemandirian bangsa. Dengan kata lain seperti dikatakan Gumilar

Rusliwa Somantri, kita sedang tengah mengalami anomie atau “kekosongan”

Grundnorm yang menjadi rujukan berdirinya negara bangsa yang tunggal dan

sumber dari berbagai tata aturan. Anomie terjadi karena Pancasila yang sejak

3
kemerdekaan menjadi norma dasar, ikut terpuruk bersama jatuhnya rezim Orde

Baru”

PKn Sebagai Pendidikan Karakter

Masalah di atas yang belum terpecahkan. Koentjaraningrat (1974)

dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, menyatakan sedikitnya ada

lima mentalitas negatif bangsa Indonesia: (1) meremehkan mutu; (2) cenderung

mencari jalan pintas (menerabas) (misalnya. : main belakang, orang dalam, semua

bisa diatur, satu meja satu amplop, urusan diselesaikan dengan damai,pen.); (3) tidak

percaya diri; (4) tidak berdisiplin (misalnya.: jam karet, vonis dapat ditentukan di

belakang meja, membuang sampah sembarangan, lebih takut kepada polisi

daripada kepada peraturan, terlambat dalam mengerjakan banyak hal,

tawuran, sidang pleno di DPR tak pernah lengkap,pen.); dan (5) mengabaikan

tanggung jawab (misalnya. : tidak amanah, khianat, korupsi massal,

penyalahgunaan kekuasaan). Sedangkan Muchtar Lubis (1986) menyatakan

bahwa ciri negatif manusia Indonesia: (1) hipokritis alias munafik; (2) segan dan

enggan bertanggung jawab; (3) berjiwa feodal; (4) masih percaya takhyul; (5) artistik;

(6) memiliki watak yang lemah; (7) bukan economic animal.

Belum terpecahkannya masalah karakter, menjadikan Indonesia

belum beranjak mencapai kemajuan yang mensejahterakan rakyat. Sebagai

bangsa yang pernah dijajah negara kapitalis-imperialis yang menindas dan

menyengsarakan justru Indonesia tidak mampu keluar dari sistem ekonomi

kapitalis yang tidak berkeadilan ini. Ekonomi Pancasila (Ekonomi Kerakyatan)

yang memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan keadilan sosial yang secara

4
tegas ditentukan pasal 33 UUD 1945, justru tidak dijalankan. Ini menunjukkan

adanya krisis kepercayaan diri, kemandirian dan nasionalisme yang sangat

rendah. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang

ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”

Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa

pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.

Sistem ekonomi kapitalis (neo-liberalisme) memberikan lahan yang

subur bagi berkembangnya pragmatisme, individualisme dan materialisme. Hal

ini berdampak pada berkembangnya sikap dan perilaku politik transaksional dan

kartel. Sikap dan perilaku politik yang demikian, politik dijadikan komoditas untuk

memperoleh keuntungan kekuasaan dan material yang sebesar-besarnya bagi diri

dan kelompoknya. Kemudian ketika ada penyimpangan yang dialakukan

diantara mereka, diatasi dengan cara saling menutupi.

Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia

berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan

estetika. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku

(karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau

kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang

Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan

sehingga menjadi insan kamil. Karakter Bangsa adalah kualitas perilaku

kolektif kebangsaan yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman,

rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati,

olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.

Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan

5
Indonesia yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa,

karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-

nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal

Ika, dan komitmen terhadap NKRI.7 Pendidikan karakter rakyat menurut Bung

Hatta, adalah: mandiri, tahu hak dan kewajiban, mau mengambil tanggung jawab.

PKn sebagai pendidikan karakter merupakan salah satu misi yang

harus diemban. Misi lain adalah sebagai pendidikan politik/pendidikan

demokrasi, pendidikan hukum, pendidikan HAM, dan bahkan sebagai

pendidikan anti korupsi. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain, mata pelajaran

PKn dan Agama memiliki posisi sebagai ujung tombak dalam pendidikan karakter.

Maksudnya dalam kedua mata pelajaran tersebut pendidikan karakter harus

menjadi tujuan pembelajaran. Perubahan karakter peserta didik merupakan usaha

yang disengaja/direncakan (instructional effect), bukan sekedar dampak

ikutan/pengiring (nurturant effect). Hal ini dapat ditunjukkan bahwa komponen

PKn adalah pengetahuan, ketrampilan dan karakter kewarganegaraan. Dengan kata

lain tanpa ada kebijakan pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam berbagai

mata pelajaran, PKn harus mengembangkan pendidikan karakter. Lebih-lebih

dengan adanya kebijakan pengembangan pendidikan karakter yang

terintegrasi, ini merupakan tantangan untuk menunjukan bahwa PKn sebagai ujung

tombak yang tajam pendidikan karakter.

PKn sebagai pendidikan karakter dapat dikenali dari konsep, tujuan,

fungsi, tuntutan kualifikasi dan keunikan PKn.. PKn (Civic Education) adalah

pembelajaran yang mengugah rasa ingin tahu dan kepercayaan (trust) terhadap

norma-norma sosial yang mengatur hubungan personal dalam masyarakat

6
sebagaimana mengatur partisipasi politik. PKn “merupakan mata pelajaran

yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan

mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga

Negara yang memiliki karakter berbangsa dan bernegara.

Bidang pendidikan kewarganegaraan (pkn) memiliki kaitan dengan

Pancasila dalam hal tujuan dari pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Secara

umum tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah terbentuknya warga negara

yang baik (good citizen) yang tentu saja berbeda menurut konteks negara yang

bersangkutan, warga negara yang baik di Indonesia adalah warga negara yang

patriotik, toleren, setia terhadap bangsa dan negara, beragama,

demokratis, ... Pancasila sejati. Tujuan pendidikan kewarganegaraan menurut

Keputusan Presiden RI No. 145 tahun 1965, adalah “…melahirkan

warganegara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya

Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil

dan yang berjiwa Pancasila Pendidikan kewarganegaraan dalam wujud mata

pelajaran PMP bertujuan membentuk manusia Pancasilais, sedangkan

dalam wujud mata pelajaran PPKn bertujuan membentuk manusia Indonesia

seutuhnya yaitu yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD NRI 1945.

Pemetaan yang dilakukan Freddy Kalidjernih (2007: 12) juga menunjukkan

bahwa fokus pendidikan kewarganegaraan di Indonesia pada tahun 1964, 1968,

1975, 1984, dan 1994 adalah pembentukan manusia Pancasila. Pendidikan

kewarganegaraan dalam wujudnya yang sekarang yaitu mata pelajaran PKn

bertujuan terbentuknya warga negara yang cerdas, berkarakter dan trampil sesuai

7
yang diamanatkan Pancasila dan UUD NRI 1945 (Permendiknas No 22 tahun

2006).

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pemahaman tersebut di

atas, maka proses sosialisasi nilai kebangsaan melalui pelajaran PKn di SMA

Muhammadiyah 1 Gresik sangat menarik untuk diteliti, karena itu penulis

menyusun tesis dengan judul Model Sosialisasi Nilai Kebangsaan di SMA

Muhammadiyah1 Gresik dijadikan Pembelajaran penanaman nilai melalui

Standar Kompetensi Budaya Politik dan Budaya Demokrasi Indonesia

memberikan pengalaman dan wawasan yang sangat luas dan sangat berharga

terhadap siswa tentang niali-nilai kebangsaan. Hal ini sangat berpengaruh

terhadap perilaku siswa tentang pemahaman nilai-nilai kebangsaan dan

nasionalisme.

B. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang didapat diuraian adalah Bagaimana

model sosialisasi nilai-nilai kebangsaan di SMA Muhammadiyah 1 Gresik?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui model

sosialisasi niali-nilai kebangsaan di SMA Muhammadiyah 1 Gresik?

D. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

8
Penelitian ini dapat berguna sebagai salah satu khasana kajian

Sosiologi, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan terutama Sosialisasi nilai-

nilai kebangsaan di sekolah yang merupakan salah satu agen perubahan .

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu

usaha untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang praktik sosialisasi nilai-

nilai kebangsaan kepada generasi muda sehingga pola pemebelajaran para siswa

didasarkan pada pendidikan karakter berbangsa yang cerdas, rasional dan tidak

menyesatkan dapat dikembangkan. Wal hasil penanaman sikap integritas terhadap

generasi muda dapat dialakukan dan demokrasi akan berkembang sesuai dengan

cita-cita proklamasi, ideology pancasila dan UUD NRI 1945.

9
10

Anda mungkin juga menyukai