Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya. Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata globalisasi diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.

Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila dalam setiap kita berpikir dan bertindak. Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga. Suatu bangsa harus memiliki identitas nasional dalam pergaulan internasional. Tanpa national identity, maka bangsa tersebut akan terombang-ambing mengikuti ke mana angin membawa. Dalam ulang tahunnya yang ke-62, bangsa Indonesia dihadapkan pada pentingnya menghidupkan kembali identitas nasional secara nyata dan operatif.Identitas nasional kita terdiri dari empat elemen yang biasa disebut sebagai konsensus nasional. Konsensus dimaksud adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti Membela Pancasila Sampai Mati atau Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.

Karena itu, Pancasila harus dilihat sebagai ideologi, sebagai cita-cita. Maka secara otomatis akan tertanam pengertian di alam bawah sadar rakyat, pencapaian cita- cita, seperti kehidupan rakyat yang adil dan makmur, misalnya, harus dilakukan bertahap. Dengan demikian, kita lebih leluasa untuk merencanakan aneka tindakan guna mencapai cita-cita itu. Selain perlunya penegasan bahwa Pancasila adalah cita-cita, hal penting lain yang dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila dalam tataran ide adalah mencari maskot. Meski dalam hal ini ada pandangan berbeda karena dengan memeras Pancasila berarti menggali kubur Pancasila itu sendiri, namun dari sisi strategi kebudayaan adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir Soekarno, jika perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah maskot yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila. Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah saya ini adalah: 1. 2. 3. Apa yang dimaksud Identitas Nasional? Apa saja Unsur Unsur Pembentuk Identitas Nasional? Penyimpangan Identitas Nasional?

4. Faktor apa yang harus dilakukan dalam merevitalisasi Identitas Nasional Bangsa Indonesia? 5. Hubungan Pancasila dalam revitalisasi Identitas Nasional?

1.3. Tujuan Adapun tujuan dari makalah saya ini,antara lain: 1. 2. 3. 4. Agar pembaca mengetahui pengertian Identitas Nasional Agar pembaca mengetahui Unsur Unsur Pembentuk Identitas Nasional? Agar pembaca mengetahui Penyimpangan Identitas Nasional Agar pembaca mengetahui faktor-faktor harus dilakukan dalam merevitalisasi Identitas Nasional Bangsa Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Identitas Nasional Identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, kelompok sendiri, atau negara sendiri. Nasional merupakan

identitas yang melekat pada kelompok- kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupun non fisik, seperti keinginan,cita-cita dan tujuan. Jadi adapun pengertian identitas sendiri adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang bisa membedakannya. Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai. Budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya. Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan bdari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2.2 Unsur Unsur Pembentuk Identitas Nasional

Pada hakikatnya, Identitas Nasional memiliki empat unsur: 1. Suku Bangsa: golongan social yang khusus yang bersifat askriftif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa, kuran lebih 360 suku.

2. Agama: bangsa indonessia dikenal sebagai bangsa yang agamis. Agama agama yang berkembang di Indonesia antara lain agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi Negara Indonesia namun sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi telah dihapuskan. 3. Kebudayaan: merupakan pengetahuan manusia sebagai makhlu sosial yang berisikan perangkat perangkat atau model model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai pedoman untuk bertindak dalam bentuk kelakuan dan benda benda kebudayaan. 4. Bahasa: merupakan usur komunikasi yang dibentuk atas unsur unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia. Menurut Syarbani dan Wahid dalam bukunya yang berjudul Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan, keempat unsur Identitas Nasional tersebut diatas dapat dirumuskan kembali menjadi 3 bagian: a) Identitas Fundamental: berupa Pancasila yang menrupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara. b) Indetitas Instrumental: berupa UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, dan Lagu Kebangsaan. c) Indetitas Alamiah: meliputi Kepulauan (archipelago) dan Pluralisme dalam suku, bahasa, budaya dan kepercaraan (agama). 2.3 Penyimpangan Identitas Nasional Geografis : 1) Kurangnya kekuatan maritime yang memadai. 2) Pertahanan laut dan udara masih belum di kembangkan dengan optimal. 3) Kebanyakan daerah perbatasan mengalami kelambanan dalam pembangunan infrakstruktural transportasi dan komunikasi sehingga mereka kurang

berinteraksi dengan wilayah lin di tanah air,bahkan mereka lebih dekat dengan negara tetangga. 4) Kondisi geografis yang senjang juga terlihat mencolok antara wilayah pedesaan dengan wilayah perkotaan.

Demografis : Terjadinya kesenjangan antara generasi tua dengan generasi muda dalam memandang persoalan bangsa dan menghadapi tantangan hidup. Social dan Budaya : a) b) c) Perasaan senasib-sepenanggungan semakin mencair. Kristalisasi nilai kebangsaan mengalami keretakan di sana-sini Banyaknya pejabat yang menuntut hak-hak istimewa bagi kepentingan pribadinya, meskipun hak-hak dasar rakyat pada umumnya belum terpenuhi. d) Lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman Gejala

tersebut dapat di lihat dari menguatnya orientasi dalam kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi menimbulkan konflik social dan bahkan disintegrasi bangsa. Masalah ini juga semakin serius akibat dari makin terbatasnya ruang public yang dapat diakses dan dikelola bersama masyarakat yang multikultur untuk penyaluran aspirasi. Dewasa ini muncul kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat karena desakan ekonomi. e) Kurangnya kemampuan bangsa dalam mengelola kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan yang yang tidak kasat mata (intangible). Pengelolaan kekayaan budaya ini juga masih belum sepenuhnya menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Sementara itu, apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk dalam negeri masih rendah, antara lain karena keterbatasan informasi. f) Terjadinya krisis jati diri (identitas) nasional.. Identitas nasional meluntur oleh cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta tidak mampunya bangsa indonesia mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character building).

2.4

Faktor dalam Revitalisasi Identitas Nasional Bangsa Indonesia Semakin maraknya semangat globalisasi membuat berbagai negara semakin gencar terlibat dalam interaksi global. Baik itu dalam skala bilateral, regional, ataupun multilateral. Semua orang juga sekarang semakin bergerak menyatu menjadi sebuah masyarakat dunia, terutama dengan adanya internet. Namun semakin dunia bersatu, keberadaan identitas sebuah bangsa menjadi semakin penting, terutama karena identitas bangsa yang akan menjadi landasan kita dalam mengembangkan potensi yang dimiliki negara ini. Agar dapat bertahan dari derasnya arus perubahan di era globalisasi ini, Indonesia perlu segera melakukan revitalisasi terhadap identitas bangsanya. Ada dua faktor yang diperlukan dalam proses revitalisasi identitas bangsa, yaitu partisipasi publik dan kepemimpinan. A. Faktor partisipasi publik Faktor ini menjadi penting karena agar sebuah identitas bangsa dapat menjadi faktor pemersatu maka publik atau masyarakat harus mendukungnya. Belajar dari pengalaman masa Orde Baru, sebuah pemahaman yang dipaksakan kepada masyarakat tidak dapat bertahan lama. Oleh karena itu, agar mendapatkan penerimaan dan dukungan dari masyarakat, mereka harus dilibatkan seluas-luasnya dalam proses revitalisasi identitas bangsa. Walau terlihat ideal, konsep partisipasi publik dikritik sebagai sebuah konsep yang akan menghabiskan banyak waktu dan sumber daya negara. Terutama karena dianggap tidak mungkin atau sulit untuk menemukan konsensus yang dapat diterima oleh semua masyarakat. Ini berkaitan dengan kelemahan sistem demokrasi yaitu dihargainya keberadaan perbedaan pendapat, sehingga ketika makin banyak pendapat maka makin sulit untuk mencapai sebuah titik temu. B. Faktor Kepemimpinan Faktor ini sangat penting dan diperlukan. Keberadaan seorang atau beberapa orang pemimpin bangsa berfungsi untuk tiga hal. Pertama, memulai inisiatif untuk melakukan revitalisasi identitas bangsa. Kedua, memantau dan memastikan berjalannya partisipasi publik dalam revitalisasi identitas bangsa. Ketiga, menyimpulkan hasil diskusi masyarakat tentang identitas bangsa Indonesia yang baru. Semakin para pemimpin bangsa itu dipercaya oleh masyarakat banyak maka hasil kesimpulan yang mereka

sampaikan akan lebih mudah diterima masyarakat. Ini akan mempercepat dan memudahkan proses revitalisasi identitas bangsa. Harus diperhitungkan juga para pemimpin masyarakat yang tidak menjabat di pemerintahan tapi memang sudah dipandang sebagai pemimpin bangsa. Mereka inilah yang seharusnya berperan sebagai penggerak dan pemandu masyarakat dalam proses revitalisasi identitas bangsa. Tanpa peran aktif dari para pemimpin bangsa Indonesia maka revitalisasi identitas bangsa kita mungkin tidak akan pernah selesai atau prosesnya menjadi tidak terarah. Selain peran para pemimpin, agar proses revitalisasi identitas bangsa dapat menjadi semakin terarah, perlu dipahami juga akar atau sumber identitas bangsa yang perlu dibahas oleh masyarakat. Menurut Huntington (2004), identitas memiliki enam sumber utama, yaitu demografis, budaya, wilayah, politik, ekonomi, dan kehidupan sosial. Keenam sumber identitas ini yang kemudian menjadi dasar bersatunya sekelompok orang. Untuk keperluan melakukan revitalisasi identitas bangsa Indonesia, keenam sumber tersebut dapat disederhakan menjadi dua aspek, yaitu nilai dan cita-cita bangsa. Perihal aspek cita-cita bangsa, di luar cita-cita normatif seperti bangsa yang berdaulat dan sejahtera, masyarakat perlu memikirkan bangsa Indonesia ingin dikenal sebagai apa di mata dunia, atau Indonesia ingin mengambil posisi apa di papan catur dunia. Tentunya ini tetap harus dikaitkan dengan nilai bangsa serta potensi yang dimiliki oleh Indonesia agar tidak menjadi cita-cita yang semu. Sebenarnya ada dua posisi di dunia yang Indonesia bisa tempati dengan potensi yang kita miliki. Pertama, karena Indonesia negara penghasil emiten karbon ketiga terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi negara yang memimpin gerakan menghambat pemanasan global. Kedua, karena Indonesia adalah negara yang telah berhasil menyatukan beragam suku, budaya & bahasa daerah, serta agama melalui demokrasi, Indonesia dapat menjadi tolok ukur bagi negara lain dalam pengelolaan konflik horizontal. Apapun posisi yang akan diambil Indonesia nantinya di kancah internasional, semua akan bergantung pada hasil revitalisasi identitas bangsa Indonesia.

Bila Indonesia tidak ingin terlambat memetik hasil dari globalisasi maka revitalisasi identitas bangsa perlu segera dilakukan. Peran aktif masyarakat dan para pemimpin bangsa Indonesia dalam membahas nilai dan cita-cita bangsa dapat memaksimalkan proses serta hasil revitalisasi identitas bangsa Indonesia. Namun di era globalisasi ini perlu dipertimbangkan pula posisi atau peran strategis yang Indonesia ingin jalankan di dunia, agar potensi yang dimiliki Indonesia dapat dikembangkan pula di kancah internasional.

2.5

Revitalisasi Pancasila Sebagai pemberdayaan Identitas Nasional

Suatu bangsa harus memiliki identitas nasional dalam pergaulan internasional. Tanpa national identity, maka bangsa tersebut akan terombang-ambing mengikuti ke mana angin membawa. Dalam ulang tahunnya yang ke-62, bangsa Indonesia dihadapkan pada pentingnya menghidupkan kembali identitas nasional secara nyata dan operatif.Identitas nasional kita terdiri dari empat elemen yang biasa disebut sebagai konsensus nasional. Konsensus dimaksud adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Revitalisasi Pancasila harus dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti Membela Pancasila Sampai Mati atau Dengan Pancasila Kita Tegakkan Keadilan menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya, kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan realitas kehidupan masyarakat.

Karena itu, Pancasila harus dilihat sebagai ideologi, sebagai cita-cita. Maka secara otomatis akan tertanam pengertian di alam bawah sadar rakyat, pencapaian cita- cita, seperti kehidupan rakyat yang adil dan makmur, misalnya, harus dilakukan bertahap. Dengan demikian, kita lebih leluasa untuk merencanakan aneka tindakan guna mencapai cita-cita itu. Selain perlunya penegasan bahwa Pancasila adalah cita-cita, hal penting lain yang dilakukan untuk merevitalisasi Pancasila dalam tataran ide adalah mencari maskot. Meski dalam hal ini ada pandangan berbeda karena dengan memeras Pancasila berarti menggali kubur Pancasila itu sendiri, namun dari sisi strategi kebudayaan adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir Soekarno, jika perlu Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah maskot yang harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila. Pendeknya, ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila. 2.6 Penegakan Hukum Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam artiyang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup

makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilainilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan law enforcement ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan penegakan hukum dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah penegakan peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law versus the rule of just law atau dalam istilah the rule of law and not of man versus istilah the rule by law yang berarti the rule of man by law. Dalam istilah the rule of law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law. Dalam istilah the rule of law and not of man dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman peril ku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

2.7 Penegakan Hukum Objektif


Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hokum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian law enforcement dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi court of law dalam arti pengadilan hukum dan court of justice atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah Supreme Court of Justice. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Normanorma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajibankewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terka dung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban

secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui rgan-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena it , sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap h k-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemud an dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang membe i warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah sehingga

perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap seba ai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratisch rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hokum (constitutional democracy). Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan hak asasi manusia. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang belum berkembang secara sehat.

2.8 Pengaruh Kebudayaan Dalam Penegakan Hukum

Penegakan hokum selalu akan melibatkan manusia didalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak akan mampu mewujudkan sendiri janji-janjiserta kehendak-kehendak yang tercantum dalam peraturan hukum itu. Tingkah laku social bukan merupakan perbuatan manusia yang tak dituntun oleh kemauan-kemauan yang yang tak terkendali dari orang-orang dalam masyarakat. Tingkah laku social itu tidak bisa diidentifikasi sebagai perbuatan manusia secara perorangan begitu saja, melainkan merupakan bagian dari suatu jaringan yang luas yang membataasi perbuatan tersebut. Penegakan hokum adalah suatu proses untuk mewujudkan keingingan-keinginan menjadi kenyataan. Dalam kenyataan nya maka proses penegakan hokum itu memuncak pada pelaksanaanya oleh para pejabat penegak hokum itu sendiri. Hukum bukan merupakan karya seni ciptaan manusia yang adanya hanya untuk dinikmati orang-orang yang mengamatinya. Ia juga bukan suatu hasil kebudayaan yang adanya hanya untuk menjadi bahan pengkajian secara logis rasional. Intinya masalah pengakan hokum berkaitan erat dengan aspek-aspek kehidupan social dimana hokum itu menjalankan peran pelaksanaan hokum bervariasi menurut tempat, ruang, dan waktu. Peranan hokum tidak dapat berdiri sendiri tanpa disertai tindakan lain dibidang nonhukum. Selain hal tersebut, terdapat factor-faktor kebudayaan yang dapat menghambat terciptanya tertib hokum dan penegakan hokum yaitu: adanya fenomena berupa banyaknya pengadilan yang terdapat hampir diseluruh kotamadya/kabupaten akan tetapi sangan sulit menemukan keadilan, hokum tidak lagi mampu mengekang naluri kekerasan, dan yang terakhir adalah bobroknya lembaga peradilan yang mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam era globalisasi seharusnya bangsa indonesia harus bisa mempertahankan identitas nasional negaranya sendiri agar tidak terjadi perubahan yang signifikan kearah yang negatif. Agar dapat bertahan dari derasnya arus perubahan di era globalisasi ini, Indonesia perlu segera melakukan revitalisasi terhadap identitas bangsanya. Ada dua faktor yang diperlukan dalam proses revitalisasi identitas bangsa, yaitu partisipasi publik dan kepemimpinan. Keduanya harus berjalan seimbang agar bangsa indonesia dapat mempertahankan identitas nasionalnya.

B. Saran

Dengan membaca makalah ini, pembaca disarankan agar bisa mengambil manfaat tentang pentingnya identitas nasional bagi bangsa dan negara Indonesia dan diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan baik. Secara universal, jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hokum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivisme. Selain itu hendaknya sosialisasi hokum terhadap masyarakat semakin ditingkatkan, karena dengan sosialisasi masyarakat lebih tahu akan pentingnya hokum serta kesadaran masyarakat untuk patuh dan menghindarkan diri dari budaya negative yang dapat menghambat dari penegakan hukum itu sendiri.

MAKALAH
REVITALISASI IDENTITAS NASIONAL DI ERA GLOBALISASI
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Disusun oleh Kelas 3-TPJJ Bangga Mahaliadha 101134004 M. Hafid A. Neiza F. M. Rhamda Gumilar 101134013 101134015 101134023

PROGRAM STUDI TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN JURUSAN TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2012

Anda mungkin juga menyukai