Anda di halaman 1dari 10

Abstrak

Fokus studi ini ialah memahami konsep alam pikir Aristoteles mengenai “kebahagiaan”
sebagai tujuan manusia yang paling tinggi. Judul paper ini adalah Kebahagiaan dalam
Pandangan Aristoteles (Suatu Studi Hermeneutis Filosofis). Metodologi yang digunakan
dalam studi ini dengan menerapkan bacaan kritis atas buku menjadi mencintai Armada
Riyanto serta beberapa sumber yang terkait. Setelah merumuskan paper ini, studi ini
menemukan bahwa etika Aristoteles mengenai hidup yang bermutu adalah hidup yang
memiliki tujuan. Dan tujuan yang dimaksud itu ialah mencapai kebahagiaan. Lantas muncul
suat pertanyaan, kebahagiaan seperti apa yang dimaksudkan Aristoteles? Ia menitik beratkan
bahwa untuk mencapai kebahagiaan itu manusia harus hidup secara bermoral. Moralitas
menjadi penting, karena berperan untuk mengarahkan manusia menuju kebahagiaan itu
sendiri. Kebahagiaan juga halnya ada dalam relasi aku dan liyan. Penulis melihat
kebahagiaan dalam persahabatan aku dan liyan, menjadi nyata dan terlaksana apabila satu
sama lain saling mencintai, saling membebaskan diri dari mengejar kenikmatan untuk diri
sendiri.

Kata kunci: Aristoteles, bahagia, persahabatan, moralitas, manusia.

I. Pengantar

Perkembangan filsafat dewasa ini tidak terlepas dari peran toko seperti Sokrate,Plato,
dan Aristoteles. Filsafat mereka memberikan subangan yang sangat penting bagi dunia
filsafat. Ajaran filsafat yang telah mereka uraikan bahkan menjadi fodasi bagi perkembagan
dunia filsafat dan juga ilmu pengetahuan sampai detik ini. Aristoteles yang mewarisi filsafat
dari gurunya Plato memberikan panorama baru dalam berfilsafat. Ia tidak hanya mempelajari
warisan pengajaran filsafat dari gurunya itu, tetapi juga dengan “telaten” mengembangkan
dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam diskursus filsafat.

Salah satu diskursus filsafat yang menarik adalah uraian tentang eksistensi manusia
dengan segala aspek baik kekuragan maupun kelebihan yang dimilikinya. Persoalan manusia
ini sudah mendapat perhatian oleh para filsuf, bagi Sokrates, Plato, dan secara khsusus
Aristoteles. Pemikiran mereka telah meberikan fondasi dalam filsafat manusia, yang dalam
perkembagan zaman melahirkan para tokoh-tokoh filsuf terkenal lainya.

Manusia memang merupakan mahluk yang unik. Dengan kemampuan dan


ketakterbasan untuk terus menerus mengaktualisasikan dirinya, keberadaan manusia menjadi
diskusi yang menarik bagi filsafat. Entah sadar atau tidak setiap orang pasti mendambakan
identitas diri menjadi manusia yang utuh. Hal inilah yang mungki menjadi dorongan bagi
para filsuf besar seperti Sokrate, Plato dan Aristoteles serta para filusuf lainnya menaruh
perhatian pada persoalan eksistensi manusia. Diantaranya adalah Aristoteles. Pemikiran dan
perhatiannya cukup besar bagi fodasi refleksi kritis atas eksistensi manusia. Salah satu yang
menjadi penemuan penting dalam filsafat Aristoteles adalah cara berpikirnya dalam mengurai
persoalan mengenai tujuan manusia. Fokusnya pada persoalan manusia, menuntunya hingga
memperoleh pemikiran bahwa manusia dalam peziarahan hidupnya akan mencapai titik akhir
dari dirinya, ketika ia mampu mencapai tujuan hidup dari kehidupan manusia itu sendiri.

1
Tujuan yang dimaksud Aristoteles adalah apa yang disebutnya dengan “kebahagiaan”.
Aristoteles mengurai persoalan ini dengan rumusan yang sangat dasar yaitu pertanyaan
apakah tujuan manusia?.

Lulu bagaimana Aristoteles mengurai dan menjawab pertanyaan itu. dalam paper ini
penulis mencoba untuk melihat pemikiran dari filsuf besar ini. bagaiman ia memaknai
kehidupan manusia itu serta usahnya dalam memperjuangankan tujuan yang ingin
dicapainya. Dengan mempelajari filsafat Aristoteles mengenai kebahagiaan, diharapkan
mampu memberikan sumbangan bagi siapapun untuk menjadi manusia bahagia seperti alam
pikiran Aristoteles. Pembahasan ini tentu tidak hanya berfokus pada apa itu kebahagian,
tetapi melihat secara penuh atau menyeluruh dari pemikiran Aristoteles untuk sampai pada
tujuan hidup yantu kebahagiaan itu sendiri.

II. Makna Bahagia dalam Pandangan Arisoteles

II.1 Bibliografi Aristoteles

Aristoteles lahir di Stageira, Semenanjung Kalkidike, Trasia (Balkan), Yunani Utara


pada tahun 384 SM. Ayahnya bernama Machaon, dia adalah seorang dokter pribadi istana raja
Makedonia Amyntas II di kota Pella. Sejak kecil dia mendapat pelajaran dari ayahnya sendiri
sampai berumur 18 tahun. Minatnya dalam ilmu pengetahuan sudah muncul, terutama dalam
ilmu pengetahuan empiris dan ilmu alam yaitu biologi. 1 Aristoteles (bahasa Yunani:
‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) yaitu seorang filsuf Yunani, murid
dari Plato dan guru dari Alexander Agung. Dia menulis perihal beragam subyek yang berbeda
beda,termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi d
an zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, dia dianggap dijadikan seorang di antara tiga
orang filsuf yang paling berpengaruh di argumen Barat.2

Setelah ia berusia 18 tahun aristoteles berangkat menuju Athena untuk melengkapi


dan menyempurnakan pembinaan spiritual-ilmiah dan bersekolah di akademia Platonis. Ia
tinggal di Akademia selama kurang lebih 20 tahun samapai sang maestro Plato meninggal. 3
Keberadaannya selama di sekolah itu kiranya memberikan hasil yang baik yang turut
mematangkan pemikirannya. Tetapi, selain ia menerima ajaran-ajaran Plato, ia juga
mengembangkan pemikirannya sendiri sehingga ai memiliki sedikit perbedaan pemikiran
dengan gurunya.

Selain di Akademia, Aristoteles juga mendirikin sendiri sekolah yang dinamakan


Lykeion (di latinkan: lyceum), pemberian nama ini sangat berhubungan dengan letak Lykeion
yakni karena tempatnya dekat dengan halaman yang di persembahkan kepada dewa Apollo
Lykeios. Dengan semangat besar sekali para anggota Lykeion mempelajari semua ilmu yang
di kenal pada waktu itu. Kemudian Aristoteles membentuk sebuah perpustakaan yang
1
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Edisi revisi th 1975 (Yogyakarta: Kanisius. 1999), 154
2
http://pdf.ykpi.web.id/id1/2360-2257/Aristoteles_21904_pdf-ykpi.html#cite_note-phil-1 (Buckingham, Will;
Douglas Burnham; Peter J. King; Clive Hill; Marcus Weeks; John Marenbon (2010). The Philosophy Book. DK
Publishing. ISBN 978-0756668617). Diakses pada tanggal 6/9/2020.
3
Valentinus, Saeng, Diktat: Sejarah Filafat Barat Yunani (Malang: STFTWS, 2016), 74

2
mengumpulkan macam-macam manuskrip dan peta bumi; menurut kesaksian Strabo, seorang
sejarawan yunani-romawi, perpustakaan itu merupakan perpustakaan pertama dalam sejarah
manusia. Mungkin Aristoteles membuka juga semacam museum yang mengumpulkan semua
benda yang menarik perhatian, terutama dalam bidang biologi dan zoologi.4

Setelah kematian Alexander Agung, kehidupan Aristoteles berubah. Hal itu karena
adanya gejolak yang terkai dengan reaksi anti Macedonia oleh orang-orang Yunani dan
Aristoteles yang berasal dari daerah Macedonia dan juga pernah menjadi guru bagi kaisar
Alexander Agung terimbas dari persoalan itu. akhirnya ia mengungsi ke Chalcis di Euboea.
Sementara itu administrasi dan kepengurusan Lyceum Peripatos deserahkan kepada
Theophhrastus. Dan Aristoteles meninggal tahun 322 SM.5

II.2 Pengertian Bahagia

Kebahagiaan pada dasarnya adalah kosep abstrak. Kebahagiaan dalam bahasa Yunani
di kenal dengan istilah eudaimonia (eUScauovia) yang memiliki arti kebahagiaan. Kata ini
terdiri dari dua suku kata “en” (“baik”, “bagus”) dan “daimon” (“roh, dewa, kekuatan
batin”).6 Namun bila diartikan dalam bahasa indonesia, makna perihal kata tersebut belum
mampu atau belum sampai pada arti ini.

Secara harfiah eudaimonia berarti “memiliki roh penjaga yang baik”. Bagi bangsa
Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi, eudaimonia berarti
“mempunyai daimon yang baik” dan yang dimaksudkan dengan daimon adalah
jiwa.7

Dari arti di atas dapat disimpulkan bahwa eudaimonia berarti sesuatu yang ada dalam diri
manusia, sama seperti jiwanya. Maka kata ini pun memiliki makna yang dianggap sebagai
pandangan hidup yang menganggap kebahagiaan adalah tujuan dari setiap tindakan yang
dipebuat oleh manusia. di dalam eudaimonisme itulah pencarian kebahagiaan menjadi prinsip
hidup yang mendasar. Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan
subjektif seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam
dan objektif menyangkut pengembangan selurah aspek kemanusiaan suatu individu (aspek
moral, sosial, emosional, rohani).8 Jadi, kebahagian bukan hanya menyentuk satu aspek
seperti emosional seseorang saja, tetapi seluruh dimensi kehidupan manusia itu adalah sumber
kebahagiaan.

Secara etimologi kebahagiaan berarti keadaan senang, tentram; terlepas dari segala
yang menyusahkan. Maka, kebahagiaan tiada laian merupakan keadaan sesuatu yang
sedang berlangsung, bukan suatu imajinasi dan perasaan atau emosi yang berlalu begitu
saja. Kebahagiaan atau kegembiraan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang
ditandai dengan kecukupan hingga kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau
4
Paul, Strathern, 90 Menit Bersama Aristoteles (Jakarta: Erlangga, 2001), 26-27
5
Lihat Valentinus, Saeng, Diktat: Sejarah Filafat Barat Yunani, 75
6
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1996), 67
7
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, 108
8
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Petualangan Intelektual), 41

3
kegembiraan yang intens.9 Dari penjelasan ini maka sudah diketahui apa arti kebahagiaan
itu. ia menjadikan manusia melampaui dirinya. Artinya bahagia membuat manusia berada
dalam situasi yang transenden.

II.3 Bahagia dalam Pandangan Aristoteles

Aristoteles memberikan sumbagan pemikiran yang sangat lugas dan tajam mengenai
kehidupan manusia. Pendapat-pendapatnya itu dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Etika Nikomacheia. Salah satu tema yang ditulis adalah tentang apakah tujuan manusia?.
pertanyaan itu kemudian diurai Aristoteles dengan memberikan dua perbedaan yang penting
mengenai tujuan manusia: tujuan sementara dan tujuan akhir. Perbedaan itu diartikannya, jika
tujuan sementara adalah sarana untuk mencapai tujuan akhir, yaitu tujuan yang paling tinggi
(kebaikan).10

Menurut Aristoteles, Baik adalah kata yang dipakai dalam konteks etika. Baik kata
Aristoteles, adalah itu yang segala bentuk perbuatan manusia ingin mengejarnya.
Kehendak manusia jelas selalu ingin meraih kebaikan. Menurut Aristoteles keburukan
tidak pernah menjadi objek kehendak manusia secara langsung. 11

Tetapi Apakah tujuan yang tinggi, yang menjadi tujuan akhir manusia itu? Aristoteles
berpendapat bahwa tujuan terakhir mestinya sesuatu yang kalau tercapai, tidak ada lagi yang
masih diminati selebihnya, tetapi selama belum tercapai, manusia belum akan puas dan tetap
masih mencari. Apa tujuan terakhir itu? Aristoteles menjawab : kebahagiaan! Kalau orang
sudah bahagia, tidak ada yang masih diinginkan selebihnya. Dan sebaliknya, selama ia belum
bahagia, apa pun yang diperolehnya tidak akan membuatnya merasa puas.12 Jelas yang ia
maksud adalah kebahagiaan yang sempurna dalam hidup manusia. Tetapi seperti apakah
kebahagiaan itu, Aristoteles tidak menjelaskannya secara pasti. Ia hanya melukiskan prinsip
kebahagiaan sebagai suatu kebaikan yang penuh, yang tidak akan dicari lagi setelah manusia
sudah mendapatkannya.

Meski demikian, Aristoteles menjelaskan lebih jauh bahwa kebahagiaan yang di


maksud bukan kebahagiaan seperti kesenangan, kenikmatan atau kehormatan maupun
kekayaan. Kebahagiaan itu juga bukan yang berada di luar atau transenden, tetapi imanen,
yaitu kebaikan yang dapat diwujudkan dan dipenuhi oleh manusia dan untuk manusia.13 Titik
tolaknya adalah kebahagiaan itu bukan pada kemenuhan hasrat fisik indrawi manusia yang
bisa dipenuhi dengan segala macam hasrat duiawi dalam hidup manusia itu sendiri. sebab
menurut Aristoteles kalau tujuan manusia adalah uang dan nama tersohor, itu adalah keliru.
Karena kekayaan hanyalah sarana untuk memenuhi kehidupan belaka, dan bukan tujuan akhir
mansuaia, karena ia (kekayaan) tidak menjamin kebahagiaan.

9
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan#cite_note-1. Happiness (diakses 2014-Juni-24 via Wolfram Alpha).
Diakses tanggal 3/10/2020
10
Frans Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 3
11
Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 44
12
Frans Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, 3-4
13
Valentinus Saeng, Diktat: Sejarah Filafat Barat Yunani, 85

4
Aristoteles menjgajar degan baik, bahwa bahagia itu bukan pertama-tama keadaan
fisik atau satatus jiwa. Bahagia merupakan aktivitas manusiawi. Logika kecil ini
menandai kebenaran sehari-hari, bahwa kodrat manusia adalah beraktivitas.
Kengangguran sebaliknya identik dengan ketidakbahagiaan atau kondisi tidak
manusiawi. Aristoteles tidak sedang menunjukan secara persis disposisi bahagia,
sebab bahagia memang bukan disposisi. Dia sedang mengajar bahawa bahagia adalah
identik dengan aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. 14

Dari penjelesan di atas, maka kesimpulannya adalah kebahagiaan yang dimaksud


Aristoteles erat kaitannya dengan akal budi manusia. Tentu manusia sebagai mahluk yang
berakal budi dengan kesadarannya selalu ingin memperoleh kebahagiaan. Dengan akal budi
ia mengusahakan kebutuhan-kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Budi juga mempunyai
kemampuan untuk menangkap yang umum dan yang tetap dari yang konkret dan banyak (via
abstractiva). 15 Dengan kemampuan intelek dalam menangkap segala sesuatu hal ini kiranya
penting dalam mencapai kebahagiaan, manusia juga mesti menggunakan akal budinya untuk
mengerti realitas yang dialami dan dicermatinya. Maksudnya adalah Untuk mencapai
kebahagiaan (eudaimon) pengetahuan manusia mesti digunakan untuk membentuk hidup
yang baik (Eudaimonia) dengan didasarkan pada pengetahuan teoritis tentang dunia,
sekaligus pengetahuan praktis, seperti misalnya moralitas dan etika.16

Demikian halnya dalam mencapai kebahagiaan, Aristoteles menegaskan bahwa


bagaimana manusia harus hidup? Ia harus menata hidupnya dengan telaten dan terus-menerus
agar ia dapat menacapai kebahagiaan itu. Tetapi untuk mencapa tujuan bahagia tidak bisa
diperoleh dengan hidup bebas dan tidak beraturan. Aristoteles mengaribawahi perlunya
aturan etis untuk mengontrol perilaku manusia. halnya bahwa kebahagiaan itu dapat
diperoleh dengan memperhatikan moralitas, karena hidup secara bermoral itulah jalan
menuju kebahagiaan.

Orang yang bermoral akan mengetahui dan mengenal tindakan yang boleh dan tidak-
boleh ketika ia hendak mencapai tujuannya. Aturan ini menjadi prinsip umum, dan tidak
dapat tidak untuk dilakukan. Melanggar aturan itu, berarti bertindak secara tidak bermoral.
Etika atau moralitas menurut Aristoteles berperan penting dalam menata kehidupan.
Moralitas dapat disebut keseluruhan peraturan tentang bagaimana manusia harus mengatur
kehidupannyasupaya ia menjadi orang baik.17 Denagan hidup bermoral tindakan-tindakan
akan terarah kepada kebaikan.

Aturan-aturan moralitas bukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti, sesuatu yang
diharuskan dari luar, melainkan sesuatu yang sangat masuk akal, yang perlu kita
perhatikan agar kita dapat mencapai apa yang menjadi tujuan terakhir kita, kebahagiaan.

14
Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari 56
15
Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, Sebuah Filsafaat Pengetahuan (Kanisius: Yogyakarta,2006) 50
16
Studia Et Filoshopia Reza A.A Wattimena, Mendidik integritas: Konsep Kesatuan Pribadi (Einheit Der
Person) di dalam filsafat pendidikan Julian Nida-Rumelin. Dalam pustaka: Studia Philosophica et Theologica,
Vol. 18 No. 1 Maret 2018, 29
17
Frans Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, 9

5
Kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan kebahagiaan. Tujuan moralitas
adalah mengantar manusia ke tujuan terakhirnya, kebahagiaan. 18

Dengan kata lain, Aristotels ingin mengatakan bahwa kebahagiaan pertama-tama


diperoleh dari sikap manusia yang mengarahkan hidupnya bukan untuk semata-mata
mengejar kenikmatan dalam memenuhi kebahagiaannya. Tetapi ia menekankan bahwa
tindakan yang manusia perbuat itulah yang mestinya menjadi fokusnya, karena dengan
sendirinya kebahagiaan itu mengikuti perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Dengan
memperhatikan moral yang baik perbuatan-perbuatan manusia kiranya terarah pada hal-hal
yang baik dan bermutu. Dan Aristoteles memperlihatkan bahwa kalau kita mau bahagia, maka
kita harus hidup secara bermoral. Jadi, manusia yang betul-betul bahagia-kalaupun
kebahagiaan di dunia ini tak pernah sempurna-adalah manusia yang mantap sebagai sosok
etis, manusia yang dapat diandalkan melaksanakan kewajiban sebagai manusia. jadi,
kewajiban moral bukan sekedar sesuatu yang menekan, melainkan yang membawa
ganjarannya sendiri, rasa bahagia yang semakin mendalam.19

II.4 Memperoleh kebahagiaan


Sedikit mengherankan bila manusia diarahkan justru untuk memperoleh kebahagiaan
dengan mencari nikmat sebanyak-banyaknya. Bukankah itu persoalan yang justru bertolak
belakng dengan prinsip Aristoteles sendiri. Atau aturan hidup misalnya dengan argumentasi
berikut ini:

Aristoteles mempertimbangkan yang kelihatannya paling masuk akal untuk mendasari


aturan kehidupan bermoral adalah keterarahan pada kebahagiaan. Dengan demikian,
orang bisa mengerti mengapa ia, misalnya, diharapkan menguasai hawa nafsunya: filsafat
menjelaskan: hanya orang yang menguasai hawa nafsunya bisa bahagia. 20

Aristoteles justru menekankan bahwa hidup bermoral yang mesti megarahkan


manusia kepaa kebahagiaan. Bukan memperoleh kebahagiaan dengan mencari kenikmatan.
Kenyataannya Aristoteles dengan tegas menolak cara hidup yang berpokus atau berpusat
pada kenikmatan (hedonisme). Meskipun ia juga tidak menyangkal sepenuhnya,
pengecualiaanadalah asalkan kepentingan itu tidak untuk menjadi tujuan pada dirinya
sendiri. Perilaku manusia yang hanya mengejar kenikmatan dipandang sebagai sikap yang
tidak berbeda dari binatang.21 Kendati dalam buku Etika Nikomachea ditulis dan dijelaskan
juga bahwa memperoleh rasa nikmat juga merupakan unsur penting. Tetapi nikmat menurut
Aristoteles adalah bukan sesuatu yang berdiri sendiri, dalam artian bahwa rasa nikmat
merupakan sesuatu yang mengikuti. Maksudnya nikmati adalah implikasi dari setiap tindakan
manusia itu sendiri. Maka hal yang penting bukan seberapa banyak nikmat yang harus
diperoleh, tetapi seberapa besar perbuatan yang kemudian menghasilkan rasa nikmat itu.
karena menurut Aristoteles ketika orang hanya berfokus mengejar kenikmatan, justru
kenikmaan itu akan menghindar. Dan ketika orang justru mencari kenikmatan indrawi

18
Ibid. 4-5
19
Ibid. 64
20
Ibid. 10-11
21
Bdk Valentinus Saeng, Diktat: Sejarah Filafat Barat Yunani, 85

6
semata, maka yang diperolehnya justru hal yang tidak menyenangkan. Mestinya yang dikejar
adalah perbuatan yang kemudian menghasilkan kenikmatan.

Berkaitan dengan kenikmatan, Aristoteles menjelaskan persoalan mengenai


kenikmatan dan juga rasa sakit merupakan sesuatu yang tidak bisa disingkirkan begitu saja
dari hidup manusia. alasannya adalah bahwa dua hal ini juga berperan sebagai pertimbangan
untuk mengejar kehidupan yang layak. Aristoteles justru memandang bahwa dua hal ini harus
dimanfaatkan untuk mengembangkan hidup manusia. Dengan kata lain, yang perlu adalah
agar orang semakin menikmati bertindak menurut keutamaan dan merasa semakin tidak enak
dan sakit apabila ia mengikuti keinginan-keinginan yang absurd atau yang fana, seperti
kenikmatan duniawi. Maka, untuk memahami arti mencari kenikmatan Artistoteles
menekankan hal berikut:

Kunci pengertian Aristoteles tentang nikmat adalah bahwa nikmat bukan sesuatu
yang berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang “mengikuti”. “mengkuti” dalam artian
bahwa nikmat selalu berkaitan dengan suatu perbuatan: setiap perbuatan yang
berhasil dengan sendirinya kita nikmati. Sedangkan perbuatan yang gagal atau
pengalamn yang bertentangan dengan keterarahan kita membuat rasa sakit. Jadi,
yang menentukan adanya nikmat adalah perbuatan. Kualitas perbuatan menentukan
kualitas nikmat. Perbuatan yang luhur memberikan nikmat yang luhur, yang
biasanya disebut “kegembiraan”, perbuatan yang keji memberikan nikmat yang
keji.22

Terhadap persoalan ini Aristoteles hendak mengatakan bahwa kualitas kenikmatan


bergantung pada tindakan-tindakan seseorang. Semakin ia berbuat banyak maka kenimatan
akan diperolehnya juga sebagai akibat dari tindaknya. Kebahagiaan itu adalah ganjaran nanti
atas aktivitas yang kita jalankan.23 Kesimpulannya adalah apabila seseorang ingin mencapai
suatu kepuasan dan kegembiraan jangalah berfokus pada kenikmatan, tetapi lakukalah
perbuatan-perbuatan sebanyak-banyak mungkin, tentu perbuatan yang dimaksud adalah hal
yang baik dan bermutu. Sebab kebahagiaan tidak dapat diperoleh dengan mengejar
kenikmatan. Sebaliknya kenikmatan tidak akan bisa membuat orang bahagia. Arahkanlah
hidup pada sebanyak mungkin melakukan perbuatan yang baik, maka dengan sindirinya
kenikmatan itu akan mengikutinya.

III. Interpretasi Bahagia, dalam persahabatan aku dan liyan

Dari pemikiran Aristoteles mengenai kebahagian di atas, jelaslah ia meletakan


kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia. Bahkan ia adalah filosof pertama yang
merumuskan dengan jelas bahwa kebahagiaan adalah apa yang dicari semua orang. 24
Dalam bukunya Etika Nicomacheia diuraikan prinsip-prinsip dasar kebahagiaan itu
dengan baik. termasuk di dalamnya juga tema persahabatan. Dalam persahabatan,
Aristoteles juga memandang bahwa kebahagiaan juga lahir dari sana. Orang yang

22
Frans Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, 16
23
Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari 56
24
Frans Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, 4

7
berhasil membangun persahabatan, menurutnya, mereka akan menjadi manusia baru
dalam cinta, dalam persahabatan seseorang akan menjadi dirinya sendiri. karena dalam
persatuaan itu seorang tergerak untuk meminati sesama demi kebahagiaan orang lain,
dan bukan untuk kenikmatannya sendiri. Dalam bukunya itu, Aristoteles menulis alam
pikirannya tentang persahabatan dengan baik, ia menulis demikian “rupa-rupanya
keutamaan di antara persahabatan adalah cinta” (VIII, 10.

Baru dalam persahabatan (ini) manusia betul-betul membuka diri kepada orang lain dan
justru di dalam keterbukaan ini menjadi diri. Aristoteles (juga) menegaskan bahwa
manusa tidak bisa hidup sendiri. ia memerlukan orang lain, ia adalah mahluk sosial,
“berbeda dari ternak yang bersama-sama berada di rerumputan” (IX, 9). Begitu “dari
sahabat harus disadari ia ada, dan itu terjadi dalam hidup bersama dan dalam
kebersamaan dalam cara dan berpikir” [ib]. 25

Seseorang yang telah mengenal dan menyadari persahabatan yang sejati. Ia denga sadar
mampu membuka diri bagi orang lain. relasi yang dijiwai oleh cinta akan mendorong siapa
pun untuk menerima sesama. Karena manusia sebagai mahluk sosial tidak mungkin dapat
hidup tanpa kehadiran orang lain. Demikian Armada Riyanto dalam buku relasiobalitas
memandang relasi manusia:

“Relasi” aku dan sesamaku (engkau)” memiliki kebenaran bahwa keduanya berada dalam
zona komunikasi sehari-hari hidup manusia. aku menjadi eksistensi yang mengelola dan
menjaga keberadaanku, keberlangsuganku, dan keindahanku. Demikian juga sesamaku.
Keduanya adalah manusia-manusia yang menjadi. Keduanya menjadi sosok-sosok yang
ambil bagia satu sama lain dalam hidup bersama. Saat aku dan sesamaku berkomunikasi,
saat itu tercipta “kami” (we). Kami bukan perpadauan antara aku dan sesamaku,
melainkan “keberadaan bersama”. Dan, kebersamaan itu menyusun komunitas. Natura
komunitas dengan kata lain komunikatif. Dalam komunikasi tidak ada yang diekskludir,
disisihka.26

Aku dan sesamaku adalah satu. Maka menurut Aristoteles persahabatan atas dasar saling
menyanyangi dan mencintai itulah arti persesahabatan yang sebenarnya. Karena menurutnya,
manusia tidak mungkin bahagia sendirian. Kita perlu sahabat, perlu kebersamaan, dan perlu
komunikasi untuk menjadi diri sendiri.Persahabatan karena dua orang tergerak untuk saling
mencintai satu sama lain. dan cintai yang demikian itu akan membebaskan seseorang dari
berpusat pada diri sendiri. Maka kebahagiaan dalam persahabatan berarti mencintai sesama,
untuk kebahagiaan aku dan orang lain, bukan untuk kenikmatan diri sendiri.

Kesimpulan

Aristoteles menjelaskan dengan baik bagaimana hidup yang bermutu. Yaitu hidup
yang memiliki tujuan, dan tujuan yang dimaksud ialah mencapai kebahagiaan. Bahkan dia
merupakan filosof pertama yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan yang ingin
dicapai oleh seiap orang. Tetapi kebahagiaan seperti apa yang dimaksud, dijelaskan bahwa
kebahagiaan itu sesuatu yang kalau manusia sudah menemukannya, ia tidak lagi mencarinya.

Ibid. 53-54
25

Armada Riyanto, Relasionalitas, Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen (Yogyakarta:
26

Kanisius, 2018), 312

8
Tentang kebahgiaan, Aristoteles menjelaskan bahwa kebahagiaan yang dimaksud juga
bukan seperti kebahagiaan seperti kesenanga, kehormatan, kekayaan, baginya ketika
kenikmatan duniawi yang dikejar oleh manusia, itu dipandang sebagai suatu perbuatan yang
tidak berbeda dengan binatang. Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan itu tidak terletak
pada kemenuhan hasrat fisik indrawi seperti uang,dan kehormatan, karena baginya itu suatu
kekeliruan, sebab menurutnya kekayaan hanyalah sarana untuk memenuhi kehidupan belaka,
dan bukan tujuan akhir mansuaia, karena hal itu tidak menjamin kebahagiaan.

Lebih lanjut lagi Aristoteles mejelaskan bagaimana manusia dapat memperoleh


kebahagiaan. Ia menegaskan supaya manusia hidup secara bermoral. Moralitas dipandangnya
sebagai sesuatu yang perlu kita perhatikan agar kita dapat mencapai apa yang menjadi tujuan
terakhir kita, yaitu kebahagiaan. Penekanannya adalah hendaknya setiap orang hidup secara
bermoral karena itulah jalan kebahagiaan. Karena tujuan moralitas adalah mengantar manusia
ke tujuan terakhirnya, kebahagiaan.

Kebahagiaan juga tidak bisa diperoleh dengan hanya mengejar kenikmatan, menurut
Aristoteles kebahagiaan tidak dapat dicapai apabila manusia fokus pada kenikmatan belaka.
Yang benar ialah, manusia mesti mengarahkan hidupnya untuk melakukan suatu perbuatan
sebanyak mungkin. Ia menjelaskan bahwa nikmat bukan sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan sesuatu yang “mengikuti”. “mengkuti” dalam artian bahwa nikmat selalu berkaitan
dengan suatu perbuatan. Setiap perbuatan yang berhasil dengan sendirinya kita akan nikmati.
Maka suatu kesia-sian belaka apabila manusia justru memfokuskan dirinya pada kenikmatan.
Kalau itu yang dikejar manusia, ia hanya akan memperoleh kekecewaan. Semakin, mencari,
ia justru semakin tidak mendapatkan dan tidak akan pernah puas.

Pada bagia terakhir, Aristoteles juga menuliskan tentang persahabatan. Persahabatan


yang sejati menurutnya ialah relasi yang dilandasi oleh keerbukaan untuk menyayangi dan
mencintai sesama. Ketika manusia sampai pada pengertian persahabata yang sebenarnya, di
situlah mereka akan saling membuka diri, dan dalam keterbukaan itu akhirnya mansuai
mampu menjadi dirinya sendiri. menegaskan bahwa manusa tidak bisa hidup sendiri. ia
memerlukan orang lain. Ia tidak dapat hindup sendirian untuk selamanya, sebab ia adalah
mahluk sosial. Aku dan sesamaku adalah satu. Maka menurut Aristoteles persahabatan atas
dasar saling menyanyangi dan mencintai itulah arti persesahabatan yang sebenarnya. Karena
manusia membutuk komunikasi dan kebersamaan, itulah yang membentuk kepribadiaan
seseorang menjadi dirinya sendiri. Kesimpulannya adalah persahabatan yang sebenarnya ialah
yang dilandasi doronga untuk saling mencintai, cinta seperti itulah yang membebaskan
seseorang dari berpusat pada diri sendiri. Dan kebahagiaan dalam persahabatan ada ketika dua
pribadi saling memberi diri, bukan untuk mencari kenikmatan sendiri.

Daftar Pustaka

Riyanto, Armada. Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius,


2013.

__________ Relasionalitas. Yogyakarta: Kanisius, 2018

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Edisi revisi th 1975. Yogyakarta: Kanisius. 1999

9
Saeng, Valentinus. Diktat: Sejarah Filafat Barat Yunani. Malang: STFTWS, 2016

Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Aristoteles. Jakarta: Erlangga, 2001

Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1996

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Petualangan Intelektual

Suseno, Frans Magnis. Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles,. Yogyakarta: Kanisius,
2009

Snijders, Adelbert. Manusia & Kebenaran, Sebuah Filsafaat Pengetahuan. Kanisius:


Yogyakarta,2006

Studia Et Filoshopia Reza A.A Wattimena, Mendidik integritas: Konsep Kesatuan Pribadi
(Einheit Der Person) di dalam filsafat pendidikan Julian Nida-Rumelin. Dalam
pustaka: Studia Philosophica et Theologica, Vol. 18 No. 1 Maret 2018, 29

Sumber Internet

http://pdf.ykpi.web.id/id1/2360-2257/Aristoteles_21904_pdf-ykpi.html#cite_note-phil-1
(Buckingham, Will; Douglas Burnham; Peter J. King; Clive Hill; Marcus Weeks; John
Marenbon (2010). The Philosophy Book. DK Publishing. ISBN 978-0756668617). Diakses
pada tanggal 6/9/2020.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan#cite_note-1. Happiness (diakses 2014-Juni-24 via


Wolfram Alpha). Diakses tanggal 3/10/2020

10

Anda mungkin juga menyukai