Anda di halaman 1dari 6

Kebahagiaan: Telaah Etika Eudemonisme Aristoteles Menuju aktualisasi: menuju kebahagiaan.

Sebuah tinjauan filosofis mengenai etika Eudemonisme Aristoteles ...lalu, Sophie berjingkat menuju kamar tidur ibunya. Meskipun ibunya sedang pula s tidur, Sophie meletakkan sebelah tangannya ke dahi wanita itu. ibu salah seorang yang paling beruntung, katanya, sebab ibu bukan sekedar hidup seperti bunga bakung di kebun. Dan ibu bukan pula s ekadar mahkluk hidup seperti Sherekan dan Govinda (dua ekor anjing piaraan Sophi e). Ibu adalah manusia, dan kerananya memiliki kemampuan berpikir yang langka. ...manusia adalah binatang yang berpikir. Jika ibu tidak berpikir, ibu bukanlah m anusia sungguhan.[1] Sepenggal cerita dari novel di atas menggambarkan sebuah pemikiran akan hakikat manusia, yang menjadi asas hakiki seorang manusia. Seorang manusia yang denganny a disebut sebagai manusia, sesuatu yang membedakannya dari mahkluk hidup lain. A pa yang membedakan manusia dari mahkluk hidup yang lain? Dari penggalan novel di atas nampak bahwa apa yang membedakan manusia dari mahkluk hidup yang lainnya y akni kemampuan untuk berpikir. Ya, berpikir secara logis. Sehingga bila manusia tidak berpikir maka ia mengkhianati hakikatnya. Pengkhianatan pada hakikatnya me njadikan manusia bukanlah sebagai manusia yang utuh. Dengan berpikir manusia men ghidupi hakikatnya sekaligus mengembangkan potensi (kemampuan)-nya sebagai manus ia. Memang sepenggal cerita dari novel tersebut merupakan pencerminan akan pemik iran Aristoteles. Pembahasan dalam paper ini berangkat dengan sebuah kegelisahan akan sebuah kebahagiaan, secara khusus kebahagiaan dalam konteks pemikiran Aris toteles. Apa itu kebahagiaan? Dalam hal apa kebahagiaan itu akan diterima? Apaka h kebahagiaan itu dapat diterima di dunia ini? Menuju Aristoteles Aristoteles lahir di Stagira putra Nikomakhus, seorang tabib yang bekerja sebaga i tabib pribadi raja Amyntas III dari Makedonia pada tahun 384 SM. Ia pergi ke A thena pada tahun 367 SM demi keamanan dan untuk belajar, mengingat Amyntas dibun uh tahun 369 SM dan Nikomakhus juga wafat. Ia belajar kepada Plato selama 20 tah un. Pada tahun 348/347 SM Aristoteles meninggalkan Athena menuju Atarneus karena alasan adanya sentimen anti-Makedonia karena dikuasainya Olynthus, sebuah kota yang bersekutu dengan Athena. 347-345 SM ia bergabung dengan Erastus dan Korisku s dengan perlindungan penguasa Hermias. Mereka ditempatkan di Assos dan Aristote les menikah dengan Pythias, salah seorang kemenakan Hermias. Tahun 345/344 SM ia pindah Mytilene di Lesbos kemudian pindah ke Makedonia (343/2 SM). Ia menjadi p endidik Iskandar Agung muda putra raja Philippus dari Makedonia. Ia kembali ke A thena pada tahun 335 SM dan membangun sekolah namanya Lykaion. Sepeninggal Iskan dar Agung, Aristoteles meninggalkan Athena dan pergi ke Kalkis di Euboea. Hal in i dikarenakan pemberontakan orang Athena terhadap makedonia. Aristoteles difitna h menyebarkan ateisme.[2] Pada tahun 322 SM Aristoteles wafat di Kalkis.[3] Aristoteles merupakan filsuf yang mencari kebenaran di dalam alam ini. Hal inila h yang membedakannya dari gurunya Plato. Aristoteles tidak sependapat dengan gag asan Plato tentang adanya dunia idea yang sempurna dan tak berubah. Memang Plato berhasil menjawab kebingungan mengenai hubungan antara dunia yang berubah dan d unia yang tak berubah, namun ia jatuh pada penempatan dunia idea sebagai yang du nia real atau sebenarnya. Ajaran Plato tentang dunia idea merupakan interpretasi y ang salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep univers al tentang hal-hal empiris.[4] Dengan kemampuan akal budi manusia membentuk abst raksi dari realitas empiris. Aristoteles menginsafi bahwa manusia memiliki kemam puan bawaan, bukan pengetahuan bawaan yang dipikirkan dalam filsafat Plato. Kema mpuan bawaan itu menerima aktualisasinya dengan pengalaman inderawi. Orang melih at kucing satu dan kucing yang lain, yang berbeda. Kemudian manusia menyusun kat egori-kategori tentang kucing. Menuju Etika Aristoteles: Eudemonisme

Berbicara tentang etika, apa yang baik, Aristoteles berangkat dari pengamatan ba hwa aktivitas yang dilakukan manusia senantiasa dilakukan demi suatu tujuan bern ilai. "Setiap seni dan setiap penelaahan, dan demikian pula setiap tindakan dan pencarian, dianggap bertujuan pada suatu kebaikan; dan karena alasan ini yang ba ik dengan tepat telah dinyatakan sebagai apa yang dituju oleh segala sesuatu. Kit a makan, tidur, berangkat kerja, mengikuti kuliya, berkunjung (silaturrahmi), at au menonton pertandingan sepak bola; kita selalu melakukannya demi suatu maksud, tujuan. Kita makan, untuk menghilangkan rasa lapar, kita nonton sepak bola, kar ena kita ngefan sama personilnya dan permainan cantiknya atau menonton bola kere na maksud memperkuat ikatan persekawan para pecinta sepak bola, seseorang melaku kan penipuan dan manipulasi, untuk mendapatkan uang, masih banyak tindakan-tinda kan lain yang memuat tujuan yang berbeda-beda. Tujuan dari segala sesuatu adalah penyempurnaan dirinya. Aristoteles membedakan tujuan dalam dua macam yakni tuju an yang diusahakan demi tujuan lain lagi dan tujuan yang diusahakan demi dirinya sendiri. Tujuan yang kedua inilah yang seharusnya menjadi nilai tertinggi yang harus diusahakan. Apakah nilai tertinggi itu? Nilai tertinggi itu ialah kebahagi aan (eudaimonia). Nilai tertinggi yang harus dicari ialah tujuan terakhir dari s emua tindakan tujuan sementara. Aristoteles menjelaskan bahwa kebahagiaan adal ah nilai tertinggi (Yang Baik) dengan pertimbangan bahwa kebahagiaan adalah tuju an dalam dirinya sendiri, karena kebahagianlah yang dicari demi dirinya sendiri dan bukan demi sesuatu yang lain lagi.[5] Kebahagian adalah tujuan terakhir, di mana ketika manusia sudah bahagia ia tidak memerlukan apa-apa lagi. Dimana dan bagimana mencapai kebahagiaan? Dalam menjawab pertanyaan ini berbeda antara pemikiran Plato dan Aristoteles (idea dan empiris), di mana Plato meletak an pencapaian kebahagiaan itu di dunia idea dan dengan cara kembalinya atau meny atunya manusia dengan idea. Sedangkan Aristoteles meletakkannya di dunia ini dan d engan cara mengembangkan potensi (hakikat) manusia dalam sebuah polis. Aristotel es menjelaskan Bila kita menyatakan bahwa fungsi manusia adalah suatu bentuk kehi dupan tertentu, dan mendefinisikan bentuk kehidupan itu sebagai penggunaan daya kemampuan dan aktivitas jiwa dalam kaitannya dengan prinsip rasional, dan mengat akan bahwa fungsi dari seseorang yang baik adalah melakukan aktivitas-aktivitas ini dengan baik dan benar, dan bila suatu fungsi dilaksanakan dengan baik apabil a ia dilaksanakan sesuai dengan kesempurnaannya masing-masing dari premis-premis ini dapatlah dikatakan bahwa - Kebaikan manusia adalah pelaksanaan secara aktif kemampuan-kemampuan jiwanya sesuai dengan kesempurnaan atau kebajikan, atau bil a ada beberapa kesempurnaan atau kebajikan manusia, sesuai dengan yang terbaik d an yang paling sempurna di antara semuanya.[6] Kebahagiaan terdapat dalam kegiata n kita di mana dengan aktif kita mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam ma nusia. Potensi-potensi yang dikembangkan harusnya adalah potensi khas (yang hany a dimiliki oleh manusia) manusia. Aktivitas yang membawa kepada kebahagiaan iala h aktivitas yang khusus dan mengakibatkan kesempurnaannya. Sesuatu mencapai kese mpurnaan bukan hanya karena ia memiliki potensi saja namun karena potensi itu te lah mencapai aktualisasinya.[7] Kebahagiaan harus disamakan dengan suatu aktivit as, bukan hanya dengan potensialitas saja. Yang khas manusia ialah akal budi , r asio. Jadi kebahagiaan itu ada dalam kegiatan yang menggiatkan, yang dengannya m enjadi berkembangnya, bagian jiwa kita yang berakal budi. Jiwa adalah aktus pert ama yang menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup.[8] Dalam kebahagiaan itu, h arusnya, terjadi pula perasaan senang (pleasure) atau perasaan bahagia yang suby ektif. Memang tidak dapat disamakan kebahagiaan dengan kesenangan, namun itu mer upakan unsur yang mengikuti. Merasa senang dalam kebahagiaan, yakni dalam pengak tualisasian potensi manusiawi. Manusia dapat bahagia bukan dengan jalan pasif, m elainkan aktif dan yang harus diaktifkan adalah kemampuan khas manusia, akal bud i.[9] Apakah kita akan bahagia? Aristoteles menjawab itu tergantung dari pola hidup yan g dijalani. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa ada tiga pola hidup manusia yakni p ola hidup mengejar nikmat, pola hidup politis (hidup aktif dengan berpartisipasi dalam kehidupan polis praxis) dan pola hidup kontemplatif (filosof theoria). Ar istoteles mengakui dua pola hidup terakhir sebagai pola hidup yang mengarahkan m anusia kepada kebahagiaan, tujuan akhir. Aristoteles tidak menolak perasaan nikm at sabagai tujuan, namun itu tidak dapat dikatakan sebagai tujuan terakhir. Deng

an kata lain manusia akan mencapai kebahagiaan dalam hidup politis (sosial-etis) d an dalam filsafat. Praxis adalah kehidupan etis yang terwujud melalui partisipas i dalam kehidupan masyarakat.[10] Memang praxis adalah segala tindakan yang dila kukan demi dirinya sendiri. Namun praxis yang terpenting adalah partisipasi dala m kehidupan komunitas. Karena manusia adalah mahkluk sosial (zoon politikon), ia dapat menemukan dirinya dan menggiatkan potensinya dalam masyarakat. Tindakan-t indakan itu dilakukan dalam struktur masyarakat demi kehidupan yang baik. Theori a merupakan tindakan yang berupaya memandang realitas-realitas rohani yang dimun gkin hanya dengan menggunakan bagian manusia yang roh. Manusia adalah zoon logon echon.[11] Maka kebahagiaan tercapai apabila manusia menggiatkan akal budi baik secara murni dalam kontemplasi filosofis dan dengan secara aktif melibatkan dir i dalam kehidupan komunitas. Berarti ada dua aktivitas, yang dipandang oleh Aris toteles, yang dalam aktivitasnya menggiatkan akal budinya. Karena yang ditekankan mengenai tindakan atau kegiatan manusia maka mau tidak ma u harus berbicara pula tentang keutamaan. Agar manusia sungguh-sungguh bahagia b ukan hanya sekedar melakukan aktivitas belaka, namun juga seturut dengan keutama an.[12] Yang bukan hanya dilakukan beberapa saat saja namun dalam jangka waktu y ang panjang (dalam pengalaman). Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan-keutamaan bisa rusak karena sikap-sikap ekstrem. Ekstrem pertama ialah sikap berlebihan d an ekstrem satunya sikap yang kurang. Misalnya tentang kebenarian. Sebuah kebera nian merupakan jalan tengah antara takut dan nekad. Takut merupakan kekurangan k eberanian sedangkan nekad (terlalu berani) sehingga melakukan apapun yang tidak dipikirkan dengan seksama. Pandangannya disebut jalan tengah (the golden mean). Se lanjutnya ia menjelaskan mengenai keutamaan, dalam hal memiliki keutamaan dengan melakukan tuntutan keutamaan, terdapat lingkaran setan. Lingkaran setan dalam art ian bahwa tidak dapat diandaikan mana yang lebih dulu antara memiliki keutamaan itu ataukah melakukan sesuai dengan keutamaan. Misalnya dengan analogi tentang a yam dan telur. Manakah yang lebih dulu antara ayam dan telur? Dengan melakukan a pa yang dituntut oleh keutamaan kita semakin memiliki keutamaan itu, dan dengan memiliki keutamaan kita semakin mampu untuk bertindak sesuai dengan tuntutan keu tamaan.[13] Misalnya tentang berbuat adil. Untuk menjadi adil orang harus bertin dak dengan adil, untuk bertindak adil ia harus sudah mesti adil. Hal ini menamp akan bahwa kita (manusia) punya bakat atau potensi alami untuk menjadi adil, seh ingga untuk menjadi semakin adil dengan jalan bertindak terus dengan adil. Orang bertindak adil bukan hanya dilihat dari tindakannya yang adil namun juga dilaku kan dengan sikap batin (motivasi) yang adil pula. Jadi keutamaan bukanlah suatu emosi atau kemampuan melakukan sesuatu namun merupakan sikap batin tetap atau di sposisi.[14] Ada dua akibat dari keutamaan yakni manusianya sendiri menjadi baik sekaligus dapat bertindak dengan baik pula. Jadi keutamaan adalah jalan tengah (mesotes).[15] Jadi keutamaan-keutamaan dipahami sebagi sikap seimbang dan justr u karena itu menunjukan kematangan pada kekuatan perkembangan pribadi.[16] Menurut Aristoteles ada dua macam keutamaan, yakni keutamaan intelektual (aretai dianoetikai) dan keutamaan etis (aretai etikai). Keutamaan moral (etis) merupak an suatu sikap watak yang memampukan manusia untuk memilih jalan tengah antara d ua ekstrem yang berlawanan.[17] Hal ini tidak hanya sekali-sekali saja dilakukan namun dalam sikap hidup terus menerus yang tetap untuk memlakukan jalan tengah. Takaran untuk menentukan jalan tengah bagi tiap orang adalah subyektif, tidak d apat dibagi sesuai dengan aturan masing-masing. Misalnya tentang murah hati, ora ng yang ekonomi lemah memberi sedekah sejumlah seribu rupiah bagi orang minta-mi nta, bagi orang kaya member dengan jumlah seribu rupiah bisa dikatakan sebagai k ikir. Rasio yang menentukan pertengahan tersebut (dalam hal praktis). Aristotele s membedakan lima keutamaan intelektual yakni akal budi (nous), kebijaksanaan te oretis (sophia), kebijaksanaan praktis (phronesis), pengetahuan ilmiah (episteme ), dan keterampilan (techne).[18] Keutamaan yang mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik adalah phronesis bukan Sophia.[19] Aristoteles mendefinisikan phron esis sebagai disposisi atau sikap tetap dalam bertindak sesuai dengan pengertian benar mengenai manusia dan apa yang baik baginya.[20] Phronesis tidak dapat dia jarkan, melainkan tumbuh dari pengalaman da kebiasaan untuk bertindak etis. Keut amaan moral yang sejati selalu disertai dengan kebijaksanaan praktis. Hal ini me mperlihatkan bahwa kebijaksanaan tidak pernah dapat sempurna. Hal ini didasarkan

pada situasi keberadaan manusia yang senantiasa ada dalam keserbaberubahan. Ini benar, bagaimana mungkin hal itu dipikirkan atau dipertimbangkan secara bijaksa na bila semuanya sama dan telah tetap? Tidak perlu ada kebijaksanaan. Lalu diman a dan bagaimana menemukan atau menggali kebijaksanaan? Di dalam dan melalui peng alaman. Etika yang ditawarkan nampak bahwa Aristoteles tidak mengemukakan seran gkaian kaidah pasti, seperti ilmu eksak, melainkan lebih sebagai kompas yang menun jukan arah-arah yang ada, untuk kita berjalan sesuai dengan arah dan tujuan kita . Aristoteles membahas kurang lebih sebelas keutamaan, yakni keberanian, penguas aan diri, kemurahan hati, kebesaran hati budi luhur, harga diri, sikap lemah lem but, kejujuran, keberadaban, keadilan dan persahabatn. "Dan kebahagiaan dianggap bergantung pada kegiatan bersantai (leisure); karena kita bersibuk-sibuk supaya kita dapat bersantai, dan berperang agar kita hidup dalam damai." - (Buku X, Ba b 7) Catatan pinggir untuk eudemonisme Aristoteles Apa itu kebahagiaan? Aristeteles menyebutnya dengan kata eudaimonia. Bertens men definisikan eudaimonia sebagai sebuah keadaan manusia yang bersifat demikian seh ingga segala sesuatu yang ada padanya terdapat pada manusia (well-being).[21] Keba hagiaan bukanlah (hanya) perasaan subjektif belaka, namun juga harus ada perasaa n subyektif pula. Apakah kebahagiaan itu dapat diterima di dunia ini? Aristoteles menjawab ya, mungki n kebahagiaan itu dapat diterima di dunia ini, namun bukan kebahagiaan sempurna. Hanya para dewa yang dapat mencapainya, manusia hanya mampu mendekatinya. Tidak semua orang dapat mencapai kebahagiaan, karena hal itu terletak pada bagaimana p ola hidup yang ia jalani. Begitu pula bahwa kebahagiaan sempurna tidak mungkin d apat diterima. Ada orang yang mampu mencapai kebahagiaan dan ada orang yang tida k mampu mencapai kebahagiaan. Orang yang tidak mampu mencapai kebahagiaan hendak nya membantu orang yang bisa mencapai kebahagiaan untuk mengusahakannya terus. K ebahagiaan diterima bukan dengan berorientasi pada kebahagiaan diri sendiri, mel ainkan dengan melakukan keutamaan-keutamaan. Manusia akan menemukan kebahagiaan bila ia menjalankan aktivitasnya dengan baik (seturut dengan keutamaan) untuk me ngusahakan pula bagi kebahagiaan orang lain. Dalam hal apa kebahagiaan itu akan diterima? Aristoteles menjawab dalam hal manu sia menjadi manusia seutuhnya, manusia menjadi manusia (seutuhnya) apabila manusia mengembangkan potensi yang ada dalam aktivitasnya. Sebuah potensi sudah memilik i aktualisasinya, namun sebuah potensi tidak menjadi sebuah realita ketika itu h anya sebuah potensi belaka. Realisasi dari potensi tersebut ada dalam aktivitasn ya. Aktivitaslah yang merealisasikan potensi manusia. Aktivitas yang membawa kit a menuju kebahagiaan adalah aktivitas yang menggiatkan potensi yang khas, yang h anya dimiliki oleh, manusia. Di situlah kebahagian itu diterima oleh manusia. Di dunia yang berubah inilah manusia bisa merealisasikan potensi khasnya. Bukan di dunia yang tidak lagi ada perubahan. Bagaimana mungkin sebuah potensi bisa beru bah menjadi realisasi bila tidak ada ruang bagi adanya perubahan? Bukankah poten si menjadi realisasi itu juga perubahan? Sebuah perubahan membutuhkan syarat eks ternal bagi adanya perubahan. Perubahan potensi menjadi realisasi membutuhkan du nia yang mengakomodasi kemungkinan adanya perubahan. Berarti di dunia yang serba berubah inilah perubahan itu menjadi mungkin. Dalam perealisasiannya bukanlah r ealisasi yang sembarang. Realiasi dari potensi tersebut adalah realisasi seturut dengan keutamaan. Dalam penjelasannya, Aristoteles memang terkesan membedakan (bahkan memisahkan) antara theoria dan praxis. Dua-duanya memang sama-sama aktivitas, namun terkesan itu dua hal yang terpisah. Bahkan theoria tidak berkaitan dengan persoalan yang ada di bumi, karena memandang realitas yang tak berubah. Realitas yang tak beru bah tidak memiliki kaitan dengan realitas yang berubah, itulah kesan yang mungki n saja bisa muncul dalam pembacaan pemikiran Aristoteles. Secara implisit terlih at dari gagasan tentang phronesis yang merupakan sumber untuk praxis bukannya So phia, yang merupakan hasil dari theoria. Ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini bahwa praxis merupakan ladang untuk mengimplementasikan theoria. Bila meman g dipahami seperti itu hal ini menunjukan bahwa praxis adalah aktivitas yang leb ih rendah dibandingkan dengan theoria. Bila demikian konsekuensi logisnya upaya

pembangunan praxis tidak akan pernah maksimal. Bila ada yang lebih tinggi untuk dicapai (dilakukan) kenapa memilih melakukan yang lebih rendah? Pandangan Aristoteles mengakomodir dua hal yang ada dalam diri manusia yakni man usia sebagai individu dan manusia sebagai mahkluk sosial. Bila manusia ingin bah agia, ya bahagia dalam keseluruhannya. Dalam eudemonismenya Aristoteles ini menu njukan bahwa manusia adalah pencipta, misalnya manusia diandaikan sebagai binata ng (zoon) yang memiliki potensi dan potensi tersebut memiliki potensi untuk menjad i aktual (realisasi), di sinilah manusia akan bahagia. Apakah memang dalam kenya taan ini manusia bisa selalu menentukan (atau sedikitnya merencanakan) apa yang akan terjadi dalam hidupnya? Karena ada hal-hal tertentu yang tidak terjadi tanp a kehendak dan kemampuan manusia.[22] Bukankah keberadaan sebagai manusia bukank ah tanpa kehendak (persetujuan) kita manusia? Bisa juga ditanyakan apakah tolok ukur bahwa manusia mengerti apa yang tepat? Ar istoteles menjawabnya dengan phronesis. Namun phronesis itu sendiri berada dalam lingkaran yang berputar-putar. Bagaimana memulainya? Dimanakah awalnya untuk me langkah? Mungkin Aristoteles menjawab itu terjadi melalui pengalaman, semakain b erpengalaman semakin ia mempunyai phronesis. Bagaimana kita tahu bahwa pengalama n itu merupakan pengalaman yang tepat? Menuju aktualisasi Melihat uraian etika Aristoteles di mana ia melihat apa yang baik bagi manusia d engan cara menarik jawabannya dari awal (asas hakiki) manusia yang menghubungkan nya dengan tujuan hakiki manusia. Dalam pandangan Aristoteles terkesan bahwa ia menaruh pandangan emas terhadap manusia. Manusia memiliki apa yang disebut potensi -potensi yang berbeda dengan mahkluk hidup lainnya. Apa yang sesuai atau baik ba gi manusia ialah mengembangkan apa yang menjadi asas hakiki manusia. Penjelasan de ngan membedakan ini penting, namun ada konsekuensi negatif pula, karena dengan d emikian manusia akan sadar dan terangsang untuk mencari dirinya dan mengembangka nnya. Pendekatan ini menunjukan bahwa Aristoteles berpijak di bumi ini. Kita amb il contoh, mengenai kemampuan model pendekatan ini. Suatu hari saya melihat seor ang suami istri sedang bertengkar. Saya tidak tahu dengan jelas apa yang menjadi pokok persoalan, namun sayup-sayup terdengar kata selingkuh. Mungkin persoalan pe rselingkuhan si suami dengan wanita lain. Si istri tiba-tiba mengeluarkan kata-k ata makian dan umpatan terhadap suaminya. Kata makian yang ia ungkapkan salah sa tunya iala anjing. Kata anjing dilontarkan sebagai bentuk kekesalan dan sebuah pen ilaian terhadap si suami bahwa ia mirip (tindakannya) dengan anjing. Manusia berbe da dengan anjing, sehingga ketika manusia disamakan dengan anjing itu merupakan ejekan. Melihat persoalan saat ini, nasihat Aristoteles ini bisa menjadi kompas bagi kehid upan masa kini. Orang tidak segan untuk merasa nikmat dalam melakukan kejahatan da n merasa sulit atau sakit bila melakukan kebaikan. Ada satu pengalaman yang mena rik tentang hal ini. Suatu ketika saya bertemu dengan sahabat lama dan berbincan g-bincang secara khusus tentang tindakan kriminal yang marak dilakukan oleh oran g-orang, yang bukan hanya di kota besar. Kebetulan pada waktu itu tersiar kabar bahwa ada seorang suami yang tega membunuh istrinya. Saya berpendapat, waktu itu , bahwa manusia jaman sekarang tingkahnya sudah seperti binatang. Kemudian teman saya bercanda dengan celetukan: kalau sekarang kamu bilang begitu bukan manusian ya yang malu namun binatangnyalah yang malu, karena disamakan dengan manusia. Den gan celetukan ini ada benarnya bila kita melihat realita saat ini. Orang tidak s egan memakan yang lainnya demi pemenuhan nafsu individunya. Melihat kembali apa y ang menjadi asas hakiki manusia menyadarkan kita untuk menjadi manusia yang utuh , yang dalam setiap tindakan kita mengarah pada yang baik. Mengajarkan pula tentang pola hidup manusiawi yang sederhana. Pola hidup yang be rbeda dengan mahkluk hidup yang lain, yang khas manusia. Penekanan keperbedaan i ni bukan hanya pada aras individual namun juga pada aras kolektifitas. Manusia m erupakan mahkluk individu sekaligus mahkluk sosial. Memang hal ini tidak secara eksplisit digambarkan dalam etika Aristoteles, namun kita dapat melihatnya dari gagasannya tentang pencapaian kebahagiaan melalui dua aras yakni melalui theoria dan praxis. Yang pertama tentunya dilakukan secara individu dan yang kedua dila kukan dalam kehidupan masyarakat. Manusia tidak dapat menemukan dirinya hanya de

ngan menyendiri. Dan juga manusia tidak dapat menenmukan dirinya hanya dalam masyar akat. Keduanya merupakan potensi yang ada dalam manusia. Bila manusia ingin mengg iatkan potensi yang utuh manusiawi, harusnya menyentuh dalam dua aras ini, indiv idu sekaligus komunal. Suatu hal yang realistis bila kita memikirkan apa itu kebahagiaan. Berkaca dari aristoteles kebahagiaan bukan hanya berkaitan dengan perasaan senang saja. Kebah agiaan sebagai manusia dapat diidekati dengan cara mengaktualisasikan diri denga n baik. Melakukan yang baik dengan keutamaan-keutamaan, baik keutamaan moral (et is) maupun keutamaan intelektual. Menuju aktualisasi potensi manusia sama dengan menuju kebahagiaan ala Aristoteles. []

Anda mungkin juga menyukai