Anda di halaman 1dari 21

AGAMA HINDU

PERSPEKTIF POLITIK MENUTUT AJARAN HINDU DALAM


KEHIDUPAN SOSIAL ORGANISASI SUBAK

OLEH :
NAMA : I KETUT SUENA
NIM

: 1213021024

KELAS : II B

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2013

KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat Asung Kertha Wara Nugraha yang diberikan oleh Beliau, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul Persepektif Politik Menurut Ajaran
Hindu dalam Organisasi Sosial Subak untuk pendidikan agama Hindu tepat pada
waktunya. Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari
dorongan bantuan, serta bimbingan diantaranya:
1) Prof. Dr. I Wayan Santyasa, M.Si. selaku dosen pengajar mata kuliah
pendidikan agama Hindu yang telah memberikan pengarahan-pengarahan
yang membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
2) Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini yang tidak dapat
kami sebutkan satu-persatu yang sangat membantu kami baik dalam
bentuk dorongan akademik dan dorongan moril sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Mudah-mudahan dengan penyusunan makalah ini diharapkan dapat
membantu menambah ilmu pengetahuan mengenai politik menurut persepektif
Hindu.
Penulis menyadari banyak kekurangan-kekurangan dan hambatanhambatan yang kami temui dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca.
Sekian kata pengantar yang dapat penulis sampaikan. Atas perhatiannya,
penulis mengucapkan terimakasih.
Om Santi, Santi, Santi, Om.
Singaraja, 26 Juni 2013

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul ..................................................................................................................

Kata Pengantar ..................................................................................................................

ii

Daftar Isi ...........................................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................
1.3 Tujuan ...................................................................................................................
1.4 Manfaat .................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik dalam Persepektif Agama Hindu ..
2.2 Sumber Ajaran Hindu Tentang Politik(Nitisastra) .

1
2
3
3
4
4

2.3 Implementasi Ajaran Nitisastra sebagai Sumber Ajaran Politik Agama Hindu
dalam Politik pada Organisasi Subak Menurut Perspektif Hindu .........................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................
3.2 Saran .....................................................................................................................
Daftar Pustaka

12
17
17

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak pihak yang beranggapan bahwa politik adalah kotor karena politik
selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan serta berbaga kepentingan yang
menghalalkan segala cara. Ini tak lain disebabkan trauma masyarakat terhadap
kenyataan yang ditemui mengenai politik di Indonesia. Namun seiring berjalannya
waktu dan kehidupan politik, kepentingan mengalami penyempitan makna sebatas
kepentingan pribadi atau kelompok.
Saat ini, orang yang berkecimpung dalam dunia politik cenderung
mengabaikan nilai moral dan etika yang digariskan oleh ajaran agama. Bahkan,
agama sering dijadikan alat untuk kepentingan politik. Politik bagi beberapa
oknum hanyalah sebuah permainan.Yang nantinya cenderung mengarah ke politik
uang (money politics). Sesungguhnya masalah politik merupakan bagian dari
agama sebab agama memberikan garis tengah bahwa kegiatan politik harus tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etik, dan spiritual.1
Subak adalah organisasi yang mengatur tentang pengairan pertanian di
Bali. Organisasi ini sudah ada kurang lebih sejak abad ke-9. Hal ini diperkuat oleh
keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali kali pertama dimuat
dalam Prasasti Sukawana yang bertitimangsa 882. Di dalam prasasti itu ada kata
huma yang berarti sawah. Orang Bali sampai sekarang menggunakannya untuk
menyebut sawah. Kata huma kala itu lazim digunakan untuk menyebut sawah
irigasi. Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan irigasi termuat dalam
Prasasti Trunyan (891). Dalam prasasti itu dimuat kata serdanu yang berarti
kepala urusan air danau. Itu berarti masyarakat Bali mengenal sebentuk cara
mengelola irigasi pada akhir abad ke-9. Hal ini diperkuat Prasasti Bebetin (896)
yang ditemukan di Buleleng dan Prasasti Batuan (1022). Kata subak dinilai
sebagai bentuk modern dari kata suwak. Suwak ditemukan dalam Prasasti Pandak
Badung (1071) dan Klungkung (1072). Suwak berasal dari dua kata, su yang
berarti baik dan wak untuk pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan
sebagai sistem pengairan yang baik. Suwak itu telah berjalan di wilayah

1 Gunada(2008)
4

Klungkung. Wilayah yang mendapat pengairan yang baik disebut Kasuwakan


Rawas.
Secara filosofis, sistem Subak sebagai sebuah manifestasi filosofi Tri Hita
Karana, yaitu tiga hubungan manusia dengan alam, Tuhan dan Manusia sendiri.
Subak, selain mengurus pertanian tanah, organisasi subak juga mengurus
kelestarian hutan sebagai salah satu sumber air dan merupakan tempat penting
perburuan bagi Raja mereka. Setiap Subak memiliki Pekaseh, sebagai
pemimpinnya. Pekaseh ini merupakan jabatan yang diwariskan secara turun
temurun di beberapa daerah di Bali. Selain itu ada juga yang disebut Sedahan,
merupakan pimpinan kelompok Subak yang berada di satu sumber air yang sama.
(Budiasa, 2010).
Meskipun subak telah diakui sebagai warisan dunia, Subak dan Pasedahan
Agung belakangan ini mengalami beberapa masalah serius dalam pertanian di
Bali. Hal ini dibuktikan dengan munculnya permasalahan alih fungsi lahan
pertanian, rusaknya kualitas air irigasi dan menipisnya persediaan air, kurangnya
keuntungan dari pertanian berdampak pada meredupnya organisasi subak.
(Sutawan, 2004). Bertitik tolak dari permasalahan ini, sangat diperlukannya
seorang pemimpin yang mampu mengembangkan subak di tingkat kabupaten
untuk mengambil kebijakan serta program untuk menyelamatkan subak. Konsepkonsep dalam ajaran Nitisastra sebagai sumber upaya cerminan pemimpin
sepatutnya dapat dipahami agar politik dalam perspektif Hindu yaitu dharma
dapat terwujud. Oleh karena itu, dalam makalah ini mengangkat permasalahan
mengenai politik menurut perspektif Hindu, yaitu mengenai pemahaman politik,
sumber ajaran politik Hindu dan implementasinya dalam organisasi Subak untuk
mampu mempertahankan subak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana pengertian politik dalam perspektif agama Hindu?
1.2.2 Bagaimana kaitan sumber ajaran agama Hindu mengenai politik?
1.2.3 Bagaimana implementasi ajaran Nitisastra sebagai sumber ajaran politik
agama Hindu dalam politik pada organisasi Subak

menurut perspektif

Hindu?
5

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan dengan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari
penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1.3.1 Mendeskripsikan pengertian politik dalam perspektif agama Hindu.
1.3.2 Memahami sumber ajaran agama Hindu mengenai politik.
1.3.3 Mendeskripsikan implementasi ajaran Nitisastra sebagai sumber ajaran
politik agama Hindu dalam politik pada organisasi Subak menurut
perspektif Hindu.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini, yaitu bagi
penulis dan pembaca dapat mendeskripsikan, menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai sumber-sumber ajaran Hindu tentang politik, serta dapat
mengamalkan nilai-nilai luhur agama Hindu dalam kehidupan politik sosial
khususnya organisasi masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik dalam Perspektif Agama Hindu
Kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang berarti kota
atau negara kota, beranjak dari kata polis ini kemudian diturunkan kata polities
yang berarti warga negara, politicos yang berarti kewarganegaraan, dan politike
techne yang berarti kemahiran politik serta politice episteme untuk ilmu politik
(Suatama, 2007).
Adapun pengertian politik menurut perspektif agama Hindu bahwa kata
politik dapat disamakan dengan kata Nitisastra dalam sastra-sastra Hindu. Kata
Nitisastra berasal dari Niti dan Sastra dalam bahasa Sansekerta. Niti berarti
kemudi, pimpinan, politik dan sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan sedangkan
kata Sastra berarti perintah, ajaran, nasehat, dan aturan tulisan ilmiah. Menurut
Mardiwarsito dalam kamus bahasa Jawa Kuno, Niti berarti kebijakan politik atau
ilmu tata negara, dan Sastra berarti ilmu pengetahuan atau kitab pelajaran. Di
dalam kamus Sansekerta karya Arthur Mac Donnel, kata Niti berarti Wordly
Wisdom (kebijakan duniawi) etika sosial politik dan tuntunan politik. Sebagai
istilah kata, Nitisastra diartikannya sebagai etika politik. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Nitisastra adalah pengetahuan tentang politik Negara. Ajaran
agama Hindu dalam Nitisastra tidak pernah lepas dari pembahasan tentang
pentingnya upaya untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, di mana politik
menurut Hindu adalah pengetahuan untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu
negara guna mencapai tujuan menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera
(Winawan, 2002).

2.2 Sumber Ajaran Hindu Tentang Politik (Nitisastra)


Veda adalah sumber ajaran agama Hindu yang di dalamnya mengalir
semua ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Dalam kitab Veda inilah
mengalir ajaran agama Hindu dan dikembangkan baik dalam kitab Sruti, Smerti,
Itihasa, Purana, Tantra, Darsana, Upanisad maupun lontar-lontar Tatwa yang ada
sekarang ini. Dalam kitab-kitab inilah terkandung ajaran-ajaran Nitisastra
(Winawan, 2002).
2.2.1 Kitab Veda (Sruti)

Sruti merupakan kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh


Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Selain itu, Sruti
adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran
dan diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan.
Oleh karena itu, Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda
Samhita (Samhita artinya himpunan). Kitab Sruti yang memuat ajaran
Nitisastra adalah kitab Arthaveda, seperti halnya yang termuat di dalam
Atharva Veda: 3.4.2 (Gunada, 2008).
Bilamana seorang pemimpin dalam sebuah negara selalu mengikuti
kebenaran dan dharma, serta mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka
semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti serta
menyebarkan dharma kepada masyarakat luas.
Jika seorang pemimpin memperhatikan masalah kesejahteraan rakyat
serta mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka rakyatpun
akan melindungi pemimpin itu sendiri ibaratnya singa dan hutan yang saling
melindungi, demikianlah keberadaan pemimpin dengan yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, pemimpin harus selalu mendengarkan dan melaksanakan
aspirasi dari rakyat dengan tetap berlandaskan ajaran dharma.
2.2.2 Kitab Smerti
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan.
Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokkan isi materi secara sistematis
menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke
dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga) dan
kelompok Upaweda. Ajaran Nitisastra tersebar dalam kitab-kitab Smerti,
seperti halnya dalam kitab Manava Dharmasastra memuat ajaran-ajaran
Bhagawan Manu yang dihimpun dan disusun oleh Bhagawan Bhrigu, di
dalam kitab tersebut banyak sekali memuat ajaran Nitisastra. Di dalam kitab
ini terdapat istilah Raja Dharma, yaitu dalam Manava Dharmasastra VII.1
(Dewa, 2008).
rajadharmam pravaksyami yatha vrtto bhaven nrpah sambhavasca
yatha tasya siddhisca paramayatha.
Artinya: Akan saya nyatakan dan perlihatkan tentang kewajiban Raja (Raja
Dharma) bagaimana Raja seharusnya berbuat untuk dirinya sendiri,

bagaimana ia dijadikan dan bagaimana ia dapat mencapai


kesempurnaannya yang tertinggi.
Berdasarkan sloka tersebut dapat kita pahami bahwa agama Hindu
dalam ajaran Nitisastra mampu menuntun umatnya untuk menjadi seorang
pemimpin yang berlandaskan dharma, baik dalam memimpin dirinya sendiri,
memimpin orang lain maupun mampu mengendalikan diri seperti yang
tercantum dalam kitab Manawa Dharma Sastra VI. 52 yang menyatakan
pemimpin hendaknya siang dan malam mampu mengendalikan diri sekuat
tenaga, karena ia telah menundukkan indrianya sendiri, dapat menguasai diri,
maka pasti akan mampu mengendalikan rakyatnya. Begitu pentingnya
pengendalian diri, maka seorang pemimpin pastilah muncul sebuah taksu atau
karisma

yang

mampu

mempengaruhi

masyarakat.

Namun,

untuk

mengendalikan diri inilah yang sulit apalagi mau membuat karisma diri dan
mengendalikan rakyat. Oleh karena itu, seorang pemimpin berpedoman pada
sifat kedewataan dan menerapkannya pada kepemimpinannya. Menjadi
seorang pemimpin memang tidak mudah. Sekali lagi, perlu pengendalian diri.
Pengendalian diri memegang kontrol segala kegiatan untuk mencapai kinerja
yang baik dan berhasil. Pemimpin hendaknya menjadi panutan bagi yang
dipimpin dalam hal pengendalian diri. Jika sudah saling mengendalikan diri,
semua akan terkontrol, tidak ada kesimpang siuran, tumpang tindih, dan
kekacauan. Sifat-sifat kedewataannya itu tersurat dalam sloka Manawa
Dharmasastra VII. 4 (Mendra, 2010):
indra nilaya markanam, agni ca waruna sya ca, candra wite ca yo
caiva, matra nir hertya cacwatih
Artinya : Untuk memenuhi maksud tujuan itu, pemimpin harus memiliki sifat
kekal seperti Indra, Vayu, Yama, Surya, Agni, Varuna, Chandra dan
Kuwera.
Jika seorang pemimpin Hindu bisa menempatkan Asta Brata itu
sebagai landasan berpolitiknya, niscaya tujuan politik Hindu untuk
menciptakan masyarakat sejahtera akan tercapai.
Dalam kitab Ramayana disebutkan:
Hyang
Indra
Yama
Surya
Banyunagi

nahan

walu

ta

Candranila
sira

maka

Kuwera
angga

Sang bupati matangyang inisti asta Brata

Artinya: Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna


dan Agni itulah delapan Dewa yang merupakan badan sang
pemimpin, kedelapannya itulah yang merupakan Asta Brata.
Jika seorang pemimpin Hindu bisa menempatkan Asta Brata itu sebagai
landasan berpolitiknya, niscaya tujuan politik Hindu untuk menciptakan
masyarakat sejahtera akan tercapai.
Adapun bagian dari Asta Brata adalah sebagai berikut (Gunada, 2008).
1. Indra Brata, seorang pemimpin mampu memberikan kemakmuran kepada
rakyatnya seperti dewa Indra yang slalu memberikan hujan untuk
kesuburan bumi.
2. Yama Brata, seorang pemimpin harus mampu bersikap adil dan bersikap
tegas terhadap orang-orang yang berbuat salah.
3. Surya

Brata,

pemimpin

mampu

memberikan

penerangan

bagi

masyarakatnya seperti sang surya yang menerangi bumi.


4. Candra Brata, seorang pemimpin diharapkan memberikan penerangan
yang sejuk dan nyaman. Seseorang akan menjadi senang dan taat apabila
kebutuhannya dapat dipenuhi, baik bersifat material maupun bersifat
spiritual.
5. Bayu Brata, seorang pemimpin hendaknya mengetahui pikiran atau
keinginan dari rakyatnya.
6. Kuwera Brata, pemimpin haruslah dapat memberikan contoh yang baik
kepada anak buahnya seperti berpakaian yang rapi sebab pakaian itu besar
sekali pengaruhnya terhadap seorang bawahan. Hal lain yang terkandung
adalah sebelum seorang pemimpin mengatur orang lain, pemimpin
haruslah bisa mengatur dirinya sendiri terlebih dahulu.
7. Baruna Brata, bagaimana seorang pemimpin harus berpikiran luas seperti
samudera sehingga kebijaksanaan akan menyertai pemimpin tersebut.
8. Agni Brata, Seorang pemimpin haruslah mempunyai semangat yang
berkobar-kobar laksana agni dan dapat pula mengobarkan semangat anak
buah yang diarahkan untuk menyelesaikan segala pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya.
2.2.3 Kitab Itihasa
10

Kitab Itihasa merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam, yaitu
Ramayana dan Mahabharata. Kitab Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Di
Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk
Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kekawin tertua
yang disusun sekitar abad ke-8. Di samping Ramayana, epos besar lainnya
adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Ditinjau dari arti
Itihasa , berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya
kejadian itu begitulah nyatanya", maka Mahabharata itu gambaran sejarah,
yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial, dan politik menurut
ajaran Hindu. Adapun salah satu kutipan mengenai Nitisastra dalam
Ramayana III, 65.
Santasih nitya thaganan
Artinya: Kasih sayang hendaknya selalu engkau lakukan.
Kutipan di atas mengandung makna bahwa raja atau pemimpin harus
mengembangkan nilai kejujuran. Oleh karena itu, semua rakyat akan menjadi
segan terhadap raja atau pemimpinnya, seperti dengan tidak melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam memimpin. Seorang pemimpin yang
sempurna dalam konsep Hindu adalah pemimpin yang selalu mengupayakan
kehidupan bangsa dan negaranya yang damai dan sejahtera, seperti dengan
berusaha menegakkan hukum tanpa memandang kedudukan dan harta yang
dimiliki seseorang.
2.2.4 Kitab Purana
Kitab Purana

merupakan

kumpulan

cerita-cerita

kuno

yang

menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di


dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan Bhatara, cerita mengenai
silsilah keturunan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa
serta memuat cerita-cerita yang menggambarkan pembuktian-pembuktian
hukum yang pernah dijalankan. Kitab Purana jumlahnya cukup banyak dan di
dalamnya banyak memuat tentang Nitisastra (Winawan, 2002).
2.2.5 Kitab-Kitab, Lontar-Lontar maupun Naskah-Naskah Lainnya yang
Bersumber dari Naskah Sanskerta maupun Jawa Kuno.
Tujuan rakyat agar mencapai Catur Purusha Artha (Dharma, Artha,
Kama, dan Moksa) dalam menjalankan hidup dan kehidupan manusia di
muka bumi ini dengan selalu berorientasi kepada Tuhan dengan mengikuti
aturan-aturannya, Swadharma dengan disiplin yang tinggi (Sudirga, 2004).
11

Kitab Sarasamuscaya, 156 memberikan petunjuk sebagai berikut (Kajeng,


1999).
Tasmad wakkayacittaistu nacaredacubham narah, cubhacubham
hyacarati tasyactnute phalam, Matangnyan nihan kadayakenaning
wwang, tan wak, kaya, manah, kawarjana, makolahang acubhakarma,
apang ikang wwang mulahaken ikang hayu, hayu tinemunya yapwan
hala pinakolahnya, hale dinemunya
Artinya: Oleh karena itu, yang harus diusahakan orang, janganlah
hendaknya membiarkan kata-kata, laksana, dan pikiran berbuat karma yang
tidak baik, sebab orang yang mengusahakan yang baik, baik pula yang
diperolehnya, jika jahat yang dilakukannya, maka celaka yang diperolehnya.
Seluruh aktivitas umat manusia yang baik berdasarkan petunjuk ajaran
agama dapat memberikan manfaat untuk terciptanya kesucian dan kesakralan
dari tempat suci. Politik seharusnya dilaksanakan dengan landasan moral,
agama, dan hukum Tuhan yang dihasilkan oleh pemerintah itu harus
didukung. Kalah dan menang itu soal biasa (Rwa Bhineda) tetapi itu bukan
tujuan utama, tujuan utama adalah aman, damai, dan sejahtera. Dalam
pelaksanaannya harus menjunjung tinggi hukum yang berkitan dengan
sraddha (Suatama, 2007). Bhagawadgita III.19 menyatakan sebagai berikut
(Pudja, 1999).
Tasmad asaktah satatam karyam karma samachara, asakto hy acharan
karma param apnoti purushah.
Artinya: Dari itu laksanakanlah segala kerja sebagai kerja tanpa harap
keuntungan, sebab kerja tanpa keuntungan pribadi membawa orang ke jalan
kebahagiaan yang tertinggi.
Dalam tingkatannya,

pekerjaan

adalah

paling

mulia

apabila

dilaksanakan tanpa tujuan untuk memperoleh phala bagi kepentingan pribadi.


Demikian pula pekerjaan yang disertai dengan persembahan sebagai tanda
berbhakti, jauh lebih mulia daripada pekerjaan yang mengangkat orang pada
penyucian dan kesempurnaan pikiran serta jiwanya, demikian juga dalam
berpolitik hendaknya lebih mengutamakan kepentingan bersama untuk
mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup (Suatama, 2007).
2.3 Implementasi Ajaran Nitisastra sebagai Sumber Ajaran Politik Agama
Hindu dalam Politik pada Organisasi Subak Menurut Perspektif Hindu
12

Subak merupakan salah satu organisasi tradisional petani di Indonesia, yang


mengelola air irigasi selain organisasi yang juga terdapat di daerah lainnya,
namun dengan nama yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 2 Tahun 1972 dalam pasal 4 merumuskan bahwa subak merupakan
masyarakat hukum adat di bali yang bersifat sosio agraris religious yang secara
historis didirikan sejak dahulu kala, dan berkembang terus sebagai organisasi
pengairan di suatu daerah.
Seperti halnya sistem pengairan lainnya di nusantara, sistem subak bukanlah
tanpa kelemahan-kelemahan. Kelemahan paling menonjol dari sistem irigasi
subak adalah ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh luar yang
menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi lahan, sehingga
eksistensi subak menjadi menurun. Ini dapat dlihat dari lahan produktif yang
berubah menjadi gedung-gedung bertingkat. Berkembangnya pariwisata di Bali
juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan subak di Bali.
Mengingat betapa pentingnya peranan subak dalam pembangunan bidang
pertanian sebagai sistem pengairan tradisional untuk sanggup menyerap teknologi
pertanian modern secara berkelanjutan. Disamping itu, peningkatan kerja
pengurus subak baik di wilayah yang paling kecil maupun di tingkat tinggi
(Pasedahan Agung) perlu dilakukan, sebab masa di depan subak semakin
berhadapan dengan berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Sehingga
subak memerlukan pengurus yang ulet, tangguh, disiplin, namun tetap
mempunyai kepekaan budaya khususnya kebudayaan Bali yang bernafaskan
Hindu. (Budiasa, 2010).
Sebagai suatu organisasi, Subak mempunyai unsur pimpinan yang disebut
dengan Prajuru. Pada Subak yang kecil, struktur organisasinya sangat sederhana,
hanya terdiri dari seorang ketua Subak yang disebut Kelihan Subak atau Pekaseh,
dan anggota Subak. Sedangkan pada Subak-subak yang lebih besar, prajuru subak
umumnya terdiri atas : Pekaseh (Ketua Subak), Petajuh (Wakil Pekaseh),
Penyarikan (Sekretaris), Petengan atau Juru Raksa (Bendahara), Juru arah atau
Kasinoman (Pembawa informasi), dan Saya (Pembantui khusus). Prajuru Subak
umumnya dipilih oleh anggota Subak dalam suatu rapat pemilihan, untuk masa
jabatan tertentu (biasanya 5 tahun). Untuk Juru arah biasanya dijabat bergilir oleh
anggota Subak dengan pergantian setiap bulan (35 hari) atau enam bulan (210
hari).
13

Subak-subak yang besar biasanya dibagi atas sub-sub yang disebut dengan
Tempek yang dipimpin seorang Kelihan Tempek. Untuk tujuan-tujuan tertentu,
misalnya koordinasi dalam distribusi air dan atau upacara pada suatu pura,
beberapa Subak dalam suatu wilayah bergabung dalam suatu koordinasi yang
disebut Subak Gede. Subak anggota dari suatu Subak Gede umumnya berada
dalam satu daerah irigasi, meskipun ada juga Subak Gede yang Subak anggotanya
memiliki sistem irigasi sendiri-sendiri. (Budiasa, 2010).
Kepemimpinan dalam organisasi subak adalah pemimpin yang dapat
mengaktualisasikan ajaran Nitisastra ini. Karena Pemimpim dan Kepemimpinan
ibarat mata uang. Dapat berfungsi bila keduanya sisinya utuh dan saling mengisi.
Bila salah satu tidak ada maka tidak dapat berfungsi sebagaimana yang
diharapkan. Untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah, semua itu
memerlukan perjuangan, pengorbanan, pembelajaran tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pemimpin dan kepemimpinannya.
Berbicara mengenai kempemimpinan/leadership kita tidak lepas dari dua
kata kapabilitas (kemampuan) dan akseptabilitas (diterima). Pada dasarnya hanya
ada dua pilihan bila kita hidup dalam suatu perkumpulan, yakni sebagai Pemimpin
atau sebagai yang dipimpin yang lazim di sebut anggota. Sebagai anggota yang
baik, kita harus memiliki loyalitas, patuh dan taat pada perintah atasan sebagai
pemimpin dan rela berkorban serta bekerja keras untuk mendukung atasan dalam
pencapaian tujuan yang dalam ajaran agama Hindu, disebut Satya Bela Bhakti
Prabhu.
Sedangkan sebagai pemimpin, harus mempunyai pengetahuan dan
kemampuan untuk memimpin (kapabilitas) serta dapat diterima oleh yang
dipimpin ataupun atasannya (akseptabel). Kemampuan dalam arti mampu
memimpin, mampu mengorbankan diri demi tujuan yang ingin dicapai, baik
korban waktu, tenaga, materi dll serta dapat diterima, dalam arti dapat dipercaya
oleh anggota masyarakatnya dan pejabat yang di atasnya.
Untuk suksesnya pencapaian tujuan suatu perkumpulan, sangat tergantung
dari proses kerjasama dan rasa saling membutuhkan antara anggota dengan
pemimpinnya. Didalam Kitab Niti Sastra Bab I sloka 10, hubungan erat antara
pemimpin dan anggota diibaratkan seperti hubungan Singa dengan hutan, sebagai
berikut :
14

Singa adalah penjaga hutan. Hutan pun selalu melindungi Singa, Singa dan
hutan harus selalu saling melindungi dan bekerjasama. Bila tidak atau
berselisih, maka hutan akan hancur dirusak manusia, pohon-pohonnya akan
habis dan gundul ditebang, hal ini membuat singa kehilangan tempat
bersembunyi, sehingga ia bermukim dijurang atau dilapangan yang akhirnya
musnah diburu dan diserang manusia.
Hubungan kerja sama yang saling membutuhkan ibaratnya Singa dengan Hutan
perlu diterapkan oleh pemimpin dan masyarakatnya, sehingga dapat sukses dalam
mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tidak ada pemimpin yang sukses
tanpa didukung masyarakatnya, demikian sebaliknya.
Kriteria kepemimpinan menurut Pustaka Niti Sastra (Mariana, 2011):
1. Abhikamika
Pemimpin

harus

tampil

simpatik,

berorientasi

ke

bawah

dan

mengutamakan kepentingan rakyat banyak dari pada kepentingan pribadi


atau golongannya. Pemimpin subak (Pekaseh) harus memiliki sifat ini
karena

sebagai

pemimpin,

ia

harus

mengutamakan

kepentingan

anggotanya seperti ketika anggotanya mengalami permasalahan hak guna


air di pertanian maupun pembuatan/pengurusan akta tanah.
2. Prajna
Pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana dan menguasai ilmu
pengetahuan teknologi, agama serta dapat dijadikan panutan bagi
rakyatnya. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena sebagai
pemimpin, pekaseh harus arif bijaksana dalam mempimpin karena
pertanian dan subak seringkali mengalami permasalahan-permasalahan
baik secara intern organisasi maupun ektern organisasi sehingga dengan
pemimpin yang arif bijaksana mampu mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh subak itu sendiri.
3. Utsaha
Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor
pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan
rakyat. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena sebagai pemimpin,
pekaseh harus mampu menciptakan suatu program inovatif dalam hal
15

pertanian untuk dapat mensejahterakan para petani subak melalui inovasi


agribisnis maupun penerapan teknologi yang mampu diterapkan oleh
anggota subak itu sendiri.
4. Atma Sampad
Pemimpin mempunyai kepribadian : berintegritas tinggi, moral yang luhur
serta obyektif dan mempunyai wawasan yang jauh ke masa depan demi
kemajuan bangsanya. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena
sebagai pemimpin, pekaseh harus mampu mengedepankan moral yang
baik dan mempunyai wawasan yang luas yang mampu mengarahkan
organisasi subak kea rah yang lebih baik sehingga tujuan subak tersebut
dapat tercapai.
5. Sakya Samanta
Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan (efektif,
efisien dan ekonomis) dan berani menindak secara adil bagi yang bersalah
tanpa pilih kasih/tegas. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena
sebagai pemimpin, pekaseh juga tentu dibantu oleh beberapa pengurus
subak dan anggotanya. Sebagai fungsi pengawas, pekaseh harus mampu
mengayomi dan membimbing pengurus di bawahnya dan anggotanya
untuk menjalankan kewajibannya dengan baik.
6. Aksudra Pari Sakta
Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan
permusyawaratan dan pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan
dan rakyatnya. Pekaseh subak harus memiliki sifat ini karena sebagai
pemimpin, pekaseh harus mampu menjunjung tinggi demokrasi di anggota
subak. Keputusan yang diambil hendaknya hasil dari musyawarah dan
disepakati bersama, bukan dilaksanakan oleh sepihak maupun dari diri
sendiri. Hal ini akan berdampak pada ketidakpuasan anggota terhadap
pekaseh.
Manusia identik dengan alam. Ketika manusia diberi kedudukan sebagai
Raja,

ketika

mempercepat

salah

mengendalikan

kehancuran

dirinya.

dirinya
Demikian

maka
juga

seolah-olah
ketika

dia

alampun
mampu

16

mengendalikan dirinya, maka alampun dirasakan ikut mendukung karena alam


dipercayai sebagai penyebab membawa kebaikan maupun keburukan.
Dalam Nitisastra disebutkan jika raja saleh, rakyatpun saleh, raja jahat
rakyatpun jahat. Rakyat akan mengikuti sang raja, sebagaimana raja begitulah
rakyatnya. Selanjutnya dijelaskan dalam Ramayana pada saat Rama menyerahkan
Terompah, sebagai simbolis kekuasaan kepada Bharata, dengan wejangan sebagai
berikut : Hilangkah sifat-sifat angkara murka, penghinaan jangan dilakukan,
lenyapkan orang mabuk, perbuatan baik merupakan sahabat mulia dan utama.
Kemarahan dalam hati harus dihilangkan. Dosa yang bertubi-tubi menimbulkan
keonaran dan kehancuran. Rakyat yang baik budi dan setia akan berbalik haluan.
Kawan baik makin menjauh, musuhlah yang mendekat. Dosa besar orang yang
doyan minum, mabuk, hilap hatinya, pelupa, gelisah, sombong, tekebur, angkuh
dan jahat, dan berniat jahat. Lagi pula jangan bohong dan berbuat hina, akan
menimbulkan keonaran yang sudah tentu akan menjadi buah bibir. Lagi pula bila
ada rakyat yang kelihatan jahat, jangan tinggal diam terhadap hal itu, hendaknya
lekas melakukan tindakan yang tegas.
Tuhan menciptakan raja, untuk melindungi ciptaanNya. Untuk mencapai
tujuan itu maka sang Raja harus memiliki sifat-sifat yang kekal pada Dewa Indra,
Bayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra dan Kuwera. Yang kesemuanya
tersebut tertuang dalam ajaran Asta Brata. Raja identik dengan pemimpin. Jika
dicermati kata dasar dari pemimpin adalah pimpin yang artinya tuntun.
Maksudnya adalah seorang pemimpin memerlukan tuntunan, agar mampu
berjalan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disepakati.
Etika politik dalam perspektif Hindu mencakup aspek yang sangat luas
meliputi fungsi-fungsi dan sifat pemimpin serta tugas-tugas seorang pemimpin
(Suatama, 2007). ''Dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, tetapi yang ada
abadi hanyalah kepentingan dan perubahan''. Demikian sebuah bait kata yang
menunjukkan betapa sebenarnya kehidupan berpolitik sering mengabaikan moral
dan etika. Ketika kepentingan yang menjadi tujuan, apapun yang menghalangi
tujuan tersebut dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Dalam Kitab
Atharwa Weda sloka 7 dan Yajur Weda sloka 13, disebutkan (Gunada, 2008):
''Idam Rastram piprhi saubhagaya''
Artinya: Oh pemimpin bekerjalah untuk kesejahteraan bangsa dan negaramu.
''visi rastre jagrhi rohitasya''

17

Artinya: Oh pemimpin hendaknya selalu waspada untuk melindungi warga negara


dan bangsamu.
Berdasarkan sloka di atas, diamanatkan bahwa seorang pemimpin harus
lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau
golongan, jangan sampai urusan pribadi merusak kepentingan bersama yang akan
berdampak pada kesejahteraan umum.
Di dalam kepemimpinan diperlukan komunikasi dua arah, yaitu antar
sesama anggota untuk mencapai tujuan bersama sehingga diperlukan suatu
keharmonisan dari sesama anggota atau kerukunan antar umat manusia yang
ditegaskan dalam Reg Veda X. 191. 2, yaitu sebagai berikut (Winata, 2004).
Sam gacchadhvam sam vadadhuam sam wo manamsi janatam. Deva bhagam
yatha purve sam jnana upa sate
Artinya: Berkumpul dan berbicara satu dengan yang lain, bersatulah dalam
pikiranmu seperti para dewa pada zaman dahulu bersatu.
Berdasarkan sloka di atas, kita sebagai umat manusia hiduplah dalam
harmoni dan kerukunan. Hendaknya hidup bersatu dan bekerjasama. Berbicaralah
dengan satu bahasa dan mengambil keputusan dengan satu pikiran. Seperti orangorang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaknya umat
manusia tidak goyah dalam melaksanakan kewajibannya sendiri.
Dalam mewujudkan kepemimpinan yang mampu menjalankan aspirasiaspirasi orang banyak, hendaknya pemimpin melaksanakan ajaran Tat Twan Asi.
Ajaran Tat Twam Asi mengajak setiap orang untuk turut merasakan apa yang
sedang dirasakan orang lain. Tat Twam Asi merupakan kata kunci untuk dapat
membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar saling asah, asih, dan asuh
di antara sesama mahluk hidup yang dapat dilihat dalam Sarasamuccaya 317,
yaitu sebagai berikut (Winata, 2004).
Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana
budiman yang rendah hati, maupun terhadap mahluk hidup lainnya, orang yang
hinapapa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang lain
terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai balasannnya,
janganlah sekali-sekali membalas dengan perbautan jahat, sebab orang yang
berhasrat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri
Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud,
maka ajaran Tata Susila diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisudha
yang artinya tiga perilaku manusia yang disucikan, yakni: (1) Manachika
Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar; (2) Wacika Parisudha, yaitu berkata
18

yang baik dan benar; (3) Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan benar.
Jika ketiga hal tersebut dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka dengan
sendirinya seorang pemimpin akan mampu mewujudkan tujuan politik, yaitu
untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu negara guna mencapai tujuan
menciptakan masyarakat sejahtera.

19

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pemaparan materi sebelumnya, maka penulis dapat menarik
simpulan sebagai berikut.
1. Pengertian politik menurut perspektif agama Hindu bahwa kata politik dapat
disamakan dengan kata Nitisastra. Niti berarti kemudi, pimpinan, politik dan
sosial etik, pertimbangan, dan kebijakan sedangkan kata Sastra berarti
perintah, ajaran, nasehat, dan aturan tulisan ilmiah, politik menurut Hindu
adalah pengetahuan untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu negara guna
mencapai tujuan menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera.
2. Sumber ajaran agama Hindu mengenai Nitisastra adalah kitab Veda yang
merupakan kebenaran agama Hindu. Dalam kitab Veda inilah mengalir ajaran
agama Hindu tentang Nitisastra yang dikembangkan baik dalam kitab Sruti,
Smerti, Itihasa, Purana, Tantra, Darsana, Upanisad maupun lontar-lontar Tatwa
yang ada sekarang ini.
3. Implementasi ajaran Nitisastra dalam politik sosial pada organisasi subak
menurut perspektif Hindu adalah dalam ajaran pustaka Nitisastra yaitu
Abhikamika, Prajna, Utsaha, Atma Sampad, Sakya Samanta, dan Aksudra Pari
Sakta, yang dapat menjadi cerminan bagi pemimpin subak (Pekaseh) sehingga
subak tersebut akan mampu mengatasi permasalahan yang sering dihadapi dan
mampu berkembang lebih maju.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis kemukakan, yaitu kita sebagai bagian dari
masyarakat Bali, khususnya umat Hindu hendaknya turut berperan aktif dalam
membangun bangsa dan mengisi segala kepentingan bangsa serta negara dengan
mengamalkan nilai-nilai agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
bidang

politik

maupun

di

bidang

yang

lainnya,

khususnya

dalam

mempertahanakan organisasi sosial yang bersifat kearifan lokal Bali. Salah


satunya adalah organisasi Subak.

20

DAFTAR PUSTAKA
Gunada, Nyoman. 2008. Politik dan Kepemimpinan Hindu. Diakses dari
http://www.parisada.org/index.php?
option=com_content&task=view&id=304&Itemid=29, pada tanggal 24
Juni 2013
Kajeng, I Nyoman, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.
Pudja, G. 1999. Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.
Suatama, Made. 2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Surabaya:
Paramita.
Sudirga, Made. 2004. Agama Hindu untuk SMU Kelas X. Denpasar: Ganeca
Exact.
Sutawan, Nyoman. 2004. Eksistensi Subak di Bali : Mampukah Bertahan
Menghadapi Berbagai Tantangan. Jurnal Pertanian. Tersedia dalam
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(8)-sutawan-eksistensi-subakdibali.pdf. Diakses tanggal 24 Juni 2013.
Winawan, I Wayan Winda. dkk. 2002. Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Agama Hindu. Universitas Trisakti Jakarta.
Windia, Wayan dkk. 2005. Sistem Irigasi Subak dengan Landasan Tri Hita
Karana (THK) sebagai Teknologi Sepadan dalam Pertanian Beririgasi.
Jurnal Pertanian. Tersedia dalam http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/
article/download/4095/3082. Diakses pada 23 Juni 2013.

21

Anda mungkin juga menyukai