Era digital telah mengubah cara kita hidup, berinteraksi, dan berpartisipasi dalam kehidupan
sosial dan politik. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membuka pintu
bagi akses informasi yang tak terbatas dan interaksi yang lebih cepat. Namun, dengan
keuntungan tersebut, muncul tantangan baru dalam membentuk warga negara yang cerdas
(smart) dan baik (good). Pendidikan kewarganegaraan memiliki peran sentral dalam
mengatasi tantangan ini dan membentuk generasi yang sadar hak dan kewajiban mereka
dalam masyarakat.
Negara bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok kelompok etnis, budaya,
agama dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen (aneka
ragam) (Kusumohamidjojo, 2000:45). Realitas pluralitas dan heterogenitas tersebut
tergambar dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Hefner (2007:16) mengilustrasikan Indonesia
sebagaimana juga Malaysia memiliki warisan dan tantangan pluralisme budaya (cultural
pluralism) secara lebih mencolok, sehingga dipandang sebagai “lokus klasik” bagi bentukan
baru “masyarakat majemuk” (plural society). Kemajemukan masyarakat Indonesia paling
tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh
kenyataan adanya kesatuankesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat,
serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-
perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun,
2007:33). Namun demikian, kenyataan empirik tersebut tidak diikuti oleh kebijakan yang
menggambarkan kemajemukan itu. Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan,
khususnya pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru Presiden
Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme (Azra,
2006:152). Dalam politik ini, yang diberlakukan bukannya penghormatan terhadap
keragaman (kebhinnekaan atau multikulturalisme), tetapi sebaliknya adalah keseragaman
(monokulturalisme) atas nama stabilitas untuk pembangunan (Azra, 2006:152).
Membangun smart and good citizen di era digital melalui pendidikan kewarganegaraan
adalah tantangan yang kompleks, dan berbagai para ahli dalam bidang pendidikan, ilmu
politik, dan sosiologi telah memberikan pemahaman yang berharga tentang topik ini. Di
bawah ini, kami akan merangkum pandangan beberapa ahli terkemuka dalam hal ini:
1. Dr. Audrey Osler: Dr. Audrey Osler adalah seorang pakar dalam bidang pendidikan
kewarganegaraan. Dia menekankan pentingnya pendidikan untuk kewarganegaraan
yang inklusif dan mendidik siswa tentang keberagaman, hak asasi manusia, dan
tanggung jawab sosial. Menurutnya, pendidikan kewarganegaraan harus
memberdayakan siswa untuk menjadi aktor aktif dalam membangun masyarakat yang
lebih adil.
4. Hanna Arendt: Hanna Arendt adalah seorang filsuf politik yang vokal tentang isu-isu
kewarganegaraan. Dia menyoroti pentingnya ruang publik yang sehat di mana warga
negara dapat berdiskusi, bertukar ide, dan berpartisipasi dalam politik. Pendidikan
kewarganegaraan harus memberikan pemahaman tentang peran penting ruang publik
dalam demokrasi.
5. Charles Taylor: Charles Taylor adalah seorang filsuf sosial dan politik yang telah
meneliti multikulturalisme dan identitas dalam masyarakat yang beragam. Dalam
pendidikan kewarganegaraan, Taylor menekankan perlunya memahami dan
menghormati keragaman budaya, etnis, dan agama.
7. Nel Noddings: Nel Noddings adalah seorang filsuf pendidikan yang menekankan
pentingnya etika kasih sayang dalam pendidikan. Dalam konteks pendidikan
kewarganegaraan, Noddings memandang bahwa nilai-nilai seperti empati, perhatian,
dan kasih sayang harus menjadi bagian penting dari pembentukan karakter warga
negara yang baik.
E. KajianPustaka
b. Era Digital dan Tantangannya: Era digital telah mengubah dinamika sosial dan
politik. Kemudahan akses informasi melalui internet dan media sosial telah
meningkatkan kesadaran politik tetapi juga menghadirkan risiko penyebaran berita
palsu, radikalisasi, dan polarisasi. Pendidikan kewarganegaraan harus mengajarkan
keterampilan literasi digital untuk mengatasi tantangan ini.
d. Etika di Era Digital: Penggunaan media sosial dan teknologi digital juga melibatkan
pertimbangan etika. Pendidikan kewarganegaraan harus memasukkan pembelajaran
tentang etika online, perlindungan privasi, dan tanggung jawab dalam berbagi
informasi.
e. Peran Sekolah dalam Pendidikan Kewarganegaraan: Sekolah memiliki peran kunci
dalam membentuk smart and good citizen. Guru harus diberdayakan untuk
memberikan pembelajaran yang relevan, serta menciptakan lingkungan belajar yang
mempromosikan diskusi dan refleksi.
F. Pembahasan
2. Mendorong Partisipasi Aktif: Sekolah harus mendorong partisipasi aktif siswa dalam
berbagai kegiatan sosial dan politik, baik di dalam maupun di luar lingkungan
sekolah. Ini dapat melibatkan pelibatan dalam proyek sosial, kunjungan ke lembaga
pemerintah, atau kegiatan sosial lainnya.
3. Pelatihan Guru: Guru perlu diberikan pelatihan yang memadai dalam hal literasi
digital dan pembelajaran kewarganegaraan yang efektif. Mereka harus mampu
mengajarkan siswa untuk berpikir kritis, memahami isu-isu sosial dan politik, dan
berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.
G. Penutup
Dalam era digital yang penuh dengan informasi dan teknologi, penting bagi pendidikan
kewarganegaraan untuk memainkan peran sentral dalam membentuk smart and good citizen.
Pendidikan kewarganegaraan harus mengajarkan keterampilan literasi digital, etika online,
dan pentingnya partisipasi aktif dalam masyarakat. Ini akan membantu mengatasi tantangan
dan risiko yang ada dalam era digital dan memastikan bahwa warga negara memiliki
pemahaman yang mendalam tentang hak dan kewajiban mereka dalam masyarakat. Melalui
upaya kolaboratif antara pemerintah, sekolah, dan komunitas, kita dapat membangun generasi
yang cerdas dan bertanggung jawab yang akan membantu membangun masa depan yang
lebih baik untuk Indonesia.
H. Daftar Pustaka
Blum, L.A. (2001). “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai
yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”. Dalam May, Larry, Shari
Collins-Chobanian, and Kai Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural.
Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.