Abstraksi
Secara yuridis, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi cukup kuat, dan
sebagai mata kuliah yang wajib diikutioleh seluruh mahasiswa. Hal itu tampak jelas dalam pasal
37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan
tuntutan dan perubahan masyarakat di era reformasi, mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, telah dilakukanperubahan paradigma
menuju kepada paradigma humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah
manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Indikasi ke arah
itu tampak dari substansi kajian, strategi, dan evaluasi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
yang ditawarkan kepada mahasiswa. Sementara itu,dalam mengantisipasi tuntutan global,
pembelajaran diorientasikan agar paramenangkal dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan
ekspansi pasar perlu diimbangi kebebasan politik Pancasila sehingga mahasiswa sadar dan
mampu memperjuangkan hak-hak politiknya secara benar, rasional dan bertanggung jawab.
Upaya ke arah itu dapat dilakukan dengan mengisi dan memantapkan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan memberi kemampuan kritis kepada mahasiswa,
sehingga mahasiswa secara sadar dan jujur melakukan kritik dan evaluasi tentang manfaat
globalisasi.
Pendahuluan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikul
um pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
kebangsaandan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan
kewarganegaraan memiliki kedudukan yang
sangat strategis dalam pembentukan nation and character building.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya ia sangat rentan terhadap bias politik praktis penguasa,
sehingga cenderung lebih merupakan instrumen penguasa daripada sebagai wahana
pembentukan watak bangsa. Hal yang hampir sama terjadi pada negara-negara yang sedang
berkembang seperti dikemukakan oleh (Cogan dalam Suryadi dan Somardi, 2000) menyatakan
It (citizenship education) has also opten reflected the interests of those in power in
aparticular society and thus has been a matter of indoctrination and the establishment of
ideological hegemony rather than of education.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dari era otoritarian
ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan
telah menggantikan Pendidikan Kewiraan karena sudah tidak relevan dengan semangat reformasi
dan demokratisasi. Mata kuliah Pendidikan Kewiraan ditinggalkan karena berbagai alasan, antara
lain sebagai berikut.
(2) muatan materiajarnya yang sarat dengan kepentingan ideologi rezim (orde baru).
Dengan demikian
Pendidikan Kewiraan telah keluar dari semangat dan hakikat Pendidikan Kewarganegaraan seba
gai pendidikan nilai dan pendidikan demokrasi.Menyadari realitas tersebut, diperlukan upaya
rekonstruksi dan
reorientasi Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
(civic education) sebagai substitusinya. Upaya substitusi mata kuliah pendidikan
Kewiraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) tidak bisa lepas dari konteks
ikhtiar kalangan perguruan tinggi untuk menemukan format baru pendidikan demokrasi di
Indonesia sekaligus mengantisipasi tuntutan
global.Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga-
lembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur perpolitikan,
perekonomian, sosial budaya, dan pertahanan keamanan global.Isu-isu global seperti demokrasi,
hak asasi manusia dan lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi
juga ditandai
denganpesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang informasi,
komunikasi, dan transportasi membuat dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi sebuah
kampung tanpa mengenal batas negara. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, pola sikap,
dan tindakan masyarakat Indonesia.
Kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) pada masa reformasi ini haruslah bena
r-benar dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa
Indonesia menciptakan demokrasi,
good governance, negara hukum dan masyarakat sipil yang relevan dengan tuntutan global. Tent
unya ekspektasi ini harus disertai dengan tindakan nyata bangsa ini, khususnya kalangan
Perguruan
Tinggi untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan dalam dun
ia pendidikan. Jadi, hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sangat
penting artinya bagi penumbuhan budaya demokrasi di Indonesia.Untuk mencapai tujuan
pendidikan kewarganegaraan seperti tersebutdi atas, sangat dibutuhkan model dan strategi
pembelajaran yang
humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai
potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Mahasiswa diposisikan sebagai subjek, sementara
dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi disusun berdasarkan
kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga
materi tersebut bersifat kontekstual dan relevan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat
lokal, nasional, dan global.
Pembahasan
Menurut (Azra dalam ICCE, 2003) bahwa istilah Pendidikan Kewargaan pada satu sisi identik de
ngan Pendidikan Kewarganegaraan. Namun disisi lain, istilah Pendidikan
Kewargaan secara substantif tidak sajamendidik generasi muda menjadi warga negara yang
cerdas dan sadar
akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meru
pakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesia
pan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan
Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan
Kewarganegaraan.Sejalan dengan itu, (Zamroni dalam ICCE, 2003) berpendapat
bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang
bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi
barubahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang palingmenjamin hak-
hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learningprocess yang tidak dapat begitu saja me
niru dari masyarakat lain.
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
telah dikeluarkan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan No. 45/U/2002 tentang kurikulum pendidikan
tinggi berbasis kompetensi (KBK), yang dipertegas lagi
dengan Keputusan Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002 tentang rambu-
rambupelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di Perguruan Tinggi.Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan kejelasan hasil
didik sebagai seseorang yang kompeten dalam hal, yakni
(2) menguasai penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam bentuk kekaryaan,
Pertama,
Kedua,
kecakapan dan kemampuan sikap.
Ketiga,
a. Pengantar
- Pengakuan atas martabat dan hak-hak yang sama sebagai manusia hidup didunia.
- Hak
- Kewajiban
d. Belanegara
e. Wawasan Nusantara
f. Ketahanan Nasional
- Konsep ketahanan nasional yang dikembangkan untuk menjamin kelngsungan hidup menuju
kejayaan bangsa dan negara.
- Politik dan strategi nasional sebagai politik nasional dan strategi nasional untuk mengantisipasi
perkembangan globalisasi kehidupandan perdagangan bebas.
- Strategi nasional sebagai hakikat seni dan ilmu politik pembangunan nasional.
(2) penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moralbehavioristik, terperangkap
pada proses penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif (value inculcation)
(3) ketidakkonsistenan penjabaranberbagai dimensi tujuan pendidikan kewarganegaraan ke dala
m kurikulum pendidikan kewarganegaraan
(4) keterisolasian proses pembelajarandari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial
budaya.
(1) terlalu menekankan pada aspek nilai moral belaka yang menempatkan siswa
(2) kurang diarahakan pada pemahaman struktur, proses, dan institusi-institusi negara dengan
segala kelengkapannya
Tantangan Global
Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar (barang
dan uang) yang di dalamnya
mengandungbanyak implikasi bagi kehidupan manusia (Khor, 2000). Integrasi dunia diperkiraka
n menimbulkan
efek ganda (multiplier effect) dan diharapkan dapat merangsang perluasan peluang kerja dan peni
ngkatan upah rielse
hingga kemiskinan berkurang. Bagi negara maju dengan ketersediaan dukungan berbagai keungg
ulan (sumber daya manusia dan teknologi) barangkali harapan-
harapan itu dapat menjadi kenyataan. Namun, bagi kebanyakan negara berkembang dengan
berbagai kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan
pemilik modal (negara
maju). Berangkat dari pemikiran itu, Schiller dalam Nasikun (2005) menyatakan bahwa
universitas di negara-negara Dunia Ketiga semakin tidak memiliki kemampuan untuk mencegah
hadirnya paling sedikit tiga ragam perubahan sangat problematik.
Pertama
universitas harus menyaksikan hadirnya dinamika perkembangan masyarakat yang semakin dike
ndalikan oleh “kriteria-kriteria pasar” Sentralitas prinsip-prinsip pasar pada gilirannya telah
menghasilkan terjadinya komodifikasi dan komersialisasi informasi
dan dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh ia menghasilkan
keuntungan.
Kedua
Ketiga
sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akankita saksikan semakin transparan adalah
meningkatnya kesenjangan kelas (class inequality) yang akan semakin menguasai dinamika
perkembangan masyarakat dan ekonomi kita pada masa mendatang. Tantangan sangat besar
yang harus dijawab oleh setiap universitas
dimasa depan adalah bagaimana misinya itu harus dirumuskan dandidefinisikan kembali dalam b
entuknya yang lebih kontekstual untuk menghadapi tekanan perubahan-perubahan global yang
semakin keras saatini dan di masa depan. Misi
universitas harus dikontekstualisasikan dan direvitalisasi sehingga aktualisasinya melalui tridhar
ma universitas benar-benar memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan perubahan-
perubahan global. Implikasi kelembagaan aktualisasinya menurut Nasikun(2005) adalah sebagai
berikut.
Pertama
Kedua
,dalam penyelenggaraan program studi ilmu sosial dan humaniora, kebijakanyang dimaksud
harus secara jelas didesain untuk membongkar dan mengikismonisme epistemologis, teoretis,
metodologis.
Ketiga
Pertama
Kedua
Keempat,
Kelima,
Keenam