Anda di halaman 1dari 10

Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan

di Perguruan Tinggi Pada Era Globalisasi


5 Mei 2014 08:42 Diperbarui: 23 Juni 2015 22:52 23788 0 0

Abstraksi

Secara yuridis, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi cukup kuat, dan
sebagai mata kuliah yang wajib diikutioleh seluruh mahasiswa. Hal itu tampak jelas dalam pasal
37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan
tuntutan dan perubahan masyarakat di era reformasi, mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, telah dilakukanperubahan paradigma
menuju kepada paradigma humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah
manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Indikasi ke arah
itu tampak dari substansi kajian, strategi, dan evaluasi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
yang ditawarkan kepada mahasiswa. Sementara itu,dalam mengantisipasi tuntutan global,
pembelajaran diorientasikan agar paramenangkal dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan
ekspansi pasar perlu diimbangi kebebasan politik Pancasila sehingga mahasiswa sadar dan
mampu memperjuangkan hak-hak politiknya secara benar, rasional dan bertanggung jawab.
Upaya ke arah itu dapat dilakukan dengan mengisi dan memantapkan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan memberi kemampuan kritis kepada mahasiswa,
sehingga mahasiswa secara sadar dan jujur melakukan kritik dan evaluasi tentang manfaat
globalisasi.

Pendahuluan

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikul
um pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
kebangsaandan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan
kewarganegaraan memiliki kedudukan yang
sangat strategis dalam pembentukan nation and character building.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya ia sangat rentan terhadap bias politik praktis penguasa,
sehingga cenderung lebih merupakan instrumen penguasa daripada sebagai wahana
pembentukan watak bangsa. Hal yang hampir sama terjadi pada negara-negara yang sedang
berkembang seperti dikemukakan oleh (Cogan dalam Suryadi dan Somardi, 2000) menyatakan
It (citizenship education) has also opten reflected the interests of those in power in
aparticular society and thus has been a matter of indoctrination and the establishment of
ideological hegemony rather than of education.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dari era otoritarian
ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan
telah menggantikan Pendidikan Kewiraan karena sudah tidak relevan dengan semangat reformasi
dan demokratisasi. Mata kuliah Pendidikan Kewiraan ditinggalkan karena berbagai alasan, antara
lain sebagai berikut.

(1) karena pola pembelajaran yang indoktrinatif dan monolitik.

(2) muatan materiajarnya yang sarat dengan kepentingan ideologi rezim (orde baru).

(3) mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotor.

Dengan demikian
Pendidikan Kewiraan telah keluar dari semangat dan hakikat Pendidikan Kewarganegaraan seba
gai pendidikan nilai dan pendidikan demokrasi.Menyadari realitas tersebut, diperlukan upaya
rekonstruksi dan
reorientasi Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
(civic education) sebagai substitusinya. Upaya substitusi mata kuliah pendidikan
Kewiraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) tidak bisa lepas dari konteks
ikhtiar kalangan perguruan tinggi untuk menemukan format baru pendidikan demokrasi di
Indonesia sekaligus mengantisipasi tuntutan
global.Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga-
lembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur perpolitikan,
perekonomian, sosial budaya, dan pertahanan keamanan global.Isu-isu global seperti demokrasi,
hak asasi manusia dan lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi
juga ditandai
denganpesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang informasi,
komunikasi, dan transportasi membuat dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi sebuah
kampung tanpa mengenal batas negara. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, pola sikap,
dan tindakan masyarakat Indonesia.

Kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) pada masa reformasi ini haruslah bena
r-benar dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa
Indonesia menciptakan demokrasi,

good governance, negara hukum dan masyarakat sipil yang relevan dengan tuntutan global. Tent
unya ekspektasi ini harus disertai dengan tindakan nyata bangsa ini, khususnya kalangan
Perguruan
Tinggi untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan dalam dun
ia pendidikan. Jadi, hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sangat
penting artinya bagi penumbuhan budaya demokrasi di Indonesia.Untuk mencapai tujuan
pendidikan kewarganegaraan seperti tersebutdi atas, sangat dibutuhkan model dan strategi
pembelajaran yang
humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai
potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Mahasiswa diposisikan sebagai subjek, sementara
dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi disusun berdasarkan
kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga
materi tersebut bersifat kontekstual dan relevan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat
lokal, nasional, dan global.

Pembahasan

Esensi dan Eksistensi Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut (Azra dalam ICCE, 2003) bahwa istilah Pendidikan Kewargaan pada satu sisi identik de
ngan Pendidikan Kewarganegaraan. Namun disisi lain, istilah Pendidikan
Kewargaan secara substantif tidak sajamendidik generasi muda menjadi warga negara yang
cerdas dan sadar
akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meru
pakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesia
pan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan
Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan
Kewarganegaraan.Sejalan dengan itu, (Zamroni dalam ICCE, 2003) berpendapat
bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang
bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi
barubahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang palingmenjamin hak-
hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learningprocess yang tidak dapat begitu saja me
niru dari masyarakat lain.

Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai


demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah
suatuproses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi,
sikap dan perilaku politik sehingga yang
bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political
participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan
bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa. Menurut Soedijarto (dalam ICCE, 2003) mengartikan
Pendidikan Kewarganegaraansebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta
didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta dalam membangun
sistem politik yang
demokratis.Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan keberadaanya secara yuridis
cukup kuat, hal ini dapat dilihat dalam
UUNo. 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menyatakanbahwa kurikulu
m pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki
kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan nation and character building.

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
telah dikeluarkan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan No. 45/U/2002 tentang kurikulum pendidikan
tinggi berbasis kompetensi (KBK), yang dipertegas lagi
dengan Keputusan Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002 tentang rambu-
rambupelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di Perguruan Tinggi.Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan kejelasan hasil
didik sebagai seseorang yang kompeten dalam hal, yakni

(1) menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu,

(2) menguasai penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam bentuk kekaryaan,

(3) menguasai sikap berkarya,

(4) menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupanbermasyarakat dengan pilihan


kekaryaan.Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruantinggi bertujuan
membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dan kebudayaan serta
kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan.

Dalam konteks mata kuliahpengembangan kepribadian kompetensi yang dimaksud merupakan k


emampuan dan kecakapan yang terukur setelah mahasiswa mengikuti proses pembelajaran secar
a keseluruhan yang meliputi kemampuan akademik, sikap dan keterampilan. Dalam pembelajara
nnya minimal mencapai kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal terdiri
atas tiga jenis, yaitu

Pertama,

kecakapan dan kemampuan penguasaanpengetahuan yang terkait dengan materi inti.

Kedua,
kecakapan dan kemampuan sikap.

Ketiga,

kecakapan dan kemampuan


mengartikulasikan keterampilan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebij
akan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan
pemerintahan.Ketiga kompetensi tersebut diartikulasi oleh mahasiswa untuk mengadakan
pembelajaran (transfer of learning), pengalihan nilai (transfer of value) dan pengalihan prinsip-
prinsip (transfer of principles)
pendidikan agama, pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan.Kemampuan mendap
atkan kepercayaan dari rakyat, kemampuan membangun kearifan diri (self wisdom) dalam
menggunakan kepercayaan yang diberikan masyarakat merupakan tuntutan dasar kelompok mata
kuliah pengembangan kepribadian.

Ruang Lingkup Materi dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional


Republik Indonesia No.38/DIKTI/Kep/2002 pada pasal 4 dinyatakan bahwa subsatansi
kajian Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut,

a. Pengantar

- Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar kelompok MPK - Sejarah Pendidikan


Kewarganegaraan.

b. Hak asasi manusia

- Pengakuan atas martabat dan hak-hak yang sama sebagai manusia hidup didunia.

- Penghargaan dan penghormatan atas hak-hak manusia denganperlindungan hukum.

c. Hak dan kewajiban warga negara Indonesia

- Proses berbangsa dan bernegara

- Hak

- Kewajiban

d. Belanegara

- Makna bela negara

- Implementasi bela negara


- Demokrasi

- Demokrasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

e. Wawasan Nusantara

- Latar belakang filosofis wawasan nusantara

- Implementasi wawasan nusantara dalam mewujudkan persatuandan kesatuan bangsa.

f. Ketahanan Nasional

- Konsep ketahanan nasional yang dikembangkan untuk menjamin kelngsungan hidup menuju
kejayaan bangsa dan negara.

- Fungsi ketahanan nasional sebagai kondisi doktrin dan


metodedalam kehidupan dan perdagangan bebas.

g. Politik Strategi Nasional

- Politik dan strategi nasional sebagai politik nasional dan strategi nasional untuk mengantisipasi
perkembangan globalisasi kehidupandan perdagangan bebas.

- Politik nasional sebagai hakikat material politik negara.

- Strategi nasional sebagai hakikat seni dan ilmu politik pembangunan nasional.

Bila dicermati dari substansi kajian Pendidakan Kewarganegaraan


diatas, telah mengarah pada paradigma demokrasi, sekaligus untuk memperkecil anggapan
bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengandung kelemahan. Kelemahan yang
dimaksud sebagaimana yang
dikemukakan oleh Winataputra (1999) bahwa materi pendidikan kewarganegaraan menunjukkan
adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan paradigma, sehingga telah
mengakibatkan ketidak jelasan, baik dalam tataran konseptual maupun tataran praksis.
Kelemahan-kelemahan tersebut, yaitu

(1) kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan

(2) penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moralbehavioristik, terperangkap
pada proses penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif (value inculcation)
(3) ketidakkonsistenan penjabaranberbagai dimensi tujuan pendidikan kewarganegaraan ke dala
m kurikulum pendidikan kewarganegaraan
(4) keterisolasian proses pembelajarandari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial
budaya.

Sejalan denganpendapat di atas, Wahab (1999) mengemukakan beberapa kelemahanpendidikan k


ewarganegaraan di masa yang lalu sebagai berikut:

(1) terlalu menekankan pada aspek nilai moral belaka yang menempatkan siswa

sebagai objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral tertentu

(2) kurang diarahakan pada pemahaman struktur, proses, dan institusi-institusi negara dengan
segala kelengkapannya

(3) pada umumnya bersifat dogmatisdan relatif

(4) berorientasi kepada kepentingan rezim yang berkuasa.

Lebih lanjut untuk menyikapi kelemahan-kelemahan pendidikan kewarganegaraan yang ada


sebelumnya, maka paradigma baru pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi
telah dilihat secara holistik dan kontekstual dalam tataranideal, instrumental dan praksis dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsadan bernegara.

Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan

Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang


menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik, (mahasiswa), dosen, materi, dan
manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan,
palingtidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu paradigma
feodalistik dan paradigma humanistik. Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga
pendidikan (Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan mempersiapkan
peserta didik untuk masa datang. Oleh karena itu, peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempat
kan sebagai objek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-satunya sumber
ilmu kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis. Materi pembelajaran disusun
secara
rigid sehingga memasung kreativitas mahasiswa dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidika
n termasuk manajemen pembelajaran bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam pener
apan strategipembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif dan
otoriter. Sementara itu, paradigma humanistik mendasarkan pada asumsibahwa pesrta didik adala
h manusia yang mempunyai potensi karakteristik yang berbeda-
beda. Karena itu, dalam pandangan ini mahasiswa ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek
pembelajaran, sementara
dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materipembelajaran yang disus
un berdasarkan pada kebutuhan dasar mahasiswa,bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis s
ehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki
relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Bjuga manajemen pendidikan dan
pembelajarannya menekankan
padadimensi desntralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi
pembelajaran yang bervariasi dan
demokratis. Mencermati arah perubahan dan penyempurnaan rambu-rambupelaksanaan mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah ditetapkanoleh Ditjen Dikti di atas, telah
mengindikasikan mempergunakan paradigma humanistik.

Tantangan Global

Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar (barang
dan uang) yang di dalamnya
mengandungbanyak implikasi bagi kehidupan manusia (Khor, 2000). Integrasi dunia diperkiraka
n menimbulkan
efek ganda (multiplier effect) dan diharapkan dapat merangsang perluasan peluang kerja dan peni
ngkatan upah rielse
hingga kemiskinan berkurang. Bagi negara maju dengan ketersediaan dukungan berbagai keungg
ulan (sumber daya manusia dan teknologi) barangkali harapan-
harapan itu dapat menjadi kenyataan. Namun, bagi kebanyakan negara berkembang dengan
berbagai kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan
pemilik modal (negara
maju). Berangkat dari pemikiran itu, Schiller dalam Nasikun (2005) menyatakan bahwa
universitas di negara-negara Dunia Ketiga semakin tidak memiliki kemampuan untuk mencegah
hadirnya paling sedikit tiga ragam perubahan sangat problematik.
Pertama

universitas harus menyaksikan hadirnya dinamika perkembangan masyarakat yang semakin dike
ndalikan oleh “kriteria-kriteria pasar” Sentralitas prinsip-prinsip pasar pada gilirannya telah
menghasilkan terjadinya komodifikasi dan komersialisasi informasi
dan dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh ia menghasilkan
keuntungan.

Kedua

globalisasi teknologi informasi juga


telahdan akan mengakibatkan masyarakat dan ekonomi kita semakin tumbuh menjadi sebuah

“corporate capitalism” yang akan semakin didominasi olehinstitusi-


institusi korporatis di dalam bentuk organisasi oligopolis atau bahkan monopolis.

Ketiga

sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akankita saksikan semakin transparan adalah
meningkatnya kesenjangan kelas (class inequality) yang akan semakin menguasai dinamika
perkembangan masyarakat dan ekonomi kita pada masa mendatang. Tantangan sangat besar
yang harus dijawab oleh setiap universitas
dimasa depan adalah bagaimana misinya itu harus dirumuskan dandidefinisikan kembali dalam b
entuknya yang lebih kontekstual untuk menghadapi tekanan perubahan-perubahan global yang
semakin keras saatini dan di masa depan. Misi
universitas harus dikontekstualisasikan dan direvitalisasi sehingga aktualisasinya melalui tridhar
ma universitas benar-benar memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan perubahan-
perubahan global. Implikasi kelembagaan aktualisasinya menurut Nasikun(2005) adalah sebagai
berikut.

Pertama

pengembangan kurikulum yang dibangun di atas akomodasi perspektif multidisipliner atau


transdisipliner, dimana komposisi mata kuliah memiliki kemampuan yang kuat untuk
mengembangkan dialog antara disiplin ilmu pengetahuan tanpa haruskehilangan fokus perhatian
nya pada pengembangan ilmu sendiri.

Kedua

,dalam penyelenggaraan program studi ilmu sosial dan humaniora, kebijakanyang dimaksud
harus secara jelas didesain untuk membongkar dan mengikismonisme epistemologis, teoretis,
metodologis.

Ketiga

, struktur organisasilembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan harus


dikembangkan.Menyadari akan tantangan perubahan, baik lokal, nasional,
maupunglobal semakin berat, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampumenumbuhkan
sikap mental cerdas, penuh tanggung jawab dari mahasiswauntuk mampu memahami,
menganalisis, serta menjawab berbagai
masalahyang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara secara tepat, rasional,konsisten, berkelanju
tan serta menjadi warga negara yang tahu hak dankewajibannya menguasai iptek serta dapat
menemukan jati dirinya, dan dapatmewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan, dan
berkemanusiaan.Untuk mewujudkan harapan-harapan di atas, langkah konkrit
yangharus dilakukan adalah mengemas dan mengisi kurikulum berbasiskompetensi (KBK) di per
guruan tinggi dengan hal-hal sebagai berikut.

Pertama

, kemampuan-kemampuan berpikir kritis kritis mahasiswa.

Kedua

,kemampuan mengenali dan mendekati maslah sebagai masyarakat global.


Ketiga

, kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormatiperbedaan budaya.

Keempat,

kemampuan menyelesaikan konflik secaradamai.

Kelima,

kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan


pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan.

Keenam

, kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal, nasional, dan internasional

Anda mungkin juga menyukai