Anda di halaman 1dari 49

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pelajaran yang memfokuskan pada

pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan

kewajibannya untuk menjadi warga negara indonesia yang cerdas, trampil, dan

berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2006 : 2).

Dari definisi tersebut PKn mempunyai peran penting untuk membentuk karakter yang

cerdas dan berkepribadian baik didalam menjadi warga negara.

Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 4), mengemukakan

bahwa Citizenship education or civics education dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the


preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens
and in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and
learning) in that preparatory process”

Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan

dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk

mengambil peran dan tanggung jawabnya sabagai warga negara, dan secara khusus,

peran pendidikan termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam

proses penyiapan warga negara tersebut.

Menurut Zamroni dalam Tukiran Taniredja, dkk. (2009 : 3), Pendidikan

Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk

Peranan Pembelajaran Pendidikan..., Wilda Hamisa, FKIP UMP, 2013


10

mempersiapkan warga masyarakat yang berpikir kritis dan bertindak demokratis,

melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi

adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga

masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak begitu saja meniru

dan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu Pendidikan

Kewarganegaraan adalah suatu peroses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan

dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang

bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan

political participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional

dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa.

Sejalan dengan pendapat di atas, Somantri (2001 : 154) mengemukakan

bahwa PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan

dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan

negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang

dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

Oleh karena itu Pendidikan kewarganegaraan merupakan sebuah mata

pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara untuk menjadi warga

negara yang cerdas dan mempunyai karakter sehingga indonesia mempunyai generasi

muda yang bisa bertanggung jawab sebagai warga negara yang bertijuan mempunyai

pemikiran yang kritis dan bertindak demokratis sehingga dapat diandalkan oleh

bangsa dan negara.

Peranan Pembelajaran Pendidikan..., Wilda Hamisa, FKIP UMP, 2013


PKn merupakan mata pelajaran yang dinamis, selalu berkembang mengikuti

perkembangan zaman dengan demikian, substansi dari PKn itu sendiri dipengaruhi

dari berbagai unsur. Berikut ini adalah beberapa unsur yang terkait dengan

pengembangan PKn menurut Somantri (2001 : 158) antara lain:

a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan


pengetahuan ekstraseptif (extraceptiveknowledge) atau antar agama dan
ilmu.
b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.
c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.
d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundemental” Ilmu
Kewarganegaraan.
e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan
negara serta sejarah perjuangan bangsa.
f. Kegiatan dasar manusia.
g. Pengertian pendidikan IPS

Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena

perkembangan PKn akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan

pendidikan IPS. Sehubungan dengan itu, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah

satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan

warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat

dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001 : 159):

“Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin


ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora dan kegiatan dasar
manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah
untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS”

Secara lebih terperinci, berikut ini beberapa faktor yang lebih menjelaskan

mengenai Pendidikan Kewarganegaraan menurut Somantri (2001 : 161) antara lain:

a. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan
pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai
disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama pancasila, UUD
1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan
pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan
dengan bela negara.
b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial,
humaniora, Pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang
diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan.
c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan
PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah serta perguruan tinggi.
d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara
integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan
pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan
ekstraseptif (ilmu), kebudayaan indonesia, tujuan pendidikan nasional,
Pancasila, UUD 1945, GBHN, filsafat pendidikan, psikolgi pendidikan,
pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial humaniora, kemudian
dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan
pendidikan, (ii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.
e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif
warga negara, terutama generasi muda dalam menginternalisasikan nilai-
nilai warga negara yang baik (good citizen) dalam suasana demokratis
dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs)

Pendapat di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya PKn untuk siswa

sebagai generasi penerus, karena PKn menggiring untuk menjadikan siswa sadar akan

politik, sikap demokratis dan sebagai mata pelajaran yang wajib dibelajarkan

disekolah. PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa dalam memilih

seistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan

ditampilkan dalam perilakunya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam pelajaran PKn dalam rangka “nation and character building”

menurut Sholeh (2011) yaitu:

a. PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang di topang berbagai


disiplin ilmu yang releven, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi,
antopologi, psokoliogi dan disiplin ilmu lainnya yang digunakan sebagai
landasan untuk melakukan kajian-kajian terhadap proses pengembangan
konsep, nilai dan perilaku demokrasi warganegara.
b. PKn mengembangkan daya nalar (state of mind) bagi para peserta didik.
Pengembangan karakter bangsa merupakn proses pengembangan
warganegara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. PKn memusatkan
perhatiannya pada pengembangan kecerdasan warga negara (civic
intelegence) sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi.
c. PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pembelajaran
yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan partisipatif dengan
menekankan pelatihan penggunaan logika dan penalaran. Untuk
memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan bahan
pelajaran yang interaktif yang dikemas dalam barbagi paket seperti bahan
belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang digali
dari lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung (hand of
experience)
d. Kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman
sikap dalam perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata
melalui “mengajar demokrasi” (teaching democracy), tetapi melalui model
pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup secara
demokrasi (doing democracy). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan
sebagai alat kendali mutu tetapi juga sebagai alat untuk memberikan
bantuan belajar siswa sehingga lebih dapat berhasil dimasa depan. Evaluasi
dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri
yang lebih berbasis kelas.

2. Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Istilah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia mengalami perkembangan

dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang

lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan

dari waktu ke waktu. Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat

digambarkan sebagai berikut (Somantri, 1975 : 31):

a. Civics (1790)
b. Community Civics (1970, A. W. Dunn)
c. Civic Education (1901, Harold Wilson)
d. Cvics-Citizenship Education (1945, John Mahoney)
e. Cvics-Citizenship Education (1971, NCSS)
Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau singkat dengan PKn atau dengan

istilah yang lainnya (Civics) mulai deperkenalkan di negara Amerika Serikat pada

tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal

dengan “Theory of Americanization”. Penerbitan majalah “The Citizen” dan

“Civics”, pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan “the

science of citizenship – the relation of man, the individual, to man in organied

collections – the individual in his relation to the state, Creshore, Eduction”

(Somantri, 1975 : 31). Penjelasan mengenai Civics mempunyai kesamaan yang sama

yaitu “geoverment”, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Akan tetapi, arti Civics

dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “geoverment” saja, kemudian

dikenal dengan istilah Community Civics, Econimic Civics dan Vocational Civics.

Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970 di pelopori oleh W. A. Dunn

adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari

dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional.

Gerakan “Community Civics” disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu

hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan

lingkungan sosial. Selain gerakan “Community Civics” timbul gerakan civics

education atau banyak disebut sebagai Citizenship Education. Ruang lingkup Civics

Education (Somantri, 1975 : 33), antara lain:

a. Civics Education meliputi seluruh program dari sekolah.


b. Civics Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar,
yang dapat menumbuhkan hidup dan tigkah laku yang lebih baik dalam
masyarakat demokratis.
c. Dalam Civics Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut
pengalaman, kepentingan, masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif
hidup bernegara.

NCSS (Somantri, 1975 : 33) merumuskan mengenai Citizenship Education

sebagai berikut:

“Citizenship Education is a process comprising all the positive influences


which are intented to shape a citizens view to his role in sociaty. It comes
partly from formal schoolng, partly from parental influences and partly from
learning outside the classroom and the home. Trough Citizenship Education,
our youth are helped to gain and understanding of your national ideas, the
common good and the process of self government”.

Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cakupan PKn

lebih luas, karena bahannya selain mencakup program sekolah juga meliputi

pengaruh belajar diluar kelas dan pendidikan di rumah. Selanjutnya, PKn digunakan

untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional atau

tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab

dalam menyelesaikan masalah pribadi masyarakat dan negara. Kuhn (Winataputra

dan Budimansyah, 2007 : 71) mengumumkan bahwa perkembangan istilah Civics dan

Civics Education di Indonesia terjadi pada tahun:

a. Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan


kewargaan negara.
b. Civics (1962), terampil dalam bentuk indoktrinasi politik.
c. Pendidikan kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan
Kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.
d. Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran
konstitusi dan ketetapan MPRS.
e. Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang di identikkan dengan
pengajaran IPS.
f. Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN
dengan isi pembahasan P4.
g. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan
bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil
dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan
P4.

Menurut Malian (2003 : 10) juga mengemukakan perkembangan Pendidikan

Kewarganegaraan. Di Indonesia pelajaran Civics telah dikenal sejak jaman Hindia

Belanda dengan nama “Burgerkunde”. Pada zaman ini ada dua buku yang digunakan

sebagai sumber pelajaran, yaitu: Indische Burgerschapokunde dan Recht en Plicht

(Indische Burgerschapokunde voor ledereen). Pada tahun dalam suasana Indonesia

telah merdeka kedua buku ini menjadi pegangan guru Civics di Sekolah Menengah

Atas. Perjalanan mata pelajaran Civics setelah Indonesia merdeka mengalami

beberapa kali perubahan istilah yang digunakan. Perubahan-perubahan tersebut

sangat berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu dan kurikulum

sekolah yang digunakan. Pada kurikulum 1957 istilah yang digunakan yaitu

Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian pada kurikulum 1961 berubah menjadi

Civics lagi, kemudian pada kurikulum 1968 menjadi Pendidikan Kewargaan Negara

(PKN). Selanjutnya kurikulum 1975 menjadi PMP. Pada kurikulum 1994 berubah

lagi menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).

3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Tujuan pembelajaran PKn pada umumnya berisi berbagai tingkah laku yang

diharapkan terjadi setelah proses pembelajaran berlangsung. Menurut Branson (1999

: 7), tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan tanggung jawab

dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan
nasional. Sedangkan tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006 : 49), adalah

untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:

a. Berfikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu


Kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab, serta bertindak secara
sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia sacara
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn secara umum adalah

untuk mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam

tingkat lingkungan sosial, regional maupun global. Agar tujuan PKn tersebut tidak

hanya bertahan sebagai slogan saja, maka tujuan PKn tersebut harus dirinci menjadi

tujuan kurikuler (Somantri, 1975 : 30) yang meliputi:

a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.


b. Ketrampilan intelektual:
1) Dari ketrampilan yang sedrhana sampai ketrampilan yang kompleks
seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis,
mengsintesiskan, dan menilai;
2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) ketrampilan
bertanya dan mengetahui masalah, (b) ketrampilan merumuskan
hipotesis, (c) ketrampilan mengumpulkan data, (d) ketrampilan
menafsirkan dan menganalisis data, (e) ketrampilan menguji hipotesis,
(f) ketrampilan merumuskan generalisasi, (g) ketrampilan
mengkomunikasikan kesimpulan.
c. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung
soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat
dijabarkan.
d. Ketrampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam
ketrampilan sosial yaitu ketrampilan yang memberikan kemungkinan
kepada siswa untuk secara trampil dapat melakukan dan bersikap cerdas
serta bersahabat dalam kehidupan sehari-hari. Dufty (Numan Somantri,
1975:30) mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak
terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam
merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn. (b)
tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

Tujuan pembelajaran PKn secara umum mempersiapkan generasi bangsa yang

unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan local, regional maupun global.

Sedangkan tujuan PKn menurut Djahiri (1994/1995: 10) adalah sebagai berikut:

a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan


pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu: “Mencerdaskan kehidupan bangsa
yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan katerampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan
iman dan takwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam masyarakat yang
terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan
yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang
mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan
golongan sehingga perbedaan penikiran pendapat ataupun kepentingan
diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung
upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan tujuan PKn di atas bahwa pada hakekatnya dalam setiap tujuan

dibekali kemampuan peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga

Negara, yaitu warga Negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berpikir kritis, rasional dan kreatif, berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat

Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

Sementara itu, trifungsi peran PKn seperti yang diungkapkan oleh Djahiri

(1996 : 19) adalah sebagai berikut:


a. Membina dan membentuk kepribadian atau jati diri manusia Indonesia
yang berjiwa Pancasila dan berkepribadian Indonesia.
b. Membina bangsa Indonesia melek politik, melek hukum dan melek
pembangunan serta melek permasalahan diri, masyarakat, bangsa dan
negara.
c. Membina pembekalan siswa (substansial dan potensi dirinya untuk belajar
lebih lanjut).

Hal tersebut sejalan dengan fungsi pendidikan Kewarganegaraan menurut

Badan Standar Nasional Pendidikan 2006 adalah:

a. Mengembangkan dan melestarikan nilai moral Pancasila secara dinamis


dan terbuka.
b. Mengembangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya sadar politik
dan konstitusi NKRI dan UUD 1945.
c.
d. Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan:
e. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila
sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup Negara RI.
f. Melek konstitusi (UUD 1945) dan hukum yang berlaku dalam Negara RI.
g. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di
atas.
h. Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri
dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

Materi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu bidang studi yang

diajarkan di sekolah, harus mencakup tiga komponen. Menurut Branson (1994: 4),

yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan

kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak kewarganegaraan).

Komponen pertama, civic knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai

apa yang seharusnya diketahui oleh warga Negara” (Branson, 1999: 8). Aspek ini

menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori

atau konsep politik, hukum dan moral. Maka dari itu, mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih rinci, materi

pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab

warga Negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga

pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum

(Rule of Law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-

nilai dan norma-noma dalam masyarakat.

Kedua, aspek kompetensi ketrampilan kewarganegaraan atau Civic Skills yang

meliputi keterampilan intelektual (intellectual skills) Contoh keterampilan intelektual

yaitu keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya berdialog

dengan para pejabat Negara dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills)

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah

keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum.

Ketiga, aspek kompetensi watak atau karakter kewarganegaraan atau Civic

Disposition (watak-watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya

merupakan dimensi yang paling substantive dan esensial dalam mata pelajaran PKn.

Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai “muara” dari

pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan

tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan

penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.

Berdasarkan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahwa kurukulum untuk jenis

pendidikan umum, pada jenjang pendidikan menengah, terdiri atas lima kelompok
mata pelajaran. PKn termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan

Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini di maksudkan untuk peningkatan

kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta peningkatan kualitas

dirinya sebagai manusia.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di maksudkan untuk membentuk

peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

didalam penjelasan pasal 37 ayat (1) UUD Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem

Pendidikan Nasional.

5. Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan

Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan

terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan

tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan

demikian, sekolah atau daerah mempunyai cukup kewenangan untuk merancang dan

menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil pembelajaran.

Untuk itu, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh daerah karena sebagian

besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan

dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun kurikulum tingkat

satuan pendidikan (KTSP) atau silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan

penyesuaian Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Kurikulum tingkat satuan

pendidikan (KTSP) adalah kurukulum operasional yang disusun dan dilaksanakan


oleh masing-masing satuan pendidikan. Dalam Peraturan pemerintah Nomor 19

Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:

a. Kurukulum dan silabus SD/MI/SLB/Paket A, atau bentuk lain yang


sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca
dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal
6 ayat 6).
b. Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah,
mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di
bawah supervise Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan untuk TK, SMP, SMA, dan SMK,
serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama
untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 Ayat 2).
c. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan
pembelajaran,materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan
penilaian hasil belajar (Pasal 20).

Oleh karenanya, diharapkan dari masing-masing satuan pendidikan harus

menyusun KTSP atau silabusnya terlebih dahulu dengan melakukan penjabaran yang

sesuai dengan bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk

dalam pembelajaran PKn. Dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2005 tentang Standar Naasional Pendidikan. Ruang lingkup mata pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Winataputra,

2007: 103):

a. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan,


cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah pemuda,
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partsisipasi dalam
pembelaan Negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Negara
Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan,yang meliputi: Tertib dalam kehidupan
keluarga, tatatertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat,
peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan
internasional.
c. Hak asasi manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban
anggota masyarakat, instrument nasional dan internasional HAM,
pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d. Kebutuhan warga Negara, melipiti: Hidup gotong royong, harga diri
sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri,
persamaan kedudukan warga Negara.
e. Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang
pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia,
hubungan dasar Negara dengan konstitusi.
f. Kekuasaan dan politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem
politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani,
sistem pemerintahan, prs dalam masyarakat demokrasi.
g. Pancasila, meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara dan
ideology Negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar Negara,
pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila
sebagai ideologi terbuka.
h. Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, politik luar negari
Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional
dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

B. Hakikat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

1. Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang memiliki komponen komponen

yang mempengaruhi keberhasilan belajar. Menurut Sanjaya,(2010:58), komponen-

komponen tersebut adalah tujuan, materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran,

media dan evaluasi. Komponen-komponen tersebut diatas jika dilaksanakan dengan baik

dan sitematis, maka proses pembelajaran menjadi terarah dan fokus pada target yang

akan dituju serta diharapkan meningkatkan motiavasi pendidik maupun peserta didik

dalam proses belajar mengajar.


Prinsip dasar pembelajaran PKn mengacu pada sejumlah prinsip dasar

pembelajaran. Menurut Budimansyah (2002: 8) prinsip-prinsip pembelajaran tersebut

adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar

kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang

reaktif (reactive learning). Keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut

(Budimansyah, 2002: 8-13).

a) Prinsip Belajar Siswa Aktif

Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hamper di

seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan

lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktifitas siswa terlihat pada

saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain

storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya,

tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul,

siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

Dalam fase kegiatan lapangan, aktifitas siswa lebih tampak. Dengan

berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuisioner, dan lain-

lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk

menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi

data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat

kliping, bahkan ada kalanya mengabadikan peristiwa penting dalan video.

b) Kelopok Belajar Kooperatif


Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif,

yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud

adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah,

termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait.

Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah

untuk bahan kajian bersama.

Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga seringkali harus

dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan

data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya

dengan jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang

diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam limgkup

kecil dan sederhana. hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihal keluarga.

orang tua perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak

terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu.

Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah

dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

Kerjasama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa

merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan

yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas

peparkiran, mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui

kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak

pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya.


Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala

sekolah selaku penanggungjawab kegiatan sekolah.

c) Pembelajaran Partisipatorik

Selain prinsip pembelajaran di atas, PKn juga menganut prinsip dasar

pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil

melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa

belajar hidup berdemokrasi. Sebab dalam tiap langkah model ini memiliki

makna yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi.

Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih

makna bahwa siswa dapat mengahargai dan menerima pendapat yang didukung

suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar

mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan

kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin.

Proses ini mendukung Adagium yang menyatakan bahwa democracy is not in

heredity but learning (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan

dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang

demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat

dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus

menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

d) Mengajar yang reaktif

Dalam prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru menciptakan

strategi agar murid mempunyai motivasi belajar. Oleh karena itu guru
memahani situasi sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan,

guru harus mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah

kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa, jika hal ini terjadi maka

guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang

reaktif itu. Ciri guru yang reaktif itu diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

2. Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan

dipahami siswa.

3. Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan

membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan

berguna bagi kehidupan siswa.

4. Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat

siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.

Menurut Samana (1994: 30) beliau menjelaskan bahwa guru professional

dituntut memiliki 10 hal, yaitu:

1) Menguasai bahan ajar.


2) Mampu mengelola program belajar mengajar.
3) Mampu mengelola kelas.
4) Mampu menggunakan media dan sumber pengajaran.
5) Menguasai landasan-landasan kependidikan.
6) Mampu mengelola interaksi belajar mengajar.
7) Mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran.
8) Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
9) Mengenal dan mampu ikut menyelenggarakan administrasi sekolah.
10) Memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan
hasil-hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan pengajaran.
2. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Strategi merupakan kupulan sebuah metode atau cara dalam mencapai sesuatu

atau dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan metoda merupakan kumpulan sebuah

teknik, dan teknik adalah taktik atau cara kerja. Pendekatan (approach) adalah

pola/dasarberpikir atau kerangka berpikir dalam

menghadapi/menyelesaikan/mengerjakan sesuatu. Tentu saja pendekatan seseorang

akan menentukan strateginya, dan metoda serta teknik kerja akan ditentukan oleh

pilihan strategi orang tersebut (Djahiri, 1985 : 28).

Sedang menurut Sudjana (1989 : 147), atrategi mengajar adalah “tindakan guru

melaksanakan rencana mengajar, artinya usaha guru dalam menggunakan beberapa

variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat, serta evaluasi) agar dapat

mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Dengan demikian,

strategi mengajar pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau praktek guru

melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan lebih

efisien.

Dari pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa strategi pembelajaran

merupakan cara-cara, ilmu, maupun rencana pembelajaran akan dilakukan oleg

pengajar dalam proses belajar mengajarnya untuk mencapai tujuan pembelajaran

dengan baik dan maksimal.

Djahiri (CICED, 1999:6) mengemukakan strategi pembelajaran yang

hendaknya dilakukan guru adalah sebagai berikut:


a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material (tata dan

aksesoris kelas/sekolah), kondisional (suasana proses KBM) maupun

personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan).

b. Membiasakan/membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai

di kelas, sekolah, rumah dan lingkungan belajar.

c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk

kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya.

Strategi yang seperti itu dilaksanakan melalui berbagai metode seperti ceramah

bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving), bermain

peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya.

3. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses

pembelajaran (Djamarah dan zain, 2002: 50). Guru mempunyai tugas yang penting

dalam menembangkan dan memperkaya meteri pembelajaran, karena hal tersebut

merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.

ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran,

yaitu:

1) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin


dicapai.
2) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan
siswa pada umumnya.
3) Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan
berkesinambungan.
4) Meteri pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual
maupun kontekstual (Djamarah dan Zain, 2002: 51).
Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus berdasarkan

pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dibelajarkan harus bermakna bagi

siswa dan merupakan hal yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang

ingin dicapai maupum fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran

selanjutnya.

4. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran menurut Riyanto (Tukiran Taniredja, dkk. 2011 : 1)

adalah “seperangkat komponen yang telah dikombinasikan secara optimal untuk

kualitas pembelajaran”. Sedangkan Djahiri (1985: 28) mengungkapkan bahwa

metode “adalah sejumlah teknik adalah taktik atau cara kerja”, Akhmad Sudrajad

(2008) juga memberikan pengertian bahwa “metode pembelajaran sebagai cara yang

digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk

kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa

metode dalam pembelajaran PKn yang dikemukakan Djahiri (1985: 36), antara lain:

a) Ceramah (lecturing)

Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah,

sehingga tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus

dibuang. Akan tetapi, yang harus dihindari adalah penggunaan metode

ceramah selama satu jam pelajaran penuh terus menerus dengan memakai

pola ceramah murni yang naratif, monoton dan bersifat normatif imperatif.

Beberapa keunggulan dari metode ceramah, antara lain:


1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah

(lepas dari benar-salah).

2) Merupakan kiprah umum bahkan “membudaya” di kalangan

perguruan/sekolah.

3) Bersifat praktis, mudah, murah dan cepat menyampaikan

substansi sehingga target waktu bisa dikejar.

4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya

bahan.

5) Tidak membutuhkan persiapan pengembangan media.

6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasi isi atau pesan dalam

bahasa yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu

diungkap secara verbal.

7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga.

8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki.

9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metode ini

adalah:

a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain.

b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan bicara.

10) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau belum

diungkap sumber atau pihak lain.

Sedangkan kelebihan metode ceramah menurut Taniredja, dkk (2011:

45) adalah:
1) Cepat untuk menyampaikan informasi.

2) Dapat menyampaikan informasi dalam jumlah banyak dengan

waktu singkat kepada sejumlah besar pendengar

Kelemahan metode ceramah antara lain:

1) Bisa menimbulkan pembelajaran yang tidak sistematis.

2) Karena adanya keterbatasan daya dengar manusia, maka dapat

menyebabkan pembelajaran yang melelahkan, membosankan

dan mengantuk.

3) “Melanggar” kemampuan daya belajar manusia, karena tidak

semua siswa mampu menyimak dan menangkap „pesan lisan‟

serta menulisnya dengan cepat.

4) Kecepatan dan intonasi suara guru yang tidak teratur

menyebabkan hilangnya kesempatan siswa untuk berpikir,

bereaksi dan berekspresi.

5) Ceramah murni yang menyamaratakan semua siswa adalah salah

satu penyebab lahirnya ketimpangan daya serap siswa.

b) Ekspositorik

Ekspositorik berasal dari kata „ekspose‟ yang berarti

menunjukkan, memperagakan dan atau memperlihatkan. Metode belajar

ekspositori adalah metode belajar yang memperagakan sesuatu untuk

menciptakan KBM yang terarah dan terkendali menuju target sasaran guru

atau pengajar.
c) Metode Pengajaran Konsep (teaching konsep)

Sebelum menggunakan metode pengajaran konsep, seorang pengajar

terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. Djahiri

(1995/1996) mengungkapkan bahwa:

1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik-non

fisik, materiil-immateriil, dan personal-kondisional.

2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk

kepada suatu konsep.

3) Konsep adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian

sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi pesan dan

atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, konsep merupakan

sesuatu yang memiliki cirri esensial tertentu.

d) Metode Tanya Jawab

Metode Tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi,

karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa.

e) Partisipatori

Partisipatori sebagai metode dalam kegiatan belajar mengajar,

membelajarkan siswa mengenai kehidupan atau kegiatan nyata ataupun

yang simulatif. Sarana untuk berpartisipatorik adalah kehidupan keluarga

atau masyarakat, instansi kedinasan atau kemasyarakatan, laboratorium,

atau pusat modeling. Jenis partisipatorik antara lain studi lapangan,

kegiatan bakti social, magang, modeling atau simulasi, dan studi proyek.
f) Diskusi dan Kelompok Belajar

Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar yakni

demokratis. Metode diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang

serta tidak ada dominasi seseorang, memiliki indicator CBSA yang tinggi

karena meminta daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang

dilontarkan atau tanggapan dan sanggahan terhadap orang lain. Djahiri

(1995/1996: 53) mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar

siswa dialogistik sacara intra potensi diri antar potensi orang lain serta

potensi dunia keilmuan dan kehidupan

Ciri esensial dari diskusi antara lain:

1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif

dengan afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan

orang lain atau dengan dunia nyata serta keilmuan.

2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat,

berargumentasi yang benar dan memiliki landasan), ada proses

bereproduksi dan berekspresi.

3) Adanya arahan inkuiri/mencari/meneliti dan mendapatkansesuatu.

4) Adanya proses sosialisasi diri.

Bentuk-bentuk diskusi menurut Djahiri (1995/1996, 58) antara lain:

1) Diskusi kelas
2) Diskusi kelompok
3) Diskusi panel
4) Seminar
5) Lokakarya
6) Diskusi penjaring

Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan

kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur. Djahiri (1995/1996:

20) mengemukakan bahwa “kelompok belajar yang sesuai dengan

pembelajaran PKn adalah kelompok belajar kooperatif”.

Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok

belajar dan pola kegiatan kooperatif. Kooperatif di sini ialah kebersamaan

kebersamaan dan kesetiakawanan social yang tinggi. Kelompok belajar

kooperatif merupakan kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan

yang sehat, artinya tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis.

g) MetodeInkuiri dan Pemecahan masalah

Kedua metode ini pada dasarnya sama, tetapi dalam metode pemecahan

masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif pemecahan/keputusan,

sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan yang terbaik.

Keunggulan kedua metode ini menurut Djahiri (1995/1996: 58) antara lain:

1) Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar.


2) Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata.
3) Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas.
4) Mensosialisasikan siswa .
5) Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar.

Jenis inkuiri ini adalah inkuiri sederhana, lengkap dan nilai. Inkuiri sederhana

tidak memerlukan keseluruhan proses dilaksanakan, hanya hakekat dasarnya saja

yakni mengkaji, mencari, dan menentukan pilihan. Inkuiri yang lengkap merupakan
metode khusus yang langkah dan prosesnya telah baku, sedangkan inkuiri nilai adalah

pola inkuiri sederhana yang focus substansinya pada nilai moral.

5. Media Pembelajaran

Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari

kata “medium”, yang secara harifah berarti “perantara atau pengantar”. Dengan

demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan

(Djamarah dan Zain, 2010 : 120).

Sedangkan media pembelajaran menurut Shofyan (2010) merupakan “segala

sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat merangsang pikiran,

perasaan, minat dan perhatian siswa sehingga proses interaksi komunikasi eduksi

antara guru (atau pembuat media) dan siswa dapat berlangsung secara tepat dan

berdayaguna‟‟.

Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri

(1995/1996: 31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat di

mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti buku,

perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata, dan lain-lain. Sedangkan media

pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.

Djahiri (1995/1996) mengemukakan bahwa dengan adanya media

pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

1) Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil


Belajar Real.
2) Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru
interaktif-reaktif.
3) Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik.
4) Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan
keberhasilan pengajaran.
5) meningkatkan proses KBM secara efektif, efisien dan optimal.
6) Menyegarkan KBM.

Jenis dan bentuk media yang ditemukan oleh Djamarah dan Zain (2010 : 124

– 126) antara lain:

a. Dilihat dari Jenisnya, Media dibagi


kedalam: 1). Media Auditif
Media Auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan
suara saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam. Media ini
tidak cocok untuk orang tuli atau yang mempunyai kelainan
pedengaran.
2). Media Visual
Media Visual adalah media yang hanya mengandalkan indera
penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam
seperti film strip (film rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar
atau lukisan, dan cetakan. Adapula media visual yang menampilkan
gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, dan film kartun.
3). Media Audiovisual
Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan
unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih
baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua.

Media ini dibagi kedalam:


a) Audiovisual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan
gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides), film
rangkai suara, dan cetak suara.
b) Audiovisual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan
unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan
video-cassatte.

Pembagian lain dari media ini adalah:


a) Audiovisual murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur
gambar berasal dari satu sumber seperti film video-cassatte,
dan
b) Audiovisual tidak murni, yaitu yang unsur suara dan unsur
gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film
bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slides
projector dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder.
Contoh lainnya adalah film strip suara dan cetak
b. Dilihat dari Daya Liputnya, Media dibagi dalam:
1) Media dengan Daya Liput Luas dan Serentak
Penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta
dapat menjangkau jumlah anak didik yang banyak dalam waktu
yang sama.Contoh: radio dan televisi.
2) Batas oleh Ruang Media dengan Daya Liput yang Terbatas oleh
Ruang dan Tempat.
Media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat
yang khusus seperti film, sound slide, film rangkai yang harus
menggunakan tempat yang tertutup dan gelap.
3) Media untuk Pengajaran Individual
Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri. Yang termasuk
media ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui
komputer.
c. Dilihat dari bahasa Pembuatannya, media dibagi dalam:
1) Media Sederhana
Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah,
cara pembuatnnya mudah dan penggunaannya tidak sulit.
2) Media Kompleks
Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit
diperoleh dan mahal harganya, sulit membuatnya sulit diperoleh
serta mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaannya
memerlukan ketrampilan yang memadahi.

Penggunaan media ini harusnya menjadi pertimbangan guru ketika akan

memilih dan menggunakan media yang tepat untuk digunakan dalam pengajaran.

6. Sumber Belajar

Menurut Winataputra dan Ardiwinata (Djamarah dan Zain, 2010 : 48) sumber

belajar adalah sebagai “sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana

bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang”. Dengan demikian,

sumber belajar juga diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan sekitar, benda,

dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai wahana peserta didik

untuk melakukan proses perubahan tingkah laku.


Roestiyah (Djamarah dan Zain, 2010: 48-49) mengatakan bahwa sumber-

sumber belajar itu adalah:

a. Manusia ( dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat).

b. Buku/Perpustakaan.

c. Media Massa (majalah, surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain).

d. Dalam Lingkungan.

e. Alat pengajaran ( buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis,

kapur, spidol dan lain-lain).

f. Museum ( tempat penyimpanan benda-benda kuno).

Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik maupun guru

apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan

seseorang dapat memanfaatkan sumber belajar.

7. Evaluasi Pembelajaran

Menurut Wand and Brown (Djamarah dan Zain, 2010: 50), evaluasi adalah

suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Berkaitan

dengan evaluasi pembelajaran, evaluasi dilakuakn pada kegiatan akhir dalam bentuk

refleksi dan praktek pembelajaran.Dalam mengevaluasi pembelajaran guru sebaiknya

mengadakan berbagai macam penilaian.Mulai dari ulangan harian, ulangan tengah

semester dan ulangan akhir semester.

Pasaribu dan Simanjuntak (Djamarah dan Zain, 2010 : 50-51), menegaskan

bahwa tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi yaitu:

a. Tujuan umum dari evaluasi adalah:


1) Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam
mencapai tujuan yang diharapkan.
2) Memungkinkan pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat.
3) Menilai metode mengajar yang dipergunakan.
b. Tujuan khusus dari evaluasi adalah:
1) Merangsang kegiatan siswa
2) Menemukan sebab-sebab kemajuan atau kegagalan
3) Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan
dan bakat siswa yang bersangkutan.

C. Hakikat Sikap Nasionalisme

1. Definisi Nasionalisme

Nasionalisme merupakan salah satu nilai luhur yang terkandung dalam

Pembukaan UUD 1945 dan pancasila yang perlu diwariskan kepada generasi penerus

termasuk para siswa di sekolah. Sebagaimana pengertian nasionalisme menurut Hans

Kohn (1984 : 11) yaitu:

“Suatu paham yang berpendapat behwa kesetiaan tertingi individu harus


diserahkan kepada negara kebangsaan atau nation-state. Perasaan yang
sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah
darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat, dan penguasa-penguasa resmi
daerahnya selalu ada disepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-
beda”.

Sedangkan Beik dan Lafore (Alfian, 1998 : 29) mengmukakan bahwa

nasionalisme adalah loyalitas yang tinggi terhadap kesadaran akan adanya

karakterisik atau kesamaan-kesamaan nasional. Cipto (2002 : 116) juga

mengemukaakan bahwa nasionalisme berarti menyatakan suatu afinitas kelompok


yang didasarkan atas bangsa, budaya, keturunan bersama, dan terkandung kepada

agama dan wilayah bersama pula; terhadap semua pengakuan lain atas loyalitas

seseorang sebagai doktrin politik, nasionalisme memberi basis dan pembenaran

ideologis bagi bangsa dunia untuk mengorganisasikan dirinya sendiri kedalam

entitas-entitas yang bebas atau otonom. Etnis-etnis ini sebagian besar mengambil

bentuk negara nasional merdeka, walaupun terdapat contoh dimana beberapa bentuk

otonom kedaerahan atau kultural juga dilembagakan.

Sikap nasionalisme ini tidak terbentuk begitu saja, tetapi ada faktor-faktor

yang mampengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor intern dan ekstern.

Sarwono (1999 : 235) mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi

pembentukan sikap seseorang, yaitu karena adanya:

1. Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri
seperti minat, perhatian dan sebagainya. Dari faktor-faktor inilah sikap
seseorang terbentuk, baik yang melahirkan sikap positif ataupun negatif.
2. Faktor eksten yaitu faktor yang berasal dari luar individu, yakni sebagai
stimulus yang datangnya dari luar baik yang berhubungan secara
langsung ataupun tidak langsung.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap tidak terbentuk

dengan sendirinya tetapi pembentukan sikap ini terbentuk karena individu itu sendiri

dan pengaruh lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya

sikap tersebut.

Menurut Sarwono (1999 : 252) mengemukakan bahwa “pembentukan sikap

tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses tertentu yaitu melalui kontak sosial

terus menerus antara individu dengan individu-individu lain disekitarnya”. Selain


terbentuk oleh pengalaman-pengalaman atau peristiwa-peristiwa yang dialami

individu, sikap juga dapat dibentuk melalui prasangka, yakni semacam pendapat

negatif perihal sesuatu tanpa memperhatikan kenyataan. Sarwono (1999 :267)

mengungkapkan bahwa:

“Prasangka adalah penilaian terhadap sesuatu hal berdasarkan fakta dan


informasi yang tidak lengkap, jadi sebelum orang mengetahui benar
tentang sesuatu hal, ia sudah menetapkan pendapatnya mengenai hal
tersebut dan atas dasar itu ia membentuk sikapnya”.

Hobsbawn (2001 : 106) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang membentuk

nasionalisme adalah faktor obyektif dan faktor subyektif. Yang termasuk faktor

obyektif adalah bahasa, warna kulit, kebudayaan, adat, agama, wilayah,

kewarganegaraan dan ras. Sedangkan faktor subyektif dari nasionalisme adalah cita-

cita, semangat, dan kinginan. Dalam arti timbulnya rasa kesadaran nasional pada

bangsa itu sesuai dengan tujuan utamanya adalah terwujudnya negara nasional.

Tidak jauh berbeda dengan yang di ungkapkan oleh Kartaprawira (2002) yang

menyebutkan bahwa substansi nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur.

Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri

atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia

dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Insonesia.

Semangat dari dua substitansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam

Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD

1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemedekaan dengan jelas dinyatakan “atas

nama bangsa Indonesia” sedangkan Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan,
“segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak

sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya

telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan

kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme

Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang

berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik,

suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan

perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan

diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno.

Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi

perjuangan trsebut. Berdirnya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti

bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tetapi

hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar

bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang

tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun (Kartaprawira,

2002).

Sartono (1999 : 58) mengungkapkan, tidak dapat disangkal bahwaa di negeri-

negeri Asia pada zaman modern, nasionalisme meripaka hasil yang paling penting

dari pengaruh kekuasaan Barat. Tentu saja nasionalisme di negeri-negeri Asia dan

khususnya di Indonesia tidak dapat disamakan dengan di Barat, karena ia merupakan

suatu gejala historis yang telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik,
ekonomi, dan sosial khususnya yang ditimbulkan oleh situasi kolonial. Hal yang

esensial bahwa nasionalisme dan kolonialisme itu tidak terlepas satu sama lain, dan

terasa juga adanya pengaruh timbal balik antara nasionalisme yang sedang

berkembang dan politik kolonial dengan ideologinya, yang menganggap bahwa

peradaban barat itu lebih tinggi dan berbeda sama sekali dengan kebudayaan Timur.

Sartono (1999 : 81 – 82) menyebutkan bahwa sebagai dampak perkembangan

pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan

status baru sesuai dengan diferesiansi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi

dan pemerintah. Sekaligus juga tercipta golongan profesional yang sebagai golongan

sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut stratifikasi sosial masyarakat

tradisional. Golongan profesional (kaum intelektual) inilah yang posisi sosialnya

memungkinkan mereka berfungsi sebagai protagonis modernisasi pada umumnya dan

sebagai perintis nasionalisme khususnya. Sebagai generasi pertama yang menuntut

pelajaran sistem barat, mereka tidak hanya menyerap pengetahuan dari texbook

berbagai bidang pengetahuan, tetapi juga mengalami pendidikan formal yang

memolakan sikap baru yang mencakup sisiplin sosial, pemikiran rasional, gaya hidup

menurut jadwal waktu, dan nilai-nilai lainnya. Pendidikan Barat telah mengakibatkan

suatu kesadaran yang masuk kedalam, terutama kaum pemuda atau intelektual.

Pendidikan barat sangat menunjol sewaktu, misalnya tahun 1925

Perhimpunan Indonesia menjelaskan sendiri bahwa studi dari sejarah oleh pemuda

Indonesia memperkenalan perjuangan nasional dari beberapa wilayah dalam sejarah


dan membuat kaum intelektual Indonesia berpikir mengenai masa depan Indonesia

yang dijajah belanda (Dhont, 2005 : 90 – 91). Golongan menengah inilah yang

menurut Wertheim (1999 : 261) nasionalismenya lebih konsisten, baik dikalangan

kelompok-kelompok kecil pedagang maupun dikalangan kelas intelektual yang

bekerja dalam bidang pemerintahan dan berbagai kelas usaha Barat. Mereka adalah

kelompok perkotaan yang bersaing dalam bidang sosial dan ekonomi dengan kelas

atas dengan berbagai kelompok yang sudah mengkonsolidasikan diri mereka dalam

berbagai fungsi. Perjuangan kompetitif mereka dengan mudah memperlihatkan

bentuk nasionalisme karena kelompok yang mereka serang, orang Cina dan Eropa,

sebagaian besar berasal dari luar dan menekankan karakteristik tersendiri dalam

tingkah laku sosial mereka

Tinjauan sejarah sosial-kultural dapat juga memperlihatkan bahwa kekuatan

daya dorong nasionalisme, yang dilahirkan dalam suasana kebudayaan bazar dari

“komunitas orang-orang asing” akhirnya menciptakan sebuah komunitas bangsa.

Inilah “komunitas yang dibayangkan” oleh “para perantau” yang pernah secara

konseptual menjadi penghuni “komunitas orang-orang asing”. Jadi dapat dilihat

bahwa proses pembentukan bangsa dan negara Indonesia adalah sebagai pergumulan

munculnya nasionalisme yang lain membentuk sebuah bangsa dalam wadah negara

yang berdaulat (Abdullah, 2001, 66 – 67).

Menurut Kahin (1995 : 175), nasionalisme Indonesia melahirkan Pancasila

sebagai ideologi negara. Perjuangan yang lama untuk mencapai kemerdekaan kini

telah terwujud. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebagai puncak


perjuangan, dan sekaligus pertanda bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara

yang berdaulat, merdeka, dan mandiri. Untuk memperkuat itu semua, disahkanlah

Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus, yang menjadi simbol

kekuasaan besar yang revolusioner yang mengandung persamaan dan persaudaraan,

suatu tanda hari cerah setelah digulingkannya kesatuan asing. Demikian pula dengan

disahkannya UUD 1945, semangat dan jiwa Proklamasi yaitu Pancasila, memperoleh

bentuk dan dasar hukumnya yang resmi sebagai dasar falsafah Negara Republik

Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara itu, dalam perkembangan sebuah bangsa, nasionalisme menjadi

dasar dan kekuatan suatu bangsa dalam membangun negara dan bangsanya. Istilah ini

sering disebut sebagai nation building. Nation building pada dasarnya merupakan

sebuah proses terus menerus menuju terciptanya sebuah negara dalam melaksanakan

tugas-tugasnya atas dasar ideologinya. Setelah kemerdekaan Indonesia, nasionalisme

tetap berfungsi dalam nation building. Dalam proses itu, kebudayaan nasional,

kepribadian dan identitas nasional, kesadaran nasional semuanya perlu dibudayakan.

Untuk keperluan itu diperlukan upaya-upaya untuk menimbulkan kesadaran nasional

serta memantapkan simbol identitasnya. Demikian halnya setelah pengakuan

Kedaulatan Indonesia, proses nation building bergulir untuk terus menerus

menciptakan Indonesia yang utuh. Penolakan terhadap federasi, pertentangan ideologi

pancasila versus Komunisme dan kemudian masalah posisi militer dalam kehidupan
negara merupakan bagian dari proses nation building tersebut (Simatupang, 1980 : 18

– 23).

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau

gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis,

budaya, keagamaan dan ideologi. Katagori tersebut lazimnya berkaitan dan

kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian atau semua elemen

tersebut. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan

ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan seperti

yang diungkapkan Muhamads Yani (2011) yang mengemukakan beberapa bentuk-

bentuk nasionalisme yaitu sebagai berikut:

1. Nasionalisme Kewarganegaraan ( atau nasionalisme sipil) adalah


sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik
dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan
politik”.
2. Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara
memperolah kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah
masyrakat.
3. Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik,
nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis
dimana negara memperoleh kebanaran politik secara semulajadi
(“organik”) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme
nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya
etnis yang menapati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah
direka untuk konsep nasionalisme romantik.
4. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara
memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya
“sifat keturunan” seperti warna kulit, ras dan sebagainya.
5. Nasionalisme Kenegaraan iallah variasi nasionalisme
kewarganegaraan yang selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis.
Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan
mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu
selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi.
Penyelenggaraan sebuah „national state‟ adalah suatu argumen
yang
ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan
tersendiri.
6. Nasionalisme Agama ialah jenis nasionalisme dimana negara
memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun
begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan
nasionalisme keagamaan.

2. Sikap Nasionalisme Siswa Sekolah Menengah Pertama

Yanto (2012) mengemukakan Dalam upaya menumbuhkan sikap

nasionalisme pada siswa, harus juga dibarengi dengan upaya memahami Pancasila

yang mengandung nilai – nilai luhur Bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan

dasar dan pedoman hidup Bangsa Indonesia mengandung nilai – nilai nasionalisme

yang harus terus ditanamkan pada diri siswa sebagai generasi penerus bangsa.

Dengan memahami Pancasila baik sejarahnya, maupun maknanya maka akan tumbuh

sikap nasionalisme dalam dirinya.

Santoso (2007 : 16) mengungkapkan, berikut ini adalah beberapa karakteristik

atau nilai-nilai yang terkandung dalam sikap nasionalisme (Indonesia) yaitu:

1. Menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan


pribadi dan golongan,
2. Sanggup atau rela berkorban untuk bangsa dan negara,
3. Mencintai tanah air dan bangsa,
4. Bangga berbangsa dan bernegara Indonesia,
5. Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan berdasarkan prinsip Bhineka
Tunggal Ika,
6. Memajukan pergaulan untuk meningkatkan persatuan bangsa dan
negara.

Menurut Piaget (Respati : 2012) mengemukakan penahapan dalam

perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu :

a. Periode Sensori motor (0-2,0 tahun)


Pada periode ini tingksh laku anak bersifat motorik dan anak
menggunakan system penginderaan untuk mengenal lingkungannya untu
mengenal obyek. Misalnya Bayi berkembang dengan cara merespon
kejadian dengan gerak refleks atau ‟pola kesiapan‟. Mereka belajar
melihat diri mereka sebagai bagian dari objek yang ada di lingkungan.
b. Periode Pra operasional (2-7 tahun)
Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau
mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan
simbolisasi.
c. Periode konkret (7-11 tahun)
Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran
anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu
memecahkan masalah secara logis.
d. Periode operasi formal (11-dewasa)
Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur
kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah
hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah
dan dapat menerima pandangan orang lain.

Piaget mengemukakan (Respati : 2012) bahwa ada 4 aspek yang besar yang

ada hubungnnya dengan perkembangan kognitif :

a. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembangan dari susunan


syaraf.
b. Pengalaman fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-
benda dan stimulus-stimulusdalam lingkungan tempat ia beraksi
terhadap benda-benda itu.
c. Interaksi social, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu
d. Keseimbangan, adalah suatu system pengaturan sendiri yang bekerja
untuk menyelesaikan peranan pendewasaan, penglaman fisis, dan
interksi social

Dapat disimpulkan bahwa kriteria anak SMP yang berkisar pada umur 11-

dewasa, berada padaperiode operasiformalyang merupakan tingkat puncak

perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis

masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan

dapat menerima pandangan orang lain. Maka untuk penanaman sikap nasionalisme
pada siswa SMP dengan menanamkan sikap nasionalisme yang sesuai dengan siswa

SMP.

Menurut Yanto (2012) sikap nasionalisme siswa adalah merespon atas hal-hal

yang berkaitan dengan kebangsaan dan kebanggan menjadi anak negeri Indonesia

sebagai pelajar atau siswa yang melakukan aktifitas belajar di lingkungan sekolah

ataupun di rumah. dengan demikian sikap nasionalisme siswa adalah ketaatan atau

kepatuhan dari siswa kepada aturan, tata tertib atau norma di sekolah yang berkaitan

dengan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara bersungguh-sungguh atau

dengan semangat kebangsaan siswa didorong dalam belajar dan pembelajaran yang

dilakukan warga sekolah.

D. Hakikat Globalisasi

1. Definisi Globalisasi

Globalisasi sering dipahami sebagai fenomena ekonomi belaka, padahal

sesungguhnya cakupan fenomena ini jauh lebih luas. Hurrel dan Woods (dalam

Setiyono, 2012: 125) mengemukakan bahwa globalization is the process of

increasing interdependence and global enmeshment which occurs as money, people,

images, values, and ideas flow ever swiftly and smoothly across natonal

boundaries(globalisasi adalah proses meningkatnya ketergantungan dan keterkaitan

global yang terjadi karena intensitas aliran uang, manusia, persepsi, nilai, dan

pemikiran terjadi semakin intensif melewati batas-batas nasional semua bangsa).

Sedangkan Muhammad „Abid Al-jabiri (Yusuf, 2001:32)mendefinisikan

globalisasi yang berasal dari bahasa Perancis “monodialisation” yang berarti


“menjadi sesuatu berskala internasional”, yakni memindahkannya dari sesuatu yang

terbatas dan terdeteksi ke tanpa batas dan tak terdeteksi. Proses ini berkembang

karena kemajuan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang melintasi

batas-batas geografis secara meluas. Pada mulanya merupakan proses ekonomi

sebagai kelanjutan dari transnasionalisasi, kemudian berkembang menjadi proses

globalisasi hamper dalam segenap bidang kehidupan yang menyertai lahirnya era

baru revolusi, informasi dan komunikasi.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah

proses menuju sistem kehidupan yang lebih global, terbuka secara luas dalam

berbagai aspek dan segi kehidupan manusia. Baik di bidang ekonomi, sosial budaya,

teknologi dan sebagainya. Pengaruh globalisasi ini secara khusus juga dirasakan oleh

kalangan remaja sebagai kalangan dari usia pancaroba atau peralihan. Usia yang

rentan dengan budaya coba-coba dan memiliki rasa keingintahuan yang cukup besar.

2. Dampak Positif dan Negatif Globalisasi

Menurut(Mas‟ud :2012) ada beberapa dampak positif dan negatif di

era globalisasi yang terjadi pada remaja saat ini, berikut adalah dampak positif dan

negatif :

a. Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

1) Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan

demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika

pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan


mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa

rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

2) Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional,

meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan

adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang

menunjang kehidupan nasional bangsa.

3) Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik

seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang

sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya

memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap

bangsa.

b. Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

1) Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme

dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup

kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme.

Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang

2) Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam

negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola,

Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap


produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme

masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

3) Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri

sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya

barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

4) Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan

miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal

tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang

dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

5) Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar

perilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan

peduli dengan kehidupan bangsa.

(Astuti : 2012) Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat

terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu

kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan

kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala

yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti

selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang

minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan.

Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita.
Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih

suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja

yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan

sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa

batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah

menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita

memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian.

Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak

semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada

lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat

menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan

handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan

santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena

globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka

hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan

kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, maka moral generasi bangsa

menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan

nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa
sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus

masa depan bangsa.

Menurut (Astuti : 2012) harus ada langkah- langkah untuk mengantisipasi

dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :

1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat

mencintai produk dalam negeri.

2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.

3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam

arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.

5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi,

sosial budaya bangsa

3. Konsep Globalisasi Dalam Materi Pendidikan Kewarganegaraan

(Vimo : 2011) Dalam hubungannya dengan 3 dimensi kewarganegaraan yaitu

dimensi pengetahuan, dimensi keterampilan dan dimensi nilai, maka hubungan

globalisasi dengan ketiga dimensi tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut.

a. Dimensi Pengetahuan

Dalam kaitannya dengan dimensi pengetahuan, maka globalisasi harus

disajikan dalam bentuk materi yaitu berupa penjelasan secara menyeluruh tentang

globalisasi, seperti misalnya pembentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar.


Contoh Standar Kompetensi: Memahami dampak globalisasi dalam kehidupan

bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Kompetensi dasar: 1. Menjelaskan

pengertian dan pentingnya globalisasi bagi Indonesia. 2. Mendeskripsikan politik luar

negeri dalam hubungan intenasional di era global. 3. Mendeskripsikan dampak

globalisasi terhadap kehidupan bermsyarakat , berbangsa dan bernegara. 4.

Menentukan sikap terhadap globalisasi.

Dan kemudian harus ada penyusunan materi yang sistematis dan telah dikaji

secara menyeluruh agar pembelajaran bisa berjalan sesuai dengan standar komptensi

dan kompetensi dasar yang di harapkan, contohnya susunan materi yang di ajarkan

seperti Pengertian dan pentingnnya globalisasi, Politik luar negeri Indonesia dalam

hubungan internasional die era globalisasi , Dampak negatif globalisasi dan dampak

positif globalisasi, kemudian bagaimana menyikapi globalisasi, dan mengevaluasi

globalisasi yaitu dalam bentuk ulangan akhir pelajaran. Adapun maksud dari pada

uraian diatas khususnya dalam kaitan dengan dimensi pengetahuan adalah agar para

siswa dapat berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

globalisasi.

b. Dimensi Keterampilan dan Dimensi Nilai

Setelah siswa memahami pengertian globalisasi secara menyeluruh lewat

pembelajaran dikelas, maka para siswa diharapkan dapat memahami serta

mengilhami nilai-nilai yang ditawarkan dalam pembelajaran serta kemudian dapat

mengimplementasikannya lewat keterampilan yang sesuai dengan maksud yang

terkandung dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Misalnya: para siswa
dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman globalisasi , para siswa dapat

menentukan sikap terhadap dampak globalisasi, para siswa dapat mengambil hal-hal

positif dalam era globalisasi, serta para siswa bisa memproteksi efek-efek negatif dari

pada globalisasi.Adapun indikator-indikator yang ditawarkan misalnya: mengawal

dan meberikan ruang kepada para siswa untuk belajar tentang internet, menanamkan

jiwa nasionalisme yang kuat kepada para siswa, penguatan sejarah negara republik

Indonesia lewat pengenalan tokoh-tokoh pahlawan (the founding fathers), penguatan

budaya Indonesia agar mempunyai nilai tawar yang lebih di mata para siswa,

mengajak para siswa agar mencintai dan mengkonsumsi produk-produk asli buatan

negeri. Kemudian membuka ruang kreativitas para siswa sesuai dengan keterampilan

mereka masing-masing agar nantinya tidak hanya menjadi siswa yang konsumtif dan

ketergantungan pada instrumen-instrumen globalisasi.

Dari uraian diatas jelas bahwa para siswa setelah mempelajari “globalisasi”

diharapkan dapat memberikan kontribusi yang jelas khusunya dalam ruang lingkup

kehidupan mereka, entah itu ditengah keluarga, dimasyarakat, disekolah, dan

terpenting di tengah era globalisasi seperti yang dimaksudkan dalam tujuan

pembelajaran ini.

Anda mungkin juga menyukai