Anda di halaman 1dari 10

Tugas 1

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)


Tanggal : Pertemuan ke-1 (Jumat, 20 Januari 2023)
Materi : Urgensi Pendidikan Kewarganegaraam
Dosen : Usep Saepurohman M.Pd.

A. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) pengertian Pendidikan
Kewarganegaraan adalah :
Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat
berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran
kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat.
Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari
masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan
mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.
Pendidikan kewarganegaraan dijelaskan dalam Depdiknas (2006:49),
Pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan melaksanakan hak-hak dan
kewajiban untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil,
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Lebih Lanjut
Somantri (2005:154) menyatakan bahwa, PKn merupakan usaha untuk membekali
peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan
hubungan antar warga negara dan negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan
negara.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan


Menurut Branson (1997:7) tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah
partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan
masyarakat baik tingkat lokal, negara, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn
dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memeberikan kompetensi sebagai
berikut:
a. Berfikir kritis rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara
sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam peraturan dunia secara lansgung
dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn secara umum
mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam
lingkungan lokal, regional, maupun global. Sedangkan tujuan Pkn menurut Djahiri
(Dalam Supardi, 2010) adalah sebagai berikut :
1. Secara umum Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung kehidupan
pencapaian pendidikan nasional yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa
yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur,
memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”.
2. Secara khusus Tujuan Pkn yaitu membina moral yang diharapkan
diwujudkan dalam kehidupan sehari – hari yaitu perilaku yang
memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan YME dalam masyarakat
yang terdiri dari golongan agama, perilaku yang mendukung kerakyatan
yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan
perseorangan dan golongan sehingga perbedaan dan pemikiran pendapat
ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku
yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat
Indonesia.
Berdasarkan tujuan PKn yang telah dikemukan diatas, diasumsikan pada
hakekatnya setiap tujuan membekali kemampuan-kemampuan kepada peserta didik
dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga negara, yaitu warga negara yang
beriman dan bertakwa kepada Tujuan YME bersifat kritis, rasional dan kreatif
berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, berbangsa dan bernegara membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama
dengan bangsa lain.

B. Konsep dan Urgensi Pendidikan Pancasila


Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang yang multidisipliner. Sebagai
bidang yang multidispliner bahwa pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidika
demokrasi, pendidikan karakter bangsa, pendidikan nilai dan moral, pendidikan bela
negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya, 2007).
Berdasarkan kajian dari (Banks,2017) tentang kegagalan kewarganegaraan dan
transformasi Pendidikan kewarganegaraan, maka pada masa global peran sekolah
sangat penting dalam implementasi pendidikan kewarganegaraan yang telah gagal
menjadikan warga negara yang efektif dan partisipatif. Oleh karena itu fokus utama
dalam Social Studies adalah Civic Education yaitu belajar berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut (Jarolimek, John and
Parker, 1993) bahwa misi utma dari Social Studies ialah membantu peserta didik belajar
tentang dunia sosial dimana mereka berada dan bagaimana cara belajar memecahkan
realitas sosial, dan mengembangkngan melalui pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude), dan keterampilan (skill) yang diperlukan untuk membentuk manusia yang
berkarakter cerdas (smart).
Dengan misi utama Social Stadies tersebut di atas, maka relevan dengan komponen
utama Civic Education dari konsep (CCE, 1994) yaitu konsepsi dan budaya
kewarganegaraan (civic virtue and civic culture) yang meliputi: “Penalaran
kewarganegaraan (civic knowledge), sikap/watak kewarganegaraan (civic disposition),
keterampilan kewarganegaraan (civic skill), keyakinan diri kewarganegaraan (civic
confidence), komitmen kewarganegaraan (civic commitment), dan kemampuan
kewarganegaraan (civic compotence).
Dari kajian tersebut di atas, maka dapat dianalisis implementasi pengembangan
kompenen utama Civic Education tersebut adalah: Civic knowledge berkaitan denga
misi apa yang seharusnya warga negara atau peserta didik ketahui. Civic skills adalah
keterampilan apa yang seharusnya dimiliki oleh warga negara atau peserta didik yang
meliputi: keterampilan intelektual dan keterampilan partisipasi. Sedangkan civic
disposition adalah berkaitan dengan karakter privat dan publik dari warga negara yang
perlu dipelihara dan tingkatkan dalam demokrasi konstitusional di Indonesia. Ketiga
komponen Civic Education berkaitan erat dengan misi pembentukan pribadi di era
global. Warga negara yang memiliki pengetahuan dan sikap kewarganegaraan akan
menjadi warga negara yang percaya diri (civic confidence), warga negara yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara
yang mampu (civic competence), warga negara yang memiliki sikap dan keterampilan
kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang komitmen (civic commitment)
sehingga warga negara atau peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap dan
keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara smart dan good citizenship
(W Winarno, 2013).
Oleh karena itu urgensi Pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah
membentuk generasi muda atau warga negara yang cerdas (smart) dan baik serta
mampu mendukung keberlangsungan bangsa dan negara. Upaya mewarganegarakan
generasi muda atau orang-orang yang hidup dalam suatu negara merupakan tugas
pokok negara. Konsep warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizenship)
adalah menjadi indikator dari pandangan hidup dan sistem politik negara yang
bersangkutan (Winarno Winarno, n.d.)
Pengembangan pribadi berkarakter cerdas berbasis pada harkat dan martabat
manusia yang ditanamkan sebagai nilai-nilai luhur pancasila dan ditempatkan materi
kecerdasan dalam rangka membangun pribadi utuh berkarakter cerdas. Upaya
pengembangan karaker cerdas tersebut merupakan wujud dari pemenuhan amanat
Undang-undang Dasar, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Prayitno &
Manullang, 2011). Sedangkan menurut (Lickona, 2004) menyatakan bahwa:
“Character is made up of core etical values that incorporate ones thought process,
emotion and action”.
Maksud dari teori Lickona adalah karakter terbentuk dari nilai-nilai etika inti yang
menyertakan kesatuan proses berfikir, emosi dan tindakan. Hal yang sama
dikemukakan oleh (Berkowitz et al., 2020), bahwa terdapat 8 karakter dasar yang dapat
dikembangkan yaitu jujur (honesty), keberanian atau keteguhan hati (corage), hormat
(respect), tanggung jawab (responbility), tekun (perseverence), kerjasama
(cooperation), mampu mengendalikan diri (self-control) dan bela Negara (citizenship).
Pendidikan karakter lazimnya bersifat khas individual sehingga pendidikan karakter
perlu memperhatikan potensi diri yang dimiliki individu atau berbasis potensi diri.
Berdasarkan kajian teori (Larry P. N, 2014) bahwa: “Pendidikan karakter berbasis
potensi diri (individu) merupakan pendidikanyang tidak saja membimbing dan
membina setiap anak didik untuk memiliki kompetensi intelektual, keterampilan
mekanik, produktif, inovatif, dan pembangunan karakter”.
Dari kajian tersebut dapat dianalisis bahwa pendidikan generasi muda berorentasi
pada karakter berbasis potensi diri dengan tujuan yang diinginkan adalah adanya
perubahan sikap yang semula kontraproduktif menjadi kreatif.

C. Landasan Pendidikan Kewarganegaan


Dasar diselenggarakannya perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan didalam
kurikulum perguruan tinggi yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa merupakan hal
yang fundamental dalam membentuk karakter dan kepribadian bangsa. Pembentukan
karakter dan kepribadian ini harus sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia
yang terkandung dalam Pancasila sehingga dapat dikatakan bahwa landasan utama
pelaksanaan perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan adalah Pancasila yang
sekaligus merupakan landasan filosofis.
1. Landasan Historis
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata kuliah wajib umum
dapat ditelusuri dari berbagai upaya bangsa Indonesia dalam mencapai
kemerdekaan serta menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia antara
lain:
a. Perjuangan para pahlawan dari berbagai pelosok tanah air untuk melawan
penjajahan, Pangeran Diponegoro, Untung Surapati, Imam Bonjol,
Hasanuddin, Cut Nyak Dien.
b. Pergerakan dengan mendirikan berbagai organisasi pemuda, seperti Boedi
Oetomo, Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Taman Siswa sebagai wujud
Kebangkitan Nasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, keagamaan,
sosial kemasyarakatan sebagai perwujudan Kebangkitan Nasional.
c. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai perwujudan tekad dan
semangat para pemuda untuk bertanah air satu tanah air Indonesia,
berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa persatuan bahasa
Indonesia.
d. Pada masa penjajahan Jepang, para pemuda mempersiapkan untuk
mendirikan negara Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.
e. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
f. Perjuangan bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan untuk
menghadapi Belanda yang ingin menjajah dan menguasai kembali
Indonesia.
g. Perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi pengkhianatan,
pemberontakan, penyelewengan, dan separatis.

2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis penyelenggaraan mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan, meliputi:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat 3,
Pasal 30 ayat 1, dan Pasal 31 ayat 1, 3, dan 5. Pasal 27 ayat 3 menyebutkan
bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara. Pasal 30 ayat 1 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara. Pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. Pasal 31 ayat 3 menyebutkan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam Undang-
Undang. Pasal 31 ayat 5 menyebutkan bahwa pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
b. Keputusan Mendikbud dan Menhankam No: 061U/1985 dan
KEP/002/II/1985 tanggal 1 Februari yang berisi tentang mata kuliah
Kewiraan (Kewarganegaraan) sebagai salah satu Mata Kuliah Dasar Umum
(MKDU) pada semua Perguruan Tinggi di Indonesia.
c. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 yang disempurnakan dengan
UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menjelaskan bahwa Pendidikan Bela Negara dan Pendidikan Kewiraan
termasuk dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa Kurikulum
Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Pendidikan Agama,
Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.
d. Keputusan Dirjen Dikti No: 267/DIKTI/Kep/2000 tentang Penyempurnaan
GBPP Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Kewarganegaraan, Keputusan Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep/2002
tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi, Keputusan Dirjen Dikti No.
43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Menurut Keputusan Dirjen Dikti No: 43/DIKTI/kep/2006 visi Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman
dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya.
Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi bahwa mahasiswa
adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius,
berkeadaban, berkemanusiaan, cinta tanah air dan bangsanya.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah untuk
membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten
mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta
tanah air dalam menguasai menerapkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.

3. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologi pendidikan merupakan asumsi-asumsi yang bersumber
dari kaidah-kaidah sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.
Kaidah-kaidah sosiologi tersebut menjelaskan bahwa manusia itu pada dasarnya
termasuk makhluk individu, bermasyarakat, serta berbudaya. Dalam hidup
bermasyarakat manusia memiliki norma-norma yang mereka bentuk dan
mereka anut yang akhirnya menghasilkan suatu kebudayaan yang mencirikan
kekhasan suatu masyarakat tertentu.
Landasan sosiologis pendidikan juga merupakan analisis ilmiah tentang
proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan.
Kegiatan pendidikan itu merupakan suatu proses interaksi antar pendidik
dengan peserta didik, antara generasi satu dengan generasi yang lainnya. Kajian
sosiologi pendidikan sangat esensial, karena merupakan sarana untuk
memahami sistem pendidikan dengan keseluruhan hidup masyarakat.
Kesatuan wilayah, adat istiadat, rasa identitas, loyalitas pada kelompok
merupakan awal dan rasa bangga dalam masyarakat tertentu, yang semuanya ini
merupakan landasan bagi pendidikan. Masyarakat atau bangsa Indonesia
berbeda dengan masyarakat atau bangsa lain. Hal-hal yang berkaitan dengan
perwujudan tata tertib sosial, perubahan sosial, interaksi sosial, komunikasi, dan
sosialisasi, merupakan indikator bahwa pendidikan menggunakan landasan
sosiologis.

4. Landasan Politik
Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses
demokratisasi yang membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap
dinamika kehidupan politik nasional, melainkan juga terhadap dinamika sistem-
sistem lain yang menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan.
Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
makin mempererat persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan
ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan
yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan politik pada hakikatnya adalah rangkaian usaha untuk
menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, agar tingkah laku politik warga negara dalam
kesehariannya selalu berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar NRI 1945.Permasalahan yang di hadapi adalah partisipasi politik
generasi muda belum dimaksimalkan dan generasi muda masih belum paham
akan sesungguhnya pendidikan politik, sehingga partisipasi politik masih
rendah, hal tersebut dikatakan Affandi dan Anggraeni (2011: 39) :…generasi
muda merupakan aset partisipasi dalam politik yang masih belum
dimaksimalkan. Generasi muda masih belum paham akan sesungguhnya
pendidikan politik yang ada. Alhasil, partisipasi terhadap politik pun masih
rendah.Pendidikan politik menginginkan agar siswa berkembang menjadi
warganegara yang baik, yang menghayati nilai-nilai dasar yang luhur dari
bangsanya dan sadar akan hak dan kewajibannya di dalam kerangka nilai-nilai
tersebut, untuk itu pendidikan kewarganegaraan perlu diajarkan di sekolah
dengan alasan bahwa siswa memerlukan pengertian yang lebih mendalam
mengenai nilai-nilai politik baik sebagai kerangka berpikir dalam mengambil
keputusan maupun sebagai landasan dalam diskusi umum.Dalam konteks ini
peranan dan tanggungjawab sekolah seyogianya mampumemperkuat kebajikan
siswa dan kesadaran sebagai warga negara dan membantu siswa untuk melihat
kesesuaiannya dari aspek kewarganegaraan dalam kehidupannya. Oleh karena
itu, pendidikan kewarganegaraan didalamnya terdapat pengembangan
kompetensi warga negara untukmembentuk partisipasi siswa sebagai bagian
dari warga negara yang bermutu dan bertanggungjawab.
Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam kegiatan
menjelaskan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan siswa dalam nilai-nilai
politik.Suryadi (2000:24) menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
menekankan pada empat hal Pertama, Pendidikan Kewarganegaraan bukan lagi
sebagai indoktrinasi politik. Kedua, Pendidikan Kewarganegaraan
mengembangkan state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan
proses pembentukan warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi.
Pendidikan Kewarganegaraan memusatkan perhatian pada pembentukan
kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan
partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan untuk
mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Ketiga, Pendidikan
Kewarganegaraan adalah suatu proses pencerdasan, pendekatan mengajar yang
selama ini seperti menuangkan air kedalam gelas watering down seharusnya
diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dengan menekankan pada
latihan penggunaan nalar dan logika.Keempat, Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai laboratorium demokrasi, sikap dan perilaku demokratis perlu
berkembang.
Winataputra (2001:317) memandang bahwa, Pendidikan Kewarganegaraan
dalam paradigma baru mengusung tujuan utama mengembangkan “civic
competences” yakni civic knowledge (pengetahuan dan wawasan
kewarganegaraan), civic disposition (nilai, komitmen, dan sikap
kewarganegaraan), dan civic skills (perangkat kecakapan intelektual, sosial, dan
personal kewarganegaraan) yang seyogianya dikuasai oleh setiap individu
warga negara.Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) berkaitan
dengan materi substansi yang seharusnya diketahui oleh warga negara berkaitan
dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Pengetahuan ini bersifat
mendasar tentang struktur dan sistem politik, pemerintah dan sistem sosial yang
ideal sebagaimana terdokumentasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis serta cara-cara
kerjasama untuk mewujudkan kemajuan bersama dan hidup berdampingan
secara damai dalam masyarakat global.

D. Dinamika dan Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan


Pendidikan Kewarganegaraan seolah-olah amat dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan situasi politik dan kenegaraan. Pada masa-masa yang lalu yang jika
tujuannya dicermati senantiasa menempatkan PKn tersebut sebagai “alat politik” bukan
sebagai “alat pendidikan politik” yang didasari oleh nilai-nilai demokrasi tetapi justru
untuk mengarahkan dan mendominasi nilai-nilai yang memungkinkan sebuah rezim
untuk mempertahankan “kemapanan” yang mendukung kekuasaan yang ada.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan dalam sistem sosial
politik, dan kenegaraan yang memang semakin menuntut pada kemantapan dalam PKn
untuk menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Adanya tuntutantuntutan perubahan ke arah kehidupan yang lebih demokratis harus
diakui sebagai hasil positif dari pendidikan PKn belakangan ini termasuk ekses yang
sekaligus merupakan tantangan bagi proses demokratisasi itu sendiri.
Tuntutan perubahan itu selain disebabkan oleh hal-hal seperti disebutkan di atas,
dan juga karena beberapa sebab lain yang amat fundamental seperti dikemukakan oleh
Aziz Wahab (1998) dengan mengatakan bahwa: Bidang Studi PKn sesuai fungsi dan
tujuannya selama ini menjadi sarana untuk membina warganegara untuk lebih
mengetahui hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun
sejalan dengan terjadinya reformasi diperlukan kajian ulang terhadap relevansi meteri
PKn dalam kurikulum karena beberapa alasan, di antaranya: (1) Selama Orde Baru yang
lalu ada kekacauan pengertian antara negara dan pemerintah/rezim yang berkuasa;
seakan-akan keduanya menjadi identik. Hal itu mengakibatkan penerjemahan PKn ke
dalam kurikulum pun banyak diwarnai oleh perspektif dan kepentingan pemerintah
dengan mengatasnamakan perspektif dan kepentingan negara. Hal yang sama
sesungguhnya bukan hanya berlaku untuk PKn tetapi juga untuk bidang-bidang studi
lainnya seperti Sejarah, Ekonomi, dan Geografi. (2) Karena alasan pertama di atas,
topik-topik tertentu lebih banyak diangkat (misalnya soal kepatuhan, kesetiaan pada
pemerintah yang berkuasa, keamanan nasional) yang bertujuan menguatkan kedudukan
pemerintah yang berkuasa; sedangkan topik-topik lain seperti hak asasi manusia,
demokrasi politik, demokrasi ekonomi, hak-hak rakyat, kewajiban pemerintah kepada
publik, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kurang ditampilkan
secara proporsional. (3) PKn adalah sarana pendidikan politik bangsa. Namun
pendidikan politik yang dimaksud selama ini cenderung “sepihak” dan “monolog”,
yaitu mendukung kelanggengan kekuasaan orde yang berkuasa. Akibatnya siswa tidak
disiapkan untuk berpikir secara dewasa, bertanggung jawab dan jujur bahkan terhadap
dirinya sendiri. Produk akhirnya adalah peserta didik yang “tanpa pilihan”, harus
menerima apa adanya tanpa dapat dan mampu mempertanyakan hal-hal di luar koridor
yang telah ditentukan sebelumnya. Dari sudut perkembangan moral, hal ini tidak
menguntungkan karena membuat siswa menjadi kerdil dalam berpikir. PKn lebih
menekankan segi “to tell students about what are desiable behaviors” dan bukan “to ask
and let student to think and to find…”. (4) Dalam kenyataan, terjadi berbagai
kebingungan peserta didik akibat apa yang diajarkan di sekolah berbeda kenyataannya.
Akibat lanjutnya adalah secara tidak disadari kita menyiapkan generasi yang memiliki
kepribadian terpecah.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, kaji ulang dan peninjauan kembali terhadap
materi dan metodologi PKn dalam kurikulum 1994 merupakan suatu keharusan dalam
Era Reformasi sekarang ini. Kaji ulang diarahkan terhadap hal-hal berikut ini:
1. Sejauh manakah materi yang ada dalam kurikulum masih relevan dengan
semangat bangsa kita yang dengan memanfaatkan momentum reformasi sedang
memformulasikan kembali format dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Banyak keluhan selama ini tentang padat dan banyaknya materi yang mesti
dipelajari oleh siswa. Hal ini pun perlu dikaji ulang, materi manakah yang dapat
dikeluarkan, digabungkan, dirampingkan, dan materi mana yang benar-benar
esensial bagi anak, masyarakat, dan kehidupan bangsa.
3. Dari segi metodologi, metode yang cenderung doktriner dan monolog selama
ini, perlu ditinjau ulang dari segi karakter belajar dan tahap-tahap
perkembangan peserta didik. Sudah cukup lama kita mengetahui bahwa PKn
adalah pelajaran yang “membosankan” bahkan cenderung “tidak disukai” siswa
karena materi dan metodenya memang tidak menantang siswa secara
intelektual, di samping amat sarat dengan pesan-pesan ideologis rezim yang
berkuasa.
Dalam era reformasi dan dalam kehidupan demokrasi setiap orang sebagai
warganegara memperoleh kebebasan dan diperlakukan secara adil. Untuk itu
setiap warganegara harus memperoleh kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang baik. Dalam pendewasaan dan sikap keterbukaan
dan kebebasan itu baik politik maupun ekonomi itu harus dijelaskan secara
tuntas bahwa: dasar-dasar demokrasi itu sebagaimana dikemukakan oleh
Chapin dan Messick (1989: 114) di antaranya adalah seperti berikut: “Each
person has one vote; Citizens have equal protection under the law; Decuisions
and laws can be reviewed and amended by lawful process; Decisions and
government acts are based on law”.
Tujuannya adalah agar setiap warganegara menjadi cerdas, dapat berpikir
kritis dan kreatif serta memiliki sikap disiplin pribadi dan dapat berpartisipasi
dalam mengatasi berbagai persoalan baik pribadi, maupun masyarakat
lingkungannya. Lahirnya warganegara seperti itu menuntut perubahan-
perubahan mendasar dalam pendidikan pada umumnya dan pendidikan
kewarganegaraan khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Karsadi. (2018). Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Alfabeta Bandung
Mulyani. 2013 Bab II
https://repository.ump.ac.id/3452/3/Bab%20II_Mulyani%20S%20Fadilah.pdf
Diakses pada Sabtu, 21 Januari 2023.

Hasni, Sapriya, Winarti. 2018. URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


DALAM SOCIAL STUDIES SEBAGAI PEMBENTUKAN KARAKTER
CERDAS BAGI GENERASI MUDA PADA MASA GLOBAL.
https://ojs.unm.ac.id/UrgensiPendidikan. Diakses pada Rabu, 25 Januari 2023,
pukul18.00 WIB

Lasiyo, Wikandaru, Hastangka.2020. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan.


https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MKDU411102-M1.pdf Diakses
pada Rabu, 25 Januari 2023, puku18.32 WIB.

Rima. 2014. Landasan Sosiologis Pendidikan


https://rimatrian.blogspot.com/2014/12/landasan-sosiologis-pendidikan.html Diakses
pada Rabu, 25 Januari 2023, puku18.42 WIB.

Habibah. 2021. Sumber Politik Pendidikann Pancasila


https://www.researchgate.net/publication/348974451_Sumber_politik_pendidikan_pan
casila Diakses pada Rabu, 25 Januari 2023, puku 19.00 WIB.

Sunarso. 2009. Dinamika Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dari Rezim ke


Rezim
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3784/3260 Diakses pada
Rabu, 25 Januari 2023, pukul 19.13 WIB

Anda mungkin juga menyukai