Anda di halaman 1dari 33

KONSEP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Pendidikan Kewarganegaraan adalah terjemahan dari istilah asing civic education atau

citizenship education. Terhadap dua istilah ini, John C. Cogan telah membedakan dengan

mengartikan civic education sebagai “...the foundational course work in school designed to

prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives” (Cogan,

1999), atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga

negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.

Sedangkan citizenship education digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian

yang lebih luas yang mencakup

“...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning


which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,
etc which help to shape the totality of the citizen” (Cogan, 1999).

Artinya, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman

belajar di sekolah dan luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, organisasi

keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.

Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa "Citizenship or Civics Education is

construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and

responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching

and learning) in that preparatory process". (Kerr, 1999). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa

pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda

untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus peran
pendidikan (termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar) dalam proses

penyiapan warga  negara tersebut. 

Untuk konteks di Indonesia, citizenship education oleh beberapa pakar diterjemahkan

dengan istilah pendidikan kewarganegaraan (ditulis dengan menggunakan huruf kecil semua)

(Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002).

Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship education lebih luas

cakupan pengertiannya dari pada civic education. Dengan cakupan yang luas ini maka

citizenship education meliputi didalamnya pendidikan kewarganegaraan dalam arti khusus (civic

education). Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga

negara generasi muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, sedang

civic education adalah citizenship education yang dilakukan melalui persekolahan.

Sementara itu, berkaitan dengan konsep Pendidikan Kewargaan,  Azra (dalam ICCE,

2003) memandang bahwa secara substantif istilah Pendidikan Kewargaan tidak saja mendidik

generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam

konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah

Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi

warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan Kewargaan secara

substantif lebih luas cakupannya daripada  Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini sejalan dengan

pembedaan pengertian  civic education  dan  citizenship education di atas.

Secara paradigmatik Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga domain, yakni 1)

domain akademik; 2) domain kurikuler; dan 3) aktivitas sosial-kultural (Winataputra, 2001).

Domain akademik adalah berbagai pemikiran tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang

berkembang di lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis
pendidikan kewarganegaraan dalam lingkup pendidikan formal dan nonformal. Sedangkan

domain sosial kultural adalah konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan

masyarakat (Wahab dan Sapriya, 2011). Ketiga komponen tersebut secara koheren bertolak dari

esensi dan bermuara pada upaya pengembangan warga negara yang baik (good citizens), yang

memiliki pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), nilai, sikap dan watak

kewarganegaraan (civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic skill).

Menurut Zamroni ( Tim ICCE, 2005: 7) pengertian pendidikan kewarganegaraaan

adalah:

“Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis
dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa
demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat”. Diharapakan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang
memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Rebuplik
Indonesia. Hakekat NKRI adalah negara kebangsaan modern”.

Pendidikan Kewarganegaraan dijelaskan  dalam Depdiknas (2006:49), Pendidikan

kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang mefokuskan pada pembentukan warganegara yang

memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara

Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Lebih lanjut Somantri (2001: 154) menyatakan bahwa:

“PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan
dasar yang berkenan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan
pendahuluan bela negara menjadi warga negara  agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara”.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat

membentuk diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural dan bahasa untuk menjadi warga

negara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang dilandasi oleh UUD 1945 (Sudjana, 2003).
Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang secara umum bertujuan untuk

mengembangkan potensi individu warga negara Indonesia, sehingga memiliki wawasan, sikap,

dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan memungkinkan untuk berpartisipasi

secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara (Sudjatmiko, 2008)

Menurut Azis Wahab, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan media pengajaran

yang meng-Indonesiakan para siswa secara sadar, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Karena itu,

program PKn memuat konsep-konsep umum ketatanegaraan, politik dan hukum negara, serta

teori umum yang lain yang cocok dengan target tersebut (Cholisin, 2000:18)

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah

mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan

mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang

cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Berbeda dengan pendapat di atas pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai penyiapan

generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, kecakapan, dan

nilai-nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakatnya (Samsuri, 2011: 28).

Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) pengertian pendidikan kewarganegaraaan adalah:

“Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis

dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa
demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga

masyarakat”.

Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan

warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi

warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan

UUD 1945 (Depdiknas, 2006:49).

Pendapat lain, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik

dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenan dengan hubungan antar warga negara

dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara agar dapat

diandalkan oleh bangsa dan negara (Somantri, 2001: 154)

B.     HAKIKAT, FUNGSI, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PKn

1.      Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan berdasarkan Nilai-nilai Pancasila

sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar

pada budaya bangsa yang diharapkan menjadi jati diri yang diwujudkan dalam bentuk prilaku

dalam kehidupan sehari-hari para mahasiswa baik sebagai individu, sebagai calon guru/pendidik,

anggota masyarakat dan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hakikat Pendidikan Kewarganegaran

adalah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari

segi agama,sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi  warga negara yang

cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD1945.
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional

Apabila kita kaji secara historis-kurikuler mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

tersebut telah mengalami pasang surut pemikiran. Sejak lahir kurikulum tahun 1946 di awal

kemerdekaan sampai pada era reformasi saat ini.

a.  Tahun 1957

Pada tahun ini mulai diperkenalkan mata pelajaran Kewarganegaraan. Isi pokok materinya

meliputi cara memperoleh kewarganegaraan serta hak dan kewajiban warga negara. Selain

mata pelajaran Kewarganegaraan juga diperkenalkan mata pelajaran Tata Negara dan Tata

Hukum.

b.  Tahun 1959

Pada tahun ini ini muncul mata pelajaran CIVICS yang isinya meliputi sejarah nasional,

sejarah proklamasi, Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, pidato-pidato kewarganegaraan

presiden, serta pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.

c.  Tahun 1962

Pada tahun ini telah terjadi pergantian mata pelajaran CIVICS menjadi Kewargaan Negara.

Penggantian ini atas usul menteri kehakiman pada masa itu, yaitu Dr. Saharjo, SH. Menurut

beliau penggantian ini bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik. Materi yang

diberikan menurut keputusan menteri P dan K no. 31/1967 meliputi Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, Tap MPR, dan pengetahuan PBB.

d.  Tahun 1968

Pada tahun ini keluar kurikulum 1968 sehingga istilah Kewargaan Negara secara tidak resmi

diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokoknya di Sekolah Dasar yaitu,

1. Pengetahuan kewarganegaraan
2. Sejarah Indonesia

3. Ilmu bumi

Sekolah Pendidikan Guru

1. Sejarah Indonesia

2. Undang-Undang Dasar 1945

3. Kemasyarakatan

4. Hak Asasi Manusia (HAM)

e.   Tahun 1973

Pada tahun ini Badan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

bidang PKn menetapkan 8 tujuan kurikuler, yaitu:

1. Hak dan kewajiban warga negara

2. Hubungan luar negeri dan pengetahuan internasional

3. Persatuan dan kesatuan bangsa

4. Pemerintahan demokrasi Indonesia

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

6. Pembangunan sosial ekonomi

7. Pendidikan kependudukan

8. Keamanan dan ketertiban masyarakat

f.     Tahun 1975

Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan

Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan

misi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini
merupakan mata pelajaran wajib untuk Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.

Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan

berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari

Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP)

pada masa itu berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan

UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007).

g.    Tahun 1994

Pada tahun ini mata pelajaran PMP diganti menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan (PPKn). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang

Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan

Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua

jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39).

Kurikulum Pendidikan Dasar tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut

dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau

PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan

materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar

konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan

menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba, 1967).

Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap

jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya

didominasi oleh proses value incucation  dan  knowledge dissemination. Hal tersebut dapat

lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila
Pancasila. Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang

beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan

untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam

berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007).

Sedangkan dalam kurikulum 1994 ruang lingkup Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

(PPKn) meliputi :

1.  nilai moral dan norma bangsa Indonesia serta perilaku yang diharapkan terwujud dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

2.  kehidupan ideologi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan di negara

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan luas liputan,

kedalaman dan tingkat kesukaran materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan

belajar siswa pada satuan pendidikan.

h.  Tahun 2004

Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003,

diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004

dimana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berubah nama menjadi Kewarganegaraan.

i.   Tahun 2006

Pada tahun ini keluar kurikulum baru yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) muncul mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menggantikan

Kewarganegaraan dan PPKn.


Berdasarkan Pemendiknas No. 22 tahun 2006, ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah secara umum  meliputi aspek-aspek

sebagai berikut,

1. Persatuan dan Kesatuan Bangsa

2. Norma, Hukum dan Peraturan

3. Hak Asasi Manusia

4. Kebutuhan Warga Negara

5. Konstitusi Negara

6. Kekuasaan dan Pilitik

7. Pancasila

8. Globalisasi

Jadi Hakikat PKn, yaitu,

Program pendidikan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai wahana untuk

mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa yang

diharapkan menjadi jati diri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari

hari. Sebuah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan diri yang beragam dari segi

agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang

cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.

2.      Fungsi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


PKn sebagai salah satu mata pelajaran bidang sosial dan kenegaraan memiliki fungsi

yang sangat esensial dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang memiliki

keterampilan hidup bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara. Numan Somantri (2001:166)

memberikan pemaparan mengenai fungsi PKn sebagai berikut:


“Usaha sadar yang dilakukan secara ilmiah dan psikologis untuk memberikan kemudahan belajar
kepada peserta didik agar terjadi internalisasi moral Pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan
untuk melandasi tujuan pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan
perilaku sehari-hari”.

Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara

yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan

merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila

dan UUD NKRI 1945.

Berdasarkan uraian di atas mengenai fungsi PKn, maka penulis menyimpulkan bahwa

pembelajaran PKn diharapkan dapat memberikan kemudahan belajar para siswa dalam

menginternalisasikan moral Pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan untuk melandasi tujuan

pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan perilaku sehari-hari.

Menurut Branson (1999) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan

bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian,

maupun nasional. Tujuan PKn dalam Depdiknas (2006) adalah untuk memberikan kompetensi

sebagai berikut :

a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam

kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-

karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995) adalah sebagai berikut :
a.       Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan

Nasional, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani,

dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan

kebangsaan.”

b.      Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam

kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang

Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat

kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan

kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan

pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku

yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah

partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara

yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia.

Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan

seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan

serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui

pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu

berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta

perbaikan masyarakat.
Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara

yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap

bangsa dan negara, beragama, demokratis, Pancasila sejati” (Somantri, 2001).

Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci

menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi :

a.    Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep, dan generalisasi teori.

b.    Keterampilan intelektual:

1)      Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat,

menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai.

2)      Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahui

masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis; (c) keterampilan mengumpulkan data; (d)

keterampilan menafsirkan dan mneganalisis data; (e) keterampilan menguji hipotesis; (f)

keterampilan merumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

c.       Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif,

karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.

d.      Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial

yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat

melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty

(Numan Somantri, 1975) mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci

dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar,

generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta

penilaiannya.

Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan,


a.    Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar

ideologi, dan pandangan hidup negara RI.

b.    Melek konstitusi (UUD NKRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.

c.    Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas.

d.   Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya

dengan penuh keyakinan dan nalar.

Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005) bahwa tujuan negara

mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara

yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics

inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan

tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar :

a. Memberikan pengertian, pengetahuan dan pemahaman tentang Pancasila yang benar dan

sah.

b. Meletakkan dan membentuk pola pikir yang sesuai dengan Pancasila dan ciri khas serta

watak ke-Indonesiaan.

c. Menanamkan nilai-nilai moral Pancasila ke dalam diri anak didik.

d. Menggugah kesadaran anak didik sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia

untuk selalu mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai moral Pancasila tanpa menutup

kemungkinan bagi diakomodasikannya nilai-nilai laindari luar yang sesuai dan tidak

bertentangan dengan nilai-nilai moral Pancasila terutama dalam menghadapi arus

globalisasi dan dalam rangka kompetisi dalam pasar bebas dunia.


e. Memberikan motivasi agar dalam setiap langkah laku lampahnya bertindak dan

berperilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma Pancasila.

f. Mempersiapkan anak didik utuk menjadi warga negara dan warga masyarakat Indonesia

yang baik dan bertanggung jawab serta mencintai bangsa dan negaranya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran

tidak hanya menampilkan sosok program dan pola KBM yang hanya mengacu pada aspek

kognitif saja, melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan

psikomotor. Selain aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.

3.      Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, yaitu mempunyai objek, metode,

sistem dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material

maupun objek formalnya. Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh

suatu bidang atau cabang ilmu. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu yang

dipilih untuk membahas objek material tersebut. Adapun objek material dari Pendidikan

Kewarganegaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan warganegara baik yang empirik

maupun yang nonempirik, yang meliputi wawasan, sikap, dan perilaku warganegara dalam

kesatuan bangsa dan negara. Sebagai objek formalnya mencakup dua segi, yaitu segi hubungan

antara warganegara dan negara (termasuk hubungan antar warganegara) dan segi pembelaan

negara.

Mata pelajaran PKn memiliki klasifikasi materi yang dirangkum dalam ruang lingkup

pembelajaran. Ruang lingkup  pada materi mata pelajaran PKn sesuai Permendiknas No. 22

Tahun 2006 tentang standar isi, meliputi:


a.  Persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Norma, hukum, dan peraturan.

c.  Hak asasi manusia. 

d. Kebutuhan  warga negara. 

e.  Konstitusi negara. 

f.  Kekuasan dan Politik.

g. Pancasila. 

h. Globalisasi. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa  materi pembelajaran pada mata pelajaran

PKn terangkum dalam  ruang lingkup mata pelajaran  PKn  yang  terdiri dari  beberapa aspek, 

meliputi: ruang lingkup persatuan dan kesatuan bangsa, ruang lingkup norma, hukum, dan

peraturan,  ruang lingkup  HAM  (Hak Asasi Manusia),  ruang lingkup kebutuhan dan konstitusi

negara,  ruang lingkup  kekuasaan dan politik, ruang lingkup pancasila,  serta ruang lingkup

globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Indonesia Bhineka


Tunggal Ika. Makalah Disampaikan dalam Symposium Internasional Antropologi Indonesia ke-
3. Denpasar: Kajian Budaya UNUD.
Budiyanto.Pendidikan Kewarganegaraan .Yogyakarta: UNY Press. 2004.
Cogan, J.J: Howaya, Rk.K: (1999) The Foundation of education. New York: Prentice hall, Inc.
Djahiri, A. Kosasih. 1995. Dasar Umum Metodologi Pengajaran Pendidikan Nilai Moral.
Bandung: Lab. Pengajaran PMP-IKIP Bandung.
Endang Zaelani Zukarya, dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Paradigma.
Prof. DR. H. Kaelani, M.S. dan Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si. Pendidikan Kewarganegaraan
Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit Paradigma:Yogyakarta 2007
Sapriya. (2011). Pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya
Soemantri. (2001). Menggagas Pembelajaran Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya
Sudjana (2003). Dasar-dasar proses belajar mengajar, Bandung : Sinar Baru
Sunarso, dkk.Materi dan Pembelajaran Pkn SD. Jakarta: UniversitasTerbuka. 2006.
Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Winataputra, Udin, 2001. Apa dan bagaimana pendidikan kewarganegaraan, makalah
lokakarya Civic Education Dosen IAIN/STAIN Se-Indonesia, Sawangan Depok.
BAB II
KONSEP NILAI, MORAL DAN NORMA

Pengertian Konsep dalam Materi PKn


Konsep adalah suatu pernyataan yang masih bersifat abstrak/pemikiran untuk
mengelompokan ide-ide atau peristiwa yang masih dalam angan–angan seseorang. Meski belum
diimplementasikan, konsep yang bersifat positif memiliki makna yang baik. Begitu pula
sebaliknya, jika konsep tersebut bersifat negatif maka juga akan memiliki makna negatif pula.
Menurut Bruner (1996) konsep adalah suatu kata yang bernuansa abstrak dan dapat
digunakan untuk mengelompkan ide, benda atau peristiwa. Setiap konsep memiliki nama, contoh
positif, contoh negatif, dan ciri. Contoh konsep HAM, demokrasi, globalisasi, dan masih banyak
lagi. Menurut Bruner setiap konsep mengandung nama, ciri/atribut, dan aturan.

A.     Pengertian Moral


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi
pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari
segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda.
Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang
perbuatan dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak,
sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa
manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan
ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Sementara itu Wila Huky,
sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986: 22) merumuskan pengertian moral secara
lebih komprehensip rumusan formalnya sebagai berikut :
1.      Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu
yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2.      Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama
tertentu.
3.      Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia
terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam lingkungannya.
Walaupun moral itu berada di dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem
yang berwujud aturan. Moral dan moralitas ada sedikit perbedaan, karena moral adalah prinsip
baik buruk sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik buruk. Dengan
demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral
dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.
Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karakter anak pun dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Konsep moral (moral knowing)
mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value),
pandangan ke depan (perspective taking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan
(decision making), dan pengetahuan diri (self knowledge).
ASPEK KONSEP MORAL(moral knowing)
Kesadaran moral → kesadaran hidup berdemokrasi
Pengetahuan nilai moral → pemahaman materi demokrasi
Pandangan ke depan → manfaat demokrasi ke depan
Penalaran moral → alasan senang demokrasi
Pengambilan keputusan → bagaimana cara hidup demokrasi
Pengetahuan diri → introspeksi diri

Sikap moral (moral feeling) mencakup kata hati (conscience), rasa percaya diri (self
esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control),
dan kerendahan hati (and huminity).

ASPEK SIKAP MORAL(moral feeling)


Kata hati → kata hati kita tentang hidup bebas
Rasa percaya diri → rasa percaya diri kita pada bebasberpendapat
Empati → empati kita pada orang yang tertekan
Cinta kebaikan → cinta kita terhadap musyawarah
Pengendalian diri → pengendalian diri kita terhadapkebebasan
Kerendahan hati → menjunjung tinggi dan hormatipendapat lain

Perilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will) dan
kebiasaan (habbit).
ASPEK PERILAKUMORAL(moral behavior)
 Kemampuan → kemampuan menghormati hidupdemokrasi Moral/moralitas
 Kemauan → kemauan untuk hidup berdemokrasi adalah suatu tuntutan
 Kebiasaan → kebiasaanberdemokrasi dengan teman perilaku yang baik yang
dimiliki oleh individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan
tingkah laku. Dalam pembelajaran PKn, moral sangat penting untuk ditanamkan pada anak usia
SD, karena proses pembelajaran PKn SD memang bertujuan untuk membentuk moral anak, yaitu
moral yang sesuai dengan nilai falsafah hidupnya.

B.     Pengetian Norma


Norma adalah tolak ukur/alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan tindakan
manusia. Dalam bahasa Inggris, norma diartikan sebagai standar. Di samping itu, norma juga
bisa diartikan sebagai kaidah atau petunjuk hidup yang digunakan untuk mengatur perilaku
manusia dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara
Norma terdiri dari beberapa macam/jenis, antara lain yaitu :
1.    Norma Agama
Adalah suatu norma yang berdasarkan ajaran aqidah suatu agama. Norma ini bersifat mutlak
yang mengharuskan ketaatan para penganutnya. Apabila seseorang tidak memiliki iman dan
keyakinan yang kuat, orang tersebut cenderung melanggar norma-norma agama. Contoh norma
agama: “ Kamu dilarang membunuh”,. “ Kamu dilarang Mencuri”, “ Kamu harus patuh kepada
Orang tua”, “ Kamu harus beribadah”,“ Kamu jangan menipu”
2.    Norma Kesusilaan
Norma ini didasarkan pada hati nurani atau akhlak manusia. Melakukan pelecehan seksual
adalah salah satu dari pelanggaran dari norma kesusilan. Contoh norma kesusilaan:
      “ Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”.
      “ Kamu harus berlaku jujur”
      “ Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”
      “ Kamu dilarang membunuh sesama manusia”
3.    Norma Kesopanan
Adalah norma yang berpangkal dari aturan tingkah laku yang berlaku di masyrakat. Cara
berpakaian dan bersikap adalah beberapa contoh dari norma kesopanan. Contoh norma
kesopanan:
      “ Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita didalam kereta api, bus, dan lain- lain,
terutama wanita yang tua dan hamil”.
      “ Jangan makan sambil berbicara”
      “ janganlah meludah dilantai atau disembarang tempat”.
      “ orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.
4.    Norma Kebiasaan (Habit)
Norma ini merupakan hasil dari perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam
bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Kegiatan melakukan acara selamatan, kelahiran
bayi dan mudik atau pulang kampung adalah contoh dari norma ini.
5.    Norma Hukum
Adalah himpunan petunjuk hidup atau perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam
suatu masyarakat (negara). Sangsi norma hukum bersifat mengikat dan memaksa. Melanggar
rambu-rambu lalulintas adalah salah satu contoh dari norma hukum. Contoh norma hokum:
      “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/ nyawa orang lain, dihukum karena
membunuh dengan hukuman setinggi- tingginya 15 tahun”
      “ Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti
kerugian”. Misalnya dalam hal jual beli”.
      “Dilarang mengganggu ketertiban umum”.

 Fungsi Norma adalah :


Melindungi hak-hak setiap orang agar tidak dilanggar oleh orang lain.
 Tujuan / Manfaat Norma yaitu :
Mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat agar tercipta ketertiban, keadilan, kedamaian
dan kesejahteraan.
C.     Pengertian Nilai
  Djahiri (1999) nilai adalah harga, makana yang ada pada sesuatu. Dikatakan berniali bilamana
berharga dan bermakna.
  Dictionary dalam Winataputra, nilai adalah harga atau kwalitas.
  Frankel (1978) dalam Sapria dkk, nilai adalah konsep. Makna nilai sebagai konsep tidak
muncul dalam pengalaman yang dapat diamati melainkan ada dalam pikiran orang.
  Nilai dapat diartikan kualitas dari sesuatu atau harga dari sesuatu yang diterapkan pada konteks
pengalaman manusia.
Nilai dapat dibagi atas dua bagian, yakni:
1.    Nilai estetika, terkait dengan maslah keindahan atau apa yang dipandang indah atau apa yang
dapat dinikmati olaeh seseorang.
2.    Nilai etika, dengan tindakan-tindakan/ perilaku/akhlak atau bagaimana orang berprilaku.
Etika terkait dengan masalah moral tentang mana yang benar dan salah. Nilai adalah standar atau
kriteria bertindak, kriteria keindahan, kriteria manfaat, atau disebut juga harga yang diakui oleh
seseorang dan oleh karena itu orang berupaya untuk menjunjung tinggi dan memeliharanya.
Prof. Dr. Notonegoro membagi nilai menjadi tiga bagian, yaitu :
1.    Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
2.    Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakan
kegiatan atau aktivitas.
3.    Nilai kerokhanian, (kebenaran, keindahan, kebaikan, religius) yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi rohani manusia.
Dari poin di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Prof. Dr. Notonegoro nilai adalah segala hal
yang memiliki kegunaan.

D.        Pelaksanaan Pendidikan Nilai, Norma, dan Moral di Indonesia


Secara yuridis-formal, pendidikan nilai, norma dan moral di Indonesia dilaksanakan
melalui pendidikan kewarganegaraan yan berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Republik
Idonnesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) sebagai landasan konstitusional, Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai landasan operasional, dan
Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Nomor 23 Tahum 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sebagai landasan kurikuler. Sejalan dengan
Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP), maka kurikulum pendidikan kewarganegaraan untuk lingkungan lembaga pendidikan
formal dilaksanakan dengan berpedoman pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pada bagian Pembukaan alinea keempat memberikan
dasar pemikiran tentang tujun negara. Salah satu tujuan negara tersebut dapat dikemukakan dari
pernyataan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apabila dikaji, maka tiga kata ini mengandung
makna yang cukup dalam. Mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung pesan pentingnya
pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Dalam kehidupan berkewarganegaraan, pernyataan ini
memberikan pesan kepada para penyelenggara negara dan segenap rakyat agar memiliki
kemampuan dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku secara cerdas baik dalam proses pemecahan
masalah maupun dalam pengambilan keputusan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan.
UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas sebagi landasan operasional penuh dengan pesan yang
terkait dengan pendidikan kewarganegaraan. Pada Pasal 3 ayat (2) tentang fungsi dan tujuan
negara dikemukakan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
perdaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adanya ketentuan tentang pendidikan kewarganegaraan dalam UU Sisdiknas sebagai
mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menu njukkan bahwa
mata pelajaran ini menempati kedudukan yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan
nasional di negara ini. Adapun arah pengembangannya hendaknya difokuskan pada
pembentukan peserta didik agar menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air.
DAFTAR PUSTAKA

    Nafi’ah,muslikhatun. 12 april 2014. KONSEP, NILAI, NORMA, DAN MORAL,

http://muslikhatunnafiah.blogspot.com/2014/09/konsep-nilai-norma-dan-
moral.html (online)
      Diposkan oleh Ufiq Twenty-Four Blogger di 04.13

”Pengertian Konsep, Nilai, Moral, Norma dalam Pembelajaran PKn

SD dan Analisis materi Pembelajaran PKn SD dalam kurikulum

2006” http://ufiqtwentyfour.blogspot.com/2014/04/pengertian-konsep-nilai

moral-norma.html
Disiplin Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan
A. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif
dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and
good citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. . Sampai saat ini bidang itu sudah
menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam
lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan
tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam
kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas
dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau
sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai
kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang
dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan
dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin
ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru dalam statusnya yang ketiga
yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan
merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program
Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan
Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah
pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya
merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan
kewarganegaraan.

Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan
disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini
berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan
kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu
pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru.
Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai
suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Disiplin ilmu pendidikan
lebih kepada pendidikan tentang ilmu pendidikan seperti misalnya fakultas ilmu pendidikan.
Sedangkan pendidikan disiplin ilmu mengacu kepada fakultas lainnya seperti pendidikan MIPA,
pendidikan IPS, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Bahasa, dan lain sebagainya.
Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu sosial dirumuskan sebagai “program
pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan
disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan” (hlm. 19, Dokumen ISPI, 1995).
Rumusan akademik tentang pendidikan disiplin ilmu/bidang studi tersebut bertujuan untuk
memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan, khususnya untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, karena pendidikan keguruan mempunyai fungsi
mengembangkan akademik tingkat perguruan tinggi dan harus dapat menerapkannya untuk
tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka karakter pendidikan disiplin ilmu yang dibina
harus memperhatikan dan mempelajari segala sesuatu yang berkenan dengan sifat peserta didik,
kurikulum, buku pelajaran, serta sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Sama halnya dengan disiplin ilmu pendidikan, pendidikan disiplin ilmu atau bidang studi harus
merujuk kepada tiga unsur disiplin ilmu, yakni;
1. A community of scholars who choose to call themselves by a particular name,
2. A body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consist of facta,
concepts, generalizations and theories,
3. A method of approach to knowledge, i.e process whereby these scholars acquire, organize, and
use their knowledge (Dufty, 1986:154)
Rujukan ketiga unsur disiplin ilmu tersebut hendaknya diikuti oleh masyarakat ilmiah ilmu
pendidikan yang melalui pendekatan syntactical structure dan conceptual structur menghasilkan
berbagai penelitian pendidikan. Pendidikan disiplin bidang studi merupakan suatu synthentic
discipline, baik dilihat dari perkembangan akademik IKIP maupun peningkatan mutu pendidikan
dasar dan menengah serta kemungkinan penugasan di luar bidang kependidikan sekalipun
(Wider mandate, Numan Somantri, 2001)
Disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu dituntut untuk berinteraksi dalam
keseluruhan jaringan ilmu, teknologi, dan seni demi pemecahan masalah pembangunan nasional.
Hal ini hanya dapat dilakukan apabila Disiplin Ilmu Pendidikan dan Disiplin Pendidikan ilmu
tidak terlalu melihat pendidikan secara mikro seperti prosese belajar mengajar di kelas,
melainkan harus meleburkan diri secara makro dan inter-serta trans-disipliner dengan berbagai
disiplin ilmu lainnya. Adapun cirri-ciri dari Pendidikan Disiplin Ilmu dalam banyak kepustakaan
dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu adalah hasil rekayasa “intercross-, dan trans-discipliner” antara
Disiplin Ilmu Pendidikan dengan disiplin ilmu “murni” (di universitas) untuk tujuan pendidikan
dasar, menengah, dan Fakultas Pendidikan (bidang studi).
2. Pendidikan Disiplin Ilmu merupakan seleksi, adaptasi, modifikasi dari hubungan inter-
discipliner antara Disiplin Ilmu Pendidikan dan disiplin ilmu (universitas) yang diorganisasikan
dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (NCSS).
3. Pendidikan Disiplin Ilmu “is conceive as the subject matter of the academic disciplines
somehow selected, simplifield, adapted, and modified for school instruction” (NCSS).
4. Pendidikan Disiplin Ilmu ada juga yang menyebutnya “middle studies” karena berdiri pada
dua disiplin ilmu, yaitu sains dan humaniora (Earl Johnson).
Selanjutnya menurut Numan Somantri (2001):
pendidikan Disiplin Ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang menyeleksi konsep,
generalisasi dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan Disiplin Ilmu
Pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan. Karena tujuan akhir Pendidikan Disiplin Ilmu adalah tujuan pendidikan itu sendiri,
maka keterkaitan Pendidikan Disiplin Ilmu ini sangat luas di antaranya dengan agama, filsafat
ilmu, filsafat pancasila, sains, teknologi dan masalah-masalah social yang dihadapi.
Sebagai batang tubuh disiplin baru, Pendidikan Disiplin Ilmu tetap memiliki sifat-sifat disiplin
ilmu dan berinteraksi dengan disiplin ilmu pendidikan:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu harus menciptakan “a community of scholars”.
2. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a body of thinking, speaking, and above all,
writing by these scholars which consist of fact, concepts, generalizations, and theories”.
3. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a method of approach to knowledge, i.e a process
whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge” (Dufty, 1986).
Dalam forum komunikasi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Yogyakarta tahun
1991, dirumuskan tentang Disiplin Ilmu Soaial sebagai berikut:
Pendidikan Disiplin Ilmu Sosial adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu social
yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan
pendidikan FPIPS dalam kerangka pencapaian tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila,
sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berkaitan dengan hal di atas maka kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari
pendidikan disiplin ilmu social, tidak terlepas dari konsep disiplin ilmu social itu sendiri,
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan disiplin ilmu social yang tidak tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan disiplin ilmu politik dan hukum yang juga bernaung di bawah
pendidikan disiplin ilmu sosial. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-
bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin
(Dufty,1970; Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking,
speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan
warisan sistem nilai (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat
deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) secara
paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto
science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian
dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan”
sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan
sebagai disiplin yang matured. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan
digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi
pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.
Sedangkan Ilmu Kewarganegaraan sebagai disiplin ilmu bertujuan untuk mengemangkan
konsep, teori mengenai peranan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain
berkenaan dengan demokrasi politik yang meliputi hak dan kewajiban, kegiatan dasar manusia,
yang diorganisir secara ilmiah, pdagogis, dan psikologis. Sehingga dengan orientasi yang
fundamental tersebut, diharapkan terbentuknya warga negara yang baik dapat direalisasikan
secara optimal.
Dalam kajiannya sebagai salah satu dari pendidikan disiplin ilmu, istilah Pendidikan
Kewarganegaraan sering disamakan dengean Ilmu Kewarganegaraan. Namun sebenarnya,
Pendidikan Kewarganegaraan cakupannya lebih luas dari pada Ilmu Kewarganegaraan , terkait
dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraa yang merupakan disiplin ilmu sebagai bentuk
pembelajaran dari proses dan cara pembinaan terhadap warga negara menjadi warga Negara
yang baik dengan acuan disiplin ilmu dari Ilmu kewarganegaraan. karena antara Pendidikan
Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan adalah satu rangkaian disiplin ilmu yang saling
berkaitan maka diperlukan sebuah konsep dimana antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu
Kewarganegaraan saling mengisi satu sama lain. Sehingga terjalin hubungan konsep yang
berkesinambungan.
B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Disiplin Ilmu
Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) sebagai suatu ilmu Kewarganegaraan memenuhi syarat
sebagai sebuah ilmu seperti ilmu pengetahuan lainnya. Civics juga merupakan kumpulan dari
berbagai macam pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari para pakar,
khususnya ilmu politik yang dipadukan secara harmonis dan telah diuji kebenarannya. Menurut
pandangan para pakar ilmu pengetahuan, suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu apabila
suatu pengetahuan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti bersifat objektif, sistematis,
eksperimental, memperluas pengetahuan, dan memiliki metode. (Suriakusumah, 1992).
1. Objektif
Artinya bahwa kesimpulan yang ditarik bebas dari perasaan-perasaan maupun prasangka-
prasangka perseorangan, serta menjauhi hal-hal yang bersifat subjektif. Memang civics
mempelajari perilaku manusia yang selalu penuh dengan dinamika, sehingga sulit diramalkan
secara ilmiah. Namun demikian setiap ilmu berusaha menyederhanakan bahan penelitiannya.
Dewasa ini ilmu-ilmu social termasuk didalamnya civics/Pendidikan Kewarganegaraan itu
sendiri telah mengembangkan berbagai teknik kuantitatif penggunaan konsep-konsep,
generalisasi-generalisasi, serta teori-teori yang dapat diuji secara empiris.
2. Sistematis
Dalam arti ilmu berupaya melihat sejumlah observasi yang kompleks dalam hubungan yang
logis. Guna melihat keseluruhan dunia kenyataan, Pendidikan Kewarganegaraan membentuk
berbagai macam teori-teori maupun pengertian-pengertian dari para ahli, yang dapat memberikan
pegangan dalam mempelajari keadaan lingkungan sekitarnya.
3. Eksperimental
Kesimpulan yang ditarik sebagai suatu hasil penelitian seyogyanya merupakan hasil percobaan,
sebab dengan eksperimenlah dapat diperoleh kesimpulan yang seobjektif mungkin berdasarkan
pengujian yang berulang-ulang. Dalam teori perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dapat
dipelajari banyaknya eksperimen yang dilakukan oleh para ahli dalam upaya meningkatkan
persatuan dan kesatuan bansa sesuai dengan perkembangan serta tuntutan perubahan zaman.
4. Memperluas Pengetahuan
Artinya suatu pengetahuan tidak berhenti setelah dipecahkannya suatu masalah, akan tetapi
pemecahan masalah tersebut kiranya memberi kesempatan membuka suatu permasalahan baru.
Demikian pula dengan civics, para pakar tidak berhenti pada suatu masalah yang telah mereka
pecahkan, justru dengan pengetahuan itulah mereka berusaha mengetahui bahwa ada sesuatu
yang lain yang belum mereka ketahui. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya pelajaran civ
cs, baik di Negara-negara asing maupun di Indonesia yang berkaitan dengan isi maupun
peristilahannya.
5. Memiliki Metode
Hakikat ilmu yang utama adalah sebagai suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan dunia
empiris, yaitu dunia kenyataan yang dapat dikenal oleh manusia melalui berbagai macam
pengalamannya. Civics tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris
manusia dalam hubungannya dengan negaranya masing-masing. Dari berbagai macam
pengalaman tersebut dilakukanlah berbagai cara pendekatan yang dari waktu ke waktu
diharapkan menjadi lebih baik serta bermanfaat.
Selain itu, sebuah ilmu juga harus memiliki unsur ontologi, epistimologi dan aksiologi.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu yang
bersifat terapan. Oleh karenanya pendidikan kewarganegaraan juga memiliki ketiga unsur
tersebut. Ketiga unsur tadi akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Ontologi
Unsure ontologi pendidikan kewarganegaraan memiliki dua dimensi, yakni objek telaah dan
objek pengembanngan (Winataputra, 2001). Objek telaah adalah keseluruhan aspek idiil,
instrumental, dan praksis. Yang dimaksud dengan aspek idiil pendidikan kewarganegaraan
adalah landasan dan kerangka filosofik yang menjadi titik tolak sekaligus sebagi muaranya
pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Yang termasuk ke dalam aspek idiil disini adalah
landasan dan tujuan pendidikan nasional dalam UUD 1945 dan UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Sementara itu, yang dimaksud dengan aspek instrumental pendidikan kewarganegaraan adalah
sarana programatik kependidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan
substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek instrumental tersebut adalah
kurikulum, bahan belajar, guru, media, dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar
dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud dengan praxis dalam bahasa Latin, pendidikan kewarganegaraan adalah
perwujudan nyata dari sarana programatik pendidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya
merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewraganegaraan
sebagai dimensi yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat dan kemampuan para praktisi,
serta konteks pendidikan kewarganegaraan yang didikat oleh substansi idiil sebagai dimensi
pronesis yakni truth and justice (Carr and Kemis: 1986 dalam Budimansyah & Suryadi). Yang
termasuk ke dalam praksis pendidikan kewarganegaraan adalah interaksi belajar di kelas dan
atau di luar kelas dan pergaulan social-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan.
Sedangkan objek pengembangan pendidikan kewarganegaraan adalah ranaha social-psikologis,
yakni keseluruhan potensi social peserta didik yang oleh Bloom (1956), Kratzwohl (1962),
Simpson (1967), dikategorikan sebagai ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang
secara programatik diupayakan untuk ditingkatkan kualitas dan kuatitasnya melalui kegiatan
pendidikan.
Aspek kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah menjadi insane berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Visi Pendidikan
Nasional menurut UU No. 20 tahun 2003). Sejalan dengan hal ini Depdiknas berhasrat untuk
menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif
meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas social, cerdas intelektual, dan cerdas
kinestetik. Sedangkan maksud manusia kompetitif adalah memiliki kepribadian unggul dan
gandrung akan keunggukan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, inovatif,
produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajar sepanjang hayat.
2. Unsur Epistimologi
Epistimologi pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi
pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui
metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengembangan
digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kulikuler yang relevan guna
mengembangkan aspek-aspek social-psikologis peserta didik dengan cara mengorganisasikan
berbagai unsure instrumental dan kontekstual pendidikan. Metode penelitian dan metode
pengembangan dapat pula diperlakukan secara terintegrasi sebagai kegiatan penelitian dan
pengembangan, seperti dalam bentuk kegiatan penelitian tindakan atau “action research”.
3. Unsur Aksiologi
Aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian, hasil
pengembangan, dan/atau hasil penelitian dan pengembangandalam bidang kajian pendidikan
kewarganegaraan yang telah dicapai bagi kepentingan dunia pendidikan, khususnya bagi dunia
persekolahan dan pendidikan tenaga kependidikan. Salah satu contoh penting manfaattersebut
adalah dikembangkannya berbagai model pembelajaran nilai yang merupakan salah satu misi
dari pendidikan kewarganegaraan.
Visi bahwa pendidikan kewarganegaraan bertujuan mewujudkan masyarakat demokratis
merupakan reaksi atas kesalahan paradigma lama yang masih menggunakan istilah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). PPKn sangat mencolok dengan misi mewujudkan sikap
toleransi, tenggang rasa, memelihara persatuan kesatuan, tidak memaksakan pendapat,
menghargai, dan lain-lain yang dirasionalkan demi kepentingan stabilitas politik untuk
mendukung pembangunan nasional.
Misi dari pendidikan kewarganegaraan dalam lingkup dunia pendidikan di sekolah dewasa ini
dapat disimpulkan dari bagian pendahuluan pada naskah Standar Isi mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Misi dari Pendidikan Kewarganegaraan dirangkum Winarno (2007:114-115)
sebagai berikut:
Berdasarkan praktik pendidikan selama ini Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia ternyata
tidak hanya menggambarkan misi sebagai pendidikan demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan
mengembangkan misi, sebagai berikut:
1) Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan kewarganegaraan dalam arti sesungguhnya
yaitu civic education. Berdasarkan hal ini, Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membina dan
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik berkenaan dengan penerapan,
tugas, hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek
kehidupan bernegara. Misalnya pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dalam pelajaran
civic (Kurikulum 1957/1962); Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan Integrasi Sejarah,
Ilmu Bumi, dan Kewarganegaraan (Kurikulum 1964); Pendidikan Kewarganegaraan Negara,
yang merupakan perpaduan Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civic (Kurikulum 1968/1969)
dan PPKn (1994).
2) Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan karakter. Dalam hal ini
Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan nilai-nilai bangsa yang
dianggap baik sehingga terbentuk warga negara yang berkarakter baik bagi bangsa bersangkutan.
Contoh: Pendidikan kewarganegaraan dimuatkan dalam pelajaran PMP (1975/1984), Pelajaran
PPKn (kurikulum 1994). Di perguruan tinggi diberikan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
Filsafat Pancasila.
3) Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan bela negara. Pendidikan kesadaran bela
negara sehingga dapat di andalkan untuk menjaga kelangsungan negara dari berbagai ancaman.
Contoh, diberikan mata kuliah Kewiraan di Perguruan tinggi.
4) Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi (politik) pendidikan
kewarganegaraan mengembangkan tugas menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang
demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi negara. Dengan pendidikan
kewarganegaraan, akan ada sosialisasi, deseminasi, dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi
pada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai