Anda di halaman 1dari 31

DASAR DAN KONSEP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

 A.    PENGERTIAN

Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang
dikehendaki. Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan
atau ikatan antara negara dengan warga negara. Jadi, Pendidikan Kewarganegaraan adalah usaha
menyiapkan peserta didik yang diarahkan untuk menjadi patriot pembela bangsa dan negara.

Pendidikan kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di seluruh dunia,


meskipun dengan berbagai macam istilah atau nama. Mata pelajaran atau mata kuliah tersebut
sering disebut sebagai civic education, citizenship education, dan bahkan ada yang menyebut
sebagai democracy mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab dan
berkeadaban. Berdasarkan rumusan “Civic Internasional” disepakati bahwa pendidikan
demokrasi penting untuk pertumbuhan civic culture, untuk keberhasilan pengembangan dan
pemeliharaan pemerintahan demokrasi (Mansoer, 2005).

Di Indonesia, pengertian Pendidikan Kewarganegaraan tercantum dalam UU No. 2 tahun 1989


tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan usaha membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampua dasar berkenaan
dengan hubungan antar warga negara dan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
(PPBN) agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.

               1. Civics (Ilmu Kewarganegaraan)

Cheresore dalam Budimansyah, D dan Suryadi, K (2008:2) mengartikan Civics Sebagai


the Science of citizhenship atau Ilmu Kewarganegaraan yang isinya mempelajari hubungan
antara individu dan individu dan Negara. Dalam hal ini individu itu sebagai warga negara
sehingga civics memepelajari tentang hubungan antara warga negara dan negara.
Kewarganegaraan dalam Bahasa Latin disebut “CIVIS” selanjutanya dari kata “CIVIS”
dalam bahasa inggris disebut “Civic” artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan.
Dari kata Civic  ini lahirlah kata Civics Ilmu kewarganegaraan, Civic Education dan Pendidikan
Kewarganegaraan (Darmadi,2010:7)
Perkembangan kajian mengenai civics tidak lepas dari sejarah perkembangan negara USA
(United State of Anerika/ Amerika Serikat). Civics mulaidiperkenalkan di Amerika Serikat pada
tahun 1790 dalam rangka mengamerikakan bangsa Amerika atau yang terkenal dengan  nama
“theory of Americanization” (Darmadi,2010:7) hal ini dikarenakan keberagaman bangsa
Amerika yang berasal dari berbagai bangsa yang dating ke Amerika Serikat agar memiliki satu
indentitas sebagai bangsa Amerika. Untuk menjadikan orang-orang yang berasal dari berbagai
bangsa ini menjadi bangsa Amerika maka diajarkan Civics bagi warga negara Amerika. pada
masa tersebut membicarakan masalah government, hak dan kewajiban warga negara dan civics
bagian dari ilmu politik. (Darmadi, 2010:8)

2.  Civic Education (Pendidikan Kewaranegaraan)

Mahoney dalam Budimansyah, D dan Suryadi K. (2008)  menjelaskan civic Education


merupakan suatu proses pembelajaran semua mata pelajaran, kegiatan siswa, proses adminsitrasi
dan pembinaan dalam upaya mengembangkan perilaku warga negara yang baik.
Azyumardi Azra dalam Darmadi (24:2010) Rumusan Civic Education  mencakup :
a.       Pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya
b.      Pemahan tentang “rule of law” dan Hak Asasi Manusia seperti tercermin dalam rumusan-
rumusan perjanjian dan kesepakatan internasional dan local
c.       Penguatan ketrampilan partisipasi yang akan memperdayakan peserta didik untuk merespons
dan memecahkan masalah-masalah masyarakat secara demokratis.
d.      Pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian pada lembaga-lembaga pendidikan dan
seluruh aspek kehidupan masyarakat.

3.      Citizenship Education/Civic[s] Education (Pendidikan bagi Warga Negara)


Penulisan istilah Civic[s] Education dengan menggunakan huruf s di belakang kata civic
merupakan istilah yang digunakan para ahli untuk menyebutkan Citizenship Education,  (Wahab,
Abdul Azis dan Sapriya, 32:2011)  oleh karena itu penulisan istilah ini penting untuk diketahui
agar tidak terjadi kesalahan penulisan istilah.
Cogan dan Deriicot dalam  Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya (32:2011) menjelaskana
mengenai pengertian  lengkap mengenai Citizen, Citizenship dan Citizenship Education : A
Citizen was defined as a constituent member of society. Citizenship on the other hand, was said
to be a set of characteristic of being a citizen. And finally, Citizenship Education the underlying
focal point of a study, was defined as the contribution of education to the development of those
characteristic.
A.    Civics: Ilmu Kewarganegaraan dan Pengetahuan Warga Negara
Civics berasal dari kata latin civicus yang berarti warga negara (citizen atau citoyen).
Carter Van Good (1973:99) memberi argument mengapa Civics disebut ilmu kewarganegaraan
karena di belakang kata Civics terdapat huruf s, ini menunjukkan sebagai sebuah ilmu sama
seperti Economics atau Politics. Ilmu kewarganegaraan ini tentu saja sebagai sebuah disiplin
ilmu yang memilki tujuan, metode, dan objek studi tertentu.

Civics, selain bertujuan membentuk warga negara yang baik yaitu warga negara yang
tahu dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara, Civics juga
bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang mampu membudayakan lingkungannya serta
mampu memecahkan masalah-masalah individu warga negara yang mampu memecahkan
masalahnya secara individual maupun masyarakat di sekitarnya. Hubungan antar civics, civic
education, dan citizenship education, Civics atau juga disebut ilmu kewarganegaraan
menekankan pembahasannya pada aspek teroritik tentang hah-hak dan kewajiban-kewajiban
warga negara yang baik. Bagaimana kaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan (Civic
Education) juga secara sekilas telah dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan
perluasan dari civics yang lebih menekankan pada aspek-aspek praktik kewarganegaraan.
Citizenship education mengenai hal ini Stanley B. Dimond (Numan Somantri, 1968: 11)
menjelaskan tentang pengertian civics atau citizenship education dalam arti luas dan sempit
dalam kaitannya dengan kehidupan sekolah dan masyarakat. Gross and Zeleny menyatakan
bahwa pengertian civics lebih menekankan pada teori dan praktik pemerintah demokrasi
sedangkan dalam arti luas lebih diorientasikan pada citizenship education yang lebih
menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam permasalahan-permasalahan
kemasyarakatan.1
Sebagai ilmu maka Civics dalam perkembangannya menunjukkan bahwa ilmu
kewarganegaraan ini dapat berkembang dan tumbuh jika menjalin hubungan yang saling
memperkaya (cross vertilization) antara berbagai disiplin ilmu social dan bahkan “trans” disiplin
karena memang cirinya adalah tumbuh dan berkembang dengan menggunakan pendekatan
multidisiplin sebagai salah satu cirinya. Atas dasar itu Ilmu Kewarganegaraan tersebut
memberikan pemahaman dasar-dasar teoritik tentang kewarganegaraan.
B.     Citizen, Citizenship, dan Civic/ Citizenship Education (Pendidikan Kewarganegaraan)
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah perluasan dari civics yang lebih menekankan
pada aspek-aspek praktik kewarganegaraan. Oleh sebab itu, Pendidikan kewarganegaraan juga
disebut pendidikan orang dewasa (adul education) yang mempersiapkan siswa menjadi warga
negara yang memahami perannya sebagai warga negara. Dimond mengemukakan bahwa
pengertian civics atau citizenship education memiliki makna dalam arti luas dan arti sempit bila
dikaitkan dengan kehidupan sekolah dan masyarakat. Dalam arti sempit, Civics lebih
menekankan pada aspek teori dan praktik pemerintahan demokrasi, sedangkan dalam arti luas
yang disebut citizenship education lebih menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga
negara dalam permasalahan-permasalahan kemasyrakatan.

Citizen atau warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat
tertentu dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warga negara dan negara,
warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warga negara
juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara. Dalam hubungan
internasional di setiap wilayah negara selalu ada warga negara dan orang asing yang semuanya
disebut penduduk. Setiap warga negara adalah penduduk suatu negara, sedangkan setiap
penduduk belum tentu warga negara.

2
Citizenship atau Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan
politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara.
Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di
dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga
kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan
ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial)
yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality).
Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk
memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan
subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam
politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu
negara.
Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik (negara), dan
dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik. Seseorang dengan keanggotaan
tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara umum mirip dengan kebangsaan, walaupun
dimungkinkan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara
hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak
berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi
bangsa dari suatu negara.
Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu
dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius
soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran,
sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.

3
Istilah kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan
hubungan atau ikatan antara neagara dengan warga negaranya. Seperti yang di jelaskan dalam
Pasal II Peraturan Penutup Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI,
dimana kewarganegaraan diartikan sebagai segala jenis hubungan dengan suatu yang
mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan.
Adapun menurut UU Kewarganegaraan RI, kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang
berhubungan dengan negara. (Pendidikan Kewarganegaraan, Winarno, S.Pd. M.Si.).

C.    Pendidikan Kewarganegaraan dalam Demokrasi


Mengikuti perkembangan konsep tentang warga Negara sebagai konsep politik Barat
telah mendorong para peneliti dan ahli bidang PKn untuk melakukan berbagai studi yang
hasilnya dapat dirasakan dalam perkembangan pemahaman mengenai konsep kewarganegaraan
dan PKn secara keseluruhan. Studi-studi tersebut tidak terlepas dari posisi ilmu-ilmu social
khususnya bidang-bidang disiplin ilmu Politik, Sosiologi dan Ekonomi.
Mengapa? Karena tidak ada ahli sosiologi, misalnya yang dapat memahami studi
kemasyarakatan tidak memasukkan sistem politik sebagai bagian utama analisisnya. Sebagai
misal dapat dikemukakan bahwa studi kemasyarakatan pada sebuah masyrakat demokratis akan
menempatkan prinsip demokrasi sebagai krakteristik dari sistem sosial dan tentunya juga akan
dikaji berbagai topik diantaranya tentang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk sebuah
masyarakat dan organisasi-organisasi demokratis serta faktor-faktor yang mempengaruhi
partisipasi seseorang didalam politik khususnya yang menyangkut perilakunya sebagai pemilih;
dan sumber-sumber pendukung yang menunjang nilai-nilai dan gerakan-gerakan yang
menghambat atau mempertahannkan lembaga-lembaga demokratis.
 

Dari uraian pengertian diatas, disimpulkan jika Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan agar
kita memiliki kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan
perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila.

B. visi, misi, dan Tujuan PPKn

Menurut Wibisono (2006, p.43), visi merupakan rangkaian kalimat yang menyatakan cita-cita
atau impian dari seorang individu, oraganisasi atau perusahaan yang ingin dicapai di masa depan.
Atau dapat dikatakan bahwa visi merupakan pernyataan ‘want to be’ dari seorang individu,
organisasi atau perusahaan.Visi juga merupakan hal yang sangat krusial bagi suatu individu,
organisasi atau perusahaan untuk menjamin kelestarian dan kesuksesan jangka panjang.
Dalam visi juga terdapat nilai-nilai, aspirasi serta kebutuhan untuk menjamin suatu indivisu,
organisasi atau perusahaan di masa depan seperti yang di ungkapkan oleh Kotler yang dikutip
oleh Nawawi (2000:122), visi adalah pernyataan tentang tujuan individu, organisasi atau
perusahaan yang diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan kebutuhan yang
dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang di layani, nilai-nilai yang di peroleh serta
aspirasi dan cita-cita masa depan.

Visi yang efektif antara lain harus memiliki karakteristik seperti :


1. Imaginable (dapat di bayangkan).
2. Desirable (menarik).
3. Feasible (dapat dicapai).
4. Focused (jelas).
5. Flexible (aspiratif dan responsive terhadap perubahan lingkungan).
6. Communicable (mudah dipahami).
Visi bagi organisasi atau perusahaan dapat digunakan sebagai :
1. Penyatuan tujuan, arah dan sasaran organisasi atau perusahaan.
2. Dasar untuk pemanfaatan dan alokasi sumber daya serta pengendaliannya.
3. Pembentuk dan pembangun budaya perusahaan.

Misi
Misi sangatlah berbeda dengan visi. Misi adalah proses atau pernyataan yang harus dikerjakan
oleh individu, organisasi atau perusahaan dalam usahanya mewujudkan visi. Jadi secara garis
besarnya visi dengan misi walaupun sangat berbeda arti namun mempunyai hubungan yang
sangatlah erat.Tidak mungkin ada visi apabila misi nya tidak ada.Dan begitu pula dengan misi
tidak aka nada kalau visinya tidak ada. Misi juga memberikan arah dan batasan dalam proses
pencapaian visi tersebut.

Dalam era globalisasi sekarang ini setiap mahasiswa dtuntut untuk dapat mewujudkan
nilai-nilai kenegaraan dan pancasila serta rasa kebanggaan dan cinta akan tanah airnya ditambah
dengan tuntutan untuk mengikuti perkembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi),
politik serta seni budaya. Seiring perkembangan teknologi, setiap mahasiswa bukan hanya
dituntut dapat mengaplikasikan.Namun juga dapat mengembangkan melalui berbagai macam
metode.Salah satunya adalah dengan mengikuti penelitian di lembaga-lembaga yang
berhubungan dengan riset dan penelitian.Serta pelatihan-pelatihan dan seminar yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diadakan oleh berbagai macam
lembaga. 

Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 43/DIKTI/Kep/2006, tujuan Pendidikan


Kewarganegaraan adalah dirumuskan dalam visi dan misi sebagai berikut.

Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan
pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program study, guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada
suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus
memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan
bangsanya.

Misi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa


memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar
Pancasila, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan
bermoral. 

Dari penjabaran visi-misi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tujuan utama
Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara,
sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, Wawasan
Nusantara, serta Ketahanan Nasional dalam diri mahasiswa calon sarjana/ilmuwan warga negara
NKRI yang sedang mengkaji dan akan menguasai iptek dan seni. Kualitas warga negara akan
ditentukan  terutama oleh keyakinan dan sikap hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
disamping derajat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajarinya.

 C.    LANDASAN HUKUM DAN LANDASAN ILMIAH

1. Landasan Hukum

Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Sedangkan kata
hukum adalah sesuatu yang dapat dipandang sebagai aturan baku yang patut ditaati. Hukum atau
aturan baku diatas tidak selalu dalm bentuk tertulis.

Jadi landasan hukum dapat diartikan sebagai tempat terpijak atau titik tolak dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu

Adapun landasan hukum pelaksanaan mata kuliah ini adalah sebagai berikut:

a. UUD 1945

1.  Pembukaan UUD 1945 alinea keempat memberikan dasar pemikiran tentang


tujuan negara. Salah satu tujuan negara adalah “Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa” yang mengandung makna yang dalam. Dalam kehidupan
berkewarganegaraan, pernyataan ini memberikan pesan kepada para
penyelenggara negara dan segenap rakyat agar memiliki kemampuan dalam
berpikir, bersikap, dan berperilaku.
2. Pasal 27 (1) menyatakan bahwa “Segala warga Negara bersam kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”.
3. Hak dan kewajiban setiap warga Negara untuk ikut serta dalam pembelaan
Negara yang tercantum pada Pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
4. Pasal 31 (1) menyatakan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan
pengajaran”

b. Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam

       Keputusan tersebut menetapkan realisasi pendidikan bela negara melalui jalur pengajaran/
pendidikan khususnya   pendidikan tinggi.

    UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan


Negara Republik Indonesia dalam Lembaran Negara1982 No. 51, TLN 3234

1. Hak dan kewajiban warga negara dalam upaya bela negara melalui pendidikan
pendahuluan bela negara sebagai bagian integral pendidikan nasional yang
tercantum pada Pasal 18.
2. Ketentuan bahwa PPBN wajib diikuti oleh setiap warga negara. Pendidikan ini
dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, dan tahap selanjutnya melalui mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan pada jenjang Pendidikan tinggi yang tercantum pada Pasal 19
ayat (2).

Undang-undang tersebut disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2002 tentang UU Pertahanan


Negara.

 Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam:

Nomor061U/1985

KEP/002/II/1985

Mata kuliah Kewarganegaraan sebagai salah satu Mata kuliah Dasar Umum (MKDU) pada
semua perguruan tinggi di Inonesia.

 UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Penjelasan bahwa Pendidikan Bela Negara dan Pendidikan Kewiraan termasuk dalam
Pendidikan Kewarganegaraan yang tercantum pada Bab IX Pasal 39 ayat (2), disempurnakan
dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 Keputusan Mendiknas No. 232/U/2000 tentang penyusunan kurikulum Pendidikan


Tinggi dan penilaian hasil belajar mahasiswa.

2. Landasan Ilmiah

Landasan ilmiah pendidikan yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari berbagai cabang atau
disiplin ilmu yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi
pendidikan.

Landasan ilmiah dalam pendidikan kewarganegaraan meliputi sebagai berikut:

a.      Dasar Pemikiran Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan
bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk
itu diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang berlandaskan
nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-
nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup setiap warga negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahasan Pendidikan Kewarganegaraan
meliputi hubungan antara warga negara dengan negara, serta pendidikan pendahuluan bela
negara yang semua ini berpijak pada nilai-nilai budaya serta dasar filosofi bangsa. Hal itulah
yang menjadi landasan dalam Pendidikan Kewarganegaraan.

 b.      Objek Pembahasan Pendidikan Kewarganegaraan


Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, yaitu mempunyai objek, metode, system, dan
bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material maupun objek
formalnya. Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh suatu bidang atau
cabang ilmu. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu  yang dipilih untuk
membahas objek material tersebut. adapun objek material dari Pendidikan Kewarganegaraan
adalah segala hal yang berkaitan dengan warga negara yang meliputi wawasan, sikap dan
perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan negara. Sebagai objek formalnya mencakup 2
segi, segi hubungan antara warga negara dan negara dan segi pembelaan negara. Dalam hal ini
Pendidikan Kewarganegaraan terarah pada warga negara Indonesia dalam hubungannya dengan
negara Indonesia dan pada upaya pembelaan negara Indonesia.

 c.       Rumpun Keilmuan

Pendidikan Kewarganegaraan dapat disejajarkan dengan Civics Education yang dikenal di


berbagai negara. Sebagai bidang studi ilmiah, pendidikan kewarganegaraan bersifat
antardisipliner bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan yang membangun ilmu
kewarganegaraan ini diambil dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu upaya pembahasan dan
pengembangannya memerlukan sumbangan dari berbagai disiplin ilmu yang meliputi ilmu
politik, ilmu hukum, ilmu filsafat, ilmu sosiologi, ilmu administrasi negara, ilmu ekonomi
pembangunan, sejarah perjuangan bangsa dan ilmu budaya.

 D.    KOMPETENSI YANG DI HARAPKAN

Kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh rasa tanggung jawab yang
harus dimiliki oleh seseorang agar ia mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan
tertentu.

Kompetensi lulusan Pendidikan Kewarganegaraan adalah  seperangakat tindakan cerdas, penuh


rasa tanggung jawab dari seorang warga Negara dalam berhubungan dengan Negara, dan
memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara dengan
menerapkan konsepsi falsafah bangsa, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.

Penguasaan kompetensi (kecakapan) yang diharapkan bagi mahasiswa setelah mempelajari mata
kuliah kewarganegaraan ini adalah sebagai berikut:

1. Mempunyai kemampuan berpikir, bersikap nasional dan dinamis, berpandangan luas


sebagai intelektual.
2. Mempunyai wawasan kesadaran berbangsa dan bernegara untuk membela Negara yang
dilandasi oleh rasa cinta tanah air.

Kesadaran bela negara ini berwujud sebagai kerelaan dan kesediaan melakukan upaya untuk
kelangsungan hidup bangsa dan negara  melalui bidang profesinya.

3. Mempunyai wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa dan bernegara dan ketahanan nasional
(National Resillience) untuk kelangsungan hidup bangsa dan Negara (Natural Survival).
Merupakan suatu tuntutan pula bahwa bangsa Indonesia, terutama pemimpin termasuk para
mahasiswa sebagai calon pemimpin harus mengenal dan memahami konsepsi pertahanan
nasional.

4. Mempunyai pola pikir, pola sikap yang komprehensif integral dalam memecahkan masalah
dan implementasi pembangunan nasional pada seluruh aspek kehidupan nasional.

Pola pikir secara komprehensif integral adalah kemampuan berpikir tentang  sesuatu dalam
kaitannya dengan keseluruhannya. Dalam memandang peristiwa yang terjadi di masyarakat tidak
boleh memandang secara individu/golongan melainkan berdasarkan pandangan kepentingan
bersama, yaitu kepentingan masyarakat/bangsa dari berbagai aspek.

Dari uraian diatas tampak bahwa dalam mengisi kemerdekaan dan menghadapi pengaruh global,
setiap warga negara NKRI pada umumnya dan mahasiswa calon sarjana/ ilmuan pada khususnya
harus tetap pada jati dirinya yang berjiwa patriotik dan cinta tanah air. Dalam Perjuangan Non
Fisik mereka harus tetap memegang teguh nilai-nilai ini di semua aspek kehidupan, khususnya
untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial,  korupsi, kolusi dan
nepotisme, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatkan kualitas sumber daya
manusia agar memiliki daya saing/kompetitif, memelihara serta menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa, dan berpikir objektif rasional serta mandiri. Semua upaya itu akan menjadikan kita
bangsa yang dapat diperhitungkan dalam dunia global. Sementara itu, Negara Kesatuan Republik
Indonesia tetap utuh, tegak dan jaya sepanjang masa.

A. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA

 
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
 
Pada jaman Hindia Belanda di kenal dengan nama “Burgerkunde”.
Pada waktu itu ada 2 buku resmi yang digunakan, yaitu :
a. Indische Burgerschapkunde, yang di bicarakan dalam buku tersebut, masalah masyarakat
pribumi. Pengaruh barat, bidang sosial, ekonomi, hukum, ketatanegaraan dan
kebudayaan, masalah pertanian, masalah perburuhan. Kaum menengah dalam industri
dan perdagangan, terbentuknya dewan rakyat, masalah pendidikan, kesehatan
masyarakat, pajak, tentara dan angkatan laut.
b. Rech en Plich (Bambang Daroeso, 1986: 8-9) karangan J.B. Vortman yang dibicarakan
dalam buku tersebut yaitu :Badan pribadi yang mengutarakan masyarakat dimana kita
hidup, obyek hukum dimana dibicarakan eigendom eropah dan hak-hak atas tanah.
Masalah kedaulatan raja terhadap kewajiban-kewajiban warga negara dalam pemerintah
Hindia Belanda. Masalah Undang-Undang, sejarah alat pembayaran dan kesejahteraaan

Adapun tujuan dari buku tersebut, yakni: agar rakyat jajahan lebih memahami hak dan
kewajibannya terhadap pemerintah Hindia Belanda, sehingga diharapkan tidak
menganggap pemerintah belanda sebagai musuh tetapi justru memberikan dukungan
dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu yang  panjang.
 
Pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disetujui Volksraad,
bahwa setiap guru harus memiliki izin. Dalam  pertimbangannya adalah banyak guru sekolah
partikelir bukanlah lulusan sekolah guru, dan yang berhak mengajar hanyalah lulusan sekolah
guru. Sedangkan lewat pendidikan non-formal terutama dilakukan oleh para tokoh pergerakan
nasional yakni bung Karno dan Bung Hatta. Pelaksanaan pendidikan politik baik yang dilakukan
oleh guru-guru sekolah partikelir maupun yang dilakukan para tokoh pergerakan nasional, pada
prinsipnya dapat di nyatakan sebagai “cikal  bakal” pendidikan politik atau PKn di Jaman
Indonesia merdeka.

 
Sesudah Proklamasi kemerdekaan
 Gambaran Nu’man Somantri (1976: 34-35), yakni :
a. Kewarganegaraan (1957) Isi pelajaran kewarganegaraan adalah membahas cara memperoleh
dan kehilangan kewarganegaraan.
b. Civics (1961) Isi civics banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional . UUD,
pidato- pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk “nation and character
building” Bangsa Indonesia seperti pada waktu pelaksanaan civics di America pada tahun-
tahun setelah declaration of Independence Amerika
c. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) Diberlakukannya kurikulum 1975, PKn pada
prinsipnya merupakan unsur dari PMP. Lahirnya UU no.2 Tahun 1989 tentang SPN (Sistem
Pendidikan  Nasional). menunjuk pasal 39 ayat 2, yang menentukan bahwa PKn bersama
dengan pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama harus di muat dalam kurikulum semua
jenis, jalur dan jenjang pendidikan maka PKn akan mengalami perkembangan lagi.

Menurut Ali Emran (1976: 4) isi PKn meliputi :


1) Untuk SD : pengetahuan Kewargaan negara, sejarah Indonesia, ilmu Bumi.
2) Untuk SMP : Sejarah kebangsaan, kejadian setelah kemerdekaan, UUD 1945, Pancasila,
Ketetapan MPRs.
3) Untuk SMA : Uraian pasal-pasal dari UUD 1945 yang dihubungkan dengan tatanegara,
sejarah, ilmu bumi dan ekonomi. Tahun 1970 PKn difusikan ke dalam mata pelajaran IPS.

Tahun 1972, dalam seminar di Tawangmangu Surakarta, menetapkan istlah ilmu kewargaan
Negara (IKN) sebagai pengganti CIVICS, dan pendidikan Kewargaan Negara (PKn) sebagai
istilah civic Education. Dengan demikian, IKN lebih bersifat teoritis dan PKn lebih bersifat
praktis antara keduanya merupakan kesatuan tak terpisahkan, karena  perkembangan PKn sangat
tergantung pada perkembangan IKN.

d. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) Menurut Kurikulum 1994. Kurikulum


1994 mengintegrasikan antara pengajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dengan
nama mata pelajaran PPKn.
 
Perkembangan PKn pada masa transisi Demokrasi
 Perkembangan PKn pada era Orde Baru, ternyata lebih ditentukan faktor kepentingan untuk
membangun negara (state Building) ketimbang untuk membangun bangsa (Nation Building). Hal
tersebut di sebabkan karena :
1) Kemerosotan nilai estetika dan moral para penyelenggara negara yang sudah kehilangan
semangat pengabdian, pengorbanan kejujuran dan keikhlasan.
2) Hukum lebih merupakan alat kekuasaan dari pada alat keadilan dan kebenaran.
3) Fandalisme, paternalisme dan absolutism
4) Posisi dan peran ABRI lebih merupakan alat kekuasaan dari pada alat negara untuk mengabdi
kepada kepentingan rakyat.

Kondisi di atas berpengaruh pada perubahan kurikulum PPKn dan  pelaksanaan pengajarannya di
lapangan yang lebih menekankan untuk mendukung status quo atau legitimasi dan pembenaran
(justifikasi) berbagai kebijakan rezim orba dari pada untuk meningkatkan pemberdayaan warga
Negara dalam berhubungan dengan negara. Dalam era reformasi, tantangan PPKn semakin berat.
P4 dipermasalahkan substansinya, karena tidak memberikan gambaran yang tepat tentang nilai
Pancasila sebagai satu kesatuan. Dengan adanya perubahan UU No. 2 tahun 1989 yang diubah
dengan UU No. 20 tahun 2003 tidak dieksplisitkan lagi nama pendidikan Pancasila, sehingga
tinggal Pendidikan Kewarganegaraan. Begitu pula kurikulum 2004 memperkenalkan istilah
Pengganti PPKn dengan kewarganegaraan / pendidikan kewarganegaraan. Perubahan nama ini
juga diikuti dengan perubahan isi PKn yang lebih memperjelas akar keilmuan yakni politik,
hukum dan moral.

Secara umum, berikut ini disebutkan secara kronologis sejarah timbulnya  pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia. Dalam tatanan kurikulum pendidikan nasional terdapat mata
pelajaran yang secara khusus mengembanisasi demokrasi di Indonesia, yakni :
1. Pendidikan kemasyarakatan yang merupakan integrasi negara , ilmu bumi, dan
kewarganegaraan ( 1954 )
2. Civics ( 1957/1962 )
3. Ditingkat perguruan tingi pernah ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD
1945 ( 1960-an)
4. Filsafat Pancasila ( 1970- sampai sekarang )
5. Pendidikan kewarganegaraan civics dan hukum ( 1973 )
6. Pendidikan moral atau PMP ( 1975 /1984 )
7. Pendidikan kewiraan ( 1989-1990-an)
8. Dan pendidikan kewarganegaraan ( 2000-sekarang)

Ada lagi Perkembangan ilmu Pendidikan Kewarganegaraan menurut sumber lain, yaitu : a.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya
mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA (1962) yang  berisikan materi tentang
pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962).  b. Dalam
kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah Civics dan pendidikan kewargaan negara digunakan
secara bertukar-pakai (interchangeably).

- Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara Di dalamnya tercakup


sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan Civics (diterjemahkan sebagai pengetahuan
kewargaan negara).
- Kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewarganegaraan  Negara Berisikan
sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945.
- Kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang  berisikan materi,
terutama yang berkenaan dengan UUD 1945.
- Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama
berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi,  pengetahuan kemasyarakatan dan asasi
manusia.
c. Pada kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila
sebagaimana diuraikan dalam pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau P4. d.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional
kemudian diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn.
e. Tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang visi dan
misinya berorientasi pada
value inculcation
dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Berubahnya Pendidikan Kewargaan Negara
(PKN) menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut Kurikulum tahun 1975/1976
maupun Kurikulum tahun 1984 antara lain karena belum  berkembangnya paradigma
civic aducation
 yang melandasi dan memadu  pengembangan kurikulum.
f. Kemudian Kurikulum PMP 1984 menjadi Kurikulum Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994, akan tetapinuansa paradigmatik civic education-nya juga
belum terasa. Sepertinya pendidikan moral Pancasila yang disampaikan melalui PPKn di sekolah
dan penataran P-4 di berbagai lapisan masyarakat nyaris tanpa bekas dan tanpa makna
(meaningless).
g. Dengan adanya perubahan UU No. 2 tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 2 tahun 2003
tidak dieksplisitkan lagi nama pendidikan Pancasila, sehingga tinggal Pendidikan
Kewarganegaraan. Begitu pula kurikulum 2004 memperkenalkan istilah Pengganti PPKn dengan
kewarganegaraan atau pendidikan kewarganegaraan. Perubahan nama ini juga diikuti dengan
perubahan isi PKn yang lebih memperjelas akar keilmuan yakni politik, hukum dan moral.

B. DEFINISI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


Dalam pandangan Demokratis, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu pendidikan yang
bertujuan untuk mendidik para generasi muda agar mampu menjadi warga negara yang
demokratis, berbudi pekerti luhur dan  berwawasan kebangasaan, dan partisipatif dalam
pembelaan negara. Dalam hal ini  pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu alat pasif untuk
membangun dan memajukan sistem demokrasi suatu bangsa.
Secara umum, pengertian  pendidikan kewarganegaraan dapat diartikan sebagai langkah
demokrasi yang  bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak
demokratis.

Pandangan Pakar Tentang Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan


 Pendidikan kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di seluruh dunia,
meskipun dengan berbagai istilah atau nama. Mata kuliah tersebut sering disebut sebagai
civic education, Citizenship Education, dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai
democrcy education. Tetapi pada umumnya pendapat  para pakar tersebut mempunyai maksud
dan tujuan yang sama. Beberapa pandangan para pakar tentang pendidikan kewarganegaraan
adalah sebagai berikut:
1.Henry Randall Waite dalam penerbitan majalah The Citizendan Civics,  pada tahun 1886,
merumuskan pengertian Civics dengan The sciens of citizenship, the relation of man, the
individual, to man in organized collections, the individual in his relation to the state
. Dari definisi tersebut, Civics dirumuskan dengan Ilmu Kewarganegaraan yang membicarakan
hubungan manusia dengan manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi
(organisasi sosial, ekonomi, politik) dan antara individu- individu dengan negara.
2. Stanley E. Dimond berpendapat bahwa civics adalah citizenship mempunyai dua makna
dalam aktivitas sekolah. Yang pertama, kewarganegaraan termasuk kedudukan yang berkaitan
dengan hukum yang sah. Yang kedua, aktivitas politik dan pemilihan dengan suara terbanyak,
organisasi pemerintahan, badan pemerintahan, hukum, dan tanggung jawab

3.Edmonson (1958) mengemukakan bahwa civics adalah kajian yang  berkaitan dengan


pemerintahan dan yang menyangkut hak dan kewajiban warga negara.

4.Menurut Merphin Panjaitan, Pendidikan Kewarganegaraan adalah  pendidikan demokrasi yang


bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga negara yang demokrasi dan partisipatif
melalui suatu  pendidikan yang dialogial. Sementara Soedijarto mengartikanPendidikan
Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik
untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik
yang demokratis
5. Menurut Muhammad Numan Soemantri, Civic Education adalah kegiatan yang meliputi seluruh
program sekolah. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat
menumbuhkan hidup dan prilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokrasi. Dalam Civic
Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi
dan syarat- syarat objektif untuk hidup bernegara .
 
6. Menurut Azyumardi Azra, pendidikan kewarganegaraan, civics education dikembangkan
menjadi pendidikan kewargaan yang secara substantif tidak saja mendidik generasi muda
menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks
kehidupan bermasyarakat dan  bernegara, tetapi juga membangun kesiapan warga negara
menjadi warga dunia, global society.
 
7. Soedijarto mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan  politik yang
bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa
dan ikut serta membangun sistem  politik yang demokratis. Dari definisi tersebut, semakin
mempertegas pengertian civic education (Pendidikan Kewarganegaraan) karena bahannya
meliputi pengaruh positif dari pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di
luar sekolah. Unsur-unsur ini harus dipertimbangkan dalam menyusun program Civic
Education yang diharapkan akan menolong para peserta didik (mahasiswa) untuk: a.
Mengetahui, memahami dan mengapresiasi cita-cita nasional.  b. Dapat membuat keputusan-
keputusan yang cerdas dan bertanggung  jawab dalam berbagai macam masalah seperti masalah
pribadi, masyarakat dan negara.

C. FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


 
Menurut  Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang  bermutu dan
bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian,
dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan
kompetensi sebagai berikut:
1) Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
2) Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri  berdasarkan karakter-
karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup  bersama dengan bangsa-bangsa lain.
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut :


1) Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan
 pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa
yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang  beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan
pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
 
 
Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang  bersifat
kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan
kepentingan bersama diatas kepentingan  perseorangan dan golongan sehingga perbedaan
pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku
 
yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan
menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan Kewarganegaraan adalah : Partisipasi yang penuh
nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai
dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang
efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan
keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan
bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui  pengembangan disposisi atau
watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses
politik dan mendukung  berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat.

Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik,
yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang  patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan
negara, beragama, demokratis, Pancasila sejati” (Somantri, 2001:279).

Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang
cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan
merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan  bertindak sesuai dengan amanat Pancasila
dan UUD RI 1945. Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja,
maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi: a) Ilmu
pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.  b) Keterampilan intelektual:
 
1. Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti
mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;
2. Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan  bertanya dan
mengetahuii masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan
mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, (e)
keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan meruumuskan generalisasi, (g)
keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.
3. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif,
karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.
4. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial
yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil
dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-
hari,
Dufty (Numan Somantri, 1975:30). Mengemukakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak
terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar,
generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta
penilaiannya.
Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn mahasiswa diharapkan :
a) Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah,
dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.
b) Melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.
c) Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir diatas.
d) Mengamalkan dan membakukan hal-hal diatas sebagai sikap perilaku diri dan
kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.
 
 Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:30) bahwa tujuan negara mengembangkan
Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be
good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik
intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab
(civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa PKn sebagai  program pengajaran tidak hanya
menampilkan sosok program dan pola KBM yang hanya mengacu pada aspek kognitif saja,
melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan psikomotor. Selain
aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.

D. MANFAAT DAN PERKEMBANGAN PARADIGMA SERTA LANDASAN


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
 Manfaat yang bisa diperoleh dari mempelajari Civic Education adalah :
1) Civic Education tidak hanya sekadar melayani kebutuhan-kebutuhan warga dalam
memahami masalah-masalah sosial politik yang terjadi , tetapi lebih dari itu. Ia pun
memberikan informasi dan wawasan tentang berbagai hal menyangkut cara-cara
penyelesaian masalah . dalam kontek ini, civic education juga menjanjikan civic knowledge
yang tidak saja menawarkan solusi alternatif, tetapi juga sangat terbuka dengan kritik
(kontruktif).
2) Kedua, Civic education dirasakan sebagai sebuah kebutuhan mendesak karena merupakan
sebuah proses yang mempersiapkan partisipasi rakyat untuk terlibat secara aktif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Pendidikan yang bersifat demokratis,
harus memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan.

Kompetensi Dasar dan Tujuan Civic Education


 Dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kompetensi dasar atau yang sering
disebut kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan kewarganegaraan ( Civic
Knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) antara lain demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (Civil
Society )
2. Kecakapan dan kemampuan sikap kewarganegaraan ( Civic Dispositions) antara lain
pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keragaman, kepekaan
terhadap masalah warga negara antara lain masalah demokrasi dan hak asasi manusia;
dan.
3. Kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan kewarganegaraan ( Civic
Skills) seperti kemampuan berpartisipasi dalam  proses pembuatan kebijakan publik,
kemampuan melakukan kontrol terhadap  penyelenggara negara dan pemerintah.

Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan

Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar  pelaksanaan pendidikan,
yaitu peserta didik, (mahasiswa), dosen, materi, dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan
pendidikan, paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu
paradigma feodalistik dan  paradigma humanistik.
 
Paradigma Feodalistik

Paradigma Feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi)


merupakan tempat melatih dan mempersiapkan peserta untuk masa yang akan datang. Oleh
karena itu, peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan sebagai objek semata dalam
pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu, kebenaran dan informasi,
berprilaku otoriter dan birokratis. Materi pembelajarn disusun secara rigid sehingga memasung
kreativitas peserta didik (mahasiswa) dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan termasuk
manajemen pembelajaran  bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam penerapan
strategi  pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter. Paradigma Feodalistik
dalam praksis pendidikan telah berlangsung cukup lama dalam dunia pendidikan nasional mulai
dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

Paradigma Humanistik
Paradigma Humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik adalah manusia yang
mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam pandangan ini
peserta didik (mahasiswa) ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara
dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran yang
disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis
dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan
tuntutan dan perubahan sosial. Model materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas
pembelajaran yang hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut dengan global
classroom. Begitu juga manajemen pendidikann dan  pembelajarannya , menekankan pada
dimensi desentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi
pembelajaran yang bervariasi dan demokratis. Untuk itu, kelas pembelajaran Pendidikan
Kewargaan, dalam Istilah Udin S. Winataputra, diperlakukan sebagai laboratorium
demokrasidimana semangat kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi
diterapkan secara interaktif.

Mencermati arah perubahan dan penyempurnaan rambu-rambu  pelaksanaan mata kuliah


Pendidikan Kewarganegaraan yang telah ditetapkan oleh Ditjen Dikti di atas, telah
mengindikasikan mempergunakan paradigma humanistik.

PARADIGMA PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN SEBAGAI
WAHANA SISTEMIK PENDIDIKAN
DEMOKRASI
1.) Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif


dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh
jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari
instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai
mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah
satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan
guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah
dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual
dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai
landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama,
kedua, ketiga, dan keempat. Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah,
pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam
kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan
tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam
konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS.
Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam
Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahanyang diberlakukan secara bertahap
mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk
mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c).
Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan
dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya
merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989
tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN),yang antara lain Pasal 39,
menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan
kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam
Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Ke-
warganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan
secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam
Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan
diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau
PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-
1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir,yang
sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya
krisis operasional kurikuler.
Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut
tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk
indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang
bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk
pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan
pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi
pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari
Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku
pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser
dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi
karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih
belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum
adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai
secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Kini pada era reformasi pasca
jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah
perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati
diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai
mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah Pancasila
dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa
mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan
kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaran,
bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara
sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945.
Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang
mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK. Dalam
status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan
kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program
pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP)
Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral
Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata
kuliah pendidikan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya
merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan
kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian
padaprogram pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler
program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional
guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan
tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cenderung lebih terpusat pada
profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan
kewarganegaraan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan perhatian.
Dalamstatus keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh lapisan
masyarakat, Penataran P-4 mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para
Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan
P-4 atau BP7 Pusat dan Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk
pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru-baru ini,
dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan
nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-
4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan
berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi
diIndonesia. Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang
Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan,
dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi dilikuidasi.
Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk pendidikan
kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan benar-
benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersikap, dan
bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan
adanya sistem pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat
mendesak.Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan
kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan
epistemologi pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan
sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum
sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan
pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam
kurikulum sekolah, atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau
sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling
mendukung secara komprehensif. Sebagai akibatnya, program pendidikan kewarganegaraan di
sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling
mendukung secara sistemik dan sinergistik.

1.2. Perumusan Masalah

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dirasakan: rentan terhadap pengaruh perubahan


dalam kehidupan politik, tidakajek dalam sistem kurikulum dan pembelajarannya; pendidikan
gurunya yang cenderung terlalu memihak pada tuntutan formal-kurikuler di sekolah dan kurang
memperhatikan pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai bidang kajian pendidikan
disiplin ilmu, epistemologi pendidikan kewarganegaraan tidak berkembang dengan pesat;
pembelajaran sosial nilai Pancasila yang cenderung berubah peran dan fungsi menjadi proses
indoktrinasi ideologi negara, tidak kokohnya dan tidak koherennya landasan ilmiah pendidikan
kewarganegaraan sebagai program pendidikan demokrasi.

2.) Kajian Literatur

Ada beberapa konsep yang dikaji, yakni jatidiri, pendidikan kewarganegaraan, wahana sistemik,
dan pendidikan demokrasi. Istilah jatidiri diadaptasi dari characteristic dalam bahasa Inggris,
yang memiliki sinonim paling dekat dengan individuality, specialty, attribute, feature, character
(Devlin:1961), yang dapat diartikan secara bebas sebagai ciri khas atau atribut. Dalam artikel ini
jatidiri dimaksudkan sebagai ciri khas atau atribut konseptual dan empirik dari pendidikan
kewarganegaraan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi. Dalam kepustakaan asing ada
dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewargnegaraan yakni civic
education dan citizenship Education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the
foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their
communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang
untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam
masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan
(1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup
"...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning
which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the
media,etc which help to shape the totality of the citizen".
Dalam tulisan ini istilah pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam
pengertian yang luas seperti "citizenship education" atau "education for citizenship" yang
mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di
sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program
penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari
program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai
warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan
kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan
sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.Kata
sistem diserap dari Bahasa Inggris system, yang secara harfiah artinya "susunan" (Echols dan
Shadily,1975:575). Sedangkan menurut Hornby, Gatenby, dan Wakefield (1962:1024) system
diartikan sebagai group of things or parts working together in a regular relation atau kelompok
benda-benda atau hal-hal atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam suatu hubungan yang
teratur. Pengertian yang lebih lengkap tentang sistem diberikan oleh Rahmat (1995:336) sebagai
berikut:

1). Gabungan hal-hal yang disatukan kedalam sebuah kesatuan yang konsisten dengan
kesalinghubungan (interaksi, interdependensi, interrelasi) yang teratur dari bagian-bagiannya.
2). Gabungan hal-hal (obyek-obyek, ide-ide, kaidah-kaidah, aksioma-aksioma,dll) yang disusun
dalam sebuah aturan yang koheren (subordinasi, atau inferensi, atau generalisasi,dll) menurut
beberapa prinsip (atau rencana, atau rancangan, atau metode) rasional atau yang dapat dipahami"
Dalam pengertian seperti dikutip itulah penulis mengartikan sistem. Selanjutnya, yang dimaksud
dengan konteks keilmuan adalah keterpaduan dari unsur-unsur kerangka konseptual pendidikan
kewarganegaraan dalam arti luas. Konsep keterpaduan itu sendiri merupakan terjemahan dari
istilah integrated, seperti dalam konsep integrated social studies (Dufty:1970, Taba:1971), yang
kemudian diterjemahkan menjadi IPS Terpadu. Dengan merujuk kepada pengertian masing-
masing istilah seperti telah dibahas di muka dan konsep keterpaduan pengetahuan atau integrated
knowledge system menurut Hartoonian (1992), maka konsep kerangka konseptual konteks
keilmuan yang digunakan diartikan sebagai tatanan pengetahuan yang terstruktur secara
paradigmatik, yang obyek telaahnya disikapi sebagai suatu kesatuan garis berpikir dan metode
kerjanya bersifat sistemik (kesatuan yang bersifat multidimensional) dan kemanfaatannya
menyangkut banyak hal yang satu sama lain saling berkaitan.Pendidikan demokrasi yang kini
dengan tegas diterima sebagai esensi pendidikan kewarganegaraan (CICED:1999), dalam
Kurikulum 1994 merupakan bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
yang dibingkai menjadi satu dengan nilai-nilai masing-masing sila sebagai intinya dalam
kedudukan yang setara dan interaktif. Dengan paradigma yang ada itu maka secara substantif di
dalam pendidikan kewarganegaraan terkandung makna pendidikan Pancasila, dalam arti
berlandaskan dan berorientasi pada cita-cita dan nilai yang secara koheren dan sistemik
terkandung dalam Pancasila. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan
pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi,
sebagaimana telah menjadi salah satu kesimpulan dari Conference on Civic Education for Civil
Society (CICED:1999). Berkaitan dengan hal itu Sudarsono (1999) menegaskan bahwa “the
ideals and values of democracy and their implementations in daily activities at micro as well as
macro levels can be regarded as the heart of civil society”. Oleh karena itu, lebih lanjut
ditekankan bahwa “...democratic living should be fostered in order that we should be able to
establish a good Indonnesian civil society”, dan untuk itulah, ditegaskan lebih jauh lagi bahwa
“... the existing civic education both for schools and for society should be reassessed and
redesigned”. (Sudarsono:1999). Dari situ dengan tegas tampak adanya kecenderungan yang kuat
untuk menempatkan pendidikan demokrasi sebagai intinya dari pendidikan kewarganegaraan.
Dengan menggunakan kerangka berpikir itu, maka konsep pendidikan demokrasi diartikan
sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya sistematis dan sistemik
untuk mengembangkan cita-cita, nilai, prinsip, dan pola prilaku demokrasi dalam diri individu
warganegara, dalam tatanan iklim yang demokratis, sehingga pada giliranya kelak secara
bersama-sama dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani Indonesia
yang demokratis. Paradigma ini dijiwai oleh ethos baru pendidikan demokrasi “eduction about
democracy, through democracy, and for democracy” (CIVITAS International,1998; QCA;1999;
CICED;1999; dan APCEC:2000; IEA-CEP;2000).
3.) Metodologi

3.1. Obyek Telaah

Obyek telaah ada dua hal: (1) Pemikiran tentang social studies, citizenship education, civic
education secara umum dan pendidikan kewarganegaraan serta pendidikan ilmu pengetahuan
sosial secara khusus, (2)Praksis penyelenggaraan social studies, citizenship education, civic
education secara umum; pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan di LPTK secara khusus;
dan dalam site of citizenship di negara lain dan di Indonesia.

3.2. Pendekatan Dan Metode

Sesuai Dengan Hakikat Dan Karakteristik Obyek Telaahnya Pada dasarnya penelitian itu
diterapkan pendekatan eklektrik, yakni kombinasi pendekatan kualitatif (utama) dan kuantitatif
(pendukung), yang dikemas dalam suatu survey khusus untuk secara kualitatif menggali,
mengkaji, memilih, dan mengorganisasikan berbagai pemikiran dan praksis citizenship
education, civic education, social studies secara umum, dan pendidikan IPS dan PPKn secara
khusus, beserta konteksnya, yang telah terdokumentasikan. Untuk mendapatkan data dan
informasi digunakan teknik Studi Dokumentasi, Komunikasi interpersonal melalui diskusi (focus
discussion).

3.3. Asumsi Dan Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini bertolak dari beberapa a sumsi sebagai berikut :


(1) Belum adanya paradigma yang utuh tentang pendidikan kewarganegaraan yang dapat
dijadikan kerangka dasar dan sekaligus sebagai rujukan konseptual dan operasional bagi semua
bentuk program tersebut.
(2) Kini telah tumbuh kesadaran, semangat dan komitment untuk menemukan kembali dan
merevitalisasi pendidikan kewarganegaraan sebagai sistem pendidikan demokrasi. Dalam
penelitian itu dirumuskan pertanyaan penelitian. Bagaimana profil konseptual sistemik
pendidikan kewarganegaraan dilihat dari berbagai pemikiran para teoritisi dan persepsi praktisi
pendidikanm kewarganegaraan?

4. Hasil Dan Bahasan

4.1. Istilah Teknis

Ada tiga istilah teknis yang banyak digunakan, yakni civics, civic education, dan citizenship
education. Istilah civics merupakan istilah yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh
Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri (1969) untuk menunjukkan the science of
citizenship yang isinya antara lain mempelajari hubungan antarwarganegara dan hubungan antara
warganegara dengan negara. Saat ini istilah itu masih dipakai sebagai nama mata pelajaran yang
berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan
dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura,
Spanyol, dan USA (Kerr,1999). Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam kurikulum
SMP dan SMA tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum PPSP IKIP Bandung
tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA diperkenalkan istilah citizenship education dan
civic education yang digunakan secara bertukar-pakai, untuk menunjukkan program pendidikan
karakter, etika dan kebajikan (Best:1960) atau pengembangan fungsi dan peran politik dari
warganegara dan pengembangan kualitas pribadi (Somantri 1969).
Sedangkan Allen (1960) dan NCSS (Somantri:1972) menggunakan istilah citizenship education
dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai produk keseluruhan program pendidikan atau all
positive influences yang datang dari proses pendidikan formal dan informal. Kini istilah civic
education lebih banyak digunakan di USA serta beberapa negara baru di Eropa timur yang
mendapat pembinaan profesional dari Center for Civic Education dan Universitas mitra kerjanya
di USA, untuk menunjukkan suatu program pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu
mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih dipakai
untuk label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan nama LSM Center for
Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung digunakan secara spesifik sebagai
mata pelajaran dalam konteks pendidikan formal. Sedangkan istilah citizenship education
cenderung digunakan dalam dua pengertian. Pertama, digunakan di UK dalam pengertian yang
lebih luas sebagai overarching concept yang di dalamnya termasuk civic education sebagai unsur
utama (Cogan,1999; Kerr: 1999; dan QCA:1999) disamping program pendidikaan
kewarganegaraan di luar pendidikan formal seperti site of citizenship atau situs
kewarganegaraan, seperti juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh (1962) dan NCSS (1972).
Kedua, digunakan di USA, terutama oleh NCSS, dalam pengertian sebagai the essence or core
atau inti dari social studies (Barr dkk:1978; NCSS:1985;1994). Di Indonesia istilah citizenship
education belum pernah digunakan dalam tataran formal instrumentasi pendidikan, kecuali
sebagai wacana akademis di kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Yang konsisten
menggunakan istilah citizenship education atau education for citizenship adalah UK. Sedangkan
negara lain yang diketahui menggunakannya secara adaptif adalah Netherlands. Sebagai batasan
penulis menerjemahkan civic education dan citizenship education ke dalam istilah yang sama
namun berbeda dalam cara penulisannya.
Istilah civic education diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (memakai huruf
besar di awal) dan citizenship education diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan
(semuanya dengan huruf kecil). Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada
suatu mata pelajaran, sedangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada kerangka
konseptual sistemik program pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis. Konsep
pendidikan kewarganegaraan disebut juga sistem pendidikan kewarganegaraan (spkn/SPKn)
yang dapat ditulis dengan semuanya huruf besar atau huruf kecil.

4.2. Visi Secara Paradigmatik

Citizenship education memiliki visi sosio-pedagogis mendidik warganegara ang demokratis


dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non-
formal, seperti yang secara konsisten diterapkan di UK (QCA:1998; Kerr:1999). dangkan civic
education secara umum memiliki visi formal-pedagogis untuk mendidik arganegara yang
demokratis dalam konteks pendidikan formal, seperti secara adaptif diterapkan di USA
(CCE:1996). i Indonesia, yakni PPKn memiliki visi formal-pedagogis sebagai mata pelajaran
sosial di sekolah dan perguruan tinggi sebagai wahana pendidikan nilai Pancasila.Bertolak dari
kajian teoritik dan diskusi reflektif, dirumuskan visi pendidikan kewarganegaraan” dalam arti
luas, yakni sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan agar berfungsi dan berperan sebagai :
(1) Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal,
(2) Program aksi sosial-kultural dalam konteks kemasyarakatan, dan
(3) Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial.
Visi ini mengandung dua dimensi, yakni :
(1) Dimensi substantif berupa muatan pembelajaran(content and learning experiences) dan obyek
telaah serta obyek pengembangan.
(2) Dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran (aspek epistemologi dan aksiologi).
Khusus dalam visinya sebagai bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan secara
epistemologis merupakan synthetic discipline (Somantri:1998) atau integrated knowledge system
(Hartoonian:1992), atau cross-disciplinary study (Hahn dan Torney-Purta:1999), atau kajian
multidimensional (Derricott dan Cogan:1998). Penulis menempatkan pendidikan
kewarganegaraan atau sistem pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian lintas-bidang
keilmuan, yang secara substantif ditopang terutama oleh ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial, serta
humaniora, dan secara pedagogis diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan
masyarakat. Secara filosofik tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaran ini dilandasi oleh
tilikan reconstructed philosophy of education yang secara adaptif mengakomodasikan tilikan
filsafat pendidikan perennialism, essentialism, progressivism, dan recontructionism
(Brameld:1965). Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang
keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin (Dufty,1970 ;
Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking, speaking, and
writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan
sistem nilai (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat deskriptif-
analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) secara paradigmatik,
pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk
dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan
pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan”
sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan
sebagai disiplin yang matured.

4.3. Missi

Secara konseptual “pendidikan kewarganegaraan” atau citizenship education merupakan bidang


kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat “lintas-bidang keilmuan” dengan
intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling-keterpautan yang bersifat
komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan (Winataputra:1978, Barr
dkk:1978, Welton dan Mallan:1988, NCSS:1985, 1994, Somantri:1993). Dalam hal ini, bahwa
(a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial
secara keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah;
(b) salah satu dimensi dari social studies adalah citizenship education (NCSS:1994,
CICED:1998), khususnya dalam upaya pengembangan intelligent social actor (Banks:1977,
NCSS:1994).Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi
masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan
mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis.
Missi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan Tuhan dan makluk
sosial menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan
religius. Missi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem
kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam koteks pembangunan
masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warganegara secara cerdas dan
bertanggungjawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada
tumbuh dan berkembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan. Sedangkan missi
substantif-akademis adalah mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan pendidikan
kewarganegaraan, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang
berkenaan dengan civic virtue atau kebajikan kewarganegaraan dan civic culture atau budaya
kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan
memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan
pengembangannya itu (fungsi aksiologis). Perwujudan ketiga missi tersebut akan memfasilitasi
pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai proto science menjadi disiplin baru dan
dalam waktu bersamaan secara sinergistik akan dapat meningkatkan kualitas isi dan proses
pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pendidikan demokrasi dan kegiatan
sosio-kultural dalam koteks makro pendidikan nasional.

4.4. Strategi

Secara konseptual-paradigmatik citizenship education saat ini mengembangkan strategi dasar


learning democracy, in democracy, and for democracy (CIVITAS International:1998;
QCA:1999; APCEC;2000). Kemudian strategi dasar ini oleh QCA(1999) dikonsepsikan sebagai
suatu kontinum education about citizenship—education through citizenship—education for
citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik Minimal (education about citizenship) ke
titik Maksimal (education for citizenship). Pendidikan kewargnegaraan di Indonesia yang dalam
konteks internasional (Kerr:1999) dikategorikan kedalam kelompok citizenship education Asia-
Afrika yang masih berada pada titik Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya
menggunakan strategi progresif menuju titik Maksimal, yakni education for citizenship melalui
titik median education through citizenship. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu
academic endeavor (CICED:1999) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan
disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang civic virtue dan civic
culture (Quigley:1991) atau keberadaban dan budaya kewarganegaraan dalam konteks
pengembangan civic intelligence dan civic participation (Quigley:1991, Cogan:1999).
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di sekolah atau luar sekolah/di
perguruan tinggi di Indonesia, kedudukannya sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang berdiri
sendiri perlu terus dimantapkan di semua jenjang pendidikan, agar proses education about
citizenship terwadahi secara sistimatik dan berbobot.
Pertimbangan tersebut juga dimaksudkan bahwa secara perlahan tetapi pasti, melalui
pemantapan mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan penciptaan kehidupan
sosila-kultural sekolah/ kampus yang demokratis, taat hukum, religius dan berkeadaban, dapat
dijalanai koridor sosial-kultural menuju proses education for citizenship (konsep sekolah/kampus
sebagai laboratory for democracy. Dengan cara itu, pada saatnya nanti, para lulusan lembaga
pendidikan formal mampu menampilkan dirinya sebagai demokrat muda yang taat hukum,
religius dan berkeadaban dalam berbagai konteks kehidupan yang dijalaninya. Namun demikian
khusus dalam konteks pendidikan usia dini, yakni di taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas
rendah (1-3), karena perkembangan psikososial siswa yang berada pada tarap kognitif concrete
operation menuju formal-operation (Piaget:1960) dan moralita pre-conventional morality yang
didominasi oleh punishment and obedience orientation meningkat ke good boy and nice girl
orientation menuju instrumental relativist orientation (Kohlberg:1975), yang memerlukan
keterpaduan dan kebermaknaan belajar dalam suasana yang otentik atau hands-on experience,
pendidikan kewarganegaraan dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain yang relevan
dengan pendekatan cross-curriculum, khususnya dalam pendidikan IPS, Bahasa dan kesenian,
seperti mata pelajaran Personal, Social, and Health Education (PSHE) di sekolah dasar di UK,
Life Orientation di Afrika Selatan dan Social Studies di negara lainnya.Sebagai suatu bidang
kajian pendidikan disiplin ilmu, sebagaimana juga citizenship education, pendidikan
kewarganegaraan diyakini secara konseptual memiliki sifat multidimensional dalam aspek
ontologis-obyek telaahnya, aspek epistemologis-metode penelitian dan pengembangannya, dan
aspek aksiologis-kemanfaatannya bagi dunia pendidikan (Cogan:1996, 1999, CICED:1999).
Sifat-sifat itulah yang mengikat ketiga dimensi pendidikan kewarganegaraan dalam suatu
paradigma yang utuh. Oleh karena itulah pendidikan kewarganegaraan dapat disikapi dan
diterima sebagai suatu wahana sistemik atau integrated knowledge system atau synthetic
discipline dalam tataran filosofik dan konseptual pendidikan disiplin ilmu. Jiwa dari paradigma
ini diharapkan lebih menitikberatkan pada kearifan intuitif yang beorientasi eco-action dan
bersifat responsif, konsolidatif, dan kooperatif daripada kekuatan rasionalitas yang beorientasi
ego-action dan bersifat agresif, ekspansif, dan kompetitif (Capra:1998). Dalam rangka
pengembangan sistem pendidikan kewarganegaraan dirumuskan strategi: (1) penegasan
kedudukan dan hubungan fungsional-interaktif antar ketiga sub-sistem pendidikan
kewarganegaraan (kajian ilmiah, program kurikuler, dan kegiatan sosio-kultural) dan peran
interaktif terhadap kompetensi kewarganegaraan; (2) pemanfaatan secara adaptif-fungsional dari
sumber-sumber konseptual dan empirik di luar entitas sistem pendidikan kewarganegaraan.
Sebagai suatu domain kajian pendidikan ilmu, pendidikan kewarganegaraan memerlukan
kelembagaan yang berfungsi sebagai sarana institusional yang memfasilitasi pengembangan
epistemologi dan perwujudan aksiologi kedisiplinannya, dan komunitas ilmiah yang berperan
sebagai kelompok pemikir wacana akademisnya dan pengembang sarana programatiknya. Oleh
karena itu, kedudukan jurusan atau program studi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan
tinggi perlu dimantapkan bukan semata-mata sebagai lembaga penghasil tenaga kependidikan
kewarganegaraan, tetapi juga sebagai penghasil dan pengembang aspek-aspek epistemologi,
seperti nilai, konsep, prinsip, dan metode serta aneka ragam program instruksional
kewarganegaraan. Dalam konnteks itu maka selain program profesional tingkat diploma dan S1,
di perguruan tinggi sudah saatnya mulai dikembangkan program akademik S2 dan S3 pendidikan
kewarganegaraan.

4.5. Aspek Ontologis Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan

Kewarganegaraan memiliki dua dimensi ontologi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan.
Yang dimaksud dengan obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis
pendidikan kewarganegaraan yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum
dan pembelajaran PPKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kutural
kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek pengembangan adalah
keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni ranah kognitif, afektif, konatif, dan
psikomotorik yang menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai warganegara, yang perlu
dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warganegara yang
“cerdas, dan baik, dalam arti demokratis, religius, dan berkeadaban dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4.6. Aspek Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan

Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi


pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya
berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun pengetahuan
bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada obyek telaah
dan obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup
metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk
mendapatkan pengetahuan baru melalui: (1) metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan
proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi, dan (2) metode
penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk
membangun suatu teori. Sedangkan, metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan
paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek
sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan
kontekstual pendidikan.
Tercatat berbagai kegiatan epistemologis penelitian, pengembangan, dan penelitian dan
pengembangan. Yang khusus merupakan kegiatan penelitian antara lain yang dilakukan oleh
Capra (1998) tentang titik balik peradaban; Sanusi (1998) tentang 10 pilar demokrasi Indonesia;
Bahmueller (1996) tentang perkembangan demokrasi; Welzer (1999) tentang konsep civil
society; Gandal dan Finn (1992) tentang education for democracy; Barr, Bart, dan Shermis
(1977) tentang konsep social studies; Remmers dan Radles (1960 dalam Shaver 1991) tentang
kesadaran politik dan hukum peserta didik; Stanley (1985) tentang perkembangan social studies;
Shaver (1991) tentang penelitian dan pembelajaran social studies; Winataputra (1978) tentang
pelaksanaan kurikulum PMP, CERP (1972) tentang pemikiran mengenai pendidikan IPS dan
kewarganegaraan; Cogan (1996) tentang multidimensional citizenship education, ETS (1991)
tentang efektivitas program We the People … The Citizens and Constitution; Tolo dkk (1998)
tentang efektifitas program We the People… Project Citizens; Djahiri dkk (1998) tentang profil
kurikulum dan pembelajaran PPKN 1994, dan CICED (1999 dan 2000) tentang konsep civic
education for civil society dan tentang the needs for new Indonesian civic education”.
Yang bersifat pengembangan kurikulum dan pembelajaran, tercatat antara lain yang dilakukan
oleh: Wesley (1937 dalam Barr dkk:1977) tentang definisi awal social studies; Engle (1960
dalam Somantri 1993) tentang decision making dalam social science instruction ; Hanna(1960)
tentang pengembangan social studies berdasarkan basic human activities ; Taba dkk (1970)
tentang pendekatan spiral of concept development dalam socialstudies; NCSS (1983) tentang
scope and sequence dalam social studies; NCSS (1989) tentang paradigma social studies untuk
abad 21; NCSS (1994) tentang standards for social studies; Dunn (1915 dalam Somantri:1969)
tentang new civics ; CCE (1991) tentang dokumen akademis CIVITAS: A Framework for Civic
Education ; CCE (1997) tentang Paket Belajar We the People … The Citizens and Constitution ;
We the People… Project Citizen; Law in a Free Society Series; Foundations of Democracy; CCE
(1998) tentang Paket Belajar Exercise in Participation. Sedangkan di Indonesia, yang termasuk
kegiatan pengembangan antara lain yang dilakukan oleh: PPSP IKIP Bandung (1973) tentang
kurikulum IPS/PKN, Depdikbud (1974) tentang kurikulum IPS dan PMP 1975, Depdikbud
(1983) tentang penyempurnaan kurikulum PMP, Depdikbud (1993) tentang kurikulum
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Depdikbud (1999) tentang pengembangan
suplemen dan petunjuk teknis PPKn untuk masa transisi; CICED (1999) tentang civic education
content mapping. Yang termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan antara lain yang
dilakukan oleh: Bruner (1967) mengenai model proyek pembelajaran Man: A Course of Study di
Amerika Serikat; dan Stenhouse (1975) mengenai humanities curriculum project di Inggris.

4.7. Aspek Aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan

Yang termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat
dari hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang kajianpendidikan kewarganegaraan yang
telah dicapai, bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan dan pendidikan tenaga
kependidikan.Hasil-hasil penelitian dan pengembangan social studies, citizenship education dan
civic education” dalam dunia persekolahan banyak memberi manfaat dalam merancang program
pendidikan guru, meningkatkan kualitas kemampuan guru, meningkatkan kualitas proses
pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas
penelitian dan pengembangan.

5. Kesimpulan

(1) Pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu tubuh atau sistem pengetahuan yang
memiliki: (a) ontologi civic behavior dan civic culture yang bersifat multidimensional (filosofis,
ilmiah, kurikuler, dan sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion
dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, prilaku dan konteks sosial
kultural warganegara, serta komunikasi akademis, kurikuler, dan sosial dalam rangka penerapan
hasil kajian ilmiah dan pengembangan kurikuler dan instruksional dalam praksis pendidikan
demokrasi untuk warganegara di sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi untuk memfasilitasi
pengembangan body of knowledge sistem pengetahuan atau disiplin pendidikan
kewarganegaraan; melandasi dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan
demokrasi di sekolah dan luar sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya
koridor proses demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat.

(2) Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan memiliki tiga komponen, yakni :
(a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler Pendidikan
Kewarganegaraan; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, yang secara koheren
bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan,
nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan.

(3) Secara kontekstual logika internal dan dinamika eksternal sistem pendidikan
kewarganegaraan dipengaruhi oleh aspek-aspek pengetahuan intraseptif berupa Agama dan
Pancasila; pengetahuan ekstraseptif ilmu, teknologi, dan seni; cita-cita, Nilai, konsep, prinsip,
dan praksis demokrasi; masalah-masalah kontemporer Indonesia; kecenderungan dan masalah
globalisasi; dan kristalisasi civic virtue dan civic culture untuk masyarakat madani Indonesia-
masyarakat negara kebangsaan Indonesia yang berdemokrasi konstitusional.

(4) Aspek esensial yang menjadi faktor perekat (integrating forces) dari ketiga komponen sistem
pendidikan kewarganegaraan sehingga membentuk suatu kerangka paradigmatik yang koheren
adalah konsep warganegara yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius yang
dikristalisasikan menjadi 90 butir perangkat kompetensi kewarganegaraan (pengetahuan
kewarganegaraan, ahlak/sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan) yang
berkembang secara dinamis.

Anda mungkin juga menyukai