A. PENGERTIAN
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang
dikehendaki. Istilah kewarganegaraan memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan
atau ikatan antara negara dengan warga negara. Jadi, Pendidikan Kewarganegaraan adalah usaha
menyiapkan peserta didik yang diarahkan untuk menjadi patriot pembela bangsa dan negara.
Civics, selain bertujuan membentuk warga negara yang baik yaitu warga negara yang
tahu dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara, Civics juga
bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang mampu membudayakan lingkungannya serta
mampu memecahkan masalah-masalah individu warga negara yang mampu memecahkan
masalahnya secara individual maupun masyarakat di sekitarnya. Hubungan antar civics, civic
education, dan citizenship education, Civics atau juga disebut ilmu kewarganegaraan
menekankan pembahasannya pada aspek teroritik tentang hah-hak dan kewajiban-kewajiban
warga negara yang baik. Bagaimana kaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan (Civic
Education) juga secara sekilas telah dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan
perluasan dari civics yang lebih menekankan pada aspek-aspek praktik kewarganegaraan.
Citizenship education mengenai hal ini Stanley B. Dimond (Numan Somantri, 1968: 11)
menjelaskan tentang pengertian civics atau citizenship education dalam arti luas dan sempit
dalam kaitannya dengan kehidupan sekolah dan masyarakat. Gross and Zeleny menyatakan
bahwa pengertian civics lebih menekankan pada teori dan praktik pemerintah demokrasi
sedangkan dalam arti luas lebih diorientasikan pada citizenship education yang lebih
menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam permasalahan-permasalahan
kemasyarakatan.1
Sebagai ilmu maka Civics dalam perkembangannya menunjukkan bahwa ilmu
kewarganegaraan ini dapat berkembang dan tumbuh jika menjalin hubungan yang saling
memperkaya (cross vertilization) antara berbagai disiplin ilmu social dan bahkan “trans” disiplin
karena memang cirinya adalah tumbuh dan berkembang dengan menggunakan pendekatan
multidisiplin sebagai salah satu cirinya. Atas dasar itu Ilmu Kewarganegaraan tersebut
memberikan pemahaman dasar-dasar teoritik tentang kewarganegaraan.
B. Citizen, Citizenship, dan Civic/ Citizenship Education (Pendidikan Kewarganegaraan)
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah perluasan dari civics yang lebih menekankan
pada aspek-aspek praktik kewarganegaraan. Oleh sebab itu, Pendidikan kewarganegaraan juga
disebut pendidikan orang dewasa (adul education) yang mempersiapkan siswa menjadi warga
negara yang memahami perannya sebagai warga negara. Dimond mengemukakan bahwa
pengertian civics atau citizenship education memiliki makna dalam arti luas dan arti sempit bila
dikaitkan dengan kehidupan sekolah dan masyarakat. Dalam arti sempit, Civics lebih
menekankan pada aspek teori dan praktik pemerintahan demokrasi, sedangkan dalam arti luas
yang disebut citizenship education lebih menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga
negara dalam permasalahan-permasalahan kemasyrakatan.
Citizen atau warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat
tertentu dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warga negara dan negara,
warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warga negara
juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara. Dalam hubungan
internasional di setiap wilayah negara selalu ada warga negara dan orang asing yang semuanya
disebut penduduk. Setiap warga negara adalah penduduk suatu negara, sedangkan setiap
penduduk belum tentu warga negara.
2
Citizenship atau Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan
politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara.
Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di
dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga
kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan
ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial)
yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality).
Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk
memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan
subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam
politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu
negara.
Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik (negara), dan
dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik. Seseorang dengan keanggotaan
tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara umum mirip dengan kebangsaan, walaupun
dimungkinkan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara
hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak
berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi
bangsa dari suatu negara.
Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu
dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius
soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran,
sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
3
Istilah kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan
hubungan atau ikatan antara neagara dengan warga negaranya. Seperti yang di jelaskan dalam
Pasal II Peraturan Penutup Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI,
dimana kewarganegaraan diartikan sebagai segala jenis hubungan dengan suatu yang
mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan.
Adapun menurut UU Kewarganegaraan RI, kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang
berhubungan dengan negara. (Pendidikan Kewarganegaraan, Winarno, S.Pd. M.Si.).
Dari uraian pengertian diatas, disimpulkan jika Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan agar
kita memiliki kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan
perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila.
Menurut Wibisono (2006, p.43), visi merupakan rangkaian kalimat yang menyatakan cita-cita
atau impian dari seorang individu, oraganisasi atau perusahaan yang ingin dicapai di masa depan.
Atau dapat dikatakan bahwa visi merupakan pernyataan ‘want to be’ dari seorang individu,
organisasi atau perusahaan.Visi juga merupakan hal yang sangat krusial bagi suatu individu,
organisasi atau perusahaan untuk menjamin kelestarian dan kesuksesan jangka panjang.
Dalam visi juga terdapat nilai-nilai, aspirasi serta kebutuhan untuk menjamin suatu indivisu,
organisasi atau perusahaan di masa depan seperti yang di ungkapkan oleh Kotler yang dikutip
oleh Nawawi (2000:122), visi adalah pernyataan tentang tujuan individu, organisasi atau
perusahaan yang diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan kebutuhan yang
dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang di layani, nilai-nilai yang di peroleh serta
aspirasi dan cita-cita masa depan.
Misi
Misi sangatlah berbeda dengan visi. Misi adalah proses atau pernyataan yang harus dikerjakan
oleh individu, organisasi atau perusahaan dalam usahanya mewujudkan visi. Jadi secara garis
besarnya visi dengan misi walaupun sangat berbeda arti namun mempunyai hubungan yang
sangatlah erat.Tidak mungkin ada visi apabila misi nya tidak ada.Dan begitu pula dengan misi
tidak aka nada kalau visinya tidak ada. Misi juga memberikan arah dan batasan dalam proses
pencapaian visi tersebut.
Dalam era globalisasi sekarang ini setiap mahasiswa dtuntut untuk dapat mewujudkan
nilai-nilai kenegaraan dan pancasila serta rasa kebanggaan dan cinta akan tanah airnya ditambah
dengan tuntutan untuk mengikuti perkembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi),
politik serta seni budaya. Seiring perkembangan teknologi, setiap mahasiswa bukan hanya
dituntut dapat mengaplikasikan.Namun juga dapat mengembangkan melalui berbagai macam
metode.Salah satunya adalah dengan mengikuti penelitian di lembaga-lembaga yang
berhubungan dengan riset dan penelitian.Serta pelatihan-pelatihan dan seminar yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diadakan oleh berbagai macam
lembaga.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan
pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program study, guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada
suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus
memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan
bangsanya.
Dari penjabaran visi-misi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tujuan utama
Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara,
sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, Wawasan
Nusantara, serta Ketahanan Nasional dalam diri mahasiswa calon sarjana/ilmuwan warga negara
NKRI yang sedang mengkaji dan akan menguasai iptek dan seni. Kualitas warga negara akan
ditentukan terutama oleh keyakinan dan sikap hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
disamping derajat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajarinya.
1. Landasan Hukum
Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau titik tolak. Sedangkan kata
hukum adalah sesuatu yang dapat dipandang sebagai aturan baku yang patut ditaati. Hukum atau
aturan baku diatas tidak selalu dalm bentuk tertulis.
Jadi landasan hukum dapat diartikan sebagai tempat terpijak atau titik tolak dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu
Adapun landasan hukum pelaksanaan mata kuliah ini adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945
Keputusan tersebut menetapkan realisasi pendidikan bela negara melalui jalur pengajaran/
pendidikan khususnya pendidikan tinggi.
1. Hak dan kewajiban warga negara dalam upaya bela negara melalui pendidikan
pendahuluan bela negara sebagai bagian integral pendidikan nasional yang
tercantum pada Pasal 18.
2. Ketentuan bahwa PPBN wajib diikuti oleh setiap warga negara. Pendidikan ini
dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, dan tahap selanjutnya melalui mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan pada jenjang Pendidikan tinggi yang tercantum pada Pasal 19
ayat (2).
Nomor061U/1985
KEP/002/II/1985
Mata kuliah Kewarganegaraan sebagai salah satu Mata kuliah Dasar Umum (MKDU) pada
semua perguruan tinggi di Inonesia.
Penjelasan bahwa Pendidikan Bela Negara dan Pendidikan Kewiraan termasuk dalam
Pendidikan Kewarganegaraan yang tercantum pada Bab IX Pasal 39 ayat (2), disempurnakan
dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Landasan Ilmiah
Landasan ilmiah pendidikan yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari berbagai cabang atau
disiplin ilmu yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi
pendidikan.
Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan
bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk
itu diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang berlandaskan
nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-
nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup setiap warga negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahasan Pendidikan Kewarganegaraan
meliputi hubungan antara warga negara dengan negara, serta pendidikan pendahuluan bela
negara yang semua ini berpijak pada nilai-nilai budaya serta dasar filosofi bangsa. Hal itulah
yang menjadi landasan dalam Pendidikan Kewarganegaraan.
Kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh rasa tanggung jawab yang
harus dimiliki oleh seseorang agar ia mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan
tertentu.
Penguasaan kompetensi (kecakapan) yang diharapkan bagi mahasiswa setelah mempelajari mata
kuliah kewarganegaraan ini adalah sebagai berikut:
Kesadaran bela negara ini berwujud sebagai kerelaan dan kesediaan melakukan upaya untuk
kelangsungan hidup bangsa dan negara melalui bidang profesinya.
3. Mempunyai wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa dan bernegara dan ketahanan nasional
(National Resillience) untuk kelangsungan hidup bangsa dan Negara (Natural Survival).
Merupakan suatu tuntutan pula bahwa bangsa Indonesia, terutama pemimpin termasuk para
mahasiswa sebagai calon pemimpin harus mengenal dan memahami konsepsi pertahanan
nasional.
4. Mempunyai pola pikir, pola sikap yang komprehensif integral dalam memecahkan masalah
dan implementasi pembangunan nasional pada seluruh aspek kehidupan nasional.
Pola pikir secara komprehensif integral adalah kemampuan berpikir tentang sesuatu dalam
kaitannya dengan keseluruhannya. Dalam memandang peristiwa yang terjadi di masyarakat tidak
boleh memandang secara individu/golongan melainkan berdasarkan pandangan kepentingan
bersama, yaitu kepentingan masyarakat/bangsa dari berbagai aspek.
Dari uraian diatas tampak bahwa dalam mengisi kemerdekaan dan menghadapi pengaruh global,
setiap warga negara NKRI pada umumnya dan mahasiswa calon sarjana/ ilmuan pada khususnya
harus tetap pada jati dirinya yang berjiwa patriotik dan cinta tanah air. Dalam Perjuangan Non
Fisik mereka harus tetap memegang teguh nilai-nilai ini di semua aspek kehidupan, khususnya
untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi dan
nepotisme, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatkan kualitas sumber daya
manusia agar memiliki daya saing/kompetitif, memelihara serta menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa, dan berpikir objektif rasional serta mandiri. Semua upaya itu akan menjadikan kita
bangsa yang dapat diperhitungkan dalam dunia global. Sementara itu, Negara Kesatuan Republik
Indonesia tetap utuh, tegak dan jaya sepanjang masa.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Pada jaman Hindia Belanda di kenal dengan nama “Burgerkunde”.
Pada waktu itu ada 2 buku resmi yang digunakan, yaitu :
a. Indische Burgerschapkunde, yang di bicarakan dalam buku tersebut, masalah masyarakat
pribumi. Pengaruh barat, bidang sosial, ekonomi, hukum, ketatanegaraan dan
kebudayaan, masalah pertanian, masalah perburuhan. Kaum menengah dalam industri
dan perdagangan, terbentuknya dewan rakyat, masalah pendidikan, kesehatan
masyarakat, pajak, tentara dan angkatan laut.
b. Rech en Plich (Bambang Daroeso, 1986: 8-9) karangan J.B. Vortman yang dibicarakan
dalam buku tersebut yaitu :Badan pribadi yang mengutarakan masyarakat dimana kita
hidup, obyek hukum dimana dibicarakan eigendom eropah dan hak-hak atas tanah.
Masalah kedaulatan raja terhadap kewajiban-kewajiban warga negara dalam pemerintah
Hindia Belanda. Masalah Undang-Undang, sejarah alat pembayaran dan kesejahteraaan
Adapun tujuan dari buku tersebut, yakni: agar rakyat jajahan lebih memahami hak dan
kewajibannya terhadap pemerintah Hindia Belanda, sehingga diharapkan tidak
menganggap pemerintah belanda sebagai musuh tetapi justru memberikan dukungan
dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu yang panjang.
Pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disetujui Volksraad,
bahwa setiap guru harus memiliki izin. Dalam pertimbangannya adalah banyak guru sekolah
partikelir bukanlah lulusan sekolah guru, dan yang berhak mengajar hanyalah lulusan sekolah
guru. Sedangkan lewat pendidikan non-formal terutama dilakukan oleh para tokoh pergerakan
nasional yakni bung Karno dan Bung Hatta. Pelaksanaan pendidikan politik baik yang dilakukan
oleh guru-guru sekolah partikelir maupun yang dilakukan para tokoh pergerakan nasional, pada
prinsipnya dapat di nyatakan sebagai “cikal bakal” pendidikan politik atau PKn di Jaman
Indonesia merdeka.
Sesudah Proklamasi kemerdekaan
Gambaran Nu’man Somantri (1976: 34-35), yakni :
a. Kewarganegaraan (1957) Isi pelajaran kewarganegaraan adalah membahas cara memperoleh
dan kehilangan kewarganegaraan.
b. Civics (1961) Isi civics banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional . UUD,
pidato- pidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk “nation and character
building” Bangsa Indonesia seperti pada waktu pelaksanaan civics di America pada tahun-
tahun setelah declaration of Independence Amerika
c. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) Diberlakukannya kurikulum 1975, PKn pada
prinsipnya merupakan unsur dari PMP. Lahirnya UU no.2 Tahun 1989 tentang SPN (Sistem
Pendidikan Nasional). menunjuk pasal 39 ayat 2, yang menentukan bahwa PKn bersama
dengan pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama harus di muat dalam kurikulum semua
jenis, jalur dan jenjang pendidikan maka PKn akan mengalami perkembangan lagi.
Tahun 1972, dalam seminar di Tawangmangu Surakarta, menetapkan istlah ilmu kewargaan
Negara (IKN) sebagai pengganti CIVICS, dan pendidikan Kewargaan Negara (PKn) sebagai
istilah civic Education. Dengan demikian, IKN lebih bersifat teoritis dan PKn lebih bersifat
praktis antara keduanya merupakan kesatuan tak terpisahkan, karena perkembangan PKn sangat
tergantung pada perkembangan IKN.
Kondisi di atas berpengaruh pada perubahan kurikulum PPKn dan pelaksanaan pengajarannya di
lapangan yang lebih menekankan untuk mendukung status quo atau legitimasi dan pembenaran
(justifikasi) berbagai kebijakan rezim orba dari pada untuk meningkatkan pemberdayaan warga
Negara dalam berhubungan dengan negara. Dalam era reformasi, tantangan PPKn semakin berat.
P4 dipermasalahkan substansinya, karena tidak memberikan gambaran yang tepat tentang nilai
Pancasila sebagai satu kesatuan. Dengan adanya perubahan UU No. 2 tahun 1989 yang diubah
dengan UU No. 20 tahun 2003 tidak dieksplisitkan lagi nama pendidikan Pancasila, sehingga
tinggal Pendidikan Kewarganegaraan. Begitu pula kurikulum 2004 memperkenalkan istilah
Pengganti PPKn dengan kewarganegaraan / pendidikan kewarganegaraan. Perubahan nama ini
juga diikuti dengan perubahan isi PKn yang lebih memperjelas akar keilmuan yakni politik,
hukum dan moral.
Secara umum, berikut ini disebutkan secara kronologis sejarah timbulnya pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia. Dalam tatanan kurikulum pendidikan nasional terdapat mata
pelajaran yang secara khusus mengembanisasi demokrasi di Indonesia, yakni :
1. Pendidikan kemasyarakatan yang merupakan integrasi negara , ilmu bumi, dan
kewarganegaraan ( 1954 )
2. Civics ( 1957/1962 )
3. Ditingkat perguruan tingi pernah ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD
1945 ( 1960-an)
4. Filsafat Pancasila ( 1970- sampai sekarang )
5. Pendidikan kewarganegaraan civics dan hukum ( 1973 )
6. Pendidikan moral atau PMP ( 1975 /1984 )
7. Pendidikan kewiraan ( 1989-1990-an)
8. Dan pendidikan kewarganegaraan ( 2000-sekarang)
Ada lagi Perkembangan ilmu Pendidikan Kewarganegaraan menurut sumber lain, yaitu : a.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya
mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA (1962) yang berisikan materi tentang
pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). b. Dalam
kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah Civics dan pendidikan kewargaan negara digunakan
secara bertukar-pakai (interchangeably).
Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik,
yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan
negara, beragama, demokratis, Pancasila sejati” (Somantri, 2001:279).
Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang
cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan
merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila
dan UUD RI 1945. Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja,
maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi: a) Ilmu
pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori. b) Keterampilan intelektual:
1. Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti
mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;
2. Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan
mengetahuii masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan
mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, (e)
keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan meruumuskan generalisasi, (g)
keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.
3. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif,
karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.
4. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial
yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil
dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-
hari,
Dufty (Numan Somantri, 1975:30). Mengemukakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak
terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar,
generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta
penilaiannya.
Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn mahasiswa diharapkan :
a) Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah,
dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.
b) Melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.
c) Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir diatas.
d) Mengamalkan dan membakukan hal-hal diatas sebagai sikap perilaku diri dan
kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.
Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:30) bahwa tujuan negara mengembangkan
Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be
good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik
intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab
(civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran tidak hanya
menampilkan sosok program dan pola KBM yang hanya mengacu pada aspek kognitif saja,
melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan psikomotor. Selain
aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.
Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan,
yaitu peserta didik, (mahasiswa), dosen, materi, dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan
pendidikan, paling tidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu
paradigma feodalistik dan paradigma humanistik.
Paradigma Feodalistik
Paradigma Humanistik
Paradigma Humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik adalah manusia yang
mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam pandangan ini
peserta didik (mahasiswa) ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara
dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran yang
disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis
dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan
tuntutan dan perubahan sosial. Model materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas
pembelajaran yang hidup (life classroom) yang dalam istilah Ace Suryadi disebut dengan global
classroom. Begitu juga manajemen pendidikann dan pembelajarannya , menekankan pada
dimensi desentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi
pembelajaran yang bervariasi dan demokratis. Untuk itu, kelas pembelajaran Pendidikan
Kewargaan, dalam Istilah Udin S. Winataputra, diperlakukan sebagai laboratorium
demokrasidimana semangat kewarganegaraan yang memancar dari cita-cita dan nilai demokrasi
diterapkan secara interaktif.
PARADIGMA PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN SEBAGAI
WAHANA SISTEMIK PENDIDIKAN
DEMOKRASI
1.) Pendahuluan
Ada beberapa konsep yang dikaji, yakni jatidiri, pendidikan kewarganegaraan, wahana sistemik,
dan pendidikan demokrasi. Istilah jatidiri diadaptasi dari characteristic dalam bahasa Inggris,
yang memiliki sinonim paling dekat dengan individuality, specialty, attribute, feature, character
(Devlin:1961), yang dapat diartikan secara bebas sebagai ciri khas atau atribut. Dalam artikel ini
jatidiri dimaksudkan sebagai ciri khas atau atribut konseptual dan empirik dari pendidikan
kewarganegaraan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi. Dalam kepustakaan asing ada
dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewargnegaraan yakni civic
education dan citizenship Education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the
foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their
communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang
untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam
masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan
(1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup
"...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning
which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the
media,etc which help to shape the totality of the citizen".
Dalam tulisan ini istilah pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam
pengertian yang luas seperti "citizenship education" atau "education for citizenship" yang
mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di
sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program
penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari
program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai
warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan
kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan
sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.Kata
sistem diserap dari Bahasa Inggris system, yang secara harfiah artinya "susunan" (Echols dan
Shadily,1975:575). Sedangkan menurut Hornby, Gatenby, dan Wakefield (1962:1024) system
diartikan sebagai group of things or parts working together in a regular relation atau kelompok
benda-benda atau hal-hal atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam suatu hubungan yang
teratur. Pengertian yang lebih lengkap tentang sistem diberikan oleh Rahmat (1995:336) sebagai
berikut:
1). Gabungan hal-hal yang disatukan kedalam sebuah kesatuan yang konsisten dengan
kesalinghubungan (interaksi, interdependensi, interrelasi) yang teratur dari bagian-bagiannya.
2). Gabungan hal-hal (obyek-obyek, ide-ide, kaidah-kaidah, aksioma-aksioma,dll) yang disusun
dalam sebuah aturan yang koheren (subordinasi, atau inferensi, atau generalisasi,dll) menurut
beberapa prinsip (atau rencana, atau rancangan, atau metode) rasional atau yang dapat dipahami"
Dalam pengertian seperti dikutip itulah penulis mengartikan sistem. Selanjutnya, yang dimaksud
dengan konteks keilmuan adalah keterpaduan dari unsur-unsur kerangka konseptual pendidikan
kewarganegaraan dalam arti luas. Konsep keterpaduan itu sendiri merupakan terjemahan dari
istilah integrated, seperti dalam konsep integrated social studies (Dufty:1970, Taba:1971), yang
kemudian diterjemahkan menjadi IPS Terpadu. Dengan merujuk kepada pengertian masing-
masing istilah seperti telah dibahas di muka dan konsep keterpaduan pengetahuan atau integrated
knowledge system menurut Hartoonian (1992), maka konsep kerangka konseptual konteks
keilmuan yang digunakan diartikan sebagai tatanan pengetahuan yang terstruktur secara
paradigmatik, yang obyek telaahnya disikapi sebagai suatu kesatuan garis berpikir dan metode
kerjanya bersifat sistemik (kesatuan yang bersifat multidimensional) dan kemanfaatannya
menyangkut banyak hal yang satu sama lain saling berkaitan.Pendidikan demokrasi yang kini
dengan tegas diterima sebagai esensi pendidikan kewarganegaraan (CICED:1999), dalam
Kurikulum 1994 merupakan bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
yang dibingkai menjadi satu dengan nilai-nilai masing-masing sila sebagai intinya dalam
kedudukan yang setara dan interaktif. Dengan paradigma yang ada itu maka secara substantif di
dalam pendidikan kewarganegaraan terkandung makna pendidikan Pancasila, dalam arti
berlandaskan dan berorientasi pada cita-cita dan nilai yang secara koheren dan sistemik
terkandung dalam Pancasila. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan
pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi,
sebagaimana telah menjadi salah satu kesimpulan dari Conference on Civic Education for Civil
Society (CICED:1999). Berkaitan dengan hal itu Sudarsono (1999) menegaskan bahwa “the
ideals and values of democracy and their implementations in daily activities at micro as well as
macro levels can be regarded as the heart of civil society”. Oleh karena itu, lebih lanjut
ditekankan bahwa “...democratic living should be fostered in order that we should be able to
establish a good Indonnesian civil society”, dan untuk itulah, ditegaskan lebih jauh lagi bahwa
“... the existing civic education both for schools and for society should be reassessed and
redesigned”. (Sudarsono:1999). Dari situ dengan tegas tampak adanya kecenderungan yang kuat
untuk menempatkan pendidikan demokrasi sebagai intinya dari pendidikan kewarganegaraan.
Dengan menggunakan kerangka berpikir itu, maka konsep pendidikan demokrasi diartikan
sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya sistematis dan sistemik
untuk mengembangkan cita-cita, nilai, prinsip, dan pola prilaku demokrasi dalam diri individu
warganegara, dalam tatanan iklim yang demokratis, sehingga pada giliranya kelak secara
bersama-sama dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani Indonesia
yang demokratis. Paradigma ini dijiwai oleh ethos baru pendidikan demokrasi “eduction about
democracy, through democracy, and for democracy” (CIVITAS International,1998; QCA;1999;
CICED;1999; dan APCEC:2000; IEA-CEP;2000).
3.) Metodologi
Obyek telaah ada dua hal: (1) Pemikiran tentang social studies, citizenship education, civic
education secara umum dan pendidikan kewarganegaraan serta pendidikan ilmu pengetahuan
sosial secara khusus, (2)Praksis penyelenggaraan social studies, citizenship education, civic
education secara umum; pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan di LPTK secara khusus;
dan dalam site of citizenship di negara lain dan di Indonesia.
Sesuai Dengan Hakikat Dan Karakteristik Obyek Telaahnya Pada dasarnya penelitian itu
diterapkan pendekatan eklektrik, yakni kombinasi pendekatan kualitatif (utama) dan kuantitatif
(pendukung), yang dikemas dalam suatu survey khusus untuk secara kualitatif menggali,
mengkaji, memilih, dan mengorganisasikan berbagai pemikiran dan praksis citizenship
education, civic education, social studies secara umum, dan pendidikan IPS dan PPKn secara
khusus, beserta konteksnya, yang telah terdokumentasikan. Untuk mendapatkan data dan
informasi digunakan teknik Studi Dokumentasi, Komunikasi interpersonal melalui diskusi (focus
discussion).
Ada tiga istilah teknis yang banyak digunakan, yakni civics, civic education, dan citizenship
education. Istilah civics merupakan istilah yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh
Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri (1969) untuk menunjukkan the science of
citizenship yang isinya antara lain mempelajari hubungan antarwarganegara dan hubungan antara
warganegara dengan negara. Saat ini istilah itu masih dipakai sebagai nama mata pelajaran yang
berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan
dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura,
Spanyol, dan USA (Kerr,1999). Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam kurikulum
SMP dan SMA tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum PPSP IKIP Bandung
tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA diperkenalkan istilah citizenship education dan
civic education yang digunakan secara bertukar-pakai, untuk menunjukkan program pendidikan
karakter, etika dan kebajikan (Best:1960) atau pengembangan fungsi dan peran politik dari
warganegara dan pengembangan kualitas pribadi (Somantri 1969).
Sedangkan Allen (1960) dan NCSS (Somantri:1972) menggunakan istilah citizenship education
dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai produk keseluruhan program pendidikan atau all
positive influences yang datang dari proses pendidikan formal dan informal. Kini istilah civic
education lebih banyak digunakan di USA serta beberapa negara baru di Eropa timur yang
mendapat pembinaan profesional dari Center for Civic Education dan Universitas mitra kerjanya
di USA, untuk menunjukkan suatu program pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu
mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih dipakai
untuk label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan nama LSM Center for
Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung digunakan secara spesifik sebagai
mata pelajaran dalam konteks pendidikan formal. Sedangkan istilah citizenship education
cenderung digunakan dalam dua pengertian. Pertama, digunakan di UK dalam pengertian yang
lebih luas sebagai overarching concept yang di dalamnya termasuk civic education sebagai unsur
utama (Cogan,1999; Kerr: 1999; dan QCA:1999) disamping program pendidikaan
kewarganegaraan di luar pendidikan formal seperti site of citizenship atau situs
kewarganegaraan, seperti juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh (1962) dan NCSS (1972).
Kedua, digunakan di USA, terutama oleh NCSS, dalam pengertian sebagai the essence or core
atau inti dari social studies (Barr dkk:1978; NCSS:1985;1994). Di Indonesia istilah citizenship
education belum pernah digunakan dalam tataran formal instrumentasi pendidikan, kecuali
sebagai wacana akademis di kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Yang konsisten
menggunakan istilah citizenship education atau education for citizenship adalah UK. Sedangkan
negara lain yang diketahui menggunakannya secara adaptif adalah Netherlands. Sebagai batasan
penulis menerjemahkan civic education dan citizenship education ke dalam istilah yang sama
namun berbeda dalam cara penulisannya.
Istilah civic education diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (memakai huruf
besar di awal) dan citizenship education diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan
(semuanya dengan huruf kecil). Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada
suatu mata pelajaran, sedangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada kerangka
konseptual sistemik program pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis. Konsep
pendidikan kewarganegaraan disebut juga sistem pendidikan kewarganegaraan (spkn/SPKn)
yang dapat ditulis dengan semuanya huruf besar atau huruf kecil.
4.3. Missi
4.4. Strategi
Kewarganegaraan memiliki dua dimensi ontologi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan.
Yang dimaksud dengan obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis
pendidikan kewarganegaraan yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum
dan pembelajaran PPKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kutural
kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek pengembangan adalah
keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni ranah kognitif, afektif, konatif, dan
psikomotorik yang menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai warganegara, yang perlu
dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warganegara yang
“cerdas, dan baik, dalam arti demokratis, religius, dan berkeadaban dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Yang termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat
dari hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang kajianpendidikan kewarganegaraan yang
telah dicapai, bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan dan pendidikan tenaga
kependidikan.Hasil-hasil penelitian dan pengembangan social studies, citizenship education dan
civic education” dalam dunia persekolahan banyak memberi manfaat dalam merancang program
pendidikan guru, meningkatkan kualitas kemampuan guru, meningkatkan kualitas proses
pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas
penelitian dan pengembangan.
5. Kesimpulan
(1) Pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu tubuh atau sistem pengetahuan yang
memiliki: (a) ontologi civic behavior dan civic culture yang bersifat multidimensional (filosofis,
ilmiah, kurikuler, dan sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion
dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, prilaku dan konteks sosial
kultural warganegara, serta komunikasi akademis, kurikuler, dan sosial dalam rangka penerapan
hasil kajian ilmiah dan pengembangan kurikuler dan instruksional dalam praksis pendidikan
demokrasi untuk warganegara di sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi untuk memfasilitasi
pengembangan body of knowledge sistem pengetahuan atau disiplin pendidikan
kewarganegaraan; melandasi dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan
demokrasi di sekolah dan luar sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya
koridor proses demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat.
(2) Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan memiliki tiga komponen, yakni :
(a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler Pendidikan
Kewarganegaraan; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, yang secara koheren
bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan,
nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan.
(3) Secara kontekstual logika internal dan dinamika eksternal sistem pendidikan
kewarganegaraan dipengaruhi oleh aspek-aspek pengetahuan intraseptif berupa Agama dan
Pancasila; pengetahuan ekstraseptif ilmu, teknologi, dan seni; cita-cita, Nilai, konsep, prinsip,
dan praksis demokrasi; masalah-masalah kontemporer Indonesia; kecenderungan dan masalah
globalisasi; dan kristalisasi civic virtue dan civic culture untuk masyarakat madani Indonesia-
masyarakat negara kebangsaan Indonesia yang berdemokrasi konstitusional.
(4) Aspek esensial yang menjadi faktor perekat (integrating forces) dari ketiga komponen sistem
pendidikan kewarganegaraan sehingga membentuk suatu kerangka paradigmatik yang koheren
adalah konsep warganegara yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius yang
dikristalisasikan menjadi 90 butir perangkat kompetensi kewarganegaraan (pengetahuan
kewarganegaraan, ahlak/sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan) yang
berkembang secara dinamis.