Anda di halaman 1dari 52

BAB I

KONSEP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Pendidikan Kewarganegaraan adalah terjemahan dari istilah asing civic education atau

citizenship education. Terhadap dua istilah ini, John C. Cogan telah membedakan dengan

mengartikan civic education sebagai “...the foundational course work in school designed to

prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives” (Cogan,

1999), atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga

negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.

Sedangkan citizenship education digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian

yang lebih luas yang mencakup

“...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning


which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,
etc which help to shape the totality of the citizen” (Cogan, 1999).

Artinya, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman

belajar di sekolah dan luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, organisasi

keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.

Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa "Citizenship or Civics Education is

construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and

responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching

and learning) in that preparatory process". (Kerr, 1999). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa

pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda

untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus peran
pendidikan (termasuk didalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar) dalam proses

penyiapan warga  negara tersebut. 

Untuk konteks di Indonesia, citizenship education oleh beberapa pakar diterjemahkan

dengan istilah pendidikan kewarganegaraan (ditulis dengan menggunakan huruf kecil semua)

(Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002).

Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship education lebih luas

cakupan pengertiannya dari pada civic education. Dengan cakupan yang luas ini maka

citizenship education meliputi didalamnya pendidikan kewarganegaraan dalam arti khusus (civic

education). Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga

negara generasi muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, sedang

civic education adalah citizenship education yang dilakukan melalui persekolahan.

Sementara itu, berkaitan dengan konsep Pendidikan Kewargaan,  Azra (dalam ICCE,

2003) memandang bahwa secara substantif istilah Pendidikan Kewargaan tidak saja mendidik

generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam

konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah

Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi

warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan Kewargaan secara

substantif lebih luas cakupannya daripada  Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini sejalan dengan

pembedaan pengertian  civic education  dan  citizenship education di atas.

Secara paradigmatik Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga domain, yakni 1)

domain akademik; 2) domain kurikuler; dan 3) aktivitas sosial-kultural (Winataputra, 2001).

Domain akademik adalah berbagai pemikiran tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang

berkembang di lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis
pendidikan kewarganegaraan dalam lingkup pendidikan formal dan nonformal. Sedangkan

domain sosial kultural adalah konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan

masyarakat (Wahab dan Sapriya, 2011). Ketiga komponen tersebut secara koheren bertolak dari

esensi dan bermuara pada upaya pengembangan warga negara yang baik (good citizens), yang

memiliki pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), nilai, sikap dan watak

kewarganegaraan (civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic skill).

Menurut Zamroni ( Tim ICCE, 2005: 7) pengertian pendidikan kewarganegaraaan

adalah:

“Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis
dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa
demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat”. Diharapakan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang
memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Rebuplik
Indonesia. Hakekat NKRI adalah negara kebangsaan modern”.

Pendidikan Kewarganegaraan dijelaskan  dalam Depdiknas (2006:49), Pendidikan

kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang mefokuskan pada pembentukan warganegara yang

memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara

Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Lebih lanjut Somantri (2001: 154) menyatakan bahwa:

“PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan
dasar yang berkenan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan
pendahuluan bela negara menjadi warga negara  agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara”.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat

membentuk diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural dan bahasa untuk menjadi warga

negara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang dilandasi oleh UUD 1945 (Sudjana, 2003).
Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang secara umum bertujuan untuk

mengembangkan potensi individu warga negara Indonesia, sehingga memiliki wawasan, sikap,

dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan memungkinkan untuk berpartisipasi

secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara (Sudjatmiko, 2008)

Menurut Azis Wahab, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan media pengajaran

yang meng-Indonesiakan para siswa secara sadar, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Karena itu,

program PKn memuat konsep-konsep umum ketatanegaraan, politik dan hukum negara, serta

teori umum yang lain yang cocok dengan target tersebut (Cholisin, 2000:18)

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah

mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan

mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang

cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Berbeda dengan pendapat di atas pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai penyiapan

generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, kecakapan, dan

nilai-nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakatnya (Samsuri, 2011: 28).

Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) pengertian pendidikan kewarganegaraaan adalah:

“Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis

dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa
demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga

masyarakat”.

Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan

warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi

warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan

UUD 1945 (Depdiknas, 2006:49).

Pendapat lain, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik

dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenan dengan hubungan antar warga negara

dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara agar dapat

diandalkan oleh bangsa dan negara (Somantri, 2001: 154)

B.     HAKIKAT, FUNGSI, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PKn

1.      Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan berdasarkan Nilai-nilai Pancasila

sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar

pada budaya bangsa yang diharapkan menjadi jati diri yang diwujudkan dalam bentuk prilaku

dalam kehidupan sehari-hari para mahasiswa baik sebagai individu, sebagai calon guru/pendidik,

anggota masyarakat dan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hakikat Pendidikan Kewarganegaran

adalah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari

segi agama,sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi  warga negara yang

cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD1945.
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional

Apabila kita kaji secara historis-kurikuler mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

tersebut telah mengalami pasang surut pemikiran. Sejak lahir kurikulum tahun 1946 di awal

kemerdekaan sampai pada era reformasi saat ini.

a.  Tahun 1957

Pada tahun ini mulai diperkenalkan mata pelajaran Kewarganegaraan. Isi pokok materinya

meliputi cara memperoleh kewarganegaraan serta hak dan kewajiban warga negara. Selain

mata pelajaran Kewarganegaraan juga diperkenalkan mata pelajaran Tata Negara dan Tata

Hukum.

b.  Tahun 1959

Pada tahun ini ini muncul mata pelajaran CIVICS yang isinya meliputi sejarah nasional,

sejarah proklamasi, Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, pidato-pidato kewarganegaraan

presiden, serta pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.

c.  Tahun 1962

Pada tahun ini telah terjadi pergantian mata pelajaran CIVICS menjadi Kewargaan Negara.

Penggantian ini atas usul menteri kehakiman pada masa itu, yaitu Dr. Saharjo, SH. Menurut

beliau penggantian ini bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik. Materi yang

diberikan menurut keputusan menteri P dan K no. 31/1967 meliputi Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, Tap MPR, dan pengetahuan PBB.

d.  Tahun 1968

Pada tahun ini keluar kurikulum 1968 sehingga istilah Kewargaan Negara secara tidak resmi

diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokoknya di Sekolah Dasar yaitu,

1. Pengetahuan kewarganegaraan
2. Sejarah Indonesia

3. Ilmu bumi

Sekolah Pendidikan Guru

1. Sejarah Indonesia

2. Undang-Undang Dasar 1945

3. Kemasyarakatan

4. Hak Asasi Manusia (HAM)

e.   Tahun 1973

Pada tahun ini Badan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

bidang PKn menetapkan 8 tujuan kurikuler, yaitu:

1. Hak dan kewajiban warga negara

2. Hubungan luar negeri dan pengetahuan internasional

3. Persatuan dan kesatuan bangsa

4. Pemerintahan demokrasi Indonesia

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

6. Pembangunan sosial ekonomi

7. Pendidikan kependudukan

8. Keamanan dan ketertiban masyarakat

f.     Tahun 1975

Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan

Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan

misi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini
merupakan mata pelajaran wajib untuk Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.

Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan

berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari

Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP)

pada masa itu berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan

UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007).

g.    Tahun 1994

Pada tahun ini mata pelajaran PMP diganti menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan (PPKn). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang

Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan

Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua

jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39).

Kurikulum Pendidikan Dasar tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut

dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau

PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan

materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar

konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan

menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba, 1967).

Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap

jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya

didominasi oleh proses value incucation  dan  knowledge dissemination. Hal tersebut dapat

lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila
Pancasila. Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang

beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan

untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam

berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007).

Sedangkan dalam kurikulum 1994 ruang lingkup Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

(PPKn) meliputi :

1.  nilai moral dan norma bangsa Indonesia serta perilaku yang diharapkan terwujud dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

2.  kehidupan ideologi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan di negara

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan luas liputan,

kedalaman dan tingkat kesukaran materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan

belajar siswa pada satuan pendidikan.

h.  Tahun 2004

Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003,

diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004

dimana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berubah nama menjadi Kewarganegaraan.

i.   Tahun 2006

Pada tahun ini keluar kurikulum baru yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) muncul mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menggantikan

Kewarganegaraan dan PPKn.


Berdasarkan Pemendiknas No. 22 tahun 2006, ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah secara umum  meliputi aspek-aspek

sebagai berikut,

1. Persatuan dan Kesatuan Bangsa

2. Norma, Hukum dan Peraturan

3. Hak Asasi Manusia

4. Kebutuhan Warga Negara

5. Konstitusi Negara

6. Kekuasaan dan Pilitik

7. Pancasila

8. Globalisasi

Jadi Hakikat PKn, yaitu,

Program pendidikan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai wahana untuk

mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa yang

diharapkan menjadi jati diri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari

hari. Sebuah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan diri yang beragam dari segi

agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang

cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.

2.      Fungsi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


PKn sebagai salah satu mata pelajaran bidang sosial dan kenegaraan memiliki fungsi

yang sangat esensial dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang memiliki

keterampilan hidup bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara. Numan Somantri (2001:166)

memberikan pemaparan mengenai fungsi PKn sebagai berikut:


“Usaha sadar yang dilakukan secara ilmiah dan psikologis untuk memberikan kemudahan belajar
kepada peserta didik agar terjadi internalisasi moral Pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan
untuk melandasi tujuan pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan
perilaku sehari-hari”.

Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara

yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan

merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila

dan UUD NKRI 1945.

Berdasarkan uraian di atas mengenai fungsi PKn, maka penulis menyimpulkan bahwa

pembelajaran PKn diharapkan dapat memberikan kemudahan belajar para siswa dalam

menginternalisasikan moral Pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan untuk melandasi tujuan

pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan perilaku sehari-hari.

Menurut Branson (1999) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan

bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian,

maupun nasional. Tujuan PKn dalam Depdiknas (2006) adalah untuk memberikan kompetensi

sebagai berikut :

a.       Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.

b.      Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

c.       Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-

karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

d.      Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tujuan PKn yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995) adalah sebagai berikut :
a.       Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan

Nasional, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani,

dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan

kebangsaan.”

b.      Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam

kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang

Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat

kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan

kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan

pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku

yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah

partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara

yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia.

Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan

seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan

serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui

pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu

berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta

perbaikan masyarakat.
Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara

yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap

bangsa dan negara, beragama, demokratis, Pancasila sejati” (Somantri, 2001).

Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci

menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi :

a.    Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep, dan generalisasi teori.

b.    Keterampilan intelektual:

1)      Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat,

menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai.

2)      Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahui

masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis; (c) keterampilan mengumpulkan data; (d)

keterampilan menafsirkan dan mneganalisis data; (e) keterampilan menguji hipotesis; (f)

keterampilan merumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

c.       Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif,

karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.

d.      Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial

yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat

melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty

(Numan Somantri, 1975) mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci

dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar,

generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta

penilaiannya.

Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan,


a.    Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar

ideologi, dan pandangan hidup negara RI.

b.    Melek konstitusi (UUD NKRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.

c.    Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas.

d.   Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya

dengan penuh keyakinan dan nalar.

Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005) bahwa tujuan negara

mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara

yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics

inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan

tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar :

a.    Memberikan pengertian, pengetahuan dan pemahaman tentang Pancasila yang benar dan sah.

b.    Meletakkan dan membentuk pola pikir yang sesuai dengan Pancasila dan ciri khas serta

watak ke-Indonesiaan.

c.    Menanamkan nilai-nilai moral Pancasila ke dalam diri anak didik.

d.   Menggugah kesadaran anak didik sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia

untuk selalu mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai moral Pancasila tanpa menutup

kemungkinan bagi diakomodasikannya nilai-nilai laindari luar yang sesuai dan tidak

bertentangan dengan nilai-nilai moral Pancasila terutama dalam menghadapi arus globalisasi dan

dalam rangka kompetisi dalam pasar bebas dunia.

e.    Memberikan motivasi agar dalam setiap langkah laku lampahnya bertindak dan berperilaku

sesuai dengan nilai, moral dan norma Pancasila.


f.     Mempersiapkan anak didik utuk menjadi warga negara dan warga masyarakat Indonesia yang

baik dan bertanggung jawab serta mencintai bangsa dan negaranya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran

tidak hanya menampilkan sosok program dan pola KBM yang hanya mengacu pada aspek

kognitif saja, melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan

psikomotor. Selain aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.

3.      Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, yaitu mempunyai objek, metode,

sistem dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material

maupun objek formalnya. Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh

suatu bidang atau cabang ilmu. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu yang

dipilih untuk membahas objek material tersebut. Adapun objek material dari Pendidikan

Kewarganegaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan warganegara baik yang empirik

maupun yang nonempirik, yang meliputi wawasan, sikap, dan perilaku warganegara dalam

kesatuan bangsa dan negara. Sebagai objek formalnya mencakup dua segi, yaitu segi hubungan

antara warganegara dan negara (termasuk hubungan antar warganegara) dan segi pembelaan

negara.

Mata pelajaran PKn memiliki klasifikasi materi yang dirangkum dalam ruang lingkup

pembelajaran. Ruang lingkup  pada materi mata pelajaran PKn sesuai Permendiknas No. 22

Tahun 2006 tentang standar isi, meliputi:

a.  Persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Norma, hukum, dan peraturan.


c.  Hak asasi manusia. 

d. Kebutuhan  warga negara. 

e.  Konstitusi negara. 

f.  Kekuasan dan Politik.

g. Pancasila. 

h. Globalisasi. 

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa  materi pembelajaran pada mata pelajaran

PKn terangkum dalam  ruang lingkup mata pelajaran  PKn  yang  terdiri dari  beberapa aspek, 

meliputi: ruang lingkup persatuan dan kesatuan bangsa, ruang lingkup norma, hukum, dan

peraturan,  ruang lingkup  HAM  (Hak Asasi Manusia),  ruang lingkup kebutuhan dan konstitusi

negara,  ruang lingkup  kekuasaan dan politik, ruang lingkup pancasila,  serta ruang lingkup

globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Indonesia Bhineka


Tunggal Ika. Makalah Disampaikan dalam Symposium Internasional Antropologi Indonesia ke-
3. Denpasar: Kajian Budaya UNUD.
Budiyanto.Pendidikan Kewarganegaraan .Yogyakarta: UNY Press. 2004.
Cogan, J.J: Howaya, Rk.K: (1999) The Foundation of education. New York: Prentice hall, Inc.
Djahiri, A. Kosasih. 1995. Dasar Umum Metodologi Pengajaran Pendidikan Nilai Moral.
Bandung: Lab. Pengajaran PMP-IKIP Bandung.
Endang Zaelani Zukarya, dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Paradigma.
Prof. DR. H. Kaelani, M.S. dan Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si. Pendidikan Kewarganegaraan
Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit Paradigma:Yogyakarta 2007
Sapriya. (2011). Pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya
Soemantri. (2001). Menggagas Pembelajaran Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya
Sudjana (2003). Dasar-dasar proses belajar mengajar, Bandung : Sinar Baru
Sunarso, dkk.Materi dan Pembelajaran Pkn SD. Jakarta: UniversitasTerbuka. 2006.
Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Winataputra, Udin, 2001. Apa dan bagaimana pendidikan kewarganegaraan, makalah
lokakarya Civic Education Dosen IAIN/STAIN Se-Indonesia, Sawangan Depok.
BAB II

PERKEMBANGAN IKN DAN PKN

Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) di dunia diperkenalkan


untuk pertama kalinya pada tahun 1790 di Amerika Serikat.  Tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan (civics education) agar penduduk Amerika Serikat yang memiliki keragaman
suku bangsa yang berasal dari banyak negara di dunia yang datang ke Amerika. Diharapkan
dengan “Civics” akan memiliki satu indentitas sebagai bangsa Amerika.

Pengertian Civics menurut Henry Randall Waite adalah “The science of citizenship, the
relation of man, the individual, to man in organized collection, the individual in his relation to
the state”. Pengertian terjemahan umum pendidikan kewarganegaraan tersebut adalah ilmu
yang membicarakan hubungan antara manusia dengan manusia dalam perkumpulan
perkumpulan yang terorganisasi (organisasi social ekonomi, politik) dengan individu-individu
dan dengan negara.

Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat


pemerintahan Sukarno atau yang lebih dikenal dengan istilah civics.  Penerapan Civics sebagai
pelajaran di sekolah-sekolah dimulai pada tahun 1961 dan kemudian berganti nama menjadi
pendidikan Kewargaan negara pada tahun 1968.

Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan resmi masuk dalam kurikulum sekolah di


Indonesia pada tahun 1968. Saat terjadi pergantian tahun ajaran yang awalnya Januari –
Desember dan diubah menjadi Juli – Juni pada tahun 1975, nama pendidikan kewarganegaraan
diubah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menjadi Pendidikan Moral
Pancasila (PMP). Nama mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Pada masa Reformasi PPKn diubah menjadi PKn
dengan menghilangkan kata Pancasila yang dianggap sebagai produk Orde Baru.

Untuk perguruan tinggi, jurusan pendidikan kewarganegaraan pada awalnya menggunakan nama
jurusan Civic Hukum kemudian pada orde baru berubah menjadi Program Studi PMP-KN dan
saat ini banyak yang menggunakan Program Studi PPKn (PKn).

 Kembali Ke Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)

Saat ini terjadi perdebatan dan perbincangan di elit penentu kebijakan pendidikan di Indonesia
untuk menambahkan kembali kata Pancasila ke mata pelajaran PKn menjadi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) kembali. Salah satu alasan adalah nilai-nilai pancasila
dalam diri peserta didik sudah mulai luntur, maka perlu menghadirkan kembali nilai Pancasila
dari sila pertama sampai dengan sila kelima kepada semua siswa. Rancangan ini masuk
kurikulum 2013 namun pelaksanaannya masih belum merata di Indonesia sampai tahun 2016 ini.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkaitan erat dengan peran dan kedudukan serta
kepentingan warganegara sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat dan sebagai
warga negara Indonesia yang terdidik, serta bertekad dan bersedia untuk mewujudkannya dalam
kehidupan sehari-hari. PPKn dapat sebagai upaya mengembangkan potensi individu sehingga
memiliki wawasan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan
memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila yang merupakan
dasar negara dan sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia yang mengandung makna bahwa
dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan
nilai-nilai Ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Sebagai mata pelajaran di sekolah sampai perguruan tinggi,Pendidikan Kewarganegaraan


telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Hal
tersebut dapat dilihat dalam substansi kurikulum PKn yang sering berubah dan tentu saja
disesuaikan dengan kepentingan negara. Dan berikut adalah proses perkembangan IKN dan PKn
di Indonesia.

1. Kewarganegaraan

Isi pelajaran kewarganegaraan adalah membahas cara memperoleh dan kehilangan


kewarganegaraan. Secara historis, pendidikan kewarganegaraan berkedudukan sebagai program
kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun
1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945.

2. Civics

Civics dapat diartikan sebagai ilmu kewarganegaraan yang mengatur hubungan orang-
orang, warga negara dengan organisasi yang paling kecil sampai dengan organisasi puncak yaitu
negara. Dijelaskan bahwa Civics membicarakan:

(a)    hubungan warganegara dengan organisasi social, ekonomi, politik, keagamaan,

(b)   bagaimana hak-hak asasi manusia itu dilindungi Negara

(c)    bagaimana hak-hak politik Negara itu dijalankan

(d)   bagaimana warganegara mengatur diri sendiri dan mengatur kepentingan umum dalam
bentuk partisipasi dan kerjasama.

Pada saat itu, mata pelajaran Civics atau ilmu kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan
pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan
politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1969:7).
3. Pendidikan Kewargaan  Negara (1968)

Dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara
digunakan secara bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya :

 Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai


sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi
Indonesia, dan civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara).
 Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang
berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945.
 Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang
berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945.
 Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara
yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan
kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969).
(Winataputra, 2006 : 1).
 Tahun 1970 PKn difusikan ke dalam mata pelajaran IPS
 Tahun 1972, dalam seminar di Tawangmangu Surakarta, menetapkan istlah ilmu
kewargaan Negara (IKN) sebagai pengganti CIVICS, dan pendidikan Kewargaan Negara
(PKn) sebagai istilah civic Education.

Secara umum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang


nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri, 2001:298).
Dengan demikian, IKN lebih bersifat teoritis dan PKn lebih bersifat praktis antara keduanya
merupakan kesatuan tak terpisahkan, karna perkembangan PKn sangat tergantung pada
perkembangan IKN.

4. PMP

Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan
dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan
missi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini
merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata
pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya
Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975
(Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa
ituberorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:97)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan


Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang
pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994
mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn.
 5. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn.

Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan


materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep
nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan
pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba,1967). Pendekatan ini
mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan
dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas. Hal tersebut dapat lihat dari materi
pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan
pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang beradasarkan nilai-
nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami,
menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).

Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003,


diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004
dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah nama menjadi Kewarganegaraan. Tahun 2006
namanya berubah kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak
terdapat perubahan yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan
pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn sebagaimana


diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang
sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya
krisis operasional kurikuler.
BAB III
ETIKA,  NORMA, NILAI,  DAN MORAL

1. PENGERTIAN ETIKA,  NORMA, NILAI,  DAN MORAL.


a. Pengertian etika
Berasal dari bahasa Yunani “ethos”. Artinya: “custom” atau kebiasaan yang berkaitan
dengan tindakan atau tingkah laku manusia. Istilah Etika digunakan untuk menyebut ilmu dan
prinsip dasar penilaian baik buruknya perilaku manusia atau berisi tentang kajian ilmiah terhadap
ajaran moral.
Etika adalah filsafat moral yang berkaitan dengan studi tentang tindakan baik atau buruk
manusia dalam mencapai kebahagiaan.
Modal dasar dalam etika adalah perilaku,,sedang perilaku manusia dipengaruhi oleh
pikiran dan hati (perasaan).

Fungsi Etika
            Fungsi etika adalah sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan
berbagai moralitas. Orientasi kritis diperlukan karena kita dihadapkan dengan pluralisme moral.
Etika bersifat lebih umum, konseptual, dan hanya berlaku dalam pergaulan (saat ada orang lain).

b. Pengertian Norma
Norma adalah aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat warga masyarakat atau
kelompok tertentu dan menjadi panduan, tatanan, pandangan dan pengendali sikap dan tingkah
laku manusia.
Oleh sebab itu, norma  dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat,
norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat
dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a.  Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan ,
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang
dipaksakan oleh alat Negara
Fungsi Norma
Fungsi norma sosial dalam masyarakat secara umum sebagai berikut :
Norma merupakan faktor perilaku dalam kelompok tertentu yang memungkinkan seseorang
untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakan akan dinilai orang lain.
Norma merupakan aturan , pedoman, atau petunjuak hidup dengan sanksi-sanksi untuk
mendorong seseorang, kelompok , dan masyarakat mencapai dan mewujudkan nilai-nilai sosial.
Norma-norma merupakan aturan-aturan yang tumbuh dan dan hidup dalam masyarakat
sebagai unsur pengikat dan pengendali manusia dalam hidup masyarakat.

c. Pengertian Nilai
Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, namun
bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, yang kemudian nilai dijadikan landasan, alasan dan motivasi dalam bersikap dan
berperilaku baik disadari maupuin tidak disadari. Nilai merupakan harga untuk manusia sebagai
pribadi yang utuh, misalnya kejujuran, kemanusiaan (Kamus Bahasa Indonesia, 2000). Nilai
akan lebih bermanfaat dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka harus lebih di
kongkritkan lagi secara objektif, sehingga memudahkannya dalam menjabarkannya dalam
tingkah laku, misalnya kepatuhan dalam norma hukum, norma agama, norma adat istiadat dll.

Ciri-ciri Nilai :
1. Bersifat abstrak yang ada dalam kehidupan manusia.
2. Memiliki sifat normative.
3. Berfungsi sebagai daya dorong atau motivator dan manusia adalah pendukung nilai.

d. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah
ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Seorang yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya, terjadi
sesuatu yang melanggar, pribadi itu dianggap tidak bermoral. 
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji,
dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun dapat
dibedakan seperti moral keTuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika, moral hukum, moral
ilmu, dan sebagainya.
Nilai, norma dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai
aspeknya.
2. PENGERTIAN HIERARKHI NILAI.
Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –
masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai
tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama
tingginya dan luhurnya.
Menurutnya  nilai-nilai hirarki dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa
senang, menderita atau tidak enak,
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum,
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan
pengetahuan murni,
4.  Nilai kerohanian yaitu tingkatan modalitas  nilai dari yang suci.

Walter G Everst mengolongkan nilai-nilai manusiawai ke dalam delapan kelompok yaitu:


1.     Nilai-nilai ekonomis.
2.     Nilai-nilai kejasmanian.
3.     Nilai-nilai hiburan.
4.     Nilai-nilai social.
5.     Nilai-nilai watak.
6.     Nilai-nilai estesis.
7.     Nilai-nilai intelektual.
8.     Nilai-nilai keagamaan.

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :


1.   Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2.  Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas
atau kegiatan, 
3.  Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam
empat tingkatan sebagai berikut :
a.       Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b.      Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c.       Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d.      Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria
sehingga merupakan suatu keharusan  anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh
karena itu, nilai berperan sebagai  pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai
manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan
kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Dari uraian mengenai macam – macam nilai di atas, dapat dikemukakan pula bahwa yang
mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu
yang berwujud non material atau immaterial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai
Pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui
adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis,
baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral,
maupun nilai kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha
Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai
‘tujuan’.

3. HUBUNGAN ANTARA NILAI, NORMA, DAN MORAL.


Dalam kehidupannya manusia tidak akan bisa terlepas dari yang namanya nilai, moral
dan norma.  Yang mana ketiganya tersebut selalu berhubungan dan mempengaruhi kehidupan
manusia dalam masyarakatnya.  Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika
maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua
konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang
nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang
subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Norma dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat,
dan norma merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat.
Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan
mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Manusia juga sangat berkaitan dengan moral dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang
mana moral menjadi istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan
yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia
tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah
hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.  Dalam zaman sekarang ini moral anak bangsa kita
telah merosot, hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.  Faktor tersebut seperti
pengaruh budaya asing, televisi, dan akibat dari kesenjangan ekonomi.  Dalam hal ini moral
sangat diperlukan oleh setiap individu manusia.  Orang-orang pintar sekarang telah banyak kita
temukan, tapi apakah dapat tau orang tersebut bermoral atau tidaknya, karena moral tersebut
hanya dapat dilihat dari tingkah lakunya.

4. PENGERTIAN POLITIK DAN DIMENSI POLITIS MANUSIA.


a. Pengertian Politik
Pengertian ‘politik’ berasal dari kosakata ‘politics’, yang memiliki makna bermacam –
macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘ negara’, yang menyangkut proses penentuan
tujuan – tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan pengertian
– pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep –
konsep pokok yang berkaitan dengan negara ( state), kekuasaan ( power), pengambilan
keputusan ( decision making), kebijaksanaan ( policy), pembagian ( distribution), serta alokasi
( allocation).
         Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para
pelaksana pemerintahan negara, lembaga – lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik
serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara.
         Pengertian politik yang lebih luas, yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu
persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.

b. Pengertian Etika Politik


Secara substantive pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai
pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan
moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada
manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-
kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia.
Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat, bangsa  maupun Negara, etika politik tetap
meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika
politik bahwa kebaikan senantiasa didsarkan kepada hakekat manusia sebagai makhluk yang
beradab dan berbudaya.
Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bias
berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang
dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia
tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu
masyarakat negara yang demikian ini maka seorang yang baik secara moral kemanusiaan akan
dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai
dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara.
Fungsi etika politik.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak
berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative.
Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar
pembahasan masalah-masalah idiologis dapat dijalankan secara obyektif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para
filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun,
kita menemukan berbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika
politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman
pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan
menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis.
Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
a.       Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke).
b.      Kebebasan berpikir dan beragama (Locke).
c.       Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie).
d.      Kedaulatan rakyat (Rousseau).
e.       Negara hukum demokratis/republican (Kant).
f.        Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb).

c. Dimensi Politis Kehidupan Manusia


Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis
mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang
memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan
negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyrakat secara
keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia
dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota
masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan
kembali oleh kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu pengertian dan
kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek
kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral manusia.

d. Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial


Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia
sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama
senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat
manusia sebagai    individu.
            Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang
sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar sarana
bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan
masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk
sosial.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas
dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan
manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya
mampu ber-eksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam
hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam
segala kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarakat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam
budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat
‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, bukanlah
totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.
5. NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SUMBER ETIKA POLITIK.
         Pancasila sebagai etika politik  mempunyai lima prinsip/sumber.
1.  Pluralisme (sila pertama, ketuhanan yang maha Esa).
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif,
damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup,
agama, budaya, adat. Pluralisme  mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan
beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme
memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2.  Hak Asasi Manusia (sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab)
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak-
hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak
diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya
sebagai manusia. Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual
dalam pengertian sebagai berikut.
a.   Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat,
melainkan karena pemberian Sang Pencipta .
b.    Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang
modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam
oleh Negara modern.
3. Solidaritas Bangsa (sila ketiga, Persatuan Indonesia).
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang
lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya
apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup
manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga,
kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.  Maka
di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran
kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing.

4. Demokrasi (sila Ke empat, kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaran perwakilan).
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit atau
sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain harus atau boleh
hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan
siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi
memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.

Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :

1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip
mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum
demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur harkiki dalam demokrasi (karena
mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial (sila ke lima, Ke adilan sosial bagi seluruh Bangsa indonesia).
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Moralitas
masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak
boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-
agama tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan
yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar
ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah diskriminasi di
semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Untuk itu tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:

1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.


2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana
mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat
mereka pada masyarakat.
3. Korupsi
BAB IV

KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Pengertian Karakter Menurut Pendapat Para Ahli

Pengertian Karakter

Dalam kehidupan sehari – hari, kita sering kali menyamakan istilah karakter dengan watak, sifat,
atau pun kepribadian. Padahal, jika dikaji secara mendalam arti kata karakter dengan watak atau
pun sifat tidaklah sama.

Lantas apa arti kata karakter itu? Pada dasarnya karakter merupakan akumulasi dari sifat, watak,
dan juga kepribadian seseorang. Selain pengertian ini, ada banyak sekali pengertian kata karakter
yang diungkapkan oleh para ahli seperti beberapa contohnya adalah sebagai berikut :

Pengertian Karakter Menurut Para Ahli

1. Maxwell

Menurut Maxwell, karakter jauh lebih baik dari sekedar perkataan. Lebih dari itu, karakter
merupakan sebuah pilihan yang menentukan tingkat kesuksesan.

2. Wyne

Menurut Wyne, karakter menandai bagaimana cara atau pun teknis untuk memfoukuskan
penerapan nilai kebaikan ke dalam tindakan atau pun tingkah laku.

3. Kamisa

Menurut Kamisa, pengertian karakter adalah sifat – sifat kejiwaan, akhlak, dan budi pekerti
yang dapat membuat seseorang terlihat berbeda dari orang lain. Berkarakter dapat diartikan
memiliki watak dan juga kepribadian.

4. Doni Kusuma

Menurut Doni Kusuma, karakter merupakan ciri, gaya, sifat, atau pun katakeristik diri seseorang
yang berasal dari bentukan atau pun tempaan yang didapatkan dari lingkungan sekitarnya.

5. W. B. Saunders

Menurut W. B. Saunders, karakter merupakan sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh
individu. Karakter dapat dilihat dari berbagai macam atribut yang ada dalam pola tingkah laku
individu.

6. Gulo W.
Menurut Gulo W. Pengertian karakter adalah kepribadian yang dilihat dari titik tolak etis atau
pun moral (seperti contohnya kejujuran seseorang). Karakter biasanya memiliki hubungan
dengan sifat – sifat yang relatif tetap.

7. Alwisol

Menurut Alwisol, karakter merupakan penggambaran tingkah laku yang dilaksanakan dengan
menonjolkan nilai (benar – salah, baik – buruk) secara implisit atau pun ekspilisit. Karakter
berbeda dengan kepribadian yang sama sekali tidak menyangkut nilai – nilai.

Proses Terbentuknya Karakter

Karakter yang dimiliki oleh seseorang pada dasarnya terbentuk melalui proses pembelajaran
yang cukup panjang. Karakter manusia bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Lebih dari itu,
karakter merupakan bentukan atau pun tempaan lingkungan dan juga orang – orang yang ada di
sekitar lingkungan tersebut.

Karakter dibentuk melalui proses pembelajaran di beberapa tempat, seperti di rumah, sekolah,
dan di lingkungan sekitar tempat tinggal. Pihak – pihak yang berperan penting dalam
pembentukan karakter seseorang yaitu keluarga, guru, dan teman sebaya.

Karakter seseorang biasanya akan sejalan dengan perilakunya. Bila seseorang selalu melakukan
aktivitas yang baik seperti sopan dalam berbicara, suka menolong, atau pun menghargai sesama,
maka kemungkinan besar karakter orang tersebut juga baik, akan tetapi jika perilaku seseorang
buruk seperti suka mencela, suka berbohong, suka berkata yang tidak baik, maka kemungkinan
besar karakter orang tersebut juga buruk.

Pengertian Karakter Dan Pendidikan Karakter Secara Umum

A. Apakah itu karakter dan pendidikan karakter?

Karakter adalah watak, sifat, akhlak ataupun kepribadian yang membedakan seorang individu
dengan individu lainnya. Atau karakter dapat di katakan juga sebagai keadaan yang sebenarnya
dari dalam diri seorang individu, yang membedakan antara dirinya dengan individu lain.

Dan yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah suatu sistem yang menanamkan nilai-
nilai karakter kepada seorang individu, yang meliputi: ilmu pengetahuan, kesadaran, kemauan
dan tindakan untuk dapat melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan YME, dirinya
sendiri, orang lain, lingkungannya maupun bangsa dan negaranya. 

B. Beberapa nilai-nilai karakter

Individu yang berkarakter baik merupakan orang yang selalu berusaha untuk melakukan
berbagai hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya sendiri, lingkungannya, orang lain,
bangsa dan negaranya. Karakter yang baik berarti individu yang mengetahui tentang potensinya
sendiri dan memiliki nilai-nilai sebagai berikut ini:

Apa yang dimaksud dengan Karakter?

a. Nilai hubungannya dengan Tuhan

Dalam hal ini yaitu nilai religius, merupakan tindakan seorang individu yang selalu diupayakan
berdasarkan dari nilai-nilai ketuhanan atau ajaran agamanya.

b. Nilai hubungannya dengan sesama

1. Menghargai hak dan kewajiban orang lain.

Merupakan sikap yang selalu menghormati dan melaksanakan apa yang sudah menjadi hak orang
lain dan dirinya sendiri.

2. Selalu patuh terhadap peraturan sosial.

Merupakan sikap taat terhadap peraturan yang ada hubungannya dengan kepentingan umum atau
masyarakat.

3. Sopan dan santun.

Merupakan sikap menghormati, ramah dan berprilaku baik terhadap orang lain.

4. Menghargai karya dan prestasi orang lain.

Merupakan sikap yang mengakui dan menghormati apa yang sudah dicapai oleh orang lain.

5. Demokratis
Merupakan sikap dan perilaku seseorang yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi.

c. Nilai hubungannya dengan diri sendiri

1. Bersikap jujur.

Merupakan perilaku untuk menjadikan diri sendiri sebagai orang yang selalu dapat di percaya
dalam perkataan, tindakan, orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.

2. Selalu bertanggung jawab.

Merupakan sikap maupun prilaku untuk melaksanakan kewajiban maupun tugas seperti yang
seharusnya dilakukan baik itu terhadap dirinya sendiri, lingkungan, negara dan lain-lain.

3. Selalu disiplin.

Merupakan sikap dan prilaku patuh terhadap peraturan atau norma-norma yang berlaku, dan
memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

4. Selalu bekerja keras.

Merupakan sikap tidak mudah menyerah dan sungguh-sungguh baik itu dalam mencapai sesuatu,
menyelesaikan permasalahan dan lain-lain.

5. Berpola hidup sehat.

Merupakan sikap untuk selalu berupaya menerapkan pola hidup yang baik, supaya dapat
menciptakan kehidupan yang sehat dan juga selalu berupaya untuk menghindari pola hidup
buruk.

6. Percaya diri.

Merupakan sikap yang dimiliki oleh seorang individu yang percaya atau yakin akan
kemampuannya sendiri dalam mencapai sesuatu atau keinginannya.

7. Mandiri.

Merupakan sikap yang tidak selalu bergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan


permasalahan yang menimpa dirinya.

8. Rasa Ingin tahu yang tinggi.

Merupakan sikap rasa ingin tahu yang tinggi atau selalau berupaya untuk mengetahui lebih luas
dari apa yang sudah dipelajari.

9. Cinta terhadap ilmu pengetahuan.


Merupakan cara berfikir untuk menunjukan kepedulian yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan
yaitu dengan cara mempelajari dan menambah ilmu pengetahuan.

10. Selalu berpikir logis, kritis & inovatif.

Merupakan cara berfikir dalam melakukan sesuatu sesuai dengan kenyataan dan logika untuk
menghasilkan hasil yang baru serta termutakir dari apa yang sudah dimiliki.

d. Nilai hubungannya dengan lingkungan

1. Rasa peduli terhadap lingkungan.

Merupakan sikap yang selalu mencegah kerusakan terhadap lingkungan, dan selalu berupaya
untuk memperbaikinya jika terjadi kerusakan pada lingkungan serta selalu menjaga kelestarian
alam.

2. Peduli sosial.

Merupakan sikap yang selalu memberi bantuan atau menolong orang lain yang memang sedang
membutuhkan bantuan.

3. Menghargai keberagaman atau perbedaan.

Merupakan sikap yang menghormati dan menghargai keragaman budaya, agama, adat dan lain-
lain.

4. Nilai kebangsaan.

Merupakan sikap yang selalu mementingkan bangsa dan negaranya diatas kepentingan pribadi.

Sekian penjelasan yang dapat kami berikan tentang pengertian karakter, mohon maaf jika
terdapat beberapa kesalahan dan semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi teman – teman,
khususnya dalam menambah wawasan.

Pengertian Pendidikan Karakter

Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai dan
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Sedangkan Karakter menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang
unik-baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren
memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau
sekelompok orang.

Karakter juga sering diasosiasikan dengan istilah apa yang disebut dengan temperamen yang
lebih memberi penekanan pada definisi psikososial yang dihubungkan dengan pendidikan dan
konteks lingkungan. Sedangkan karakter dilihat dari sudut pandang behaviorial lebih
menekankan pada unsur somatopsikis yang dimiliki seseorang sejak lahir. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa proses perkembangan karakter pada seseorang dipengaruhi oleh banyak
faktor yang khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang juga disebut faktor bawaan
(nature) dan lingkungan (nurture) dimana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang.
Faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat dan individu untuk
mempengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang berada pada jangkauan
masyarakat dan ndividu. Jadi usaha pengembangan atau pendidikan karakter seseorang dapat
dilakukan oleh masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan melalui rekayasa faktor
lingkungan.

Faktor Pendidikan Karakter

Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki peran yang sangat peting karena
perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter sangat ditentukan
oleh faktor lingkungan ini. Dengan kata lain pembentukan dan rekayasa lingkungan yang
mencakup diantaranya lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum,
pendidik, dan metode mengajar. Pembentukan karakter melalui rekasyasa faktor lingkungan
dapat dilakukan melalui strategi :

1. Keteladanan
2. Intervensi
3. Pembiasaan yang dilakukan secara Konsisten
4. Penguatan.

Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan


keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan
terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus
dibarengi dengan nilai-nilai luhur

Pengertian Pendidikan Menurut Undang – Undang dan  Para Ahli

Pendidikan memang tak lepas dari makna dan definisi. Dalam dunia pendidikan banyak sekali
istilah-istilah yang dipakai dan memerlukan pembahasan mengenai hal definisi atau
pengertiannya. Pada blog pendidikan ini, Maswins for Educations, sebelum melangkah
membahas mengenai pengertian-pengertian istilah dalam dunia pendidikan, ada baiknya jika
terlebih dahulu membahas mengenai pengertian pendidikan itu sendiri.
Berikut adalah beberapa pengertian Pedidikan menurut Undang-Undang dan para ahli yang saya
kutip dari beberapa sumber :

1. Pendidikan Menurut UU Sisdiknas

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
1. Pendidikan Menurut Carter V. Good

Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku
yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu
lingkungan yang terpimpin (khususnya di sekolah) sehingga iya dapat mencapai kecakapan
sosial dan mengembangkan kepribadiannya.

1. Pendidikan Menurut Godfrey Thomson

Pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan yang tepat
didalam kebiasaan tingkah lakunya, pikiranya dan perasaannya.

1. Pendidikan Menurut UNESCO

UNESCO menyebutkan bahwa: “education is now engaged is preparinment for a tife


Society which does not yet exist” atau bahwa pendidikan itu sekarang adalah untuk
mempersiapkan manusia bagi suatu tipe masyarakat yang masih belum ada. Konsep system
pendidikan mungkin saja berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pengalihan nilai-
nilai kebudayaan (transfer of culture value). Konsep pendidikan saat ini tidak dapat dilepaskan
dari pendidikan yang harus sesuai dengan tuntutan kebutuhan pendidikan masa lalu,sekarang,dan
masa datang.

1. 5.      Pendidikan Menurut Thedore Brameld

‘’Education as power means copetent and strong enough to enable us,the majority of people,to
decide what kind of a world‘’. (Pendidikan sebagai kekuatan berarti mempunyai kewenangan
dan cukup kuat bagi kita, bagi rakyat banyak untuk menentukan suatu dunia yang macam apa
yang kita inginkan dan macam mana mencapai tujuan semacam itu).

1. Pendidikan Menurut Thedore Brameld

Robert W. richey menyebutkan bahwa; The term “Education” refers to the broad funcition of
preserving and improving the life of the group through bringing new members into its shared
concem. Education is thus a far broader process than that which occurs in schools. It is an
essential social activity by which communities continue to exist. In Communities this function is
specialzed and institutionalized in formal education, but there is always the education, out side
the school with which the formal process is related. (Istilah pendidikan mengandung fungsi yang
luas dari pemelihara dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa warga
masyarakat yang baru mengenal tanggung jawab bersama di dalam masyarakat. Jadi pendidikan
adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja.
Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang memungkinkan masyarakat tetap ada dan
berkembang. Di dalam masyarakat yang kompleks, fungsi pendidikan ini mengalami spesialisasi
dan melembaga dengan pendidikan formal yang senantiasa tetap berhubungan dengan proses
pendidikan informal di luar sekolah).
Pilar – Pilar Pendidikan Karakter

 Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui
– nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias budaya. Beberapa hal di bawah ini
yang dapat kita jelaskan untuk membantu siswa memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter,
yaitu sebagai berikut :

1. Trustworthiness (Kepercayaan)

Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal – melakukan apa yang anda
katakan anda akan melakukannya, minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun
reputasi yang baik, patuh – berdiri dengan keluarga, teman dan negara.

2. Recpect (Respek)

Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun, bukan bahasa yang buruk,
pertimbangkan perasaan orang lain, jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain,
damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan.

3. Responsibility  (Tanggungjawab)

Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin, berpikirlah sebelum bertindak –
mempertimbangkan konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda.

4. Fairness  (Keadilan)

Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi, berpikiran terbuka; mendengarkan orang
lain, jangan mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan orang lain
sembarangan.

5. Caring  (Peduli)

Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli, ungkapkan rasa syukur, maafkan
orang lain, membantu orang yang membutuhkan.

6. Citizenship  (Kewarganegaraan)

Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik, bekerja sama, melibatkan diri dalam
urusan masyarakat,  menjadi tetangga yang baik, mentaati hukum dan aturan, menghormati
otoritas, melindungi lingkungan hidup.

Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan karakter & Nilai-nilai Pembentuk Karakter

 Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan karakter

 
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang
dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi untuk:

1. mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik
2. memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3. meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media
massa.

 Nilai-nilai Pembentuk Karakter

Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai
pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini
merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada
saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the
existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai
yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:

1.      Jujur
2.     Toleransi
3.     Disiplin
4.     Kerja keras
5.     Kreatif
6.     Mandiri
7.     Demokratis
8.     Rasa Ingin Tahu
9.     Semangat Kebangsaan
10.     Cinta Tanah Air
11.     Menghargai Prestasi
12.    Bersahabat/Komunikatif
13.    Cinta Damai
14.    Gemar Membaca
15.   Peduli Lingkungan
16.   Peduli Sosial
17.   Tanggung Jawab
18.   religius  

(Puskur. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-
10). Nilai dan deskripsinya terdapat dalam Lampiran 1.)
Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat
menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang
diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya
jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah
yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan
masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat
dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi
masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

Pentingnya Pendidikan Karakter

Pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan kecakapan


dan kemampuan kognitif. Dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya ada hal lain dari anak yang
tak kalah penting yang tanpa kita sadari telah terabaikan.Yaitu memberikan pendidikan karakterb
pada anak didik. Pendidikan karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif.
Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya justru tidak
dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan, atau
seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan
kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan
antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.

Ada sebuah kata bijak mengatakan “ ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah
lumpuh”. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta.
Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan
dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya,
pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir,
dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak
mengabaikan pendidikan karakter anak didik.

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-


nilai karakterpada anak didik. Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang
dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster:

1. Pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif.


Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut.
2. Adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak
didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan
tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru.
3. Adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil
keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan
apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen
yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi
basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-
nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati
dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki
kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang
tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard
skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).

Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan
sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui
pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik. Berpijak pada empat ciri dasar pendidikan
karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam polapendidikan yang diberikan pada anak didik.
Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk,
memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi
dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan
mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anakdidik
akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Kalau menurut saya,
sebenarnya yang terpenting bukan pilihannnya, namun kemampuan memilih kita dan
pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada
pilihan tersebut.

Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan,


dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar
juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia
nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.

Proses Pembentukan Karakter Kepada Anak

Suatu hari seorang anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di
dalamnya ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong.
Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-
kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah.
Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu
memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dr sana. Alangkah senang dan leganya
si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar dari sana.
Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?

Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang dari kepompongnya tersebut, yang mana
pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yang mengalir
dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat
terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya tidak dapat
mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap. Itulah potret
singkat tentang pembentukan karakter, akan terasa jelas dengan memahami contoh kupu-kupu
tersebut. Seringkali orangtua dan guru, lupa akan hal ini. Bisa saja mereka tidak mau repot, atau
kasihan pada anak. Kadangkala Good Intention atau niat baik kita belum tentu menghasilkan
sesuatu yang baik. Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita. Kadangkala kita sering
membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi sebenarnya malah membuat mereka
tidak mandiri. Membuat potensi dalam dirinya tidak berkembang. Memandukan kreativitasnya,
karena kita tidak tega melihat mereka mengalami kesulitan, yang sebenarnya jika mereka
berhasil melewatinya justru menjadi kuat dan berkarakter.

Sama halnya bagi pembentukan karakter seorang anak, memang butuh waktu dan komitmen dari
orangtua dan sekolah atau guru untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter. Butuh
upaya, waktu dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh, cinta disini
jangan disalah artikan memanjakan. Jika kita taat dengan proses ini maka dampaknya bukan ke
anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling tidak karakter sabar, toleransi, mampu
memahami masalah dari sudut pandang yang berbeda, disiplin dan memiliki integritas terpancar
di diri kita sebagai orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan pekerjaan baik bagi
orangtua, guru dan anak jika kita komitmen pada proses pembentukan karakter. Segala sesuatu
butuh proses, mau jadi jelek pun butuh proses. Anak yang nakal itu juga anak yang disiplin.Dia
disiplin untuk bersikap nakal. Dia tidak mau mandi tepat waktu, bangun pagi selalu telat, selalu
konsisten untuk tidak mengerjakan tugas dan wajib tidak menggunakan seragam lengkap.

Karakter suatu bangsa merupakan aspek penting yang mempengaruhi pada perkembangan sosial-
ekonomi. Kualitas karakter yang tinggi dari masyarakat tentunya akan menumbuhkan keinginan
yang kuat untuk meningkatkan kualitas bangsa. Pengembangan karakter yang terbaik adalah jika
dimulai sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya secara luas menyatakan “ jika kita
gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia dewasa kita akan menjadi orang yang bermasalah
atau orang jahat”.

Thomas Lickona mengatakan “ seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang
bertanggung jawab dapat diciptakan”. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi
investasi manusia yang sangat tepat. Sebuah ungkapan terkenal mengungkapkan “Anak-anak
berjumlah hanya sekitar 25% dari total populasi, tapi menentukan 100% dari masa depan”.
Sudah terbukti bahwa periode yang paling efektif untuk membentuk karakter anak adalah
sebelum usia 10 tahun. Diharapkan pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki
dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak.

Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter positif anak akan dapat terlihat,
seperti yang digambarkan oleh Jan Wallander, “Kemampuan sosial dan emosi pada masa anak-
anak akan mengurangi perilaku yang beresiko, seperti konsumsi alkohol yang merupakan salah
satu penyebab utama masalah kesehatan sepanjang masa; perkembangan emosi dan sosial pada
anak-anak juga dapat meningkatkan kesehatan manusia selama hidupnya, misalnya reaksi
terhadap tekanan yang akan berdampak langsung pada proses penyakit; kemampuan emosi dan
sosial yang tinggi pada orang dewasa yang memiliki penyakit dapat membantu meningkatkan
perkembangan fisiknya.”

Sangatlah wajar jika kita mengharapkan keluarga sebagai pelaku utama dalam mendidik dasar–
dasar moral pada anak. Akan tetapi banyak anak, terutama anak-anak yang tinggal di daerah
miskin, tidak memperoleh pendidikan moral dari orang tua mereka.
Kondisi sosial-ekonomi yang rendah berkaitan dengan berbagai permasalahan, seperti
kemiskinan, pengangguran, tingkat pendidikan rendah, kehidupan bersosial yang rendah,
biasanya berkaitan juga dengan tingkat stres yang tinggi dan lebih jauh lagi berpengaruh
terhadap pola asuhnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah
miskin 11 kali lebih tinggi dalam menerima perilaku negatif (seperti kekerasan fisik dan mental,
dan ditelantarkan) daripada anak-anak dari keluarga yang berpendapatan lebih tinggi.

Banyak hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang telah mendapat pendidikan pra-sekolah
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada anak-anak yang tidak masuk ke TK,
terutama dalam kemampuan akademik, kreativitas, inisiatif, motivasi, dan kemampuan sosialnya.
Anak-anak yang tidak mampu masuk ke TK umumnya akan mendaftar ke SD dalam usia sangat
muda, yaitu 5 tahun. Hal ini akan membahayakan, karena mereka belum siap secara mental dan
psikologis, sehingga dapat membuat mereka merasa tidak mampu, rendah diri, dan dapat
membunuh kecintaan mereka untuk belajar. Dengan demikian sebuah program penanganan
masalah ini dibutuhkan untuk mempersiapkan anak dengan berbagai pengalaman penting dalam
pendidikan prasekolah. Adalah hal yang sangat penting untuk menggerakkan masyarakat di
daerah miskin untuk mulai memasukkan anaknya ke prasekolah dan mengembangkan
lingkungan bersahabat dengan TK lainnya untuk bersama-sama melakukan pendidikan karakter.

Dorothy Law Nolte pernah menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupan lingkungannya.
Lengkapnya adalah :

 Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki


 Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
 Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
 Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyeasali diri
 Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
 Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
 Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan
 Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
 Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
 Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta
dalam kehidupan
BAB V
Disiplin Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan
A. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Pendidikan Disiplin Ilmu
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif
dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (smart and
good citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. . Sampai saat ini bidang itu sudah
menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam
lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan
tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam
kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas
dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau
sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai
kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang
dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan
dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin
ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru dalam statusnya yang ketiga
yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan
merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program
Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan
Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah
pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya
merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan
kewarganegaraan.

Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan
disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini
berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan
kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu
pusat perhatian riset dan pengembangan cenderung lebih terpusat pada profesionalisme guru.
Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu
sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan perhatian. Disiplin ilmu pendidikan lebih
kepada pendidikan tentang ilmu pendidikan seperti misalnya fakultas ilmu pendidikan.
Sedangkan pendidikan disiplin ilmu mengacu kepada fakultas lainnya seperti pendidikan MIPA,
pendidikan IPS, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Bahasa, dan lain sebagainya.
Program pendidikan disiplin ilmu bidang studi ilmu sosial dirumuskan sebagai “program
pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora yang diorganisasikan dan
disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan” (hlm. 19, Dokumen ISPI, 1995).
Rumusan akademik tentang pendidikan disiplin ilmu/bidang studi tersebut bertujuan untuk
memberikan manfaat bagi pencapaian tujuan dan program pendidikan, khususnya untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, karena pendidikan keguruan mempunyai fungsi
mengembangkan akademik tingkat perguruan tinggi dan harus dapat menerapkannya untuk
tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka karakter pendidikan disiplin ilmu yang dibina
harus memperhatikan dan mempelajari segala sesuatu yang berkenan dengan sifat peserta didik,
kurikulum, buku pelajaran, serta sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menegah.
Sama halnya dengan disiplin ilmu pendidikan, pendidikan disiplin ilmu atau bidang studi harus
merujuk kepada tiga unsur disiplin ilmu, yakni;
1. A community of scholars who choose to call themselves by a particular name,
2. A body of thinking, speaking and above all, writing by these scholars, which consist of facta,
concepts, generalizations and theories,
3. A method of approach to knowledge, i.e process whereby these scholars acquire, organize, and
use their knowledge (Dufty, 1986:154)
Rujukan ketiga unsur disiplin ilmu tersebut hendaknya diikuti oleh masyarakat ilmiah ilmu
pendidikan yang melalui pendekatan syntactical structure dan conceptual structur menghasilkan
berbagai penelitian pendidikan. Pendidikan disiplin bidang studi merupakan suatu synthentic
discipline, baik dilihat dari perkembangan akademik IKIP maupun peningkatan mutu pendidikan
dasar dan menengah serta kemungkinan penugasan di luar bidang kependidikan sekalipun
(Wider mandate, Numan Somantri, 2001)
Disiplin ilmu pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu dituntut untuk berinteraksi dalam
keseluruhan jaringan ilmu, teknologi, dan seni demi pemecahan masalah pembangunan nasional.
Hal ini hanya dapat dilakukan apabila Disiplin Ilmu Pendidikan dan Disiplin Pendidikan ilmu
tidak terlalu melihat pendidikan secara mikro seperti prosese belajar mengajar di kelas,
melainkan harus meleburkan diri secara makro dan inter-serta trans-disipliner dengan berbagai
disiplin ilmu lainnya. Adapun ciri-ciri dari Pendidikan Disiplin Ilmu dalam banyak kepustakaan
dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu adalah hasil rekayasa “intercross-, dan trans-discipliner” antara
Disiplin Ilmu Pendidikan dengan disiplin ilmu “murni” (di universitas) untuk tujuan pendidikan
dasar, menengah, dan Fakultas Pendidikan (bidang studi).
2. Pendidikan Disiplin Ilmu merupakan seleksi, adaptasi, modifikasi dari hubungan inter-
discipliner antara Disiplin Ilmu Pendidikan dan disiplin ilmu (universitas) yang diorganisasikan
dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (NCSS).
3. Pendidikan Disiplin Ilmu “is conceive as the subject matter of the academic disciplines
somehow selected, simplifield, adapted, and modified for school instruction” (NCSS).
4. Pendidikan Disiplin Ilmu ada juga yang menyebutnya “middle studies” karena berdiri pada
dua disiplin ilmu, yaitu sains dan humaniora (Earl Johnson).
Selanjutnya menurut Numan Somantri (2001):
pendidikan Disiplin Ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang menyeleksi konsep,
generalisasi dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan Disiplin Ilmu
Pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan. Karena tujuan akhir Pendidikan Disiplin Ilmu adalah tujuan pendidikan itu sendiri,
maka keterkaitan Pendidikan Disiplin Ilmu ini sangat luas di antaranya dengan agama, filsafat
ilmu, filsafat pancasila, sains, teknologi dan masalah-masalah social yang dihadapi.
Sebagai batang tubuh disiplin baru, Pendidikan Disiplin Ilmu tetap memiliki sifat-sifat disiplin
ilmu dan berinteraksi dengan disiplin ilmu pendidikan:
1. Pendidikan Disiplin Ilmu harus menciptakan “a community of scholars”.
2. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a body of thinking, speaking, and above all,
writing by these scholars which consist of fact, concepts, generalizations, and theories”.
3. Pendidikan Disiplin Ilmu harus merupakan “a method of approach to knowledge, i.e a process
whereby these scholars acquire, organize, and use their knowledge” (Dufty, 1986).
Dalam forum komunikasi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Yogyakarta tahun
1991, dirumuskan tentang Disiplin Ilmu Soaial sebagai berikut:
Pendidikan Disiplin Ilmu Sosial adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu social
yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan
pendidikan FPIPS dalam kerangka pencapaian tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila,
sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berkaitan dengan hal di atas maka kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari
pendidikan disiplin ilmu social, tidak terlepas dari konsep disiplin ilmu social itu sendiri,
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan disiplin ilmu social yang tidak tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan disiplin ilmu politik dan hukum yang juga bernaung di bawah
pendidikan disiplin ilmu sosial. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-
bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin
(Dufty,1970; Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking,
speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan
warisan sistem nilai (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat
deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) secara
paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto
science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian
dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan”
sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan
sebagai disiplin yang matured. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan
digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi
pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.
Sedangkan Ilmu Kewarganegaraan sebagai disiplin ilmu bertujuan untuk mengembangkan
konsep, teori mengenai peranan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain
berkenaan dengan demokrasi politik yang meliputi hak dan kewajiban, kegiatan dasar manusia,
yang diorganisir secara ilmiah, pdagogis, dan psikologis. Sehingga dengan orientasi yang
fundamental tersebut, diharapkan terbentuknya warga negara yang baik dapat direalisasikan
secara optimal.
Dalam kajiannya sebagai salah satu dari pendidikan disiplin ilmu, istilah Pendidikan
Kewarganegaraan sering disamakan dengean Ilmu Kewarganegaraan. Namun sebenarnya,
Pendidikan Kewarganegaraan cakupannya lebih luas dari pada Ilmu Kewarganegaraan , terkait
dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraa yang merupakan disiplin ilmu sebagai bentuk
pembelajaran dari proses dan cara pembinaan terhadap warga negara menjadi warga Negara
yang baik dengan acuan disiplin ilmu dari Ilmu kewarganegaraan. karena antara Pendidikan
Kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan adalah satu rangkaian disiplin ilmu yang saling
berkaitan maka diperlukan sebuah konsep dimana antara Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu
Kewarganegaraan saling mengisi satu sama lain. Sehingga terjalin hubungan konsep yang
berkesinambungan.

B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Disiplin Ilmu


Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) sebagai suatu ilmu Kewarganegaraan memenuhi syarat
sebagai sebuah ilmu seperti ilmu pengetahuan lainnya. Civics juga merupakan kumpulan dari
berbagai macam pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari para pakar,
khususnya ilmu politik yang dipadukan secara harmonis dan telah diuji kebenarannya. Menurut
pandangan para pakar ilmu pengetahuan, suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu apabila
suatu pengetahuan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti bersifat objektif, sistematis,
eksperimental, memperluas pengetahuan, dan memiliki metode. (Suriakusumah, 1992).
1. Objektif
Artinya bahwa kesimpulan yang ditarik bebas dari perasaan-perasaan maupun prasangka-
prasangka perseorangan, serta menjauhi hal-hal yang bersifat subjektif. Memang civics
mempelajari perilaku manusia yang selalu penuh dengan dinamika, sehingga sulit diramalkan
secara ilmiah. Namun demikian setiap ilmu berusaha menyederhanakan bahan penelitiannya.
Dewasa ini ilmu-ilmu social termasuk didalamnya civics/Pendidikan Kewarganegaraan itu
sendiri telah mengembangkan berbagai teknik kuantitatif penggunaan konsep-konsep,
generalisasi-generalisasi, serta teori-teori yang dapat diuji secara empiris.
2. Sistematis
Dalam arti ilmu berupaya melihat sejumlah observasi yang kompleks dalam hubungan yang
logis. Guna melihat keseluruhan dunia kenyataan, Pendidikan Kewarganegaraan membentuk
berbagai macam teori-teori maupun pengertian-pengertian dari para ahli, yang dapat memberikan
pegangan dalam mempelajari keadaan lingkungan sekitarnya.
3. Eksperimental
Kesimpulan yang ditarik sebagai suatu hasil penelitian seyogyanya merupakan hasil percobaan,
sebab dengan eksperimenlah dapat diperoleh kesimpulan yang seobjektif mungkin berdasarkan
pengujian yang berulang-ulang. Dalam teori perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan dapat
dipelajari banyaknya eksperimen yang dilakukan oleh para ahli dalam upaya meningkatkan
persatuan dan kesatuan bansa sesuai dengan perkembangan serta tuntutan perubahan zaman.
4. Memperluas Pengetahuan
Artinya suatu pengetahuan tidak berhenti setelah dipecahkannya suatu masalah, akan tetapi
pemecahan masalah tersebut kiranya memberi kesempatan membuka suatu permasalahan baru.
Demikian pula dengan civics, para pakar tidak berhenti pada suatu masalah yang telah mereka
pecahkan, justru dengan pengetahuan itulah mereka berusaha mengetahui bahwa ada sesuatu
yang lain yang belum mereka ketahui. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya pelajaran civ
cs, baik di Negara-negara asing maupun di Indonesia yang berkaitan dengan isi maupun
peristilahannya.
5. Memiliki Metode
Hakikat ilmu yang utama adalah sebagai suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan dunia
empiris, yaitu dunia kenyataan yang dapat dikenal oleh manusia melalui berbagai macam
pengalamannya. Civics tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris
manusia dalam hubungannya dengan negaranya masing-masing. Dari berbagai macam
pengalaman tersebut dilakukanlah berbagai cara pendekatan yang dari waktu ke waktu
diharapkan menjadi lebih baik serta bermanfaat.
Selain itu, sebuah ilmu juga harus memiliki unsur ontologi, epistimologi dan aksiologi.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu yang
bersifat terapan. Oleh karenanya pendidikan kewarganegaraan juga memiliki ketiga unsur
tersebut. Ketiga unsur tadi akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Ontologi
Unsure ontologi pendidikan kewarganegaraan memiliki dua dimensi, yakni objek telaah dan
objek pengembanngan (Winataputra, 2001). Objek telaah adalah keseluruhan aspek idiil,
instrumental, dan praksis. Yang dimaksud dengan aspek idiil pendidikan kewarganegaraan
adalah landasan dan kerangka filosofik yang menjadi titik tolak sekaligus sebagi muaranya
pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Yang termasuk ke dalam aspek idiil disini adalah
landasan dan tujuan pendidikan nasional dalam UUD 1945 dan UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Sementara itu, yang dimaksud dengan aspek instrumental pendidikan kewarganegaraan adalah
sarana programatik kependidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan
substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek instrumental tersebut adalah
kurikulum, bahan belajar, guru, media, dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar
dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud dengan praxis dalam bahasa Latin, pendidikan kewarganegaraan adalah
perwujudan nyata dari sarana programatik pendidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya
merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan kewraganegaraan
sebagai dimensi yang berinteraksi dengan keyakinan, semangat dan kemampuan para praktisi,
serta konteks pendidikan kewarganegaraan yang diikat oleh substansi idiil sebagai dimensi
pronesis yakni truth and justice (Carr and Kemis: 1986 dalam Budimansyah & Suryadi). Yang
termasuk ke dalam praksis pendidikan kewarganegaraan adalah interaksi belajar di kelas dan
atau di luar kelas dan pergaulan social-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan.
Sedangkan objek pengembangan pendidikan kewarganegaraan adalah Wanaha social-psikologis,
yakni keseluruhan potensi social peserta didik yang oleh Bloom (1956), Kratzwohl (1962),
Simpson (1967), dikategorikan sebagai ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang
secara programatik diupayakan untuk ditingkatkan kualitas dan kuatitasnya melalui kegiatan
pendidikan.
Aspek kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah menjadi insan berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Visi Pendidikan
Nasional menurut UU No. 20 tahun 2003). Sejalan dengan hal ini Depdiknas berhasrat untuk
menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif
meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas social, cerdas intelektual, dan cerdas
kinestetik. Sedangkan maksud manusia kompetitif adalah memiliki kepribadian unggul dan
gandrung akan keunggukan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, inovatif,
produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajar sepanjang hayat.

2. Unsur Epistimologi
Epistimologi pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi
pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui
metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengembangan
digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna
mengembangkan aspek-aspek social-psikologis peserta didik dengan cara mengorganisasikan
berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan. Metode penelitian dan metode
pengembangan dapat pula diperlakukan secara terintegrasi sebagai kegiatan penelitian dan
pengembangan, seperti dalam bentuk kegiatan penelitian tindakan atau “action research”.

3. Unsur Aksiologi
Aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian, hasil
pengembangan, dan/atau hasil penelitian dan pengembangandalam bidang kajian pendidikan
kewarganegaraan yang telah dicapai bagi kepentingan dunia pendidikan, khususnya bagi dunia
persekolahan dan pendidikan tenaga kependidikan. Salah satu contoh penting manfaat tersebut
adalah dikembangkannya berbagai model pembelajaran nilai yang merupakan salah satu misi
dari pendidikan kewarganegaraan.
Visi bahwa pendidikan kewarganegaraan bertujuan mewujudkan masyarakat demokratis
merupakan reaksi atas kesalahan paradigma lama yang masih menggunakan istilah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). PPKn sangat mencolok dengan misi mewujudkan sikap
toleransi, tenggang rasa, memelihara persatuan kesatuan, tidak memaksakan pendapat,
menghargai, dan lain-lain yang dirasionalkan demi kepentingan stabilitas politik untuk
mendukung pembangunan nasional.
Misi dari pendidikan kewarganegaraan dalam lingkup dunia pendidikan di sekolah dewasa ini
dapat disimpulkan dari bagian pendahuluan pada naskah Standar Isi mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Misi dari Pendidikan Kewarganegaraan dirangkum Winarno (2007:114-115)
sebagai berikut:
Berdasarkan praktik pendidikan selama ini Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia ternyata
tidak hanya menggambarkan misi sebagai pendidikan demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan
mengembangkan misi, sebagai berikut:
1) Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan kewarganegaraan dalam arti sesungguhnya
yaitu civic education. Berdasarkan hal ini, Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membina dan
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik berkenaan dengan penerapan,
tugas, hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek
kehidupan bernegara. Misalnya pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dalam pelajaran
civic (Kurikulum 1957/1962); Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan Integrasi Sejarah,
Ilmu Bumi, dan Kewarganegaraan (Kurikulum 1964); Pendidikan Kewarganegaraan Negara,
yang merupakan perpaduan Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civic (Kurikulum 1968/1969)
dan PPKn (1994).
2) Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan karakter. Dalam hal ini
Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan nilai-nilai bangsa yang
dianggap baik sehingga terbentuk warga negara yang berkarakter baik bagi bangsa bersangkutan.
Contoh: Pendidikan kewarganegaraan dimuatkan dalam pelajaran PMP (1975/1984), Pelajaran
PPKn (kurikulum 1994). Di perguruan tinggi diberikan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
Filsafat Pancasila.
3) Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan bela negara. Pendidikan kesadaran bela
negara sehingga dapat di andalkan untuk menjaga kelangsungan negara dari berbagai ancaman.
Contoh, diberikan mata kuliah Kewiraan di Perguruan tinggi.
4) Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi (politik) pendidikan
kewarganegaraan mengembangkan tugas menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang
demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi negara. Dengan pendidikan
kewarganegaraan, akan ada sosialisasi, deseminasi, dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi
pada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai